1. Riba dalam
al-Qur’an
Konsep pengharaman
riba dalam al-Qur’an tidaklah secara langsung melainkan bertahap, sama halnya
dengan pengharaman khamar dalam al-Qur’an. Hal ini dapat kitalihat dalam
al-Qur’an :
Pertama, QS
Ar-Rum ayat 39 “Dan sesuatu riba (tambahan)
yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kau berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.
Dalam ayat ini tidak secara tegas Allah
SWT mengharamkan riba, hanya sebatas perbandingan antara riba dan zakat, yang
mana riba hanya bersifat kamuflase sedangkan zakat bersifat hakiki.
Kedua, QS
An-Nisa 160-161 “Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan)
yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah
dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan
yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara
mereka itu siksa yang pedih”.
Ayat ini menggambarkan
kebiasaan orang-orang Yahudi yang senang memakan riba dan kebiasaan memakan
harta dengan cara yang bathil. Padahal Allah telah mengharamkan yang demikian
itu bagi mereka.
Ketiga, QS Ali
Imran : 130. “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda,
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Dalam ayat ini Allah melarang umat Islam
memakan riba secara berlipat ganda. Ayat ini lebih pada penekanan dan bersifat
sistematis dibandingkan ayat yang sebelumnya, yakni “memakan riba secara
berlipat ganda”. Maka muncullah pertanyaan, “bagaimana jika sedikit?”
Keempat, QS Al Baqarah : 275 – 276 kemudian 278 – 280. “Orang-orang yang makan
(mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175].
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.(175-176).
ayat
ini menegaskan lebih tegas lagi tentang pengharaman riba dan ancaman Allah
bagi mereka yang memakan riba dan solusi yang baik bagi mereka. Beberapa
kandungan pokok dalam ayat di atas adalah :
1) Orang yang memakan riba sama seperi orang
yang kesetanan sehingga tidak dapat membedakan hal yang baik dan buruk. Karena mereka telah menyamakan jual beli
dan riba, padahal Allah menegaskan bahwa riba itu Haram. Sedangkan jual beli
itu halal. (ayat 275)
2) Allah
berkehendak memusnahkan riba karena berbagai dampak buruk yang ditimbulkannya,
kemudian diganti dengan sodakoh yang bermanfaat dan memberdayakan umat. (ayat
276)
3) Allah
memerintahkan orang-orang yang beriman untuk bertakwa kepada-Nya dan
meninggalkan sisa riba yang belum dipungut. Dalam hal ini, orang yang pernah
meminjamkan uang kepada orang lain, hanya berhak mengambil pokok bagian
hartanya (yang dipinjamkannya). Apabila melaksanakannya, maka tidak akan ada
yang dianiaya maupun menganiaya. Apabila perintah itu tidak dilaksanakan, maka
Allah akan memeranginya. (ayat 278-279)
4) Al-Qur’an
mengajarkan agar orang yang meminjamkan uangnya kepada orang lain mau
memberikan tenggang waktu pelunasan ketika si peminjam mengalami kesulitan
mengembalikan pinjaman pada waktu yang dijanjikan. Apabila peminjam benar-benar
tidak mau mengembalikan maka menyedekahkan sebagian atau seluruh pinjaman
merupakan sebuah kebaikan disisi Allah. Pengembalian pinjaman hanya sebesar
pokok pinjaman yang diberikan sehingga terhindar dari tindakan menganiaya
maupun dianiaya. (ayat 280)
2. Riba Dalam
Hadist
1) Dari
Abdullah r.a., ia bersabda: “Rosulullah saw. melaknat orang yang memakan
riba dan memberikan riba”. Perawi
berkata: saya bertanya “bagaimana dengan orang yang menuliskan dan dua orang
yang menjadi saksinya?” Ia (Abdullah) menjawab: “Kami hanya menceritakan apa
yang kami dengar”.
2) Dari
Jabir r.a., ia berkata: “Rosullulah saw. melaknat orang yang memakan
(mengambil) riba, memberikan, menuliskan dan dua orang yang menyaksikan”. ia
berkata: “mereka berstatus hukum sama.”
3) Dari Sulaiman Ibn Amar, dari ayahnya
(dilaporkan bahwa) ia berkata: Saya mendengar Rosulullah saw. Bersabda pada
haji wada’: “Ketahuilah bahwa setiap bentuk riba Jahiliah telah dihapus
bagimu pokok bertamu, kamu tidak menzhalimi dan tidak dizhalimi”.
B.
Definisi Riba dan Bunga
1.
Riba
Riba menurut bahasa adalah (azziyadah) artinya bertambah. Beberapa
pendapat yang dikemukakan oleh para ulama mengenai definisa Riba: menurut ulama
hanafiah yaitu: “Tambahan atas benda yang dihutangkan, yang mana benda itu
berbeda jenis dan dapat di takar dan ditimbang atau tidak dapat ditakar dan
ditimbang, tetapi sejenis. Menurut mazhab syafi’i riba adalah “perjanjian
hutang untuk jangka waktu tertentu dengan tambahan pada waktu pelunasan hutang,
tanpa ada imbalan. Wahbah al-Zuhaili, penulis buku Fiqih Perbandingan,
menyimpulkan rumusan riba nasi’ah yang dikemukakan para ulama yaitu “
mengakhirkan pembayaran hutang dengan tambahan dari jumlah hutang pokok[1] “
(dan ini adalah riba jahiliyah). Jadi, riba adalah pengambilan pengambilan tambahan,
baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil/bertentangan
dengan prinsip syara’.
2.
Bunga (interest)
Istilah bunga muncul
sejak jaman dahulu kala. Menurut kamus ekonomi (Inggris-Indonesia), Prof Dr.
Winardi, SE Interes (net). Bunga modal (netto). Penggunaan untuk pembayaran
dana-dana. Diterangkan dengan macam-macam cara, misalnya[2]:
a)
Balas jasa untuk pengorbanan
konsumsi atas pendapatan yang dicapai waktu sekarang (contoh: teori abstinence)
b)
Pendapat orang-orang yang berbeda
mengenai preferensi likuiditas yang menyesuaikan harga
c)
Harga yang mengatasi terhadap masa
sekarang atas masa yang akan datang (teori preferensi waktu)
d)
Pengukuran produktivitas
macam-macam investasi (efisiensi marginal modal)
e)
Harga yang menyesuaikan permintaan
dan penawaran akan dana-dana yang dipinjamkan (teori dana yang dipinjamkan)
Sedangkan menurut
kamus Ekonomi, Sloan dan Zurcher, Interest yaitu sejumlah uang yang dibayar
atau untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut, misalnya dinyatakan dengan satu
tingkat atau presentasi modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan
suku bunga modal. Pada dasarnya istilah bunga yang
berarti tambahan sama dengan arti ziyadah (tambahan) yang terdapat pada riba. Namun apakah sama antara tambahan yang ada
dalam riba dengan tambahan yang ada dalam bunga. Apakah setiap tambahan itu
sama?
C. Pandangan Ulama Terhadap Bunga
Berbagai pendapat mengenai bunga banyak
dilontarkan oleh para ulama dan para pemikir modernis masa kini. Pemikir
seperti Fazlur Rahman (1964), Muhammad Asad (1984), Sa’id al-Najjar (1989) dan
Abd al-Namir (1989) berpandangan bahwa pengharaman riba yang dilakukan Islam
lebih tertuju pada aspek moralnya
dibanding bentuk legal riba, seperti penafsiran ulama dalam hukum Islam. Menurut
mereka, alasan pengharaman riba adalah kezaliman sebagaimana disebutkan dalam
al-Qur’an, ”laa tazlimuuna wa laa tuzhlamuun.”[3]
Pemahaman tersebut membawa konsekuensi bahwa
meskipun terdapat ziyadah / tambahan atas pokok pinjaman (yang menurut ulama
fikih klasik dihukimi riba), namun jika tidak mengandung unsur kezhaliman maka
ia bukanlah riba. Menurut mereka aspek inilah yang ingin dicapai Islam dari
pengharaman riba tersebut.
Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid Ridha
berpandangan bahwa riba yang diharamkan itu adalah riba jahiliyah, yaitu riba
yang terjadi karena tidak dapat melunasi hutangnya pada saat jatuh tempo,
kemudian pihak peminjam memberikan tangguhan yang disertai dengan tambahan atas
keterlambatannya itu. Abduh dan Ridha berpendapat bahwa penambahan (bunga) yang
pertama dalam suatu hutang tertentu adalah halal, tetapi jika pada saat jatuh
tempo, ditetapkan untuk menunda jatuh tempo tersebut dengan imbalan suatu
tambahan lagi, maka tambahan yang kedua ini dapat diharamkan. Abduh membolehkan
seseorang untuk menyimpan uang di bank dan juga membolehkan mengambil bunga
simpanannya. Pendapatnya di dasarkan pada pertimbangan maslahah mursalah
(kebaikan/kesejahteraan bersama)[4].
Sementara itu Majma al-Buhits al-Islamiyyah
(al-Azhar), dalam rapatnya yang membahas soal bank konvensional yang langsung
dipimpin oleh Syekh Al-Azhar, dalam transaksi dengan bank konvensional itu
lebih memandang pada aspek ’an taradhim (saling ridha). Forum itu
memutuskan: ”Mereka yang bertransaksi dengan atau bank konvensional dan
menyerahkan harta dan tabungan mereka agar menjadi wakil mereka dalam
menginvestasikannya dalam berbagai kegiatan yang dibenarkan, dengan imbalan
keuntungan yang diberikan kepada mereka serta ditetapkan terlebih dahulu pada
waktu yang disepakati bersama orang-orang yang bertransaksi dengannya atas
harta-harta itu, maka transaksi dalam bentuk itu adalah halal tanpa Syubhat
(kesamran), karena tidak ada teks keagamaan di dalam al-Qur’an atau dari Sunnah
Nabi yang melarang transaksi dimana ditetapkan keuntungan atau bunga terlebih
dahulu. Selama kedua belah pihak rela dengan bentuk transaksi tersebut[5].
Namun lain halnya dengan Yusuf Qardhawi, ia
berpandangan haram terhadap bunga. Bahkan ia berpendapat tidak ada keraguan
lagi bahwa bunga yang berlaku saat ini adalah riba yang diharamkan dalam islam.
C. Identifikasi Bunga Sebagai Riba
Perdebatan para ulama mengenai bunga itu apakah
haram atau tidak, sudah muncul sejak dulu, namun belum ada kesepakatan pasti
mengenai hal tersebut. Begitupun ormas Islam (khususnya Indonesia) baik NU
maupun Muhammadiyah ikut andil berkomentar di dalamnya. Berbagai pandangan mengenai ayat al-quran tersebut diataspun
banyak dilontarkan.
Nahdlatul Ulama dalam rapat Muktamar NU meberikan
tiga opsi, Haram, Halal, dan Syubhat (belum jelas halal dan haramnya).
- Haram ; sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya (rente)
- Halal ; sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sebab menurut ahli hukum yang terkenal, bahwa adat yang berlaku itu tidak termasuk syarat.
- Syubhat (tidak jelas halal haramnya) ; sebab ahli hukum berselisih pendapat.[6]
Berbeda dengan NU, Majelis Tarjih dan PP
Muhammadiyah dalam Halaqah Nasional Tarjih pada tanggal 18 Agustus 2006
memandang masalah bunga adalah haram dengan beberapa pertimbangan;
- Sistem ekonomi berbasis bunga semakin diyakini sebagai potensi tidak stabil, tidak berkeadilan, menjadi sumber berbagai penyakit ekonomi modern serta merupakan pemindahan sistematis uang dari orang yang memiliki lebih sedikit uang kepada yang memilikli lebih banyak uang, seperti tampak dalam krisis hutang Dunia Ketiga dan di seluruh dunia.
- Terdapat argumen yang kuat untuk mendukung sistem keuangan bebas bunga yang sejalan dengan ajaran islam dan ajaran kristen awal, sehingga perlu mengeliminir peran bunga.
- Ekonomi islam yang berbasis prinsip syariah dan bebas bunga telah diperkenalkan sejak bebrapa dasawarsa dan institusi keuangan islam telah diakui keberadaannya dan tersebar diberbagai tempat.
- Guna mendorong perserikatan dan seluruh warga Muhammadiyah serta umat islam dalam mempraktekkan ekonomi berdasar prinsip syariah dan bebas bunga[7]
Senada dengan Majelis tarjih, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
fatwanya-pun menyatakan haram terhadap bunga
Dari beberapa
keterangan ayat al-qur'an dan hadits di atas, riba dapat didefinisikan sebagai
”tambahan yang diperjanjikan atas besarnya pinjaman ketika pelunasan hutang”
dengan penekanan pada ”tambahan” maka ia dijadikan ciri pokok riba. Tidak
ditemui oleh para fuqoha dan generasi sebelumnya bahwa peminjaman dengan
tambahan tidak mendatangkan kesengsaraan. Jadi ”tambahan” relevan dengan
kesengsaraan.
Riba dapat juga didefinisikan dengan tambahan atas
besarnya pinjaman ketika pelunasan hutang yang mendatangkan kesengsaraan pada
pihak peminjam. Penekanan pada definisi seperti ini adalah ”kesengsaraan/dzulm”
bukan ”tambahan”. ”tambahan sebagai al-nau’u/species, sedangkan ”kesengsaraan”
sebagai al-jins/genus.
Untuk menelusuri riba perlu dinyatakan juga,
mengapa ia diharamkan. Bila jawabannya ”karena ia adalah tambahan yang
diperjanjikan dimuka” maka tambahan itulah yang menjadi esensi riba. Tetapi
bila jawabannya ”mendatangkan dzulm” maka dzulm-lah yang menjadi esensinya.
Kemudian, jika kita kembali pada pokok persoalan larangan riba, maka ”tambahan”
tidak mempunyai makna apa-apa. Sebaliknya, ketidakadilan adalah hal yang
bertentangan dengan tujuan penetapan prinsip ekonomi islam. Karena illat
larangan riba seharusnya dzulm, bukan tambahan[8].
Praktek-praktek riba yang sering dilakukan oleh bank
adalah riba nasii’ah, dan riba qardl; dan kadang-kadang dalam
transaksi-transaksi lainnya, terjadi riba yadd maupun riba fadlal.
Unsur-unsur riba nasi’ah :
1
Terjadi pada transaksi pinjam meminjam dalam
jangka waktu tertentu.
2
Pihak peminjam wajib memberi tambahan pada pemberi
utang ketika mengangangsur atau melunasi pinjaman (yang mengikat) khususnya ketika
terjadi keterlambatan pembayaran utang.
3
Obyek peminjaman adalah benda-benda ribawi.
Persamaan Bunga dengan Riba
1. Sama-sama
terdapat “tambahan” dalam pinjaman
2. Memberikan
kemadharatan/ketidakadilan
3. terdapat
unsur riba nasii’ah, dan riba qardl; dan kadang-kadang dalam
transaksi-transaksi lainnya, terjadi riba yadd maupun riba fadlal
4. Terdapat aspek
spekulatif,
5. Nilainya bisa
terus berkembang (adh'afan mudho'afan)
6. Merusak moral
manusia, dll.
Namun dalam perkembangnnya, bunga menjadi
sangat elastis dan sangat berbaur dalam kehidupan masyarakat moderen ini dan
sulit untuk dipisahkan. Ketergantungan ini membawa kepada sebuah perbedaan
antara bunga dengan riba.
Perbedaan Bunga dengan Riba
1. Tidak ada nash
(baik qur'an maupun hadits) yang secara langsung membahasakan pengharaman
“bunga”
2. Tidak setiap
“tambahan” itu memberikan unsur dzulm, tetapi bisa juga memberikan
kemaslahatan, karena tidak setiap kreditur itu orang miskin (tak mampu), banyak
dari para pengusaha yang meminjam uang dari bank dan mereka menjadi maju.
3. Nilai uang
nominal dengan nilai uang riil bisa saja berubah. Uang 1 juta hari ini, bisa
saja sama nilainya dengan uang 1,2 juta pada tahun yang akan datang, jika
terjadi inflasi. Karena sangat jarang sekali untuk negara berkembang mengalami
deflasi (penuruman harga barang).
4. Pengharaman
bunga secara langsung akan berdampak negatif terhadap perekonomian. Karena
banyak orang yang menarik uangnya secara besar-besaran dalam waktu yang sama.
KESIMPULAN
Dari
berbagai uraian di atas mengenai pengharaman bunga sangatlah berpariatif.
Jika definisi
riba adalah ”tambahan yang diperjanjikan atas besarnya pinjaman ketika
pelunasan hutang” dengan penekanan pada ”tambahan” mala illat riba adalah
tambahan (ziyadah). Namun jika definisi riba ”tambahan atas besarnya pinjaman
ketika pelunasan hutang yang mendatangkan kesengsaraan pada pihak peminjam.
Maka illat riba adalah ”kesengsaraan/dzulm” bukan ”tambahan”. ”tambahan sebagai
al-nau’u/species, sedangkan ”kesengsaraan” sebagai al-jins/genus.
Untuk menelusuri
riba perlu dinyatakan juga, mengapa ia diharamkan. Bila jawabannya ”karena ia
adalah tambahan yang diperjanjikan dimuka” maka tambahan itulah yang menjadi
esensi riba. Tetapi bila jawabannya ”mendatangkan dzulm” maka dzulm-lah yang
menjadi esensinya. Kemudian, jika kita kembali pada pokok persoalan larangan
riba, maka ”tambahan” tidak mempunyai makna apa-apa. Sebaliknya, ketidakadilan
adalah hal yang bertentangan dengan tujuan penetapan prinsip ekonomi islam.
Karena illat larangan riba seharusnya dzulm, bukan tambahan. Karena pada
kenyataannya tidak setiap tambahan memberikan dampak negatif.
Bunga dapat
menjadi haram apabila terdapat unsur ketidakadilan dan unsur dzulum
(kesengsaraan) baik bagi pihak peminjam atau yang meminjamkan, karena tidak
sesuai dengan tujuan syariat. Bisa menjadi halal karena tidak ada nash yang
secara langsung mengharamkan “bunga”,
dan terdapat unsur tolong-menolong. Bisa menjadi syubhat karena masih
dalam perdebatan dan belum ada kesepakatan dari seluruh ulama, dan belum jelas
haram dan halalnya.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhri, Muhammad. Riba Dalam Al-Qur’an Dan
Masalah Perbankkan: Sebuah Tilikan Antisipatif. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1997.
W.Muhammad Ghafur. Memahami Bunga Dan Riba
Ala Muslim Indonesia. Yogyakarta: Biruni Press, 2008.
Wirdyaningsih.
Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005.
Shahih
Muslim, Juz 1. Hal
: 697
http://www.antaranews.com/berita/1270295014/muhammadiyah-tetapkan-bunga-perbankan-riba.
http://almanaar.wordpress.com/2008/04/16/fatwa-mui-tentang-bunga-bank/
[1] Zuhri, Muhammad. Riba Dalam Al-Qur’an Dan
Masalah Perbankkan: Sebuah Tilikan Antisipatif. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1997. hal. 106
[3] Muhammad Ghafur. Memahami Bunga Dan Riba Ala Muslim
Indonesia. Yogyakarta:
Biruni Press, 2008. hal. 104
[4] Ibid. Muhammad Ghafur. hal. 105
[5] Ibid. hal 111
[8] Zuhri,
Muhammad. Riba Dalam Al-Qur’an Dan Masalah Perbankkan: Sebuah Tilikan
Antisipatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997. hal. 131-132