GAGASAN ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN

GAGASAN ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.      Latar Belakang Masalah   

Sebagaimana kita sadari, bagaimanapun kemajuan peradaban selalu didahului ilmu pengetahuan (sains). Bangsa yang maju adalah bangsa yang menguasai dan unggul dalam hal penguasaan ilmu. Kenyataan ini telah dibuktikan dalam sejarah kejayaan Islam antara tahun 132 H-656 H (750 M-1258 M) dimana negeri-negeri Islam pada saat itu menunjukan kemampuan di bidang ilmu pengetahuan dengan semangat keilahian yang bersumber dari Al Quran dan Hadits. Selama rentang enam abad betapa hebat perkembangan ilmu pengetahuan sehingga mampu melahirkan berbagai tokoh-tokoh handal, seperti Al-Farazi sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun Astrolobe, al-Razi dan Ibnu Sina dalam bidang kedokteran, Jabir bin Hayyan dalam bidang kimia, Musa al-Khawarizmi dalam bidang matematika.[1]

Akan tetapi sangat disayangkan karena beberapa faktor baik internal maupun eksternal setelah periode ini berakhir, Islam justru mengalami kemunduran.[2]

Kendati demikian, zaman modern tampaknya memberi kemungkinan baru bagi umat muslim untuk memperluas cakrawala dan menjadi kreatif kembali. Mereka tidak hanya mengagungkan kejayaan masa lampau tetapi bagaimana menggali kembali etos kerja keilmiahan para ilmuwan muslim terdahulu yang terpadu dengan semangat ajaran keahlian.[3]

Dengan mencermati kondisi tersebut dimana dampak-dampak ilmu pengetahuan modern yang mengancam eksitensi kemanusiaan terutama umat Islam, nampaknya telah mengusik kesadaran para pemikir dunia, antara lain Ismail Raji al-Faruqi, Sayyed Hossein Nasr dan Syed Muhammad Naquib al-Attas dengan ide-ide besarnya ingin mengembalikan kembali gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamization Of Knowledge). Ide ini disemangati oleh obsesi untuk mengembalikan ilmu pengetahuan dalam kekuatan Islam (muslim) sebagaimana pada masa klasik.[4]

Dengan adanya Islamisasi ilmu ini diharapkan akan memberi implikasi terhadap pengembangan kurikulum pendidikan Islam. Adanya pembaruan dalam kurikulum yang berupa upaya perpaduan ilmu agama dan ilmu umum, kegiatan pendidikan Islam akan berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yang ditetapkan yaitu terbentuknya manusia muslim seutuhnya.

Berangkat dari latar belakang masalah tersebut  di atas, maka penulisan makalah ini kami beri judul “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dan Implikasinya Dalam Pendidikan”.

B.       Rumusan Masalah

Rumusan Masalah dalam makalah ini akan membahas diantaranya : 

1.             Bagaimana sejarah awal mula munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan?

2.             Apa konsep dasar yang melatarbelakangi munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan ?

3.             Siapa tokoh pelopornya serta bagaimana biografi dan pemikirannya ?

4.             Apa pentingnya Islamisasi ilmu itu ?

5.             Bagaimana terjadinya proses Islamisasi ilmu pengetahuan dalam  Pendidikan Islam ?

6.             Apa implikasi Islamisasi ilmu pengetahuan dalam Pendidikan ?  

C.      Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendiskripsikan tentang :

1.             Sejarah awal mula munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan

2.             Konsep dasar dan lataang Islamisasi ilmu pengetahuan

3.             Tokoh pelopor, biografi dan pemikirannya

4.             Pentingnya Islamisasi ilmu

5.             Islamisasi ilmu pengetahuan dalam Pendidikan Islam

6.             Implikasi Islamisasi ilmu pengetahuan dalam pendidikan     

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.      Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan   

Islamisasi ilmu sebenarnya telah dilakukan pertama kali oleh Nabi Muhammad SAW yakni ketika beliau mendakwahkan ajaran keimanan (tauhid) dan memperbaiki moralitas (akhlak) umat manusia, untuk memberantas segala mitos dan keyakinan hidup yang tidak mempunyai dasar yang kokoh, serta membangun sikap mental mereka agar tidak terbelenggu dan terpenjara oleh segala sesuatu yang selain Allah. Karena itu, apa yang didakwahkan oleh beliau merupakan perwujudan dari nilai keimanan kepada Allah yang tersimpul dalam pernyataan “Tiada Tuhan selain Allah”.[5]

Selanjutnya munculnya isu Islamisasi ilmu pengetahuan ini adalah sebagai respon atas dikotomi antara ilmu agama dan sains yang dimasukkan Barat sekuler dan budaya masyarakat modern ke dunia Islam. Kemajuan yang dicapai sains modern telah membawa pengaruh yang menakjubkan, namun di sisi lain juga membawa dampak yang  negatif, karena sains modern (Barat) kering nilai atau terpisah dari nilai agama. Di samping itu Islamisasi Ilmu Pengetahuan juga merupakan reaksi atas krisis sistem pendidikan yang dihadapi umat Islam, yakni adanya dualisme sistem pendidikan Islam dan pendidikan modern (sekuler) yang membingungkan umat Islam.[6]

Dan juga ide Islamisasi ilmu pengetahuan berangkat dari kondisi yang memprihatinkan di dunia Islam pada masa modern yang mengalami ketertinggalan ilmu pengetahuan dan dominasi ilmu pengetahuan Barat yang sekuler yang dewasa ini berkembang di dunia Islam.[7]

Selanjutnya upaya untuk melakukan Islamisasi Ilmu menurut beberapa sumber pertama kali diangkat Syed Husein Nasr dalam beberapa karyanya sekitar tahun 1960-an. Saat itu, Nasr berbicara dan membandingkan antara metodologi ilmu-ilmu keIslaman dengan ilmu-ilmu umum, terutama ilmu alam, matematika, dan metafisika. Menurutnya, apa yang dimaksud ilmu dalam Islam tidak berbeda dengan ‘scientia’ dalam istilah Latin. Perbedaan diantara keduanya adalah metodologi yang dipakai. Ilmu-ilmu keIslaman tidak hanya memakai metodologi rasional dan cenderung posivistik, melainkan menerapkan berbagai metodologi, rasional, tekstual, bahkan intuitif sesuai dengan obyek yang dikaji.[8]

Beberapa tahun kemudian gagasan tersebut dikembangkan dan diresmikan sebagai proyek Islamisasi ilmu oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas tahun 1977. Ia menulis makalah tentang Islamisasi ilmu tersebut yakni Preliminary Thought on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education, yang disampaikan di First World Comperence on Moslem Education di Makkah, atas sponsor Universitas King Abdul Aziz.[9]

Ide ini selanjutnya lebih disempurnakan oleh Naquib sendiri dengan ditulisnya buku The Concepts of Education in Islam A Framework for an Islamic Philosophy of Education, (Kuala Lumpur, ABIM, 1980), disamping Islam and Secularism, (Kuala Lumpur, ABIM, 1978).[10]

Berbeda dengan Nasr yang baru sekedar berusaha menyandingkan atau mempertemukan ilmu-ilmu Barat dan ilmu-ilmu keislaman, Naquib telah berbicara tentang persoalan ontologis sekaligus epistemologis ilmu. Menurutnya, Islamisasi ilmu tidak hanya dilakukan dengan mempertemukan diantara keduanya melainkan perlu adanya rekonstruksi ontologis dan epistemologis, karena dari sinilah sebuah keilmuan lahir.[11]

Gagasan Islamisasi ilmu ini mendapat sambutan yang luar biasa dari para intelektual muslim di dunia. Karena itu, pada tahun 1977 itu juga, diadakan konferensi internasional pertama di Swiss, untuk membahas lebih lanjut ide Islamisasi ilmu tersebut. Konferensi yang dihadiri 30 partisipan ini berusaha menelusuri penyebab terjadinya krisis di kalangan umat Islam dan cara mengatasinya. Solusi yang disepakati adalah mencari pendekatan secara sistematis dan mencari metodologi yang tepat untuk membangun sistem pengetahuan Islam yang mandiri sebagai fondasi peradaban Islam.[12]

Konferensi pertama tersebut ternyata memberi pengaruh besar terhadap para ilmuan muslim dunia. Di Amerika, gagasan Islamisasi ilmu disambut dan dipelopori oleh Ismail Raji al-Faruqi, sehingga didirikan sebuah perguruan tinggi, The International Institute of Islamic Thought (IIIT), tahun 1981 di Washington.[13]

Sejak berdirinya, IIIT telah menekankan perlunya untuk melatih dan mendidik sarjana-sarjana muslim dalam bidang Islamisasi ilmu sosial dan mendorong mereka untuk melakukan penelitian dan menulis topik-topik sosial dari sudut pandang Islam.[14]

Selanjutnya bekerja sama dengan Association of Muslim Social Scientist (AMSS), IIIT telah berhasil menerbitkan jurnal yang bernama American Journal of Islamic Sosial Sciences (AJISS). Jurnal ini bertujuan untuk menjadi jembatan bagi seluruh intelektual dan sarjana muslim di seluruh dunia untuk meningkatkan atau mengembangkan pendekatan kesarjanaan dalam disiplin ilmu sosial dan kajian-kajian humaniora.[15]

Secara terperinci IIIT bertujuan untuk :

1.    Meningkatkan pandangan Islam yang universal dalam mengkaji dan memperjelas masalah global Islam.

2.    Mengembalikan jati diri intelektual dan kultural umat Islam lewat usaha Islamisasi ilmu, kemanusiaan, sosial dan meneliti serta memahami secara mendalam pemikiran kontemporer dalam dunia Islam untuk kemudian mencari kemungkinan solusinya.[16]

3.    Mengembangkan suatu pendekatan komprehensif yang Islami terhadap ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat kontemporer bagi cita-cita Islam dan manusia.

4.    Menghidupkan pemikiran Islam, mengembangkan metodologinya dan menghubungkannya dengan tujuan syariah.

5.    Mengembangkan, mengkoordinasi dan mengadakan penelitian langsung dalam bidang-bidang yang berbeda sehingga mampu memproduksi buku-buku teks yang menjelaskan visi-visi dan meletakkan dasar bagi disiplin ilmu Islam dalam ilmu-ilmu tentang kemanusiaan.

6.    Mengembangkan sumber daya manusia yang mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut.[17]

Beberapa tahun kemudian pada tahun 1983 diadakan konferensi II di Islamabad, Pakistan untuk menindaklanjuti konferensi I.

Konferensi II ini mempunyai tujuan :

1.    Mengekspos hasil-hasil konferensi I dan rumusan masalah yang telah dihasilkan IIIT tentang cara mengatasi krisis di kalangan umat.

2.    Mengupayakan suatu penelitian dalam rangka mengevaluasi krisis tersebut dan juga mencari penyebab dan gejalanya.[18]

Menurut hasil penelitian IIIT, faktor yang menyebabkan terjadinya krisis pemikiran di kalangan umat Islam adalah:

1.    Serangan Budaya Barat, termasuk pendidikan terutama bidang-bidang ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora. Banyak sarjana muslim yang mempelajari dan mendalami ilmu ini tanpa mau menyadari bahwa ilmu-ilmu ini dikembangkan atas dasar ontologis dan epistemologis yang sekuler, yang tidak mengakui wahyu sebagai sumber keilmuan.

2.    Adanya gap (pemisah) antara seorang intelektual muslim dengan warisan khasanah Islam sendiri, karena mereka lebih banyak mengadopsi serta meniru secara buta pola pendidikan dan keilmuan Barat tanpa mau merujuk pada literatur-literatur tradisional Islam yang sangat berharga.[19]

Setelah konferensi II, muncul konferensi III yang diadakan tahun 1984 di Kuala Lumpur. Tujuannya adalah untuk mengembangkan rencana formasi landasan berpikir umat Islam dengan mengacu secara lebih spesifik kepada metodologi dan prioritas masa depan dan mengembangkan skema Islamisasi masing-masing disiplin ilmu. Karena itu, makalah yang disajikan yang meliputi disiplin ilmu Ekonomi, Sosiologi, Psikologi, Antropologi, Ilmu Politik, Hubungan Internasional dan Filsafat dikupas secara kritis dan dievaluasi prestasinya bagi kesejahteraan manusia, kemudian diberi saran-saran untuk proyek Islamisasi.[20]

Tiga tahun kemudian, tahun 1987 diadakan konferensi IV di Khortum, Sudan. Konferensi yang mengambil tema ‘metodologi pemikiran Islam dalam Islamisasi ilmu-ilmu etika dan pendidikan’ ini membahas tentang persoalan metodologi yang merupakan tantangan dan hambatan utama bagi terlaksananya program Islamisai ilmu. Sebab, para pakar muslim yang memiliki latar belakang pendidikan Barat ternyata tidak mampu menyajikan evaluasi dan kritik mendalam terhadap penguasaan ilmu mereka sendiri, sehingga mereka tidak siap memberikan kontribusi positif bagi pemikiran bidang etika dan pendidikan.[21]

Di Indonesia, Islamisasi ilmu telah direspon secara positif melalui rekomendasi dari Konferensi Internasional pertama tentang Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Pada tahun 1978 Menteri agama RI telah mengambil langkah-langkah untuk mengimplementasikan rekomendasi dari Konferensi Makkah tersebut. Maka kurikulum baru berhasil diformulasikan dengan memasukkan agama (Islam) sebagai mata pelajaran atau mata kuliah wajib di semua tingkatan pendidikan dari pendidikan tingkat dasar sampai pendidikan tingkat tinggi.[22]

Tetapi kemudian muncul masalah ketika kurikulum baru tersebut hendak diimplementasikan pada semua tingkatan pendidikan. Karena meskipun Menteri agama punya tanggungjawab dalam pengawasan pendidikan agama, tetapi perlu diingat bahwa Menteri agama tidak punya wewenang dalam masalah pendidikan.[23]

Yang berwenang dalam masalah pendidikan adalah Menteri pendidikan dan kebudayaan. Sehingga pada tahun 1980, dicapailah kesepakatan bersama antara dua menteri dan akhirnya dikeluarkan keputusan bersama antara Menteri agama dan Menteri pendidikan dan kebudayaan dimana agama masuk ke dalam kurikulum yang diajarkan kepada semua siswa.[24]

B.       Konsep Dasar dan Latar Belakang Islamisasi Ilmu Pengetahuan 

Ada beberapa alasan utama yang menjadi latar belakang program Islamisasi ilmu pengetahuan__menurut Al-Faruqi__yaitu kondisi realitas dunia Islam pada saat gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dikemukakan. Menurut Al-Faruqi ada beberapa permasalahan serius yang sedang dihadapi umat Islam yang disebutnya sebagai sebuah malaise (krisis) global yang di alami sebagian umat Islam di dunia.[25]

Krisis tersebut telah menyebabkan umat Islam menempati posisi terendah di antara bangsa-bangsa lain, mereka mengalami pemerasan, penjajahan dan dirampas negerinya, dibantai serta dipaksa untuk meninggalkan agamanya.[26]

Sementara dalam kehidupan politik umat Islam terjadi perpecahan dan pertikaian yang memang sengaja diciptakan oleh negara-negara Barat untuk lebih menciptakan ketidakstabilan, perpecahan antara umat Islam. Kondisi ini disebabkan oleh usaha kaum kolonial dan menghancurkan seluruh institusi politik di negara-negara Islam.[27]

Efek terburuk dari malaise yang dialami umat Islam telah mengakibatkan krisis serius yang dialami oleh berbagai negara-negara muslim dalam berbagai bidang. Kekalahan di bidang politik berimbas pada kekalahan dan keterbelakangan di bidang ekonomi.[28]

Kehidupan ekonomi umat Islam mengalami kehancuran dengan banyaknya kelaparan dan ketidakberdayaan ekonomi umat. Keadaan ini menimbulkan ketergantungan yang luar biasa kaum muslim kepada pihak-pihak asing. Industri-industri yang diselenggarakan di negara-negara muslim tidak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam, tapi untuk kepentingan kaum kolonial.[29]

Dalam bidang kegamaan dan budaya, umat Islam semakin tersesat dengan propaganda asing yang mengarah kepada westernisasi, tanpa disadari bahwa itu akan membawa kepada kehancuran budaya bangsanya dan ajaran Islam. Berbarengan dengan itu____dalam bidang pendidikan___dibangunlah berbagai sekolah-sekolah yang menggunakan sistem dan kurikulum Barat, yang selanjutnya melahirkan kesenjangan di antara umat Islam, yaitu mereka yang terlalu terbaratkan dan sekuler dan mereka yang tetap menentang sekulerisme. Pemerintah kolonial selalu berusaha agar golongan umat Islam yang pertama unggul dan menjadi penentu dalam pengambilan kebijakan umat Islam.[30]

Sebagai jawaban atas persoalan-persoalan umat Islam sebagaimana di atas, penting adanya langkah-langkah perbaikan. Al-Faruqi merekomendasikan pentingnya pemaduan pendidikan yang bersifat sekuler/ profane dengan pendidikan Islam. Dualisme pendidikan yang terjadi di kalangan umat Islam pada saat ini harus ditiadakan setuntasnya. Kedua sistem pendidikan tersebut harus dipadukan dan diintegrasikan, sehingga dapat melengkapi dan menutupi kekurangan masing-masing.[31]

C.      Tokoh pelopor, biografi dan pemikirannya     

1.    Ismail Raji al-Faruqi

Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, sebuah daerah di Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Ayahnya bernama ‘Abd al-Huda al-Faruqi. Riwayat hidup Al-Faruqi tidak bisa dilepaskan dari konteks perkembangan sosio politik dan sejarah panjang bangsa dan negara Palestina sebagai tempat kelahirannya. Sebab di daerah tersebut hampir separuh usia Al- Faruqi di habiskan di Palestina, sebelum akhirnya hijrah ke Amerika.[32]

Ia mendapatkan pendidikan agama dari Ayahnya. Secara formal pendidikan yang dilalui al-Faruqi berlatar belakang Barat. Pendidikan  pertamanya di Colllege des Fres sejak tahun 1926-1936. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikan tinggi di The American Univercity. Pada usia 24 ia diangkat menjadi gubernur di provinsi Galelia sampai provinsi ini jatuh ke tangan Israel. Hal ini yang menuntunnya hijrah ke Amerika.[33]

Di negeri paman Syam ini, garis al-Faruqi berubah. Di sini ia tekun bergelut di dunia akademis. Di sinilah ia mendapat gelar master dengan judul tesisnya adalah ”On Justifiying the God Methaphysic an Efistemology of Value (Tentang pembenaran kebaikan: Metafisik dan Epistimologi Ilmu).[34]

Selanjutnya ia hijrah ke Mesir selama empat tahun guna mendalami ilmu-ilmu agama Islam di Universitas al-Azhar. Kecemerlangan karier al-Faruqi tidak terlepas dari istrinya Lois Lamya al-Faruqi. Bersama-sama mereka membentuk kelompok kajian keislaman seperti Moslem Student Association (MSA), Americaan Academy of Relegion (AAR) dan lain-lain.[35]

Demikian gambaran Ismail Raji al-Faruqi sosok ideal, bibit unggul, pemikir dan ulama ternama ”Pejantan Tangguh” dalam dunia pendidikan Islam dan Dakwah Islam. Karya-karya terpentingnya di sini adalah The Trialogue of Abrahamic Faiths (Perbincangan Tiga Pihak Mengenai Agama-Agama Ibrahim, 1986), Essays in Islamic and Comparative Studies (Esai-Esai dalam Kajian Islam dan Perbandingan, 1982), dan Historical Atlas of the Religions of the World (Atlas Historis Agama-Agama Dunia, 1974), juga Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Tauhid: Implikasi-Implikasinya bagi Pemikiran dan Kehidupan, 1982), di samping beberapa artikel di jurnal kajian agama.[36]

Al-Faruqi secara bersemangat mensinyalir bahwa penyebab tertinggalnya dunia Islam dibanding dunia barat modern, disebabkan kondisi pendidikan Islam yang mengalami krisis identitas, akibat pengaruh filsafat dan ilmu pengetahuan yang melanda sistem pendidikan Islam, yang berimplikasi pada terbelahnya sistem pendidikan Islam secara dikotomik.[37]

Ismail Raji Al-Faruqi bisa disebut sebagai cendekiawan muslim yang konsens dengan masalah epistimologi pendidikan Islam karena pemikirannya tentang Islamisasi ilmu pengetahuan menjadi pemicu kesadaran sebagian pemikir muslim modern untuk melakukan upaya redefinisi dan reislamisasi terhadap ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa modern dengan konsep-konsep ideal ilmu pengetahuan dalam bingkai filsafat Islam.[38]

Pemikiran Islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi secara konkrit dan aplikatif berusaha mewujudkan dalam bentuk gerakan sistematik berupa pembuatan buku-buku ilmiah yang telah diislamkan terlebih dahulu, sebelum dijadikan referensi utama bagi proses pembelajaran pada jenjang pendidikan tinggi dalam Islam. Oleh karena itu tampaknya Al-Faruqi berusaha mengembangkan kembali metodologi pengembangan ilmu pengetahuan berbasis ajaran Islam pada masa modern, sebagaimana keberhasilan ulama-ulama klasik dalam mengislamkan ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani.[39]

Al-Faruqi sendiri dalam risalahnya yang berjudul Islamization of Knowledge, banyak menampilkan kritiknya terhadap kondisi sistem pendidikan Islam pada masanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa implikasi pemikirannya tentang Islamisasi telah banyak mempengaruhi paradigma pemikir muslim lainnya. Seperti munculnya beberapa lembaga studi Islam bahkan Al-Faruqi sendiri mendirikan sebuah lembaga studi yang sangat terkenal yaitu The International Intitute of Islamic Thought yang terkenal dengan singkatan III-T yang bermarkas di Virginia Amerika Serikat. Lembaga ini tersebar hingga beberapa Negara di kawasan Asia seperti Malaysia, Pakistan dan beberapa negara Eropa, namun belakangan aktivitas organisasi pengkajian Islam tersebut mulai redup, diakibatkan krisis financial. Sebagai ilustrasinya adalah III T yang berada di Malaysia, institute ini sempat berjaya hingga tahun 1998 dan menjalin kerjasama dengan IIUM ( International Islamic University Of Malaysia). Namun sekarang pusat kajian itu kurang terdengar lagi gaungnya, dibandingkan misalnya dengan lembaga kajian sejenis yang didirikan oleh Syed Naquib al-Attas yaitu ISTAC (Iternational Institute of Ilsmic Thougth and Civilization) yang berkedudukan di Kuala Lumpur.[40]

Menurut Azyumardi Azra, Pada awalnya pandangan-pandangan keagamaan yang menjadi visi pemikiran Al-Faruqi terletak pada dua hal yaitu Arabisme dan Islam. Dalam studinya tentang Arab, ia menyusun sebuah tulisan terdiri dari 4 jilid yaitu : “on Arabism: Urubah and Religion” pada perjalanan berikutnya ia lebih memfokuskan kepada studi tentang Islam melalui diskursus ilmiah dan akademis serta gerakan advokasi politik dalam melihat pentingnya Islam.[41]

Pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an lebih gencar mempresentasikan Islam sebagai agama nalar dan ilmiah, maju dan par execellent. Ia menjadi seorang aktivis Islam yang menempatkan Islam sebagai acuan utama, yaitu sebagai ideologi yang lengkap dan menyeluruh. Dalam pandangan Al-Faruqi, salah satu kesalahan fatal umat Islam adalah menganggap ilmu itu terbelah dua, yaitu ilmu-ilmu sekuler (profane) dan ilmu-ilmu agama Islam. Ide Islamisasi ilmu pengetahuan yang dicetuskan Al-Faruqi dituangkan dalam risalah berjudul The Islamization of Knowledge yang diterbitkan oleh III-T. Ide tersebut menjadi terkenal ketika seminar pertama mengenai Islamisasi Ilmu pengetahuan dilaksanakan di Islamabad, Pakistan pada Januari 1982. Al-Faruqi berusaha mengingatkan dunia Islam akan suatu konflik antara ilmu pengetahuan dalam pandangan Barat dan Islam, yaitu dengan merencanakan suatu yang dapat menghindari terjadinya konflik tersebut, serta menggalakkan kembali pendidikan Islam sebagaimana yang diharapkan.[42]

Selanjutnya Al-Faruqi menjelaskan tentang langkah-langkah upaya Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu sebagai berikut:

1.         Penguasaan disiplin ilmu modern, pengetahuan kategoris.

2.         Survei disiplin.

3.         Penguasaan khazanah ilmiah Islam.

4.         Penguasaan khazanah Islam: tahap analisa.

5.         Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin ilmu.

6.         Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern; tingkat perkembangan masa kini.

7.         Penilaian kritis terhadp khazanah Islam; tingkat perkembangan dewasa ini.

8.         Survey permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam.

9.         Survey permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia.

10.     Analisa kreatif dan sintesis.

11.     Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam dalam bentuk buku daras (buku teks) tingkat Universitas.

12.     Adalah berbagai langkah terakhir kerja Islamisasi ilmu pengetahuan yaitu penyebaran ilmu yang telah diislamisasi.[43]

Konsep yang ditawarkan al-Faruqi adalah bahwa ilmu pengetahuan tidak semuanya kontradiktif dengan nilai-nilai Islam, sehinga menurutnya, Islamisasi pengetahuan adalah melakukan penyaringan dari ilmu pengetahuan yang telah ada dengan mempertimbangkan nilai-nilai Islam. Metode konsepsi yang demikian dianggap sebagai metode integrasi antara teori dan tradisi keilmuan Islam dan keilmuan Barat yang sekuler.[44]

2.    Syed Muhammad Naquib al-Attas

Syed Muhammad Naquib al-Attas lahir pada tanggal 5 september 1931 M. Nama lengkapnya adalah Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin al-Attas silsilah keluarganya melalui silsilah sayyid dalam keluarga Ba’lawi sampai kepada Imam Husein cucu Nabi Muhammad SAW.[45]

Beliau Adik kandung dari Syed Hussein al-Attas, seorang ilmuwan dan pakar sosiologi pada Universitas Malaya, Kuala Lumpur Malaysia. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah Al-Atas dan ibunya bernama Syarifah Raguan al-Idrus. Silsilah resmi keluarga Naquib al-Attas yang terdapat dalam koleksi pribadinya menunjukkan bahwa beliau merupakan keturunan ke 37 dari Nabi Muhammad SAW dan dari keturunan kaum ningrat berdarah biru.[46]

Moyang Naquib berasal dari Hadramaut (Yaman) diantara leluhurnya ada yang menjadi ulama’ besar, yaitu Syed Muhammad ‘Alaydrus (dari silsilah Ibu), guru dan pembimbing ruhani syed Abu Hafs Umar ba Syaiban yang berhasil mengantarkan Nur al-Din al-Raniri, seorang Ulama terkemuka di dunia melayu ke tarekat Rifa’iyah. Ibunda Syed Muhammad Naquib al-Attas, yaitu Syarifah Raguan A, berasal dari Bogor, Jawa Barat, dan merupakan keturunan-keturunan dari raja-raja Sunda Sukaparna.[47]

Sedangkan dari pihak ayah, al-Attas merupakan cucu dari seorang wali yang bernama Syed Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad al-Attas, yang sangat terkenal tidak hanya di Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri Arab, neneknya Ruqoyyah Hanum, adalah wanita Turki berdarah aristokrat yang menikah dengan Ungku Abdul Majid. Adik Sultan Abu Bakar Johor ( W. 1895) yang menikah dengan adik Ruqoyah Hanum, Khodijah. yang kemudian menjadi ratu Johor. Setelah Ungku Abdul Majid wafat, ia meninggalkan dua orang anak. Ruqoyah menikah untuk kedua kalinya dengan Syed Abdullah al-Attas dan dikaruniai seorang anak, Syed Ali al-Attas, yaitu bapak dari Syed Muhammad Naquib al-Attas.[48]

Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Syed Husein, seorang ahli Sosiologi dan mantan Wakil Rektor Universitas Malaya, sedangkan adiknya bernama Syed Zaid seorang Insinyur kimia dan mantan Dosen Institut Teknologi MARA. Sepupu Neneknya dari pihak ayah, bernama Ungku Abdul Aziz___anak dari Ungku Abdul Madjid___berasal dari keluarga bangsawan Melayu, termasuk keluarga Datuk Onn Jafar, ayah dari Datuk Hussein Onn yang merupakan mantan Perdana Menteri Malaysia dan tokoh pendiri sekaligus Presiden pertama UMNO (United Malaya National Organisation), yaitu sebuah Partai Politik yang menjadi tumpuan kerajaan Malaysia sejak mendapatkan kemerdekaan dari Kerajaan Inggris.[49]

Melihat latar belakang keluarga al-Attas, Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah sosok yang dapat dikategorikan tergolong berdarah biru, yang bukan berasal dari keluarga biasa secara sosio kultural, akan tetapi dari golongan Ningrat.[50]

Di dalam dirinya mengalir tidak hanya darah biru tetapi juga semangat dan emosi keagamaan yang luhur dan tinggi dalam hirarki spiritualitas Islam, yakni keluhuran dan kesucian pribadi seperti yang diajarkan dalam ajaran tasawuf.[51]

Sejarah pendidikannya dimulai sejak Ia masih berumur 5 tahun di Johor Baru sampai akhirnya Ia menjadi seorang ilmuwan yang berbagai karya-karyanya yang terkenal dalam berbagai bidang keilmuan, yang jumlahnya mencapai sekitar 22 buku dengan 30 makalah. Yang secara global dapat diklasifikasikan kepada 2 klasifikasi, yaitu karya-karya kesarjanaan (scholarly writing), dan karya-karya pemikiran lainnya. Ia juga aktif dalam berbagai organisasi dan menjadi dosen tetap di Univesitas Malaya serta berbagai jabatan sudah dialaminya. Salah satunya pada tahun 1968-1970, Ia menjabat sebagai ketua Departemen Kesusasteraan dalam pengkajian Melayu dan pada tahun 1970-1973, Ia menjabat dekan fakultas sastra dan lain sebagainya.[52]

Al-Attas mendirikan sebuah institusi pendidikan tinggi bernama International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Melalui institusi ini Al-Attas bersama sejumlah kolega dan mahasiswanya melakukan kajian dan penelitian mengenai Pemikiran dan Peradaban Islam, serta memberikan respons yang kritis terhadap Peradaban Barat.[53]

 

Pendidikannya dijalani dari Sekolah Dasar Johor Malaysia, setelah itu pada masa pendudukan Jepang ia kembali ke Jawa dan meneruskan pendidikannya di Madrasah Al Urwat al Wustha, Sukabumi.[54]

Kegiatan intelektual Al-Attas di mulai di universitas Malaya pada pertengahan 1960-an dan telah dapat membangkitkan kesadaran baru akan pentingnya peranan Islam dalam sejarah, nasionalisme dan kebudayaan Melayu. Ia telah berhasil menumbuhkan kesadaran baru tentang peranan Islam kepada mahasiswa dan masyarakat umum. Disamping itu ia mengkritisi berbagai disiplin ilmu filsafat, kebudayaan dan politik yang telah terbaratkan. Ide-ide itu terlukiskan dalam karya-karyanya yang antara lain The origin of the Malaya Syair (1968), Prelimenary Statement on the Islamization of the malay-Indonesian Archepelago (1969) dalam hal ini Al-Attas bukan berarti antipati terhadap pemikiran Barat. Dalam pengembangan disiplin-disiplin keilmuan tidak hanya didasarkan kepada ajaran- ajaran Islam, tetapi harus di analisis dengan filsafat Yunani dan Yahudi-Kristen serta tradisi-tradisi klasik abad pertengahan.[55]

Syed Naquib al-Attas memberikan pengertian Islamisasi pengetahuan sebagai pembebasan manusia dari magic, mitos, animism dan tradisi kebudayaan kebangsaan dan selanjutnya dominannya sekulerisme atas pikiran dan bahasanya.[56]

Al-Attas memandang bahwa umat Islam menghadapi tantangan terbesar saat ini yaitu dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang telah salah dalam memahami ilmu dan keluar dari maksud dan tujuan ilmu itu sendiri. Meskipun ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh peradaban barat telah memberikan manfaat dan kemakmuran kepada manusia, namun ilmu pengetahuan itu juga telah menimbulkan kerusakan dan kehancuran di muka bumi.[57]

Ilmu pengetahuan yang dikembangkan di atas pandangan hidup, budaya dan peradaban Barat, menurut Al-Attas dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu :

a.         Mengendalikan akal

b.         Bersikap dualistic

c.         Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan kehidupan sekuler

d.        Membela doktrin humanisme, dan menjadikan drama dan sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi manusia.[58]

Dengan kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan di atas, Al-Attas meyakini pentingnya digagas suatu gerakan Islamisasi pengetahuan, karena ilmu pengetahuan modern tidak netral dan masuk budaya dan filosofis yang sebenarnya berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Islamisasi ilmu pengetahuan modern bukan memberikan label Islam pada ilmu pengetahuan dan menolak semua yang berasal dari Barat, karena terdapat beberapa persamaan antara Islam dengan filsafat Barat.[59]

Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Attas dapat dilakukan dengan melalui dua proses yang berkaitan yaitu :

1.         Mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk peradaban Barat yang dimiliki oleh pengetahuan modern saat ini terutama ilmu pengetahuan Humaniora. Dengan demikian ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasinya harus ditundukkan dengan ajaran-ajaran Islam, khususnya dalam fakta-fakta dan formulasi teori-teori lainnya. Fakta dianggap tidak benar jika itu bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Unsur-unsur dan konsep-konsep Asing yang merusak ajaran Islam tersebut adalah: konsep dualisme yang meliputi hakikat dan kebenaran, doktrin humanisme, ideologi sekuler, konsep tragedi khususnya dalam kesusastraan. Keempat unsur asing tersebut telah menjangkiti ilmu khususnya dalam bidang sains kemanusiaan dan kemasyarakatan, sains fisik, terapan yang melibatkan perumusan fakta dan teori. Konsep-konsep inilah yang membentuk pemikiran dan peradaban Barat dan telah menular dikalangan umat Islam.

2.         Memasukan unsur-unsur, konsep-konsep Islam dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan modern yang relevan.[60]

Konsep-konsep Islam yang harus menggantikan konsep-konsep Barat tersebut adalah: manusia, din, ‘ilm dan ma’rifah, hikmah, al-‘adl, amal-adab dan konsep kulliyat-jam’iyah (universitas).[61]

Jika kedua proses Islamisasi tersebut dilakukan, maka manusia akan terbebas dari magic, mitologi, animisme, dan tradisi budaya yang bertentangan dengan Islam. Islamisasi ilmu pengetahuan akan membebaskan manusia dari keraguan (syakk), dugaan (dzann) dan argumentasi kosong menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual dan materi. Dan akhirnya Islamisasi akan membebaskan ilmu pengetahuan modern dan ideologi, makna dan pernyataan-pernyataan sekuler.[62]

Al-Attas menolak bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan sekedar memberikan labelisasi ilmu dengan prinsip-prinsip Islam. Islamisasi ilmu pengetahuan bertujuan agar umat Islam terlindungi dari pengaruh ilmu pengetahuan yang telah terjangkit unsur-unsur dan konsep Barat yang akan menimbulkan kesesatan dan kekeliruan, serta bertujuan mengembangkan ilmu yang hakiki yang dapat membangunkan pemikiran dan kepribadian umat Islam dan dapat menambahkan keimanan kepada Allah SWT. Dengan demikian Islamisasi ilmu pengetahuan akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan, keselamatan dan keimanan kepada Allah SWT.[63]

Al-Attas menolak posisi sains modern sebagai sumber pencapaian kebenaran yang paling otoritatif dalam kaitannya dengan epistemologis, karena banyak kebenaran agama yang tak dapat dicapai oleh sains__yang hanya berhubungan dengan realitas empirik. Pada tingkat dan pemaknaan seperti ini, sains bertentangan dengan agama. Baginya, dalam proses pembalikan kesadaran epistemologis ini, program Islamisasi menjadi satu bagian kecil dari upaya besar pemecahan "masalah ilmu."[64]

Memang dilema yang dihadapi oleh umat muslim pada saat sekarang ini adalah kekeliruan dan kesalahan dalam ilmu sehingga menyebabkan kehilangan adab di tengah-tengah umat. Dari sini juga timbul permasalahan yang sangat pelik di tengah umat Islam yaitu kemunculan pemimpin-pemimpin yang tak layak untuk memimpin umat Islam. Pemimpin yang tidak memiliki moral, intelektual dan spiritual yang tinggi untuk bisa memperbaiki dan memimpin umat Islam.[65]

Al-Attas berpendapat bahwa Islamisasi harus menyeluruh dari filosofi, paradigma hingga proses pembelajarannya yang menyesuaikan dengan karakteristik keilmuan Islam. Proses pembelajarannya mengamini dan melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh para intelektual Muslim pada masa lalu. Dominasi intelektual Muslim pada periode keemasan Islam merefleksikan keunggulan sistem pendidikan atau pembelajaran ilmu pengetahuan.[66]

D.      Pentingnya Islamisasi Ilmu

Islamisasi ilmu pada dasarnya adalah suatu respons terhadap krisis masyarakat modern yang disebabkan karena pendidikan Barat yang bertumpu pada suatu pandangan dunia yang lebih bersifat materialistis dan relavistis yang menganggap bahwa pendidikan bukan untuk membuat manusia bijak__yakni mengenali dan mengakui posisi masing-masing dalam tertib realitas___tetapi memandang realitas sebagai sesuatu yang bermakna secara material bagi manusia, dan karena itu hubungan manusia dengan tertib realitas bersifat eksploitatif bukan harmonis. Ini adalah salah satu penyebab munculnya krisis masyarakat modern.[67]

Islamisasi ilmu adalah suatu upaya pembebasan ilmu dari asumsi-asumsi atau penafsiran-penafsiran Barat yang sekularitas dan kemudian menggantikannya dengan pandangan dunia Islam. Selain itu, Islamisasi juga muncul sebagai reaksi terhadap adanya konsep dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan yang dianggap kontradiktif. Dalam catatan sejarah, hubungan ilmu dan agama mengalami pasang surut dan tak semulus yang seharusnya. Salah satu tokoh yang memaparkan pola relasi ilmu dan agama adalah Ian G. Barbour.[68] Sebagaimana dikutip oleh Ulya, Ian G. Barbour mengemukakan hubungan ilmu dan agama menjadi empat bagian, yakni :

Pertama, konflik pertentangan (conflict). Pandangan ini menempatkan agama dan ilmu dalam dua kutub ekstrim yang saling berlawanan. Menurutnya, agama dan ilmu mempunyai statemen-statemen dan praktik-praktik yang saling berlawanan pula. Agama mengasumsikan atau melihat suatu persoalan dari segi normatifnya (bagaimana seharusnya), sedangkan sains meneropongnya dari segi obyektifnya (bagaimana adanya). Agama melihat problematika dan solusinya melalui petunjuk Tuhan, sedangkan sains melalui eksperimen dan rasio manusia. Karena ajaran agama diyakini sebagai petunjuk Tuhan, kebenaran dinilai mutlak, sedangkan kebenaran sains relatif.[69]

Kedua, Independensi-Pemisahan (independence). Kelompok ini menyatakan bahwa antara agama dan ilmu harus dipisahkan ke dalam dua wilayah yang berbeda. Baik agama maupun ilmu dianggap mempunyai kebenaran sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain sehingga seharusnya masing-masing bisa hidup secara berdampingan dengan damai. Jadi, diantara keduanya memang tidak ada konflik tetapi juga tidak ada interaksi dan komunikasi, apalagi dialog antar keduanya.[70]

Ketiga, Dialog-Perbincangan (dialogue). Pandangan ini menyatakan bahwa antara ilmu dan agama di samping mempunyai perbedaan juga mempunyai kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama lain. Antara agama dan ilmu memiliki kesejajaran karakteristik yaitu koherensi, kekomprehensifan dan kemanfaatan serta metodologis. Dalam menghubungkan agama dan ilmu, pandangan ini dapat diwakili oleh pendapat Albert Einstein yang mengatakan bahwa Religions without science is blind, sciences without religions is lame. Tanpa sains agama akan menjadi buta dan tanpa agama, sains akan lumpuh.[71]

Keempat, Integrasi-perpaduan (integration). Pandangan ini menganggap bahwa antara ilmu dan agama mempunyai titik temu diantara keduanya. Doktrin-doktrin keagamaan dan ilmu sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia, bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui ilmu diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman. Dalam hal ini Haught menyatakan bahwa antara ilmu dan agama harus saling mengukuhkan, artinya agama dapat memainkan peran dalam pengembangan ilmu yang lebih bermakna. Begitu pula, temuan-temuan ilmu hendaknya dapat memperkaya dan memperbarui pemahaman agama. Dengan demikian ilmu hendaknya dapat mempengaruhi manusia sampai pada kemuliaan Sang Pencipta dan mempengaruhi perhatian manusia secara langsung pada kemegahan alam fisik ciptaan-Nya. Sedangkan dengan agama dapat memberi motivasi kepada manusia pada pembangkitan kerja ilmiah, juga berfungsi untuk mencegah penggunaan ilmu dari tujuan yang menyimpang dari agama dan kemanusiaan.[72]

Dari perkembangan ini terjadilah apa yang bisa kita sebut sebagai ‘sekularisasi’ ilmu dengan segala konsekuensinya yang berbahaya. Sekularisasi ini tidak terjadi begitu saja, melainkan diusahakan secara sadar dan sistematis.[73]

Pemisahan ilmu dari agama sebagaimana telah dijelaskan di atas pada gilirannya telah menimbulkan problem teologis yang krusial, karena lama kelamaan banyak ilmuan Barat merasa tidak perlu lagi menyinggung atau melibatkan Tuhan sedikit pun dalam penjelasan keilmuan mereka. Bagi mereka, Tuhan seolah-olah telah berhenti menjadi apapun, termasuk menjadi pencipta dan pemelihara alam semesta.[74] Dalam perspektif sejarah, pemisahan ilmu dari aspek keagamaan ini bermula dengan adanya gerakan renaissance pada abad 15 M. Gerakan ini berhasil menyingkirkan peran agama dan mendobrak dominasi gereja Roma dalam kehidupan sosial dan intelektual masyarakat Eropa sebagai akibat dari sikap gereja yang memusuhi ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan di Eropa dan Barat mengalami perkembangan setelah memisahkan diri dari pengaruh agama. Setelah itu, berkembanglah pendapat-pendapat yang merendahkan agama, karena kemajuannya yang begitu pesat di Eropa dan Amerika sebagaimana yang disaksikan sampai sekarang.[75]

Sains dan teknologi yang demikian itu selanjutnya digunakan untuk mengabdi kepada kepentingan manusia semata-mata, yaitu untuk tujuan memuaskan hawa nafsunya, menguras isi alam untuk tujuan memuaskan nafsu konsumtif dan materialistik, menjajah dan menindas bangsa-bangsa yang lemah, melanggengkan kekuasaan dan tujuan-tujuan destruktif lainnya.[76]

Sikap ilmuan seperti itu, tentu saja tidak cocok dengan sikap dan kepribadian masyarakat Indonesia, terlebih Islam yang religius dan selalu percaya dengan sepenuh hati bahwa alam semesta tak lain kecuali hasil ciptaan dan tanda kebesaran Tuhan. Mereka juga meyakini bahwa sumber ilmu serta metodenya tidak terbatas pada observasi tetapi juga akal, intuisi dan wahyu.[77]

Penyimpangan dari tujuan penggunaan ilmu pengetahuan yang demikian itulah yang direspon melalui konsep Islamisasi Ilmu yaitu upaya menempatkan sains dan teknologi dalam bingkai Islam, dengan tujuan agar perumusan dan pemanfaatan sains dan teknologi itu ditujukan untuk mempertinggi harkat dan martabat manusia, melaksanakan fungsi kekhalifahannya di muka bumi serta tujuan-tujuan luhur lainnya. Inilah yang menjadi salah satu misi Islamisasi ilmu.[78]

Hingga saat ini ilmu pengetahuan diyakini tidak netral dan tergantung kepada bagaimana dia diciptakan. Prof. Dr. Hamidullah Marazi pada Head of Department of Religious Studies, Central University of Kashmir, India memaparkan bahwa agama merupakan akar dari ilmu pengetahuan. “Ini menjadi jawaban kenapa umat Islam saat ini tidak maju, karena terjadi korupsi keilmuan. Dimana tidak adanya Islamisasi ilmu dalam internal umat Islam sendiri,” tuturnya dalam kegiatan Public Lecture “Integration of Knowledge, Islamic Education Reform/Tajdid and the Need of the New Textbbok Writing in Universities” Senin (26/2) di Gedung Kasman Singodimedjo Pascasarjana UMY.[79]

Berdasarkan hal tersebut maka Dr. Hamidullah memaparkan perlunya langkah-langkah untuk melaksanakan Islamisasi ilmu pengetahuan. Terdapat tiga langkah yang perlu untuk dilakukan. Yang pertama adalah penguasaan bahasa, khususnya bahasa Arab yang telah dipilih sebagai bahasa untuk Al-Quran. Yang kedua dengan cara pengembangan filsafat ilmu Islam. Selain itu, perlu juga ditumbuhkan rasa ingin mengerti dan mendalami ilmu pengetahuan melalui Al-Quran. “Dengan mengkaji pemahaman lebih dalam mengenai Al-Quran. Salah satunya dengan mengkaji lebih dalam tentang istilah tafakkur dan tadabbur di dalam Al-Quran,” jelasnya. Yang terakhir yang dianggap cukup penting adalah dengan memurnikan kembali tasawuf. Menurut Dr. Hamidullah dalam aspek tasawuf masih terdapat poin-poin yang berasal dari luar Islam.[80]

Selanjutnya Dr. Syamsuddin Arif menguraikan lima alasan kenapa Islamisasi ilmu itu perlu dan penting dilakukan. Pertama, ilmu yang di pelajari dan diajarkan hari ini di seluruh dunia____termasuk di negara-negara Islam___adalah ilmu yang dihasilkan dari peradaban Barat, yaitu ilmu yang telah menyimpang dari tujuan hakikinya. Sebab ilmu pengetahuan modern tidak memberikan kedamaian dan kebahagiaan, tetapi justru membawa kekacauan dan ketidakadilan dalam kehidupan umat manusia. Kedua, ilmu pengetahuan modern justru membuahkan keragu-raguan dan kekeliruan, skeptisisme dan confusion. Ketiga, ilmu pengetahuan modern kini telah menjadikan dugaan dan perkiraan sebagai ilmu dan kebenaran. Keempat, ilmu pengetahuan itu sebenarnya tidak bebas nilai alias tidak netral, karena hakikatnya mencerminkan suatu pandangan hidup, ideologi, atau akidah penggiatnya. Kelima, ilmu yang disajikan oleh peradaban Barat  sekarang ini telah mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil, dilebur secara halus sehingga sulit untuk mengenali lagi mana yang benar dan mana yang palsu.[81]

Mengutip pendapat Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas ia menjelaskan posisi umat Islam yang serba salah. Jika mau ikut Barat hancur, tidak ikut Barat mundur babak-belur.[82]

Dilema yang dirasakan hari ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, karena kekeliruan dan kesalahfahaman mengenai ilmu, yang akibatnya melahirkan gejala kurang ajar. Kedua, lenyapnya sikap menghargai dan tahu menempatkan diri (Lost of Adab) di masyarakat. Dan berakibat pada aspek ketiga,  yaitu munculnya pemimpin-pemimpin palsu, pemimpin yang tidak memiliki visi dan misi islami, tidak berakhlak mulia, dan tidak mempunyai daya intelektual dan rohaniah yang diperlukan.[83]

Dengan menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam dan para sahabat sebagai model teladan, maka langkah pertama Islamisasi adalah mengislamkan akal dan pemikiran melalui Islamisasi bahasa.[84]

Dua jenis ilmu yang dibagi oleh al-Attas (ilmu dari didapat langsung dari Allah melalui wahyu dan ilmu yang dihasilan lewat pengalaman, perenungan dan penelitian). Jenis yang pertama dari ilmu ini mesti menjadi asas kepada jenis ilmu yang kedua.[85]

Kemudian langkah Islamisasi lainnya adalah dengan memisahkan unsur-unsur asing___dalam hal ini adalah Barat sekular___termasuklah konsep-konsep penting dalam ilmu kemanusiaan.[86]

Setelah melakukan penyaringan itu, ilmu-ilmu yang telah dibersihkan itu diolah kembali dengan unsur-unsur dan konsep-konsep penting Islam. Selanjutnya dilakukan perumusan dan penyatuan atau integrasi unsur-unsur tersebut supaya terhasil ilmu Islami yang dapat dipakai dalam sistem pendidikan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.[87]

E.       Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam

Pandangan Al-Faruqi dan Al-Attas tentang islamisasi ilmu pengetahuan, dalam kerangka operasionalnya Islamisasi ilmu pengetahuan____menurut Muhaimin__terdiri dari beberapa model yaitu:

1.    Purifikasi, yaitu Islamisasi ilmu pengetahuan yang mempunyai arti penyucian dan pembersihan. Model ini mengandung pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan harus dapat menyucikan ilmu pengetahuan agar sesuai dan sejalan dengan ajaran Islam. Model ini yang dikenal dalam pemikiran Al-Faruqi dan Al-Attas dalam Islamisasi ilmu pengetahuan. Al-Faruqi menggunakan model ini dengan memberikan langkah-langkah dalam Islamisasi, yaitu :

a.         Menguasai khazanah intelektual muslim.

b.         Menguasai khazanah ilmu pengetahuan modern.

c.         Identifikasi kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan modern dalam perspektif ajaran islam.

d.        Rekonstruksi ilmu pengetahuan agar selaras dengan ajaran Islam.[88]

2.    Modernisasi, Islamisasi ilmu pengetahuan model modernisasi adalah membangun semangat umat Islam untuk selalu modern, maju, progresif, terus menerus mengusahakan perbaikan-perbaikan bagi diri dan masyarakatnya agar terhindar dari keterbelakangan dan ketertinggalan dibidang ilmu pengetahuan. Sebagai seorang modernis seringkali berusaha memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadits, dengan mempertimbangkan khazanah intelektual pada masa kontemporer dan mengabaikan pemikiran-pemikiran tokoh intelektual muslim klasik.[89]

3.    Neo Modernisme, Islamisasi ilmu pengetahuan dengan pola neo modernisme adalah upaya memahami ajaran-ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur an dan Al-Hadits dengan memperhatikan pemikiran intelektual muslim klasik dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang digunakan ilmu pengetahuan kontemporer.[90]

Model ini berlandaskan pada metodologi sebagai berikut:

a.         Persoalan-persoalan umat Islam kontemporer harus dicari penjelasannya dari hasil ijtihad pemikir Islam terdahulu yang merupakan hasil penafsiran terhadap al-Qur‟an

b.         Jika dalam tradisi dan ijtihad ulama terdahulu tidak ditemukan maka ditelaah kondisi sosio cultural sehingga lahir ijtihad ulama-ulama tersebut

c.         Telaah sosio historis yang akan melahirkan etika sosial al-Qur an,

d.        Etika sosial al-Qur an menghasilkan penjelasan dalam menjawab persoalan umat Islam dengan bantuan pendekatan ilmu-ilmu modern.[91]

F.       Implikasi Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan 

Dalam konteks Pendidikan Islam, Islamisasi ilmu pengetahuan dengan model purifikasi dapat diterapkan misalnya dalam mempurifikasi teori pengetahuan modern dalam pendidikan, yang kemudian disesuaikan dengan pemikiran para tokoh intelektual muslim. Sebagai contoh, teori yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan seseorang kaitannya dengan belajar.[92]

Terdapat tiga aliran yang menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan jiwa seseorang yaitu:

a.         Aliran Nativisme, aliran ini meyakini bahwa perkembangan jiwa seseorang dipengaruhi oleh faktor pembawaan.

b.         Aliran Empirisme, yang meyakini bahwa perkembangan jiwa seseorang dipengaruhi oleh lingkugan.

c.         Aliran Konvergensi yang mendudukan kedua faktor di atas.[93]

Dalam khazanah pemikiran intelektual muslim klasik dikenal perkataan Al-Syafii yang terkenal yaitu “ ilmu itu adalah cahaya Allah tidak diberikan pada orang-orang yang melakukan maksiyat kepada-Nya”. Perkataan Al-Syafii di atas menegaskan ada faktor hidayah yang mempengaruhi perkembangan seseorang.[94]

 Sedangkan Islamisasi ilmu pengetahuan dengan model modernisasi dalam konteks pendidikan, berkaitan dengan modernisasi pendidikan Islam baik secara kelembagaan___dalam hal ini pesantren dan madrasah___maupun dalam pengembangan kurikulum. Dalam modernisasi pendidikan pesantren dikenal dengan berbagai sistem dan metode pembelajaran yang dilaksanakan pesantren. Sejarah pembelajaran pesantren yang pada awal pertumbuhannya menggunakan sistem non kelas, diubah dan diperbaiki dengan sistem berkelas (klasikal) dan berjenjang mulai tingkat dasar (ibtida’iyah), menengah pertama (Tsanawiyah), maupun menengah atas (aliyah). Demikian juga dalam pendidikan madrasah selama ini telah diadakan perbaikan-perbaikan diantaranya dengan munculnya berbagai madrasah unggulan seperti MAPK, yang kini berubah menjadi MAK.[95]

Dalam pengembangan kurikulum, lembaga-lembaga pendidikan Islam terutama madrasah terjadi perubahan-perubahan kurikulum menuju kesempurnaan.[96]

Selanjutnya Islamisasi pengetahuan dengan model neo modernisme dalam pendidikan Islam misalnya dapat dilakukan dengan mengangkat penyataan Al Ghazali yang memberikan anjuran-anjuran kepada guru dalam mengajar. Al-Ghazali menyatakan mengajar adalah pekerjaan dan tugas yang mulia. Sedemikian tinggi penghargaan Al-Ghazali terhadap pekerjaan guru sehingga ia memberikan perumpamaan sebagai Matahari, yang merupakan sumber kehidupan dan sumber penerangan di langit dan di bumi. Perkataan Al-Ghazali di atas dapat dijadikan sebuah penekanan tentang bagaimana guru harus mengajar dan membimbing anak, yang ditekankan pada pencitraan figur guru yang dapat menjadi teladan bagi anak didiknya di samping sebagai pengajar dan pendidik. Ini untuk menjawab persoalan mendasar pendidikan umat Islam masa sekarang, ketika umat telah kehilangan figur-figur teladan yang patut dicontoh dan di tiru.[97]

Pepatah mengatakan, “Science without religion is lame, religion without science is blind” yang maknanya ilmu tanpa agama lumpuh, dan agama tanpa ilmu buta. Dari pepatah tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa antara ilmu dan agama tidak boleh dipisahkan, antara ilmu dan agama saling membutuhkan dan paduan antara keduanya akan membentuk suatu kebijaksanaan dan kebijaksanaan yang ditimbulkan dari ilmu pengetahuan tersebut bersumber dan hanya milik Allah SWT semata.[98]

Dalam ajaran Islam, ilmu harusnya yang rasional, sesuai dengan akal dan dapat dijangkau oleh kekuatan akal pikiran manusia. Walaupun demikian, masih ada ilmu yang belum dapat dicapai oleh pikiran. Bentuk ilmu ini menunggu perkembangan atau modifikasi ilmu-ilmu sebelumnya. Dengan kebebasan berfikir, berperasaan dan bertindak yang telah diberikan kepada Allah SWT kepada manusia, mereka harus mempertanggungjawabkan   segala perbuatannya dihadapan Allah SWT. Seluruh alam semesta ini diciptakan oleh dan atas kehendak yang bebas dari Allah menurut kodrat dan irodat-Nya. Manusia dilengkapi dengan bekal dan sarana hidup dan kehidupannya, baik fisik maupun non fisik. Manusia telah diberi kemampuan dan kesanggupan untuk menilai sesuatu dan mengambil keputusan untuk bertindak berdasarkan ilmu pengetahuannya dari hasil akal pikirannya, perasaan dan kesadarannya.[99]

Pendidikan Islam pada dasarnya tidak menghendaki adanya dikotomi keilmuan, karena sistem dikotomi akan menyebabkan sistem pendidikan Islam menjadi sekularistis, rasionalistis, empiristis, intuitif dan materialistis.[100]

 Kondisi yang demikian akan sulit mempertemukan dan mengkolaborasikan ilmu pada satu fokus, sehingga jarang sekali ditemukan tokoh yang kuat antara “ilmu agama” dan “ilmu umum” pada era sekarang. Artinya tokoh yang dapat menguasai “ilmu agama” sekaligus “ilmu umum” seperti kedokteran, kimia, ekonomi dan sebagainya.[101]

Keadaan demikian tidak bisa mendukung tata kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islam. Oleh karena itu, ilmu-ilmu yang diberikan kepada anak didik harus dijadikan substansi dalam membuat desain kurikulum pendidikan di lembaga pendidikan Islam.[102]

Dengan demikian, peningkatan ilmu harus dibarengi dengan peningkatan kebijaksanaan (suatu konsepsi yang benar mengenai tujuan hidup) yang sementara ini belum diberikan oleh sains sehingga tidak cukup untuk menjamin semua kemajuan sejati, meskipun sains ini telah memberikan formulasi yang diperlukan dalam kemajuan.[103]

Selanjutnya implikasi Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam pendidikan tercantum dalam beberapa aspek diantaranya :

1.       Aspek Kelembagaan

Islamisasi dalam aspek kelembagaan ini dimaksud adalah penyatuan dua sistem pendidikan, yakni pendidikan Islam (agama) dan sekuler (umum). Artinya melakukan modernisasi bagi lembaga pendidikan agama dan Islamisasi pendidikan sekuler. Adanya lembaga pendidikan modern (Barat sekuler), dipandang sebagai kamuflase yang mengatas namakan Islam dan menjadikan Islam sebagai simbol, untuk mengantisipasi keadaan ini maka perlunya dibangun lembaga pendidikan baru sebagai tandingan. Sepertinya implikasi dari Islamisasi ilmu pengetahuan pada aspek kelembagaan adalah terbentuknya lembaga independen yang mengintegrasikan pengembangan keilmuan agama dan umum, jadi apapun nama lembaganya tersebut yang terpenting adalah terintegrasinya secara komprehensif antara sistem umum dan agama. Meskipun dalam tatanan sistematika keorgaanisasian lembaga mengadopsi Barat namun secara subtansial menerapkan sistem Islam.[104]

2.      Aspek Kurikulum

Mengkaji kurikulum tidak diserahkan pada satu tim saja, namun membutuhkan ahli-ahli di bidangnya, perbincangan ini harus dimulai sejak awal Islamisasi. Dalam hal ini kurikulum yang telah dikembangkan di Barat tidak boleh diabaikan. Rumusan kurikulum dalam Islamisasi ilmu pengetahuan dengan memasukkan segala keilmuan dalam kurikulum. Dengan demikian lembaga pendidikan memiliki kurikulum yang actual, responsive terhadap tuntutan permasalahan kontemporer. Artinya lembaga akan melahirkan lulusan yang visioner, berpandangan integrative, proaktif dan tanggap terhadap masa depan serta tidak dikotomik dalam keilmuan.[105]

3.       Aspek Pendidik

Dalam hal ini pendidik ditempatkan pada posisi yang selayaknya, artinya kompetensi dan professional yang mereka miliki dihargai sebagaimana mestinya. Bagi Al-Faruqi tidak selayaknya para pendidik mengajar dengan prinsip keikhlasan, pendidik diberikan honorarium sesuai dengan keahliannya. Terkait dengan pengajar yang memberikan pembelajaran pada tingkat dasar dan lanjutan tidak dibenarkan Islamologi atau misionaris, artinya harus pendidik yang benar-benar Islam dan memiliki basic keislaman yang mantap. Di samping itu, staf pengajar yang diinginkan dalam universitas Islam adalah staf pengajar yang saleh serta memiliki visi keislaman.[106]

Dengan demikian harus ada rumusan yang jelas tentang kriteria calon pendidik, selain indeks prestasi (IP) sebagai parameter kualitas intelektual, penting dilakukan wawancara menyangkut aqidah, keimanan, keaagamaan, jiwa dan sikap terhadap jabatan, kriteria ini juga harus ditopang oleh kode etik Islam tentang profesi pendidik. Seorang pendidik dituntut mempunyai kemampuan subtantif, yakni berupa gagasan dua segi keilmuan, yakni ilmu agama dan ilmu modern sekaligus.[107]

Selain kemampuan subtantif seorang pendidik juga dituntut memiliki kemampuan nonsubtantif, yakni berupa multiskill didaktis. Kemampuan ini mencakup ketrampilan dalam menggunakan metode dan strategi pembelajaran, pengelolaan atau manajemen pendidikan, pengevaluasian dan lain sebagainya, yang secara keseluruhan bertumpu pada unsur tauhid.[108]

 

BAB III

PENUTUP

A.      Kesimpulan

Dari pembahasan Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dan Implikasinya Dalam Pendidikan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 

1.      Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan   

Islamisasi ilmu sebenarnya telah dilakukan pertama kali oleh Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya upaya untuk melakukan Islamisasi Ilmu menurut beberapa sumber pertama kali diangkat Syed Husein Nasr, kemudian gagasan tersebut dikembangkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan selanjutnya gagasan tersebut disambut dan dipelopori oleh Ismail Raji al-Faruqi.

2.      Konsep Dasar dan Latar Belakang Islamisasi Ilmu Pengetahuan 

 

Menurut Al-Faruqi__yaitu kondisi realitas dunia Islam pada saat gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dikemukakan__disebutnya sebagai sebuah malaise (krisis) global yang di alami sebagian umat Islam di dunia Krisis tersebut telah menyebabkan umat Islam menempati posisi terendah di antara bangsa-bangsa lain dari segi kehidupan politik, ekonomi, agama, sosial dan budaya.

3.      Tokoh pelopor, biografi dan pemikirannya     

—  Ismail Raji al-Faruqi

Dilahirkan di Palestina dan akhirnya hijrah ke Amerika

Pemikirannya :

-   Penyebab tertinggalnya dunia Islam dibanding dunia barat modern, disebabkan kondisi pendidikan Islam yang mengalami krisis identitas, akibat pengaruh filsafat dan ilmu pengetahuan yang melanda sistem pendidikan Islam, yang berimplikasi pada terbelahnya sistem pendidikan Islam secara dikotomik yaitu menganggap ilmu itu terbelah menjadi dua, yaitu ilmu-ilmu sekuler (profane) dan ilmu-ilmu agama Islam.

- Berusaha mewujudkan dalam bentuk gerakan sistematik berupa pembuatan buku-buku ilmiah yang telah diislamkan terlebih dahulu, sebelum dijadikan referensi utama bagi proses pembelajaran pada jenjang pendidikan tinggi dalam Islam.

- Mengembangkan kembali metodologi pengembangan ilmu pengetahuan berbasis ajaran Islam pada masa modern, sebagaimana keberhasilan ulama-ulama klasik dalam mengislamkan ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani.

—  Syed Muhammad Naquib al-Attas

Beliau lahir pada tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat..

Pemikirannya :

-       Memandang bahwa umat Islam menghadapi tantangan terbesar saat ini yaitu dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang telah salah dalam memahami ilmu dan keluar dari maksud dan tujuan ilmu itu sendiri. Meskipun ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh peradaban Barat telah memberikan manfaat dan kemakmuran kepada manusia, namun ilmu pengetahuan itu juga telah menimbulkan kerusakan dan kehancuran di muka bumi.

-       Islamisasi ilmu pengetahuan dapat dilakukan dengan melalui dua proses yang berkaitan yaitu : Mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci      yang membentuk peradaban Barat yang dimiliki oleh pengetahuan modern saat ini. Memasukan unsur-unsur, konsep-konsep Islam dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan modern yang relevan

4.     Pentingnya Islamisasi Ilmu

Pemisahan ilmu dari agama pada gilirannya telah menimbulkan problem teologis yang krusial, karena lama kelamaan banyak ilmuan Barat merasa tidak perlu lagi menyinggung atau melibatkan Tuhan sedikit pun dalam penjelasan keilmuan mereka

Sikap ilmuan seperti itu, tentu saja tidak cocok dengan sikap dan kepribadian masyarakat Indonesia terlebih Islam yang religius dan selalu percaya dengan sepenuh hati bahwa alam semesta tak lain kecuali hasil ciptaan dan tanda kebesaran Tuhan.

Penyimpangan dari tujuan penggunaan ilmu pengetahuan yang demikian itulah yang direspon melalui konsep Islamisasi Ilmu yaitu upaya menempatkan sains dan teknologi dalam bingkai Islam, dengan tujuan agar perumusan dan pemanfaatan sains dan teknologi itu ditujukan untuk mempertinggi harkat dan martabat manusia, melaksanakan fungsi kekhalifahannya di muka bumi serta tujuan-tujuan luhur lainnya. Inilah yang menjadi sebab pentingnya Islamisasi ilmu.

5.      Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam

Pandangan Al-Faruqi dan Al-Attas tentang islamisasi ilmu pengetahuan, dalam kerangka operasionalnya Islamisasi ilmu pengetahuan____menurut Muhaimin__terdiri dari beberapa model yaitu: Purifikasi, Modernisasi, Neo Modernisme

6.      Implikasi Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan 

Model purifikasi dapat diterapkan misalnya dalam mempurifikasi teori pengetahuan modern dalam pendidikan, yang kemudian disesuaikan dengan pemikiran para tokoh intelektual muslim.

Model modernisasi dalam konteks pendidikan berkaitan dengan modernisasi pendidikan Islam baik  secara kelembagaan maupun dalam pengembangan kurikulum

Model Neo Modernisme dalam pendidikan Islam misalnya dapat dilakukan dengan mengangkat penyataan Al Ghazali yang memberikan anjuran-anjuran kepada guru dalam mengajar bahwa mengajar adalah pekerjaan dan tugas yang mulia.

Selanjutnya implikasi Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam pendidikan yang lain  diantaranya :

—   Dalam aspek Kelembagaan yaitu  penyatuan dua sistem pendidikan, yakni pendidikan Islam (agama) dan sekuler (umum).

—    Dalam aspek Kurikulum dengan cara mengkaji kurikulum tidak diserahkan pada satu tim saja, namun membutuhkan ahli-ahli di bidangnya, Rumusan kurikulum dalam Islamisasi ilmu pengetahuan dengan memasukkan segala keilmuan dalam kurikulum. Dengan demikian lembaga pendidikan memiliki kurikulum yang actual, responsive terhadap tuntutan permasalahan kontemporer. Artinya lembaga akan melahirkan lulusan yang visioner, berpandangan integrative, proaktif dan tanggap terhadap masa depan serta tidak dikotomik dalam keilmuan.

—   Dalam  aspek Pendidik, yaitu pendidik ditempatkan pada posisi yang selayaknya, artinya kompetensi dan professional yang mereka miliki dihargai sebagaimana mestinya. Seorang pendidik dituntut memiliki visi keislaman dan kemampuan subtantif, yakni berupa gagasan dua segi keilmuan, yakni ilmu agama dan ilmu modern sekaligus. Juga  dituntut memiliki kemampuan nonsubtantif, yakni berupa multiskill didaktis. Kemampuan ini mencakup ketrampilan dalam menggunakan metode dan strategi pembelajaran, pengelolaan atau manajemen pendidikan, pengevaluasian dan lain sebagainya, yang secara keseluruhan bertumpu pada unsur tauhid.

B.       Saran                             

Hendaknya intelektual-intelektual muslim segera menindaklanjuti dan merealisasikan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dalam pendidikan sebagaimana yang telah dirintis oleh ilmuan-ilmuan muslim terdahulu agar dapat melaksanakan fungsi kekhalifahannya di muka bumi serta sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yaitu terbentuknya manusia muslim seutuhnya (insan kamil) untuk mewujudkan terciptanya negara yang Baldatun Toyyibatun Wa Rabbun Ghafuur.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abu Fadl, Mona. 1990. Where East Meets West; The West on Agenda of Islamic Revival, Herndon. Virginia: International Institute Of Islamic Thought.

Al-Attas, Syed M. al- Naquib. 1990. Islam Dalam Sejarah Dan Kebudayaan Melayu. Bandung: Mizan.

Al-Faruqi, Ismail Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin Bandung: Pustaka Setia.

Al-Faruqi, Ismail Raji. tt. Islamization of Knowledge General Principles and Work Plann, Terj. bahasa Indonesia , Islamisasi Pengetahuan, Terj. Anas Mahyuddin, Islamisasi Pengetahuan.

Aziz, Abdul. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarya: Teras.

Baharuddin, dkk, 2011. Dikotomi Pendidikan Islam. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Iswati. 2017. Upaya Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam. At-Tajdid, Volume. 1, No. 1 Januari-Juni.

Jawahir. 1989. ”Syed M. al- Naquib al-Attas, Pakar Agama, Pembela Aqidah dan Pemikir Islam yang dipengaruhi paham orientalis”, dalam panji masyarakat, no. 603, edisi 21-28 Februari.

Kertanegara, Mulyadhi. 2007. Mengislamkan  Nalar. Jakarta : Erlangga.

Lapidus, Ira M. 2000. Sejarah Sosial Umat Islam, terj. Gufron A.Mas‟adi, Vol. 1,. Jakarta: Radja Grafindo Persada.

Mas’ud dkk, Abdurrachman. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Muhaimin. 2014. Wawasan Pendidikan Islam. Bandung: Marja.

Muzani, Saiful. 1991. Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Syed Muhammad Naquib al-Attas’’ dalam jurnal al-hikmah. No.3 edisi Juli – Oktober.

Nasution, Harun. 1985. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang

Nata, Abuddin. 2003. Manajemen Pendidikan ; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.

Novayani, Irma. 2017. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Pandangan Syed M. Naquib Al-Attas Dan Implikasi Terhadap Lembaga Pendidikan International Institute Of Islamic Thought Civilization (ISTAC), Jurnal Al-Muta’aliyah STAI Darul Kamal NW Kembang kerang Volume I No 1.

Rahardjo, M. Dawam. 2000. Strategi Islamisasi Ilmu Pengetahuan: dalam Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu  Pengetahuan, Moeflih Hasbullahed. Jakarta: Pustaka Cidesindo.

Soleh, Khudori. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakart: Pustaka Pelajar.

Suharto, Ugi. 2006. Islam dan Sekularisme, Islamia, Tahun I, No. 6, Juli-September.

Suprayogo, Imam. 2002. Quo Vadis Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press.

Syah, Muhibbin. 2002. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Ulya. 2009. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Kudus:  STAIN Kudus.

Wan Daud, Wan Mohd Nor. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas. Bandung: Mizan. cet. Ke-1.

http://inpasonline.com/mega-proyek-pemikiran-syed-naquib-al-attas/,

http://sirojtedunan.blogspot.com/2010/12/pembahasan-gagasan-islamisasi-ilmu.html,

http://www.umy.ac.id/islamisasi-ilmu-pengetahuan-penting-dilakukan.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Syed_Muhammad_Naquib_al-Attas,

https://sudiryona.wordpress.com/about/islamisasi-ilmu-pengetahuan-islam/

https://www.hidayatullah.com/berita/berita-dari anda/read/2015/11/22/83690/pentingnya-islt-yang-sekular.html

https://www.kompasiana.com/srimaulida/55802df411937355190285d4/islamisasi-ilmu-pengetahuan?page=all,

[1] Imam Suprayogo, Quo Vadis Pendidikan Islam (Malang: UIN Malang Press, 2002), 252.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Muhaimin, Wawasan Pendidikan Islam (Bandung: Marja, 2014),  335.

[6]https://www.kompasiana.com/srimaulida/55802df411937355190285d4/islamisasi-ilmu-pengetahuan?page=all, (online), diakses pada 18 Pebruari 2020, pukul 04.36 WIB.

[7] Iswati, Upaya Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam (At-Tajdid, Volume. 1, No. 1 Januari-Juni 2017), 92.

[8] Muhaimin, Wawasan..., 335.

[9] Ibid.

[10] Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakart: Pustaka Pelajar,  2004), 241.

[11] Ibid.

[12] Ibid., 242.

[13]Abdurrachman Mas’ud dkk, Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 113.

[14] Ibid.

[15]Ibid.

[16] Khudori Soleh., Wacana..., 243.

[17] Ibid.

[18] Ibid.

[19] Ibid., 244.

[20] Ibid.

[21] Khudori Soleh., Wacana..., 244.

[22] Abdurrachman Mas’ud dkk, Paradigma..., 119.

[23] Ibid.

[24] Abdurrachman Mas’ud dkk, Paradigma..., 119.

[25] Iswati, Upaya Islamisasi..., 95.

[26] Ibid.

[27]Kekalahan-kekalahan umat Islam dimulai dengan ekspansi dan penetrasi negara-negara Eropa ke wilayah-wilayah umat Islam pada abad ke delapan belas. Pada saat itu kekuatan Eropa mulai bangkit dan menembus kekuatan-kekuatan rezim-rezim umat Islam. Kekuatan-kekuatan negara Atlantik dan Eropa telah menampakkan ambisi untuk menguasai dan memperluas wilayah kekuasaan mereka di wilayah perbatasan bagian utara dan selatan masyarakat Muslim. Eropa Barat dan Rusia pada abad ini telah memulai ekspansinya melalui Asia Tengah dan Siberia menuju Pasifik. Pada wilayah-wilayah masyarakat muslim di Selatan, ekspansi bangsa Eropa di mulai dengan perlawatan perdagangan para saudagar Portugis, Belanda dan Inggris. Portugis mendirikan beberapa pusat kekuasaan Kolonial di Hindia dan Malaka. Pada abad 16 yang kemudian dilanjutkan Belanda yang menguasai Asia Tenggara pada abad ke 17. Sedangkan Inggris melalui ekspansi mereka dengan menguasai sebuah imperium di India dengan melalui persaingan yang ketat dengan Perancis. Pada abad akhir abad ke 18 Inggris telah berhasil menaklukan Bengal dan terus menjajah wilayah India. Lihat Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, terj. Gufron A.Mas’adi, Vol. 1, (Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2000), 89.

[28] Iswati, Upaya Islamisasi..., 96.

[29] Ibid.

[30] Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka Setia, 1984), 2-8. Gambaran tentang munculnya pertentangan antara umat Islam yang telah terbaratkan dengan mereka yang masih kokoh memegang ajaran Islam terjadi di Negara Turki dengan terbaginya umat Islam dalam pembaharuan di Turki, yaitu kaum sekuler, kaum nasionalis dan kaum agamawan (Islam). Golongan barat menghendaki agar pembaharuan di Turki didasarkan pada pembaharuan Barat, golongan Islam menghendaki pembaharuan tetap didasarkan kepada ajaran-ajaran Islam dan golongan nasionalis menghendaki pembaharuan didasari pada nilai-nilai nasionalisme bangsa Turki. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang,1985), 126.

[31] Iswati, Upaya Islamisasi..., 96.

[32] Ibid., 92.

[33]http://sirojtedunan.blogspot.com/2010/12/pembahasan-gagasan-islamisasi-ilmu.html, (online), diakses pada 18 Pebruari 2020, pukul 05.36 WIB.

[34] Ibid.

[35] Ibid.

[36] Ibid.

[37] Iswati, Upaya Islamisasi..., 92.

[38] Ibid.

[39] Ibid., 93.

[40] M. Dawam Rahardjo, Strategi Islamisasi Ilmu Pengetahuan: dalam Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu  Pengetahuan, Moeflih Hasbullahed (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000), 12-13.

[41] Iswati, Upaya Islamisasi..., 94.

[42] Ibid.

[43]Ismail Raji Al-Faruqi, Islamization of Knowledge General Principles and Work Plann, Terj. bahasa Indonesia , Islamisasi Pengetahuan, Terj. Anas Mahyuddin, Islamisasi Pengetahuan, 98-118. Lihat juga Mona Abu Fadl, Where East Meets West; The West on Agenda of Islamic Revival, Herndon (Virginia: international Institute of Islamic Thought, 1990), 54.

[44]https://sudiryona.wordpress.com/about/islamisasi-ilmu-pengetahuan-islam/(online), diakses  10 Oktober 2019, pukul 05.30 WIB.

[45] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas ( Bandung: Mizan, 2003) cet. Ke-1, 45.

[46] Jawahir,”Syed M. al- Naquib al-Attas, Pakar Agama, Pembela Aqidah Dan Pemikir Islam Yang Dipengaruhi Paham Orientalis”, dalam panji masyarakat, no. 603, edisi 21-28 Februari 1989, 32.

[47] Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam jurnal al-hikmah. ( No.3 edisi Juli – Oktober 1991 ), 90.

[48] Ibid.

[49] Ibid.

[50] Ibid.

[51] Ibid.

[52] Pidatonya tersebut telah diterbitkan di Indonesia, lihat Syed M. al- Naquib al-Attas, Islam Dalam Sejarah Dan Kebudayaan Melayu  (Bandung: Mizan, 1990).

[53]https://id.wikipedia.org/wiki/Syed_Muhammad_Naquib_al-Attas, (online) diakses  18 Pebruari 2020, pukul 06.17 WIB.

[54] Iswati, Upaya Islamisasi..., 94.

[55] Ibid., 95.

[56] Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan..., 98.

[57] Iswati, Upaya Islamisasi..., 97.

[58] Ibid., 98.

[59] Ibid.

[60] Ibid.

[61] Ibid.

[62] Menurut Al-Attas, istilah sekuler berasal dari kata seacullum yang mempunyai pengertian waktu ( time ) dan tempat ( location ). Dengan demikian seacullum itu berarti masa kini dan di sini. Masa kini berarti masa sekarang dan di sini berarti dunia ini. Jadi paham sekuler menurut Al-Attas adalah merujuk pada makna kesaatinian dan kedisinian. Kalau kata sekuler itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, maka kata yang paling mendekati kesesuaian adalah kedisinian ( hunalaniyah ), berdasarkan perkataan dalam bahasa Arab huna yang berarti di sini dan al ‘an yang berarti sekarang. Berdasarkan analisis di atas, Al-attas menerjemahkan sekuler ke dalam Bahasa Arab dengan almaniyah sebenarnya tidak menjelaskan pengertian konsep aliran itu. Dalam kesempatan lain Al-Attas menyarankan agar sekularisme diterjemahkan dengan syikulariyah dalam bahasa Arab, sehingga dapat memberikan pemahaman yang benar di kalangan umat Islam dengan tidak mereduksi makna dari konsep itu. Lihat Ugi Suharto, Islam dan Sekularisme, Islamia, Tahun I, No. 6, Juli-September, 2006.

[63] Iswati, Upaya Islamisasi..., 99.

[64] http://inpasonline.com/mega-proyek-pemikiran-syed-naquib-al-attas/, (online), diakses 18 Pebruari 2020, pukul 17.33 WIB.

[65] Irma Novayani, Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Pandangan Syed M. Naquib Al-Attas Dan Implikasi Terhadap Lembaga Pendidikan International Institute Of Islamic Thought Civilization (ISTAC), Jurnal Al-Muta’aliyah STAI Darul Kamal NW Kembang kerang Volume I No 1 Tahun 2017, 87.

[66]https://sudiryona.wordpress.com/about/islamisasi-ilmu-pengetahuan-islam/(online), diakses  10 Oktober 2019, pukul 20.30 WIB.

[67]Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2003), 96.

[68]Ulya, Filsafat Ilmu Pengetahuan  (Kudus:  STAIN Kudus, 2009), 66-73.

[69] Ibid.

[70] Ibid.

[71] Ibid.

[72] Ibid.

[73] Mulyadhi Kertanegara, Mengislamkan Nalar (Jakarta: Erlangga,  2007),  10.

[74] Ibid.

[75] Ibid.

[76] Ibid.

[77] Ibid.

[78] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan ; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2003), 99.

[79]http://www.umy.ac.id/islamisasi-ilmu-pengetahuan-penting-dilakukan.html (online) diakses 10 Oktober 2019, pukul 18.55 WIB.

[80] Ibid.

[81]https://www.hidayatullah.com/berita/berita-dari anda/read/2015/11/22/83690/pentingnya-islt-yang-sekular.html (online) diakses 10 Oktober 2019, pukul 19.15 WIB.

[82] Ibid.

[83] Ibid.

[84] Ibid.

[85] Ibid.

[86] Ibid.

[87] Ibid.

[88] Iswati, Upaya Islamisasi..., 100.

[89] Ibid., 101.

[90] Ibid.

[91] Ibid.

[92] Iswati, Upaya Islamisasi..., 101.

[93] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), 43- 46.

[94] Iswati, Upaya Islamisasi..., 101.

[95] Iswati, Upaya Islamisasi..., 102.

[96] Ibid.

[97] Ibid.

[98] Abdul Aziz, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarya:Teras, 2009), 113.

[99] Ibid. 114.

[100] Baharuddin, dkk, Dikotomi Pendidikan Islam (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2011), 79.

[101] Ibid.

[102] Ibid.

[103] Ibid.

[104] Iswati, Upaya Islamisasi..., 99.

[105] Ibid.

[106] Ibid., 100.

[107] Ibid.

[108] Ibid.

Related Posts