PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Munculnya pembaharuan di sebuah tempat akan
selalu berkaitan erat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berkembang. Pembaharuan dapat diartikan apa saja hal yang belum dipahami,
diterima atau dilaksanakan oleh penerima pembaharuan yang sesungguhnya lebih
merupakan upaya atau usaha perbaikan keadaan baik dari segi cara, konsep dan
serangkaian metode yang bisa diaplikasikan dalam rangka menghantarkan hal ahwal
manusia yang lebih baik.
Dalam hubungannya dengan pembaharuan pendidikan
Islam akan memberi pengertian bahwa pembaharuan sebagai suatu upaya melakukan
proses perubahan kurikulum, cara, metodologi, situasi dan pendidikan Islam dari
yang tradisional (ortodox) ke arah yang lebih rasional dan profesional sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat itu.
Berkaca pada sejarah diketahui bahwa munculnya
pembaharuan di dunia Islam pada abad ke 19 M merupakan sebuah respons positif
atau inovatif atas invasi Nopoleon Bonaparte di Mesir, sebenarnya telah membawa penyelesaian dalam banyak bidang kehidupan
termasuk bidang pendidikan. Akan tetapi niat baik tidak selalu diterima dengan
baik, bukan saja dikalangan masyarakat awam melainkan juga para ilmuannya.
Bayard Dogde memberikan contoh bahwa para ulama konservatif Al-Azhar menolak
sejumlah gagasan pembaharuan pendidikan yang ditawarkan dan ingin diterapkan
tokoh semacam Rifa’ah Al-Tahtawi. Bahkan Muhammad Abduh dalam kapasitasnya
sebagai anggota Majlis Tinggi Al-Azhar hanya mampu secara persial melakukan
pembaharuan terhadap perguruan tinggi tersebut dengan memasukkan beberapa mata
kuliah ke dalam kurikulum. Tetapi pembaharuan ini dibatalkan oleh Salim
Al-Basyairi, Rektor ke 25 Al-Azhar.[1]
Pada masa itu, Al-Azhar menjadi kiblat
Perguruan Tinggi Islam se-dunia. Kemudian kita bisa membuat perbandingan, jika
Al-Azhar saja menolak pembaharuan pendidikan apalagi perguruan-perguruan tinggi
Islam lainnya dan lebih jauh lagi bagaimana dengan lembaga-lembaga pendidikan
Islam di bawahnya. Namun perbandingan itu tidak bersifat merata, buktinya
perguruan tinggi yang sejak awal lahir atas ide pembaharuan seperti Universitas
Islam Aligarh yang didirikan dengan tujuan mengakses ilmu-ilmu Eropa
kontemporer di kalangan muslim.
Pada abad 20 di dunia muslim muncul kesadaran
bahwa terpuruknya nilai–nilai pendidikan dilatarbelakangi oleh kondisi internal
Islam yang tidak lagi menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu kesatuan
ilmu yang harus diperhatikan. Selanjutnya ilmu pengetahuan lebih banyak
diadopsi bahkan dimanfaatkan secara komprehensif oleh barat yang pada waktu itu
tidak pernah mengenal ilmu pengetahuan. Kondisi ini menyadarkan para ilmuwan
muslim untuk melakukan reformasi pendidikan Islam secara komprehensif dan tidak
terpisahkan dari usaha Islamisasi ilmu.[2]
Berdasarkan latar belakang di atas penulis
merasa perlu untuk mengkaji lebih detail tentang pembaharuan pendidikan Islam.
Hal ini dianggap perlu untuk dapat memahami latar belakang pembaharuan
pendidikan Islam di abad 19 dan 20 dan selanjutnya kajian tersebut mampu disinkronkan
pada masa-masa saat ini, agar pendidikan Islam lebih bermakna bernilai dan
punya daya saing dengan pendidikan yang bersifat reguler.
Dalam makalah ini penulis berusaha menjawab
latar belakang pembaharuan pendidikan Islam pada Abad ke 19-20, aspek-aspek
pembaharuan pendidikan Islam pada Abad ke 19- 20 dan pola-pola pembaharuan
Pendidikan Islam.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai
berikut:
1.
Apa pengertian pembaharuan pendidikan Islam?
2.
Apa Latar Belakang Pembaharuan Pendidikan Islam Abad 19-20 ?
3.
Apa Aspek-Aspek Pembaharuan ?
4.
Bagaimanakah Pola-Pola Pembaharuan Pendidikan dalam Islam ?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisannya adalah sebagai
berikut:
1.
Untuk mengetahui pengertian pembaharuan pendidikan Islam?
2.
Untuk mengetahui Latar Belakang Pembaharuan Pendidikan Islam Abad 19-20
?
3.
Untuk mengetahui Aspek-Aspek Pembaharuan ?
4.
Untuk mengetahui Pola-Pola Pembaharuan Pendidikan dalam Islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pembaharuan Pendidikan Islam
Pembaharuan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia
dimaknakan dengan hal-hal yang baru, penemuan baru yang berbeda dari hal yang
sudah ada atau hal yang sudah dikenal sebelumnya dari gagasan, metode atau
alat.[3] Makna yang dimaksud adalah suatu perubahan yang baru yang bersifat
kualitatif, berbeda dari hal yang ada sebelumnya serta sengaja diusahakan untuk
meningkatkan kemampuan dalam rangka pencapaian tujuan tertentu dalam
pendidikan. Hal-hal baru yang dimaksud dalam pengertian di atas adalah apa
saja/apapun yang belum dipahami, diterima atau dilaksanakan oleh si penerima
pembaharuan meskipun hal itu bukan merupakan hal yang baru lagi bagi orang
lain. Sementara kualitatif yang dimaksudkan di atas adalah bahwa pembaharuan
tersebut potensial atau memungkinkan adanya reorganisasi atau pengaturan
kembali pada unsur-unsur yang ada dalam pendidikan.
Jika dilihat secara umum, pengertian
pembaharuan dalam konteks ini disamakan dengan inovasi meskipun pada esensinya
antara inovasi dan pembaharuan punya pengertian yang sedikit berbeda, di mana
biasanya pada inovasi perubahan-perubahan yang terjadi hanya menyangkut
aspek-aspek tertentu dalam arti sempit dan terbatas, sedangkan pembaharuan
biasanya perubahan yang terjadi adalah menyangkut berbagai aspek bahkan tidak
menutup kemungkinan terjadi perubahan secara total atau keseluruhan. Jadi dapat
disimpulkan bahwa arti pembaharuan pada esensinya lebih luas dari pada inovasi.
Selain pengertian di atas, banyak
istilah-istilah pembaharuan yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya
adalah:[4]
a.
Harun Nasution menganalogikan istilah pembaharuan dengan modernisme
karena istilah ini dalam kehidupan masyarakat Barat mengandung arti pikiran,
aliran, gerakan dan usaha mengubah paham-paham, adat-istiadat, institusi lama
dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Gagasan ini muncul di Barat dengan
tujuan menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katolik dan
Protestan dengan ilmu pengetahuan modern. Karena konotasi dan perkembangan yang
seperti itu, Harun Nasution keberatan menggunakan istilah modernisasi Islam
dalam pengertian di atas.
b.
Revivalisasi. Menurut paham ini, pembaharuan adalah membangkitkan
kembali Islam yang murni sebagaimana pernah dipraktekkan Nabi Muhammad Saw dan
kaum Salaf.
c.
Kebangkitan Kembali (resugence) Dalam kamus Oxford, resurgence
didefinisikan sebagai “kegiatan yang muncul kembali” (the act of rising again).
Secara umum dengan didasarkan pada teori-teori
di atas dapat penulis simpulkan bahwa pembaharuan pendidikan adalah suatu
kegiatan pembaharuan yaitu pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengadakan
perubahan dalam bidang pendidikan dengan tujuan untuk memperoleh hal atau
sesuatu (pendidikan) yang lebih baik.
B.
Latar Belakang Pembaharuan Pendidikan Islam Abad 19-20
Dalam mengkaji perjalanan historis umat Islam
khususnya pada abad 19 dan 20 didapatkan beberapa latar belakang terjadinya
pembaharuan pendidikan Islam pada abad itu yaitu:
a.
Kondisi internal dunia pendidikan Islam pada zaman tersebut, termasuk
kondisi muslim pada umumnya.
b.
Terjadinya kontak antara Islam dengan Barat.
Latar pertama:
Dapat dikaji dari sejarah intelektual dan pendidikan Islam masa awal
sampai zaman pertengahan Islam. Keberadaan institusi Pendidikan Islam sejalan
dengan kemunculan Islam itu sendiri. Institusi ini berkembang seperti kuttab
dan masjid. Bila kita mengambil pengertian kuttab adalah lembaga pendidikan
dasar yang mengajarkan tulis baca, berhitung dan dasar-dasar agama.[5] Mesjid
adalah lembaga pendidikan semenjak masa paling awal Islam.[6]
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari
diskursus keilmuan yang berkembang yang mengadakan pembedaan-pembedaan
pengetahuan tertentu, misalnya antara ilmu teoritis dan praktis, ilmu yang
universal (kully). Dan pembedaan yang paling penting antara ilmu agama (al-ilmu
al-syar’iyah) atau ilmu –ilmu
tradisional (al-ulum al aqliyah) dengan
ilmu-ilmu rasional atau sekuler (al-ulum al-aqliyah atau ghair Syar’iyah).[7]
Dalam Islam sesungguhnya tidak diketahui
pembedaan-pembedaan antara ilmu agama dan ilmu profan seperti tersebut di atas.
Semua pengetahuan dalam Islam pada akhirnya bermuara pada Allah Swt. Namun pada
prakteknya, kelompok pokok pengetahuan agama lebih mendominasi dibanding dengan
kelompok al-ulum ghair syar’iyah.
Perkembangan tradisi pemikiran terutama
perspektif umat Islam terhadap permulaan ilmu pengetahuan tersebut membawa
dampak bagi dunia pendidikan Islam pada umumnya. Sehingga institusi-institusi
pendidikan Islam pada akhirnya hanya
berfungsi sebagai wadah konservasi yang tentu saja kehilangan kreasi
pengembangannya.
Sebelum kehancuran theologi Mu’tazilah pada
masa khalifah Abbasiyah al-Makmun, mempelajari ilmu-ilmu umum yang bertitik
tolak dari nalar dan kajian-kajian empiris bukan sesuatu yang tidak ada dalam
kurikulum Madrasah tetapi dengan “pemakruhan” untuk tidak menyebut
“pengharaman”. Penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu‟tazilah. Ilmu-ilmu umum
yang sangat dicurigai itu dihapuskan dari kurikulum Madrasah mereka yang
cenderung dan masih berminat kepada ilmu-ilmu umum itu, terpaksa mempelajari
secara sendiri-sendiri atau bahkan di bawah tanah, karena mereka dipandang
sebagai ilmu-ilmu “subversif” yang dapat dan akan menggugat mengganggu
stabilitas doktrin sunni. Pada waktu yang sama, sain mengalami transmisi ke
dunia Barat (Eropa) yang kemudian melahirkan revolusi industri dan membawa
mereka kepada kemajuan.
Dengan demikian dapat digambarkan bahwa akar
keterbelakangan dunia Islam dalam bidang sains dan teknologi dapat dilacak dari
hilangnya sains dari tradisi intelektual dan pendidikan Islam. Kondisi semacam
itu tidak lepas dari kondisi sosial keagamaan masyarakat muslim secara
keseluruhan pada abad pertengahan, hilangnya pemikiran rasional dan digantikan
dengan pemikiran statis, taklid, bid’ah dan khurafat menjadi ciri dunia Islam
saat itu.
Pemikiran jumud itu selalu merambat dalam
berbagai bidang bahasa, syari’ah, aqidah dan sistem masyarakat. Kejumudan dalam
hal-hal di atas tampaknya terkait antara satu dengan lainnya dan dalam
kejumudan dalam satu bidang, terutama bidang aqidah mempengaruhi bidang-bidang
lainnya. Dalam hal ini Muhammad Abduh berasumsi bahwa akidah Jabariyah yang
menjadi salah satu penyebab timbulnya kejumudan itu. Ajarannya yang cenderung
pada sikap pasif kepercayaan terhadap kasih sayang Tuhan mempermudah manusia
melanggar perintah Tuhan. Konsekuensinya, moral umat Islam semakin jauh
menyimpang dari tuntunan Islam.[8]
Latar kedua:
Pembaharuan pendidikan Islam, seperti telah disebutkan merupakan titik
kulminasi dari gejolak intelektual yang selama ini terpendam. Pada zaman
pertengahan, sesungguhnya telah muncul beberapa pemikir Muslim yang dengan jeli
melihat krisis keilmuan dunia Islam, tetapi mereka tenggelam di bawah arus
utama yang tetap menghendaki kemapanan. Kritik-kritik tajam yang dilontarkannya
bukan hanya diarahkan pada sufisme dan para filosofis yang mendewakan
nasionalisme, melainkan juga ke arah teologi Asy’ari.
Periode modern merupakan zaman kebangkitan
Islam, ekspedisi Napoleon di Mesir membuka mata dunia Islam terutama Turki dan
Mesir akan kemunduran dan kelemahan umat Islam di samping kemajuan dan kekuatan
Barat. Raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir dan mencari jalan untuk
mengembalikan keseimbangan kekuatan yang telah pincang sejak abad
pertengahan.[9]
Kemudian respons terhadap keadaan ini
bermunculan, ada yang menjawab secara “apologetic” dengan mengatakan bahwa itu
bukan kesalahan Islam tetapi kesalahan penganutnya yang tidak setia terhadap
Islam. Sementara sebagian lain dengan jujur mengakui bahwa Barat memang telah
berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan
yang diadopsi dari umat Islam hingga perlu dipelajari langkah-langkah
yang dijalankan Barat hingga mencapai kemajuan.[10]
Kelompok yang terakhir yang dikenal sebagai
kelompok modernis Islam, kemudian melakukan gerakan pembaharuan dengan cara
mentransmisikan dan mentransformasikan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat ke
dalam Islam. Para pembaharu ini pada umumnya sepakat bahwa pendidikan menjadi
salah satu jalan, bahkan mungkin satu-satunya jalan yang sangat esensial bagi
program pembaharuan. Untuk itulah banyak ditemui apakah dia seorang cendekiawan
atau penguasa terjun langsung dalam dunia pendidikan praktis.
Dalam kontek ke-Indonesian pembaharuan
pendidikan Islam menurut Karel A Steenbrink dilatarbelakangi oleh:
1.
Faktor keinginan untuk kembali pada Al-Qur’an dan Al-Hadits
2.
Faktor semangat nasionalisme dalam melawan penjajah
3.
Faktor memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya dan politik
4.
Faktor pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.[11]
Dari gambaran sejarah secara umum diketahui
bahwa pembaharuan pendidikan di Indonesia abad 19 dan 20 dipengaruhi secara
kuat oleh pemikiran dan usaha tokoh-tokoh pembaharu Timur Tengah pada akhir
abad ke-19, khususnya Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh. Kedua tokoh ini
merupakan tokoh sentral dalam menyalakan api pembaharuan pada akhir abad ke-19
di hampir seluruh dunia Islam. Pemikiran dan usaha mereka bertumpu pada
keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sangat mendorong penggunaan akal sehingga
keharusan ijtihad tidak pernah tertutup. Meskipun sikap politik mereka secara
tegas menunjukkan anti Barat karena praktek penjajahan yang dilakukannya
terhadap Negara-negara Islam, Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh memberi
dukungan kepada umat Islam untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang lebih luas
sebagaimana sudah dialami juga terlebih dahulu oleh sebagian besar
Negara-negara Barat. Dalam hal inilah mereka menyerukan penataan sistem
kelembagaan sosial, politik, ekonomi dan termasuk pendidikan.[12]
Gerakan Jamaluddin Al-Afgani dengan Pan
Islamismenya mempunyai dua tujuan utama yaitu membangun dunia Islam di bawah
satu pemerintahan dan mengusir penjajahan dunia Barat atas dunia Islam. Ia
melihat diantara sebab kemunduran umat Islam adalah lemahnya persaudaraan
antara sesama umat Islam. Oleh sebab itu harus dibangun solidaritas umat Islam
sedunia (Pan Islamisme) sehingga umat Islam berada dalam pemerintahan yang
demokratis. Dengan cara demikian umat Islam akan memperoleh kemerdekaannya
kembali dan penjajah Barat atas dunia Islam dapat dienyahkan. Tentang dunia
Nasrani, al-Afgani berpendapat, sekalipun mereka berlainan keturunan dan
kebangsaan, namun mereka bersatu dalam menghadapi dunia Islam. Mereka sengaja
menghalang-halangi kebangkitan umat Islam dan apa yang dikatakan nasionalisme
dan patriotisme serta cinta tanah air bagi dunia Barat tetapi untuk dunia Islam
mereka katakan sebagai fanatisme, ekstrimisme dan chauvinisme. Oleh sebab itu
tidak ada jalan lain bagi umat Islam kecuali bersatu melawan penjajahan Barat
Nasrani tersebut.
Sedangkan tujuan dari gerakan Muhammad Abduh
adalah pemurnian amal perbuatan umat Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits,
pembaharuan dalam bidang pendidikan, perumusan kembali ajaran Islam menurut
pikiran modern serta penolakan terhadap pengaruh Barat dan Nasrani. Muhammad
Abduh menyerukan agar umat Islam kembali kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits
serta kehidupan salaf al-soleh. Menurutnya Islam adalah ibadah dan muamalah.
Dalam soal ibadah tidak perlu dilakukan ijtihad tetapi dalam soal muamalah
diperlukan interpretasi baru sesuai dengan perubahan keadaan sekarang. Ilmu
pengetahuan modern (Barat) berdasarkan sunnatullah (hukum alam), karenanya
tidak bertentangan dengan Islam, untuk itu umat Islam perlu merombak sistem
pendidikan baik metode maupun kurikulumnya.
Kebanyakan para pembaharu dan gerakan
pembaharuan Islam di Indonesia dipengaruhi oleh salah satu dari
dorongan-dorongan tersebut. Sepanjang penelitian yang telah dilakukan, tidak
terdapat contoh sempurna dari para pembaharu maupun organisasi pembaharuan
Islam di Indonesia yang menerima satu dorongan maupun empat dorongan. Oleh
karena itu semua istilah modernis dan konservatif harus diterima dalam arti
tertentu saja karena ada potensial kepentingan pribadi atau organisasi yang
termasuk taqlid dalam bidang ibadah (konservatif) tetapi dalam bidang politik
sangat progressif dan revolusioner.[13]
Salah satu yang menarik adalah perkumpulan
Jamiat Kheir yang didirikan di Batavia pada tahun 1901 sebagai organisasi
sosial yang membawa semangat tolong menolong. Jamiat Kheir dibentuk dengan
tujuan utama mendirikan satu model sekolah modern untuk para pemuda Arab.
Perkumpulan ini lebih menitikberatkan semangat pembaharuan melalui lembaga
pendidikan modern, karena memang lebih memungkinkan bagi umat Islam untuk
mengembangkan semangat yang lebih progresif, lagi pula pembaharuan melalui
pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits adalah suatu
hal yang tidak mungkin. Menurut Jamaluddin Al-Afgani, pemurnian ajaran Islam
dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits dalam arti yang sebenarnya, tidaklah
mungkin kalau ada pertentangan antara ajaran-ajaran Islam dengan kondisi yang
dibawa perubahan zaman dan perubahan kondisi, penyesuaian dapat diperoleh
dengan mengadakan interpretasi baru ajaran-ajaran Islam seperti tercantum dalam
Al-Qur’an dan Hadits. Untuk interpretasi itu diperlukan ijtihad dan karenanya
pintu ijtihad harus dibuka.
Jamiat Kheir merupakan lembaga pertama yang
membuka jalan sebagai peletak dasar perubahan budaya baru dengan menerapkan
sistem pendidikan Eropa modern, meskipun masih banyak pihak yang belum dapat
menerima terjadinya perubahan dalam bidang pendidikan tersebut. Pada tahun
1880, Van Den Berg menulis bahwa sebagian besar masyarakat Arab kurang berminat
terhadap pendidikan sistem Eropa dibandingkan dengan masyarakat Cina. Sebagai
lembaga baru yang memperkenalkan metode pendidikan baru di kalangan masyarakat
Arab pada abad 20, beberapa orang masih enggan menerima perkembangan itu
seperti duduk di bangku atau belajar dari buku dan menggunakan papan tulis
sebagaimana pada saat sebelumnya. Simbol perkumpulan dengan gaya modern Eropa
seperti seragam sekolah tidak diterima komunitas itu. Mereka keberatan dengan
model seragam yang memakai jaket, celana panjang, kaos kaki dan sepatu seperti
model tarbus. Meskipun demikian, masyarakat Arab secara berangsur-angsur
menjadi lebih terbuka menerima institusi dan gagasan Eropa. Rinkes, penasehat
Belanda untuk masyarakat pribumi dan Arab, mencatat perubahan tersebut sekitar
tahun 1912 pada saat dimulainya era pergerakan.[14]
Antara tahun 1903 dan 1915, atas inisiatif
Jamiat Kheir banyak sekolah Arab-Islam modern yang berdiri, hal ini belum
pernah terjadi sebelumnya. Sekolah ini juga menarik banyak para siswa dari
masyarakat pribumi dan mereka cenderung untuk masuk sekolah secara bergantian,
hal ini terpaksa dilakukan karena keterbatasan pengajar dan tempat. Masyarakat
pribumi memasukkan anaknya ke sekolah Arab modern dengan pertimbangan agar anak
mereka mendapatkan pendidikan modern, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian
kalangan elite Arab. Pada awalnya, sebagian besar masyarakat Arab menentang
inovasi bidang pendidikan. Meskipun demikian arus sekolah yang modern terus
menekan yang lama kelamaan masyarakat dapat menerimanya dan akhirnya masyarakat
Arab menyadari pentingnya institusi ini dalam memperkuat identitas dan posisi
sosial ekonomi mereka.
Sistem pendidikan modern pada umumnya
dilaksanakan oleh pemerintah, yang pada mulanya adalah dalam rangka memenuhi tenaga-tenaga
ahli untuk kepentingan pemerintah dengan menggunakan kurikulum dan
mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Sedangkan sistem pendidikan
tradisional yang merupakan sisa-sisa dan pengembangan sistem zawiyah, ribat
atau pondok pesantren yang telah ada di kalangan masyarakat pada umumnya tetap
mempertahankan kurikulum tradisional yang hanya memberikan pendidikan dan
pengajaran keagamaan. Dualisme sistem dan pola pendidikan inilah yang
selanjutnya mewarnai pendidikan Islam di semua negara dan masyarakat Islam di
zaman modern. Dualisme ini pula yang merupakan problema pokok yang dihadapi
oleh usaha pembaharuan pendidikan Islam.
Jamiat Kheir sebagai lembaga pendidikan modern
pertama mempelopori keterpaduan antara kedua sistem tersebut, dengan cara memasukkan
kurikulum ilmu pengetahuan modern ke dalam sistem pendidikan tradisional, dan
memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum sekolah-sekolah modern.
Selanjutnya perkumpulan ini menjadi contoh bagi sekolah-sekolah yang didirikan
oleh organisasi-organisasi Islam lain, sehingga sistem pendidikan tradisional
akan berkembang secara berangsur-angsur mengarah ke sistem pendidikan modern.
Dan inilah sebenarnya yang dikehendaki oleh para pemikir pembaharuan pendidikan
Islam, yang berorientasi pada ajaran Islam yang murni, sebagaimana dipelopori
oleh al-Afgani, Muhammad Abduh, dan lain-lain. Sampai sekarang proses pemaduan
antara kedua sistem dan pola pendidikan Islam ini, tampak masih berlangsung di
kalangan masyarakat Islam Indonesia.
Jamiat Kheir membangun sekolah bukan
semata-mata bersifat agama tapi sekolah dasar biasa dengan kurikulum agama,
berhitung, sejarah, ilmu bumi dan bahasa pengatar Melayu. Bahasa Inggris
merupakan pelajaran wajib, pengganti bahasa Belanda. Sedangkan pelajaran bahasa
Arab sangat ditekankan sebagai alat untuk memahami sumber-sumber Islam.[15]
Dilihat dari pelaksanaan program pendidikannya,
Jamiat Kheir telah melakukan beberapa langkah pembaharuan dalam bidang
pendidikan Islam. Pertama, pembaharuan dalam bidang organisasi dan kelembagaan.
Hal ini tampak pada perlunya dan semacam organisasi dalam menyelenggarakan
pendidikan. Kelengkapan itu semakin jelas ketika terbentuknya yayasan
pendidikan Jamiat Kheir, yang sekaligus mengesahkan sistem pengajaran klasikal
seperti bangku, papan tulis dan tentunya ruang belajar yang menyamai
kelengkapan sarana sekolah-sekolah pemerintah ketika itu. Kedua, pembaharuan
dalam aspek kurikulum dan metode mengajar. Saat-saat institusi pendidikan Islam
masih menerapkan sistem pengajaran pesantren dan surau, Jamiat Kheir mulai
melangkah ke sistem pengajaran klasikal (sekolah). Kurikulum yang digunakan
merupakan perpaduan antara kurikulum sekolah pemerintah (mata pelajaran umum)
dan kurikulum agama (mata pelajaran agama). Langkah-langkah pembaharuan pendidikan
yang seperti itu pulalah pada hakikatnya yang dicetuskan oleh Muhammad Abduh di
Mesir sebelumnya.
Pada umumnya dapat dianalisa bahwa pembaharuan
pendidikan Islam setelah munculnya usaha-usaha dari tokoh-tokoh pembaharuan
Islam. Pelopor pembaharuan tersebut yaitu:
1.
Syekh Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di desa Mahillah di Mesir
Hilir, ibu bapaknya adalah orang biasa yang tidak mementingkan tanggal dan
tempat lahir anak-anaknya. Ia lahir pada tahun 1849, tetapi ada yang mengatakan
bahwa ia lahir sebelum tahun itu, tetapi sekitar tahun 1845 dan beliau wafat
pada tahun 1905. Ayahnya bernama Abduh ibn Hasan Khairillah, silsilah keturunan
dengan bangsa Turki dan ibunya mempunyai keturunan dengan Umar bin Khatab,
khalifah kedua (khulafaurrasyidin).[16]
Orang tuanya sangat memperhatikan terhadap
pendidikannya, pada tahun1862 ia dikirim oleh ayahnya ke perguruan agama di
mesjid Ahmadi yang terletak di desa Tanta. Hanya dalam waktu enam bulan ia
berhenti karena tidak mengerti apa yang diajarkan gurunya. Setelah belajar di
Tanta pada tahun 1866 ia meneruskan ke perguruan tinggi di Al-Azhar di Kairo,
disinilah ia bertemu dengan Jamaludin Al-Afghani dan kemudian ia belajar
filsafat di bawah bimbingan Afghani, di masa inilah ia mulai membuat karangan
untuk harian Al-Ahram yang pada saat itu baru didirikan. Pada tahun 1877
studinya selesai di Al-Azhar dengan hasil yang sangat baik dan mendapat gelar
Alim. Kemudian ia diangkat menjadi dosen Al-Azhar disamping itu ia mengajar di
Universitas Darul Ulum.
Pokok-pokok pikiran Muhammad Abduh dapat
disimpulkan dalam empat aspek, yaitu:[17]
Pertama, aspek kebebasan, antara lain dalam
usaha memperjuangkan cita-cita pembaharuannya, Muhammad Abduh memperkecil ruang
lingkupnya, yaitu Nasionalisme Arab saja dan menitikberatkan pada pendidikan.
Kedua, aspek kemasyarakatan, antara lain usaha-usaha pendidikan perlu diarahkan
untuk mencintai dirinya, masyarakat dan negaranya. Dasar-dasar pendidikan
seperti itu akan membawa kepada seseorang untuk mengetahui siapa dia dan siapa
yang menyertainya. Ketiga, aspek keagamaan, dalam masalah ini Muhammad Abduh
tidak menghendaki adanya taqlid, guna memenuhi tuntutan ini pintu ijtihad
selalu terbuka. Dalam artian umum ijtihad adalah upaya intelektual yang
sungguh-sungguh untuk mencapai satu pandangan tertentu tentang agama.[18]
Keempat, aspek pendidikan antara lain, Al-Azhar mendapatkan perhatian
perbaikan, demikian juga bahasa Arab dan pendidikan pada umumnya cukup mendapat
perhatiannya.
Menurut Muhammad Abduh bahasa Arab perlu
dihidupkan dan untuk itu metodenya perlu diperbaiki dan ini ada kaitannya
dengan metode pendidikan. System menghafal di luar kepala perlu diganti dengan
sistem penguasaan dan penghayatan materi yang dipelajari.
2.
Pembaharuan Rasyid Ridha
Rasyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh yang
terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di Al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang
letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria). Ia berasal dari keturunan
Al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu ia memakai gelar Al-sayyid
depan namanya. Semasa kecil ia dimasukkan ke madrasah tradisional di Al-Qalamun
untuk belajar menulis, berhitung dan membaca Al-Qur’an di tahun 1882, ia
melanjutkan pelajaran di Al-Madrasah Al-Wataniah Al-Islamiah (Sekolah Nasional
Islam) di Tripoli.[19]
Di Madrasah ini, selain bahasa Arab diajarkan
pula bahasa Turki dan Prancis dan disamping pengetahuan-pengetahuan agama juga
pengetahuan-pengetahuan modern. Sekolah ini didirikan oleh Al-Syaikh Husain
Al-Jisr, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern, tetapi
umur sekolah tersebut tidak panjang. Kemudian Rasyid Ridha meneruskan
pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli.
Pada dasarnya pokok pikiran Rasyid Ridha tidak
jauh berbeda dengan gurunya, terutama dalam titik tolak pembaharuannya yang
berpangkal dari segi keagamaan, tuntutan adanya kemurnian ajaran Islam, baik
dari segi akidahnya maupun dari segi amaliyahnya. Menurut pendapat dari Rasyid
Ridha ummat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang
sebenarnya dan perbuatan mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam yang
sebenarnya. Disamping itu sebab-sebab yang membawa kemunduran ummat Islam
karena faham fatalisme, ajaran-ajaran tariqad atau tasawuf yang menyeleweng
semua itu membawa kemunduran ummat Islam menjadi keterbelakangan dan menjadikan
ummat tidak dinamis.
Dalam hubungannya dengan akal pikiran, Rasyid
ridha berpendapat bahwa derajat akal itu lebih tinggi akan tetapi hanya dapat
dipergunakan dalam masalah kemasyarakatan saja, tidak dapat dipergunakan dalam
masalah ibadah. Keistimewaan akal tergantung pada keistimewaan instrinsik ilmu,
artinya oleh karena ilmu itu secara instrinsik adalah sesuatu yang istimewa,
maka segala sesuatu yang memfasilitasi
pengembangan ilmu adalah juga istimewa.[20] Diantara aktivis beliau
dalam bidang pendidikan antara lain membentuk lembaga yang dinamakan dengan
“al-dakwah wal irsyad” pada tahun 1912 di Kairo.
Para lulusan dari sekolah ini akan dikirim ke
negeri mana saja yang membutuhkan bantuan mereka. Kemudian melalui majalah
Al-Manar ia menjelaskan bahwa Inggris dan Prancis yang berusaha membagi-bagi
daerah Arab ke dalam kekuasaannya masing-masing. Bentuk pemerintahan yang
dikehendaki oleh Rasyid Ridha adalah bentuk kekhalifahan yang tidak absolute,
khalifah hanya bersifat koordinator, tidaklah mungkin menyatukan ummat Islam ke
dalam satu system pemerintahan yang tunggal karena khalifah hanya menciptakan
hukum perundang-undangan dan menjaga pelaksanaannya.
Rasyid Ridha menyadari pertentangan yang makin
ada diantara nasionalisme dan kesetiaan kepada persatuan Islam. Menurutnya
paham nasionalisme bertentangan dengan paham ummat Islam karena persatuan dalam
Islam tidak mengenal perbedaan bangsa dan bahasa. Meskipun Rasid Ridha berguru
pada Muhammad Abduh tetapi dalam hal pembaharuan mereka memiliki perbedaan.
Muhammad Abduh lebih luas pergaulannya,disamping itu penguasaan bahasa asing
lebih menguasai dibanding Rasyid Ridha.
Perbedaan antara guru dan murid tersebut sangat
terlihat, misalnya dalam hal paham-paham teologi dan juga dalam Tafsir
Al-Manar, ketika murid memberi komentar terhadap uraian guru. Sedangkan dalam
masalah teologi, Muhammad Abduh menafsirkan ayat-ayat Mutajassimah secara
filosofis rasional, sedangkan Rasyid Ridha menafsirkan apa adanya ia tidak
mentakwil.[21]
Rasyid Ridha sebagai ulama yang selalu menambah
ilmu pengetahuan dan selalu berjuang selama hayatnya, ia meninggal pada tanggal
23 Jumadil Ula 1354/ 22 Agustus 1935, ia meninggal dunia dengan aman sambil memegang
Al-Qur’an ditangannya.
C.
Aspek-Aspek Pembaharuan
Ada tiga aspek atau sudut pandang dalam
pembaharuan pendidikan Islam diantaranya:
1.
Antropasentris atau golongan pendidikan berorientasi pada pendidikan di
Barat. Bahwa mereka berpandangan bahwa sumber pada kekuatan dan kesejahteraan
hidup yang dialami Barat adalah hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern yang mereka capai.
Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dicapai oleh bangsa Barat
sekarang tidak lain adalah merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan dan
kebudayaan yang pernah berkembang di dunia Islam. Atas dasar demikian, maka
untuk mengembalikan kekuatan dan kejayaan umtat Islam, sumber kekuatan dan
kesejahteraan tersebut harus dikuasai kembali.
Penguasaan tersebut, harus dicapai melalui
proses pendidikan untuk itu harus meniru pola pendidikan yang berkembang oleh
dunia Barat, sebagaimana dulu dunia Barat pernah meniru dan mengembangkan
sistem pendidikan pendidikan dunia Islam. Dalam hal ini usaha pembaharuan
pendidikan Islam adalah dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah dengan pola
sekolah Barat, baik sistem maupun isi pendidikan.
2.
Teosentris atau berorientasi pada sistem ajaran Islam yang murni.
Pendapat bahwa Islam sendiri merupakan sumber bagi kemajuan dan perkembangan
peradaban dan ilmu pengetahuan modern. Islam sendiri sudah penuh dengan
ajaran-ajaran dan pada hakikatnya mengandung potensi untuk membawa kemajuan dan
kesejahteraan serta kekuatan bagi umat manusia. Dalam hal ini Islam telah
membuktikan pada masa-masa kejayaannya.
3.
Teo-antrosentris atau yang berorientasi pada Nasionalisme. Rasa
Nasionalisme muncul bersamaan dengan perkembangan pola kehidupan modern dan
mulai dari Barat. Bangsa-bangsa Barat mengalami rasa kemajuan nasionalisme yang
kemudian menimbulkan kekuatan-kekuatan politik yang berdiri sendiri.
Disamping itu, adanya keyakinan dikalangan
pemikir-pemikir pembaharuan dikalangan umat Islam, bahwa pada hakikatnya ajaran
Islam bisa diterapkan dan sesuai dengan segala zaman dan tempat. Golongan
nasionalis ini berusaha untuk memperbaiki umat Islam dengan memperhatikan
situasi dan kondisi obyektif umat Islam yang bersangkutan. Dalam usaha tersebut
bukan mengambil budaya Barat sudah maju, tetapi juga mengambil unsur-unsur yang
berasal dari nenek moyang warisan bangsa yang bersangkutan.[22]
D.
Pola-Pola Pembaharuan Pendidikan dalam Islam
Dengan memperhatikan gambaran di atas diketahui
berbagai macam penyebab lemah dan mundurnya umat Islam dan dengan memperhatikan
sebab-sebab kemajuan dan kekuatan yang dialami oleh bangsa-bangsa Eropa maka
pada garis besarnya terjadi tiga pola pemikiran pembaharuan pendidikan Islam
yaitu:
1.
Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pendidikan
modern
Golongan yang berorientasi pada pola pendidikan
modern di Barat, pada dasarnya mereka berpandangan bahwa sumber kekuatan dan
kesejahteraan hidup yang di alami oleh Barat adalah sebagai hasil dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang mereka capai. Mereka
juga berpendapat bahwa apa yang dicapai oleh bangsa-bangsa Barat sekarang tidak
lain adalah merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang
pernah berkembang di dunia Islam. Atas dasar demikian maka untuk mengembalikan
kekuatan dan kejayaan umat Islam, sumber kekuatan dan kesejahteraan tersebut
harus dikuasai kembali.
Dalam hal ini usaha pembaharuan pendidikan
Islam adalah dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah dengan pola sekolah Barat,
baik sistem maupun isi pendidikannya. Di samping itu pengiriman pelajar-pelajar
ke dunia Barat terutama ke Prancis untuk menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi modern tersebut banyak dilakukan oleh penguasa-penguasa di berbagai
negeri Islam.[23]
2.
Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada sumber Islam
yang murni
Pola ini berpandangan bahwa sesungguhnya Islam
sendiri merupakan sumber bagi kemajuan dan perkembangan peradaban dan ilmu
pengetahuan modern. Islam sendiri sudah penuh dengan ajaran-ajaran dan pada
hakekatnya mengandung potensi untuk membawa kemajuan dan kesejahteraan serta
kekuatan bagi umat manusia. Dalam hal ini Islam telah membuktikannya pada
masa-masa kejayaannya.[24]
Menurut analisa mereka diantara sebab-sebab
kelemahan umat Islam adalah karena mereka tidak lagi melaksanakan ajaran agama
Islam secara semestinya. Ajaran-ajaran Islam yang menjadi sumber kemajuan dan
kekuatan ditinggalkan dan menerima ajaran-ajaran Islam yang tidak murni lagi.
Hal tersebut terjadi setelah mandeknya perkembangan filsafat Islam,
ditinggalkannya pola pemikiran rasional dan kehidupan umat Islam telah di
warnai oleh pola kehidupan yang bersifat pasif. Di samping itu dengan mandeknya
perkembangan fiqih yang di tandai penutupan pintu ijtihad, umat Islam telah
kekurangan daya untuk mengatasi problematika hidup yang menantangnya sebagai
akibat dari perubahan dan perkembangan zaman.
Pola pembaharuan ini di rintis oleh Mohammad
bin Abd Al-Wahab, kemudian dicanangkan kembali oleh Jamaludin Al-Afghani dan
Muhammad Abduh. Menurut Jamaludin al-Afghani, pemurnian ajaran agama Islam
dengan kembali ke Al-Qur’an dan Al-Hadits dalam arti yang sebenarnya tidaklah
mungkin. Ia berkeyakinan bahwa Islam adalah sesuai dengan semua bangsa, semua
zaman dan semua keadaan.
Menurut Muhammad Abduh, bahwa pengetahuan
modern dan Islam adalah sejalan dan sesuai karena dasar ilmu pengetahuan modern
adalah sunatullah sedangkan dasar Islam adalah Wahyu Allah Swt. Kedua-duanya
berasal dari Allah Swt. Oleh karena itu umat Islam harus menguasai
keduanya.[25]
3.
Usaha pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada nasionalisme
Rasa nasionalisme timbul bersamaan dengan
berkembangnya pola kehidupan modern dan mulai dari Barat. Bangsa-bangsa Barat
mengalami kemajuan rasa nasionalisme yang kemudian menimbulkan
kekuatan-kekuatan politik yang berdiri sendiri. Keadaan tersebut mendorong pada
umumnya bangsa-bangsa Timur dan bangsa terjajah lainnya untuk mengembangkan
nasionalisme masing–masing. Umat Islam mendapati kenyataan bahwa mereka terdiri
dari berbagai bangsa yang berbeda latar belakang dan sejarah perkembangan
kebudayaannya. Mereka pun hidup bersama dengan orang-orang yang beragama lain
tapi sebangsa. Inilah yang juga mendorong perkembangannya rasa nasionalisme di
dunia Islam.
Disamping itu,adanya keyakinan dikalangan
pemikir-pemikir pembaharuan dikalangan umat Islam bahwa pada hakikatnya ajaran
Islam bisa diterapkan dan sesuai dengan segala zaman dan tempat. Oleh karena
itu ide pembaharuan yang berorientasi pada nasionalisme ini pun bersesuaian
dengan ajaran Islam.
Ide kebangsaan atau nasionalisme inilah yang
pada tahap perkembangan berikutnya mendorong timbulnya usaha-usaha merebut
kemerdekaan dan mendirikan pemerintahan sendiri di kalangan bangsa-bangsa
pemeluk Islam. Dalam bidang pendidikan umat Islam yang telah membentuk
pemerintahan nasional tersebut mengembangkan sistem dan pola pendidikan
nasionalnya sendiri-sendiri.[26]
BAB III
KESIMPULAN, SARAN DAN PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pembaharuan pendidikan adalah suatu kegiatan pembaharuan yaitu pikiran,
aliran, gerakan dan usaha untuk mengadakan perubahan dalam bidang pendidikan
dengan tujuan untuk memperoleh hal atau sesuatu dalam hal ini adalah pendidikan
kearah yang lebih baik.
2.
Pembaharuan pendidikan pada abad 19-20 dilatarbelakangi oleh (a) kondisi
internal dunia pendidikan Islam pada zaman tersebut, termasuk kondisi muslim
pada umumnya yang terus mengalami kemunduran dan keterbelakangan. Secara jelas
digambarkan bahwa akar keterbelakangan dunia Islam dalam bidang sains dan
teknologi dapat dilacak dari hilangnya sains dari tradisi intelektual dan
pendidikan Islam. Kondisi semacam itu tidak lepas dari kondisi sosial keagamaan
masyarakat muslim secara keseluruhan, hilangnya pemikiran rasional dan
digantikan dengan pemikiran statis, taklid, bid‟ah dan khurafat menjadi ciri
dunia Islam saat itu. (b) Terjadinya kontak antara Islam dengan Barat yaitu
melakukan gerakan pembaharuan dengan cara mentransmisikan dan
mentransformasikan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat ke dalam Islam. Para
pembaharu ini pada umumnya sepakat bahwa pendidikan menjadi salah satu jalan,
bahkan mungkin satu-satunya jalan yang sangat esensial bagi program
pembaharuan.
3.
Di Indonesia pembaharuan pendidikan Islam dilatarbelakangi oleh beberapa
faktor yaitu:
a.
Faktor Keinginan untuk kembali pada Al-Qur’an dan Al-Hadits
b.
Faktor semangat nasionalisme dalam melawan penjajah
c.
Faktor memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya dan politik
d.
Faktor keinginan untuk pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia
4.
Pembaharuan dalam pendidikan akan berbeda antara satu tempat dengan
tempat lain, dari berbagai macam model pembaharuan pendidikan dirangkum pada
beberapa pola pembaharuan yaitu (a) pola pembaharuan pendidikan Islam yang
berorientasi pada pola pendidikan modern (b) pola pembaharuan pendidikan Islam
yang berorientasi pada sumber Islam yang murni (c) usaha pembaharuan pendidikan
Islam yang berorientasi pada nasionalisme.
B.
Saran
Demikian
yang dapat kami paparkan mengenai materi
yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini. Untuk mengetahui lebih dalam ada
baiknya mahasiswa lebih banyak membaca buku-buku yang terkait dengan makalah
ini.
C.
Kata Penutup
Demikian makalah ini kami susun. Terima kasih
atas antusias dari pembaca yang mau menelaah dan mengimplementasikan isi
makalah ini. Dengan kerendahan hati saran dan kritik tetap kami harapkan
sebagai bahan perbaikan. Sekian.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2008), hal.
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab,
(Jakarta : Logos, 1997
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia
1900 – 1942, (Jakarta: LP3ES, 1996)
Jhon Esposito L, Dinamika Kebangkitan Islam
Watak Proses dan Tantangan, (Jakarta: Rajawali, 1987
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah
Pemikiran dan Gerakan. (Jakarta: Bulan Bintang, 2006)
Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Islam Klasik,
Gagasan Pendidikan Abu Hamid Al-Ghazali, (Medan: IAIN PRESS, 2012)
Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah,
Risalah Sejarah Sosial-Intelektual Muslim Klasik, (Bandung: Citapustaka Media
Perintis, 2013),
Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam,
Kajian Lembaga-lembaga Pendidikan, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2013)
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah
Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 26.
Muhammad Mahsyur Amin, Sejarah Peradaban Islam,
(Bandung: Indonesian Spirit Fondation, 2004
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam
dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga 2005), hal. 233.
M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan
Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1988),
Peter Salim dan Yenni, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 1991), hal. 376.
Rahman. F.
Islam dan Modernisme : Tentang Transformasi Intelektual. (Bandung: Pustaka, 1985) hal. 63.
Zuhairini Dkk, Sejarah Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bumi Aksra, 2010), hal. 117-118.
[1] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan
Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga 2005), hal.
233.
[2] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan…, hal. 115.
[3] Peter Salim dan Yenni, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 1991), hal. 376.
[4] Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008),
hal. 72.
[5] Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan
Islam, Kajian Lembaga-lembaga Pendidikan, (Bandung: Citapustaka Media Perintis,
2013) cet. 3, hal. 6
[6] Hasan Asari, Menyingkap Zaman...,hal. 44
[7] Rahman. F.
Islam dan Modernisme : Tentang Transformasi Intelektual. (Bandung: Pustaka, 1985) hal. 63.
[8] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam
Sejarah Pemikiran dan Gerakan. (Jakarta: Bulan Bintang, 2006), hal. 32.
[9] Harun Nasution, Pembaharuan dalam…., hal.
54.
[10] Jhon Esposito L, Dinamika Kebangkitan
Islam Watak Proses dan Tantangan, (Jakarta: Rajawali, 1987), hal. 76
[11] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah
Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 26.
[12] Muhammad Mahsyur Amin, Sejarah Peradaban
Islam, (Bandung: Indonesian Spirit Fondation, 2004), hal. 155.
[13] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di
Indonesia 1900 – 1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 71.
[14] Muhammad Mahsyur Amin, Sejarah Peradaban…,
hal. 176.
[15] Muhammad Mahsyur Amin, Sejarah Peradaban…,
hal. 177-178.
[16] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan
Arab, (Jakarta : Logos, 1997), hal. 154.
[17] M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi
Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1988), hal. 69.
[18] Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari
‘Ibrah, Risalah Sejarah Sosial-Intelektual Muslim Klasik, (Bandung: Citapustaka
Media Perintis, 2013), hal. 149
[19] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan
…., hal. 162.
[20] Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Islam
Klasik, Gagasan Pendidikan Abu Hamid Al-Ghazali, (Medan: IAIN PRESS, 2012),
hal. 84
[21] Harun Nasution, Pembaharuan dalam… hal.
71-72
[22] Zuhairini Dkk, Sejarah Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bumi Aksra, 2010), hal. 117-118.
[23] Zuhairini Dkk, Sejarah Pendidikan…, hal.
116-120.
[24] Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam
dalam Lintasan Sejarah, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hal. 246-247.
[25] Widda Djuhan, Sejarah Pendidikan Islam
Klasik, (Ponorogo: LPPI STAIN, 2010), hal.
69-70.
[26] Zuhairini Dkk, Sejarah Pendidikan….,hal. 122-123