BUNGA BANK DAN KREDIT (MASAIL FIQHIYAH)

BUNGA BANK DAN KREDIT (MASAIL FIQHIYAH)

 

A. Pengertian Bunga Bank

Bank (perbankan) adalah suatu lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana, baik perorangan atau badan guna investasi dalam usaha-usaha yang produktif dan lain-lain dengan sistem bunga.

Rente adalah istilah yang berasal dari Bahasa Belanda yang lebih dikenal dengan bunga. Rente menurut Fuad Ahmad Fachruddin sebagaimana dikutip oleh Ali Hasan, adalah keuntungan yang diperoleh perusahaan bank, karena jasanya meminjamkan uang untuk melancarkan perusahaan orang yang meminjam. Menurut M. Hatta, ada perbedaan antara riba dan rente, riba adalah untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan rente adalah untuk pinjaman yang bersifat produktif.

Mengenai masalah utang piutang atau pinjam meminjam pada bank, bagaimana pandangan Islam tentang pelaksanaan menerima pinjaman dan memberikan pinjaman dengan menggunakan bunga? Apakah ini termasuk riba yang dilarang agama atau tidak. Dengan demikian kita terlebih dahulu mendefinisikan apa itu riba.

B. Riba

Riba berasal dari bahasa Arab, yaitual-ziyadah artinya tambahan, yang maksudnya adalah tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Al-Jurjani merumuskan definisi riba sebagai berikut :

 

الرِّبَا فِى الشَّرْعٍ هُوَ فًضْلٌ خَالِ عَنْ عِوَضٍ شُرِطَ لأ حَدِ الْعَا قِدَيْنِ

 

“Riba adalah kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad (transaks).”

Istilah riba yang dipakai sebagai pegangan adalah tambahan tanpa imbangan yang disyaratkan kepada salah satu dari dua pihak yang melakukan muamalah utang piutang atau tukar menukar barang. Bila dikaitkan dengan utang piutang, maka riba adalah tambahan tanpa imbangan yang disyaratkan oleh pihak yang meminjamkan atau berpiutang (kreditur) kepada pihak peminjam.

Para ulama telah sepakat tentang riba dalam jual beli ada dua bagian, yaitu riba nasiah dan riba fudhuli. Riba nasiah, yaitu riba yang terjadi karena adanya penundaan pembayaran utang. Riba nasiah ini riba yang jelas diharamkan karena keadaan sendirinya. Riba fudhuli atau riba yang samar yaitu riba yang dilakukan karena sebab lain, yaitu riba yang terjadi karena adanya tambahan pada jual beli benda yang sejenis. Riba fudhuli ini diharamkan karena untuk mencegah timbulnya riba nasiah.

Dasar hukum diharamkannya riba nasiah adalah hadits Nabi:لا ربا الا فى النسيئة

Artinya: “Tidak ada riba kecuali pada riba nasiah”. Adapun diharamkannya riba fudhuli adalah hadits Nabi, sebagai berikut:

 

عن ابى هر يرة رضى الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : الذَّهَبُ بِالذَّهَبٍ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلا بِمِثْلٍ, وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلا بِمِثْلٍ, فَمَنْ زَا دَاَوِاسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا.

 

“Dari Abi Hurairah ra. Ia berkata : Rasulullah saw. Bersabda : Emas dengan emas lagi yang sama jenisnya dan timbangannya, perak dengan perak lagi sama jenis dan timbangannya; barangsiapa yang menambah atau minta tambah, itu adalah riba”. (HR. Muslim)

Selain itu juga ada riba dalam utang piutang yang terbagi pada riba qordh dan riba yad. Ulama juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash al-Qur’an dan Hadits.

Islam jelas mengharamkan riba melalui ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi seperti:

1. Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 275:

 

وَأَحَلَّ الله الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبًا

 

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

 

2. Al-Qur’an suratAli Imran ayat 130:

 

يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا لا تَأْكُلُوْا الرِّبَا أَضْعَفًا مُضَاعَفًا

 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan riba dengan berlipat ganda.”

 

3. Hadits Nabi dari Jabir:

 

عن جابر لعن رسول الله عليه وسلم اكل الربا ومواكله وكا تبه وشا هد به

 

“Dari Jabir, Rasulullah saw melaknat pemakan riba, yang mewakilkannya, penulisnya dan yang menyaksikannya.” (HR. Muslim)

 

C. Pandangan Para Ulama dan Cendekiawan Muslim Terhadap Bunga Bank.

Sampai sekarang para ulama dan cendekiawan muslim masih beda pendapat tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga bank di antaranya:

1. Abu Zahrah, Abu ‘Ala al-Maududi, Muhammad Abdullah al’Arabi dan Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali alam keadaan darurat atau terpaksa. Bahkan bagi Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah darurat atau terpaksa, tetapi secara mutlak beliau mengharamkannya. Namun bagi yang terpaksa, maka agama membolehkan meminjam uang di bank itu dengan bunga. Hal ini berdasarkan kaidah: الضررة تبيح المظورات, artinya: “Keadaan terpaksa membolehkan hal-hal yang diharamkan.” Dalam keadaan ini dosa hanya ditanggung oleh yang meminjamkan uang dengan bunga.

2. Musthafa Ahmad Zarqo Guru besar Hukum Islam dan Hukun Perdata pada universitas Syiria di Damaskus mengemukakan, bahwa riba yang diharamkan seperti riba yang berlaku pada masyarakat jahiliyah, yang merupakan pemerasan terhadap orang yang lemah bersifat konsumtif. Berbeda dengan yang bersifat produktif, tidak bersifat haram. M. Hatta pun berpendapat demikian.

3. A. Hasan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (PERSIS) berpendapat bahwa bunga bank yang berlaku seperti di Indonesia, bukan riba yang diharamkan karena tidak berlipat ganda sebagaimana yang dimaksudkan oleh Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 130.

4. Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam Muktamar di Sidoarjo tahun 1968 memutuskan: (a) riba hukumnya haram dengan nash sharih Qur’an dan Sunnah;(b) bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal; (c) bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebalikya yang selama ini berlaku, termasuk perkara “mutasyabihat”; (d) menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khusus lembaga perbankan yang sesuai dengan aqidah Islam.

D. Pengertian Kredit

Kredit dalam bahasa Arab adalah dari kata “taqsith” yang berarti bagian, jatah, membagi-bagi. Adapun secara istilah kredit adalah sesuatu yang dibayar secara berangsur-angsur, baik itu jual beli maupun dalam pinjam-meminjam. Misalnya: seseorang membeli mobil ke sebuah dealer dengan uang muka 10% dan sisanya di bayar secara berangsur-angsur selama sekian tahun dan dibayar 1 kali dalam sebulan.

Contoh lain, seorang ibu rumah tangga membeli alat-alat rumah tangga kepada seseorang pedagang keliling, biasanya dilakukan atas dasar kepercayaan penuh antara kedua belah pihak, kadang-kadang menggunakan uang muka dan terkadang tidak sama sekali, biasanya pembayaran dilakukan dengan angsuran satu kali dalam seminggu. Kredit bisa pula terjadi pada seseorang yang meminjam uang ke Bank atau Koperasi, kemudian pinjaman terebut dibayar berangsur-angsur, ada yang dibayar setiap hari, mingguan, dan ada pula yang dibayar satu kali dalam sebulan.

D. Jual Beli Kredit Ditinjau dari Hukum Islam

Mengenai jual beli kredit dengan menambahkan harga barang itu, para ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada juga yang melarang.

1. Jumhur ulama ahli fiqih seperti Hanafi, Syafi’i, Zaid bin Ali berpendapat bahwa jual beli yang pembayarannya ditangguhkan dan ada penambahan harga untuk penjual karena penangguhan tersebut adalah shah, karena menurut mereka penangguhan itu adalah harga.

2. Jumhur ulama menetapkan bahwa seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, karena pada dasarnya hal itu boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Sebaliknya kalau sampai batas kezaliman hukumnya berubah menjadi haram.

3. Sebagian fuqaha mengharamkannya dengan alasan bahwa penambahan harga itu berkaitan dengan masalah waktu, hal itu berarti tidak ada bedanya dengan riba. Demikan penjelasan Yusuf al-Qardhawi dalam kitabnya Halal dan Haram.

4. Pendapat lain mengatakan upaya menaikkan harga di atas harga sebenarnya lantaran kredit (penangguhan pembayaran) lebih dekat kepada riba nasiah. Hal itu jelas-jelas dilarang oleh al-Qur’an.

Tentang kebolehan pembelian kredit ini diperkuat oleh al-Shadiq Abdurrahman al-Sharyani, menurutnya, jual beli secara kredit boleh saja dilakukan sekalipun dengan harga lebih tinggi dari harga kontan, karena penundaan pembayaran termasuk harga. Dia merujuk kepada al-Syarh al-Kabir. Demikian juga al-Syirbashi dengan mengatakan:

 

اذا كان الأ جل فى البيع معلو ما صح هذا البيع ولا شيئ فيه وهو نوع من أنواع البيع الجا ئزة شرعا

 

“Seandainya pembayaran kredit dalam jual beli diketahui kadarnya yang tertentu, maka jual beli tersebut shah dan tidak mengapa, bahkan ia termasuk salah satu jual beli yang dibolehkan agama.”

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Rifa’i, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang : PT Karya Toha Putra, 1978

Suhendi, Hendi . Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali,

Sudrajat, Ajat. Fikih Aktual. Ponorogo : STAIN Ponorogo Press, 2008

Zuhdi, H. Masjfuk.  Masail Fiqhiyah. Jakarta : PT Gunung Agung, 1997

Related Posts