GAGASAN ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana kita sadari, bagaimanapun kemajuan
peradaban selalu didahului ilmu pengetahuan (sains). Bangsa yang maju adalah
bangsa yang menguasai dan unggul dalam hal penguasaan ilmu. Kenyataan ini telah
dibuktikan dalam sejarah kejayaan Islam antara tahun 132 H-656 H (750 M-1258 M)
dimana negeri-negeri Islam pada saat itu menunjukan kemampuan di bidang ilmu
pengetahuan dengan semangat keilahian yang bersumber dari Al Quran dan Hadits.
Selama rentang enam abad betapa hebat perkembangan ilmu pengetahuan sehingga
mampu melahirkan berbagai tokoh-tokoh handal, seperti Al-Farazi sebagai astronom
Islam yang pertama kali menyusun Astrolobe, al-Razi dan Ibnu Sina dalam bidang
kedokteran, Jabir bin Hayyan dalam bidang kimia, Musa al-Khawarizmi dalam
bidang matematika.[1]
Akan tetapi sangat disayangkan karena beberapa
faktor baik internal maupun eksternal setelah periode ini berakhir, Islam justru
mengalami kemunduran.[2]
Kendati demikian, zaman modern tampaknya
memberi kemungkinan baru bagi umat muslim untuk memperluas cakrawala dan
menjadi kreatif kembali. Mereka tidak hanya mengagungkan kejayaan masa lampau
tetapi bagaimana menggali kembali etos kerja keilmiahan para ilmuwan muslim
terdahulu yang terpadu dengan semangat ajaran keahlian.[3]
Dengan mencermati kondisi tersebut dimana
dampak-dampak ilmu pengetahuan modern yang mengancam eksitensi kemanusiaan
terutama umat Islam, nampaknya telah mengusik kesadaran para pemikir dunia,
antara lain Ismail Raji al-Faruqi, Sayyed Hossein Nasr dan Syed Muhammad Naquib
al-Attas dengan ide-ide besarnya ingin mengembalikan kembali gerakan Islamisasi
ilmu pengetahuan (Islamization Of Knowledge). Ide ini disemangati oleh obsesi
untuk mengembalikan ilmu pengetahuan dalam kekuatan Islam (muslim) sebagaimana
pada masa klasik.[4]
Dengan adanya Islamisasi ilmu ini diharapkan
akan memberi implikasi terhadap pengembangan kurikulum pendidikan Islam. Adanya
pembaruan dalam kurikulum yang berupa upaya perpaduan ilmu agama dan ilmu umum,
kegiatan pendidikan Islam akan berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan
Islam yang ditetapkan yaitu terbentuknya manusia muslim seutuhnya.
Berangkat dari latar belakang masalah
tersebut di atas, maka penulisan makalah
ini kami beri judul “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dan Implikasinya Dalam
Pendidikan”.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan Masalah dalam makalah ini akan membahas
diantaranya :
1.
Bagaimana sejarah awal mula munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan?
2.
Apa konsep dasar yang melatarbelakangi munculnya Islamisasi ilmu
pengetahuan ?
3.
Siapa tokoh pelopornya serta bagaimana biografi dan pemikirannya ?
4.
Apa pentingnya Islamisasi ilmu itu ?
5.
Bagaimana terjadinya proses Islamisasi ilmu pengetahuan dalam Pendidikan Islam ?
6.
Apa implikasi Islamisasi ilmu pengetahuan dalam Pendidikan ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
mendiskripsikan tentang :
1.
Sejarah awal mula munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan
2.
Konsep dasar dan lataang Islamisasi ilmu pengetahuan
3.
Tokoh pelopor, biografi dan pemikirannya
4.
Pentingnya Islamisasi ilmu
5.
Islamisasi ilmu pengetahuan dalam Pendidikan Islam
6.
Implikasi Islamisasi ilmu pengetahuan dalam pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu sebenarnya telah dilakukan
pertama kali oleh Nabi Muhammad SAW yakni ketika beliau mendakwahkan ajaran
keimanan (tauhid) dan memperbaiki moralitas (akhlak) umat manusia, untuk
memberantas segala mitos dan keyakinan hidup yang tidak mempunyai dasar yang
kokoh, serta membangun sikap mental mereka agar tidak terbelenggu dan
terpenjara oleh segala sesuatu yang selain Allah. Karena itu, apa yang
didakwahkan oleh beliau merupakan perwujudan dari nilai keimanan kepada Allah
yang tersimpul dalam pernyataan “Tiada Tuhan selain Allah”.[5]
Selanjutnya munculnya isu Islamisasi ilmu
pengetahuan ini adalah sebagai respon atas dikotomi antara ilmu agama dan sains
yang dimasukkan Barat sekuler dan budaya masyarakat modern ke dunia Islam.
Kemajuan yang dicapai sains modern telah membawa pengaruh yang menakjubkan,
namun di sisi lain juga membawa dampak yang
negatif, karena sains modern (Barat) kering nilai atau terpisah dari
nilai agama. Di samping itu Islamisasi Ilmu Pengetahuan juga merupakan reaksi
atas krisis sistem pendidikan yang dihadapi umat Islam, yakni adanya dualisme
sistem pendidikan Islam dan pendidikan modern (sekuler) yang membingungkan umat
Islam.[6]
Dan juga ide Islamisasi ilmu pengetahuan berangkat
dari kondisi yang memprihatinkan di dunia Islam pada masa modern yang mengalami
ketertinggalan ilmu pengetahuan dan dominasi ilmu pengetahuan Barat yang
sekuler yang dewasa ini berkembang di dunia Islam.[7]
Selanjutnya upaya untuk melakukan Islamisasi
Ilmu menurut beberapa sumber pertama kali diangkat Syed Husein Nasr dalam
beberapa karyanya sekitar tahun 1960-an. Saat itu, Nasr berbicara dan
membandingkan antara metodologi ilmu-ilmu keIslaman dengan ilmu-ilmu umum,
terutama ilmu alam, matematika, dan metafisika. Menurutnya, apa yang dimaksud
ilmu dalam Islam tidak berbeda dengan ‘scientia’ dalam istilah Latin. Perbedaan
diantara keduanya adalah metodologi yang dipakai. Ilmu-ilmu keIslaman tidak
hanya memakai metodologi rasional dan cenderung posivistik, melainkan
menerapkan berbagai metodologi, rasional, tekstual, bahkan intuitif sesuai
dengan obyek yang dikaji.[8]
Beberapa tahun kemudian gagasan tersebut
dikembangkan dan diresmikan sebagai proyek Islamisasi ilmu oleh Syed Muhammad
Naquib al-Attas tahun 1977. Ia menulis makalah tentang Islamisasi ilmu tersebut
yakni Preliminary Thought on the Nature of Knowledge and the Definition and
Aims of Education, yang disampaikan di First World Comperence on Moslem
Education di Makkah, atas sponsor Universitas King Abdul Aziz.[9]
Ide ini selanjutnya lebih disempurnakan oleh
Naquib sendiri dengan ditulisnya buku The Concepts of Education in Islam A
Framework for an Islamic Philosophy of Education, (Kuala Lumpur, ABIM, 1980),
disamping Islam and Secularism, (Kuala Lumpur, ABIM, 1978).[10]
Berbeda dengan Nasr yang baru sekedar berusaha
menyandingkan atau mempertemukan ilmu-ilmu Barat dan ilmu-ilmu keislaman,
Naquib telah berbicara tentang persoalan ontologis sekaligus epistemologis
ilmu. Menurutnya, Islamisasi ilmu tidak hanya dilakukan dengan mempertemukan
diantara keduanya melainkan perlu adanya rekonstruksi ontologis dan
epistemologis, karena dari sinilah sebuah keilmuan lahir.[11]
Gagasan Islamisasi ilmu ini mendapat sambutan
yang luar biasa dari para intelektual muslim di dunia. Karena itu, pada tahun
1977 itu juga, diadakan konferensi internasional pertama di Swiss, untuk
membahas lebih lanjut ide Islamisasi ilmu tersebut. Konferensi yang dihadiri 30
partisipan ini berusaha menelusuri penyebab terjadinya krisis di kalangan umat
Islam dan cara mengatasinya. Solusi yang disepakati adalah mencari pendekatan
secara sistematis dan mencari metodologi yang tepat untuk membangun sistem
pengetahuan Islam yang mandiri sebagai fondasi peradaban Islam.[12]
Konferensi pertama tersebut ternyata memberi
pengaruh besar terhadap para ilmuan muslim dunia. Di Amerika, gagasan
Islamisasi ilmu disambut dan dipelopori oleh Ismail Raji al-Faruqi, sehingga
didirikan sebuah perguruan tinggi, The International Institute of Islamic Thought
(IIIT), tahun 1981 di Washington.[13]
Sejak berdirinya, IIIT telah menekankan
perlunya untuk melatih dan mendidik sarjana-sarjana muslim dalam bidang
Islamisasi ilmu sosial dan mendorong mereka untuk melakukan penelitian dan
menulis topik-topik sosial dari sudut pandang Islam.[14]
Selanjutnya bekerja sama dengan Association of
Muslim Social Scientist (AMSS), IIIT telah berhasil menerbitkan jurnal yang
bernama American Journal of Islamic Sosial Sciences (AJISS). Jurnal ini
bertujuan untuk menjadi jembatan bagi seluruh intelektual dan sarjana muslim di
seluruh dunia untuk meningkatkan atau mengembangkan pendekatan kesarjanaan
dalam disiplin ilmu sosial dan kajian-kajian humaniora.[15]
Secara terperinci IIIT bertujuan untuk :
1.
Meningkatkan pandangan Islam yang universal dalam mengkaji dan memperjelas
masalah global Islam.
2.
Mengembalikan jati diri intelektual dan kultural umat Islam lewat usaha
Islamisasi ilmu, kemanusiaan, sosial dan meneliti serta memahami secara
mendalam pemikiran kontemporer dalam dunia Islam untuk kemudian mencari
kemungkinan solusinya.[16]
3.
Mengembangkan suatu pendekatan komprehensif yang Islami terhadap
ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat kontemporer bagi cita-cita Islam dan manusia.
4.
Menghidupkan pemikiran Islam, mengembangkan metodologinya dan menghubungkannya
dengan tujuan syariah.
5.
Mengembangkan, mengkoordinasi dan mengadakan penelitian langsung dalam
bidang-bidang yang berbeda sehingga mampu memproduksi buku-buku teks yang
menjelaskan visi-visi dan meletakkan dasar bagi disiplin ilmu Islam dalam
ilmu-ilmu tentang kemanusiaan.
6.
Mengembangkan sumber daya manusia yang mampu mencapai tujuan-tujuan
tersebut.[17]
Beberapa tahun kemudian pada tahun 1983 diadakan
konferensi II di Islamabad, Pakistan untuk menindaklanjuti konferensi I.
Konferensi II ini mempunyai tujuan :
1.
Mengekspos hasil-hasil konferensi I dan rumusan masalah yang telah
dihasilkan IIIT tentang cara mengatasi krisis di kalangan umat.
2.
Mengupayakan suatu penelitian dalam rangka mengevaluasi krisis tersebut
dan juga mencari penyebab dan gejalanya.[18]
Menurut hasil penelitian IIIT, faktor yang
menyebabkan terjadinya krisis pemikiran di kalangan umat Islam adalah:
1.
Serangan Budaya Barat, termasuk pendidikan terutama bidang-bidang ilmu
sosial dan ilmu-ilmu humaniora. Banyak sarjana muslim yang mempelajari dan
mendalami ilmu ini tanpa mau menyadari bahwa ilmu-ilmu ini dikembangkan atas
dasar ontologis dan epistemologis yang sekuler, yang tidak mengakui wahyu
sebagai sumber keilmuan.
2.
Adanya gap (pemisah) antara seorang intelektual muslim dengan warisan
khasanah Islam sendiri, karena mereka lebih banyak mengadopsi serta meniru
secara buta pola pendidikan dan keilmuan Barat tanpa mau merujuk pada
literatur-literatur tradisional Islam yang sangat berharga.[19]
Setelah konferensi II, muncul konferensi III
yang diadakan tahun 1984 di Kuala Lumpur. Tujuannya adalah untuk mengembangkan
rencana formasi landasan berpikir umat Islam dengan mengacu secara lebih
spesifik kepada metodologi dan prioritas masa depan dan mengembangkan skema
Islamisasi masing-masing disiplin ilmu. Karena itu, makalah yang disajikan yang
meliputi disiplin ilmu Ekonomi, Sosiologi, Psikologi, Antropologi, Ilmu
Politik, Hubungan Internasional dan Filsafat dikupas secara kritis dan
dievaluasi prestasinya bagi kesejahteraan manusia, kemudian diberi saran-saran
untuk proyek Islamisasi.[20]
Tiga tahun kemudian, tahun 1987 diadakan
konferensi IV di Khortum, Sudan. Konferensi yang mengambil tema ‘metodologi
pemikiran Islam dalam Islamisasi ilmu-ilmu etika dan pendidikan’ ini membahas
tentang persoalan metodologi yang merupakan tantangan dan hambatan utama bagi
terlaksananya program Islamisai ilmu. Sebab, para pakar muslim yang memiliki
latar belakang pendidikan Barat ternyata tidak mampu menyajikan evaluasi dan
kritik mendalam terhadap penguasaan ilmu mereka sendiri, sehingga mereka tidak
siap memberikan kontribusi positif bagi pemikiran bidang etika dan pendidikan.[21]
Di Indonesia, Islamisasi ilmu telah direspon
secara positif melalui rekomendasi dari Konferensi Internasional pertama
tentang Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Pada tahun 1978 Menteri
agama RI telah mengambil langkah-langkah untuk mengimplementasikan rekomendasi
dari Konferensi Makkah tersebut. Maka kurikulum baru berhasil diformulasikan
dengan memasukkan agama (Islam) sebagai mata pelajaran atau mata kuliah wajib
di semua tingkatan pendidikan dari pendidikan tingkat dasar sampai pendidikan tingkat
tinggi.[22]
Tetapi kemudian muncul masalah ketika kurikulum
baru tersebut hendak diimplementasikan pada semua tingkatan pendidikan. Karena
meskipun Menteri agama punya tanggungjawab dalam pengawasan pendidikan agama,
tetapi perlu diingat bahwa Menteri agama tidak punya wewenang dalam masalah
pendidikan.[23]
Yang berwenang dalam masalah pendidikan adalah
Menteri pendidikan dan kebudayaan. Sehingga pada tahun 1980, dicapailah
kesepakatan bersama antara dua menteri dan akhirnya dikeluarkan keputusan bersama
antara Menteri agama dan Menteri pendidikan dan kebudayaan dimana agama masuk
ke dalam kurikulum yang diajarkan kepada semua siswa.[24]
B.
Konsep Dasar dan Latar Belakang Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Ada beberapa alasan utama yang menjadi latar
belakang program Islamisasi ilmu pengetahuan__menurut Al-Faruqi__yaitu kondisi
realitas dunia Islam pada saat gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dikemukakan.
Menurut Al-Faruqi ada beberapa permasalahan serius yang sedang dihadapi umat
Islam yang disebutnya sebagai sebuah malaise (krisis) global yang di alami sebagian
umat Islam di dunia.[25]
Krisis tersebut telah menyebabkan umat Islam
menempati posisi terendah di antara bangsa-bangsa lain, mereka mengalami
pemerasan, penjajahan dan dirampas negerinya, dibantai serta dipaksa untuk
meninggalkan agamanya.[26]
Sementara dalam kehidupan politik umat Islam
terjadi perpecahan dan pertikaian yang memang sengaja diciptakan oleh
negara-negara Barat untuk lebih menciptakan ketidakstabilan, perpecahan antara
umat Islam. Kondisi ini disebabkan oleh usaha kaum kolonial dan menghancurkan
seluruh institusi politik di negara-negara Islam.[27]
Efek terburuk dari malaise yang dialami umat
Islam telah mengakibatkan krisis serius yang dialami oleh berbagai negara-negara
muslim dalam berbagai bidang. Kekalahan di bidang politik berimbas pada
kekalahan dan keterbelakangan di bidang ekonomi.[28]
Kehidupan ekonomi umat Islam mengalami
kehancuran dengan banyaknya kelaparan dan ketidakberdayaan ekonomi umat.
Keadaan ini menimbulkan ketergantungan yang luar biasa kaum muslim kepada
pihak-pihak asing. Industri-industri yang diselenggarakan di negara-negara
muslim tidak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam, tapi untuk
kepentingan kaum kolonial.[29]
Dalam bidang kegamaan dan budaya, umat Islam
semakin tersesat dengan propaganda asing yang mengarah kepada westernisasi,
tanpa disadari bahwa itu akan membawa kepada kehancuran budaya bangsanya dan
ajaran Islam. Berbarengan dengan itu____dalam bidang pendidikan___dibangunlah berbagai
sekolah-sekolah yang menggunakan sistem dan kurikulum Barat, yang selanjutnya
melahirkan kesenjangan di antara umat Islam, yaitu mereka yang terlalu
terbaratkan dan sekuler dan mereka yang tetap menentang sekulerisme. Pemerintah
kolonial selalu berusaha agar golongan umat Islam yang pertama unggul dan
menjadi penentu dalam pengambilan kebijakan umat Islam.[30]
Sebagai jawaban atas persoalan-persoalan umat
Islam sebagaimana di atas, penting adanya langkah-langkah perbaikan. Al-Faruqi
merekomendasikan pentingnya pemaduan pendidikan yang bersifat sekuler/ profane
dengan pendidikan Islam. Dualisme pendidikan yang terjadi di kalangan umat
Islam pada saat ini harus ditiadakan setuntasnya. Kedua sistem pendidikan
tersebut harus dipadukan dan diintegrasikan, sehingga dapat melengkapi dan
menutupi kekurangan masing-masing.[31]
C.
Tokoh pelopor, biografi dan pemikirannya
1.
Ismail Raji al-Faruqi
Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, sebuah
daerah di Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Ayahnya bernama ‘Abd al-Huda
al-Faruqi. Riwayat hidup Al-Faruqi tidak bisa dilepaskan dari konteks
perkembangan sosio politik dan sejarah panjang bangsa dan negara Palestina
sebagai tempat kelahirannya. Sebab di daerah tersebut hampir separuh usia Al-
Faruqi di habiskan di Palestina, sebelum akhirnya hijrah ke Amerika.[32]
Ia mendapatkan pendidikan agama dari Ayahnya.
Secara formal pendidikan yang dilalui al-Faruqi berlatar belakang Barat.
Pendidikan pertamanya di Colllege des
Fres sejak tahun 1926-1936. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikan tinggi di The
American Univercity. Pada usia 24 ia diangkat menjadi gubernur di provinsi
Galelia sampai provinsi ini jatuh ke tangan Israel. Hal ini yang menuntunnya
hijrah ke Amerika.[33]
Di negeri paman Syam ini, garis al-Faruqi
berubah. Di sini ia tekun bergelut di dunia akademis. Di sinilah ia mendapat
gelar master dengan judul tesisnya adalah ”On Justifiying the God Methaphysic
an Efistemology of Value (Tentang pembenaran kebaikan: Metafisik dan
Epistimologi Ilmu).[34]
Selanjutnya ia hijrah ke Mesir selama empat
tahun guna mendalami ilmu-ilmu agama Islam di Universitas al-Azhar.
Kecemerlangan karier al-Faruqi tidak terlepas dari istrinya Lois Lamya
al-Faruqi. Bersama-sama mereka membentuk kelompok kajian keislaman seperti
Moslem Student Association (MSA), Americaan Academy of Relegion (AAR) dan
lain-lain.[35]
Demikian gambaran Ismail Raji al-Faruqi sosok
ideal, bibit unggul, pemikir dan ulama ternama ”Pejantan Tangguh” dalam dunia
pendidikan Islam dan Dakwah Islam. Karya-karya terpentingnya di sini adalah The
Trialogue of Abrahamic Faiths (Perbincangan Tiga Pihak Mengenai Agama-Agama
Ibrahim, 1986), Essays in Islamic and Comparative Studies (Esai-Esai dalam
Kajian Islam dan Perbandingan, 1982), dan Historical Atlas of the Religions of
the World (Atlas Historis Agama-Agama Dunia, 1974), juga Tawhid: Its
Implications for Thought and Life (Tauhid: Implikasi-Implikasinya bagi
Pemikiran dan Kehidupan, 1982), di samping beberapa artikel di jurnal kajian
agama.[36]
Al-Faruqi secara bersemangat mensinyalir bahwa
penyebab tertinggalnya dunia Islam dibanding dunia barat modern, disebabkan
kondisi pendidikan Islam yang mengalami krisis identitas, akibat pengaruh
filsafat dan ilmu pengetahuan yang melanda sistem pendidikan Islam, yang
berimplikasi pada terbelahnya sistem pendidikan Islam secara dikotomik.[37]
Ismail Raji Al-Faruqi bisa disebut sebagai
cendekiawan muslim yang konsens dengan masalah epistimologi pendidikan Islam
karena pemikirannya tentang Islamisasi ilmu pengetahuan menjadi pemicu
kesadaran sebagian pemikir muslim modern untuk melakukan upaya redefinisi dan
reislamisasi terhadap ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa modern dengan
konsep-konsep ideal ilmu pengetahuan dalam bingkai filsafat Islam.[38]
Pemikiran Islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi
secara konkrit dan aplikatif berusaha mewujudkan dalam bentuk gerakan
sistematik berupa pembuatan buku-buku ilmiah yang telah diislamkan terlebih
dahulu, sebelum dijadikan referensi utama bagi proses pembelajaran pada jenjang
pendidikan tinggi dalam Islam. Oleh karena itu tampaknya Al-Faruqi berusaha
mengembangkan kembali metodologi pengembangan ilmu pengetahuan berbasis ajaran
Islam pada masa modern, sebagaimana keberhasilan ulama-ulama klasik dalam
mengislamkan ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani.[39]
Al-Faruqi sendiri dalam risalahnya yang
berjudul Islamization of Knowledge, banyak menampilkan kritiknya terhadap
kondisi sistem pendidikan Islam pada masanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa
implikasi pemikirannya tentang Islamisasi telah banyak mempengaruhi paradigma
pemikir muslim lainnya. Seperti munculnya beberapa lembaga studi Islam bahkan
Al-Faruqi sendiri mendirikan sebuah lembaga studi yang sangat terkenal yaitu
The International Intitute of Islamic Thought yang terkenal dengan singkatan
III-T yang bermarkas di Virginia Amerika Serikat. Lembaga ini tersebar hingga
beberapa Negara di kawasan Asia seperti Malaysia, Pakistan dan beberapa negara
Eropa, namun belakangan aktivitas organisasi pengkajian Islam tersebut mulai redup,
diakibatkan krisis financial. Sebagai ilustrasinya adalah III T yang berada di
Malaysia, institute ini sempat berjaya hingga tahun 1998 dan menjalin kerjasama
dengan IIUM ( International Islamic University Of Malaysia). Namun sekarang
pusat kajian itu kurang terdengar lagi gaungnya, dibandingkan misalnya dengan
lembaga kajian sejenis yang didirikan oleh Syed Naquib al-Attas yaitu ISTAC
(Iternational Institute of Ilsmic Thougth and Civilization) yang berkedudukan
di Kuala Lumpur.[40]
Menurut Azyumardi Azra, Pada awalnya
pandangan-pandangan keagamaan yang menjadi visi pemikiran Al-Faruqi terletak
pada dua hal yaitu Arabisme dan Islam. Dalam studinya tentang Arab, ia menyusun
sebuah tulisan terdiri dari 4 jilid yaitu : “on Arabism: Urubah and Religion” pada
perjalanan berikutnya ia lebih memfokuskan kepada studi tentang Islam melalui
diskursus ilmiah dan akademis serta gerakan advokasi politik dalam melihat
pentingnya Islam.[41]
Pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an lebih
gencar mempresentasikan Islam sebagai agama nalar dan ilmiah, maju dan par
execellent. Ia menjadi seorang aktivis Islam yang menempatkan Islam sebagai
acuan utama, yaitu sebagai ideologi yang lengkap dan menyeluruh. Dalam
pandangan Al-Faruqi, salah satu kesalahan fatal umat Islam adalah menganggap
ilmu itu terbelah dua, yaitu ilmu-ilmu sekuler (profane) dan ilmu-ilmu agama
Islam. Ide Islamisasi ilmu pengetahuan yang dicetuskan Al-Faruqi dituangkan
dalam risalah berjudul The Islamization of Knowledge yang diterbitkan oleh
III-T. Ide tersebut menjadi terkenal ketika seminar pertama mengenai Islamisasi
Ilmu pengetahuan dilaksanakan di Islamabad, Pakistan pada Januari 1982.
Al-Faruqi berusaha mengingatkan dunia Islam akan suatu konflik antara ilmu
pengetahuan dalam pandangan Barat dan Islam, yaitu dengan merencanakan suatu
yang dapat menghindari terjadinya konflik tersebut, serta menggalakkan kembali
pendidikan Islam sebagaimana yang diharapkan.[42]
Selanjutnya Al-Faruqi menjelaskan tentang
langkah-langkah upaya Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu sebagai berikut:
1.
Penguasaan disiplin ilmu modern, pengetahuan kategoris.
2.
Survei disiplin.
3.
Penguasaan khazanah ilmiah Islam.
4.
Penguasaan khazanah Islam: tahap analisa.
5.
Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin ilmu.
6.
Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern; tingkat perkembangan
masa kini.
7.
Penilaian kritis terhadp khazanah Islam; tingkat perkembangan dewasa
ini.
8.
Survey permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam.
9.
Survey permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia.
10. Analisa kreatif dan sintesis.
11.
Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam dalam
bentuk buku daras (buku teks) tingkat Universitas.
12.
Adalah berbagai langkah terakhir kerja Islamisasi ilmu pengetahuan yaitu
penyebaran ilmu yang telah diislamisasi.[43]
Konsep yang ditawarkan al-Faruqi adalah bahwa
ilmu pengetahuan tidak semuanya kontradiktif dengan nilai-nilai Islam, sehinga
menurutnya, Islamisasi pengetahuan adalah melakukan penyaringan dari ilmu
pengetahuan yang telah ada dengan mempertimbangkan nilai-nilai Islam. Metode
konsepsi yang demikian dianggap sebagai metode integrasi antara teori dan
tradisi keilmuan Islam dan keilmuan Barat yang sekuler.[44]
2. Syed Muhammad Naquib al-Attas
Syed Muhammad Naquib al-Attas lahir pada
tanggal 5 september 1931 M. Nama lengkapnya adalah Syed Muhammad Naquib ibn Ali
ibn Abdullah ibn Muhsin al-Attas silsilah keluarganya melalui silsilah sayyid
dalam keluarga Ba’lawi sampai kepada Imam Husein cucu Nabi Muhammad SAW.[45]
Beliau Adik kandung dari Syed Hussein al-Attas,
seorang ilmuwan dan pakar sosiologi pada Universitas Malaya, Kuala Lumpur
Malaysia. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah Al-Atas dan ibunya bernama
Syarifah Raguan al-Idrus. Silsilah resmi keluarga Naquib al-Attas yang terdapat
dalam koleksi pribadinya menunjukkan bahwa beliau merupakan keturunan ke 37
dari Nabi Muhammad SAW dan dari keturunan kaum ningrat berdarah biru.[46]
Moyang Naquib berasal dari Hadramaut (Yaman)
diantara leluhurnya ada yang menjadi ulama’ besar, yaitu Syed Muhammad
‘Alaydrus (dari silsilah Ibu), guru dan pembimbing ruhani syed Abu Hafs Umar ba
Syaiban yang berhasil mengantarkan Nur al-Din al-Raniri, seorang Ulama
terkemuka di dunia melayu ke tarekat Rifa’iyah. Ibunda Syed Muhammad Naquib
al-Attas, yaitu Syarifah Raguan A, berasal dari Bogor, Jawa Barat, dan
merupakan keturunan-keturunan dari raja-raja Sunda Sukaparna.[47]
Sedangkan dari pihak ayah, al-Attas merupakan
cucu dari seorang wali yang bernama Syed Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad
al-Attas, yang sangat terkenal tidak hanya di Indonesia, tetapi juga sampai ke
negeri Arab, neneknya Ruqoyyah Hanum, adalah wanita Turki berdarah aristokrat
yang menikah dengan Ungku Abdul Majid. Adik Sultan Abu Bakar Johor ( W. 1895)
yang menikah dengan adik Ruqoyah Hanum, Khodijah. yang kemudian menjadi ratu
Johor. Setelah Ungku Abdul Majid wafat, ia meninggalkan dua orang anak. Ruqoyah
menikah untuk kedua kalinya dengan Syed Abdullah al-Attas dan dikaruniai
seorang anak, Syed Ali al-Attas, yaitu bapak dari Syed Muhammad Naquib
al-Attas.[48]
Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan anak
kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Syed Husein, seorang ahli
Sosiologi dan mantan Wakil Rektor Universitas Malaya, sedangkan adiknya bernama
Syed Zaid seorang Insinyur kimia dan mantan Dosen Institut Teknologi MARA.
Sepupu Neneknya dari pihak ayah, bernama Ungku Abdul Aziz___anak dari Ungku
Abdul Madjid___berasal dari keluarga bangsawan Melayu, termasuk keluarga Datuk
Onn Jafar, ayah dari Datuk Hussein Onn yang merupakan mantan Perdana Menteri
Malaysia dan tokoh pendiri sekaligus Presiden pertama UMNO (United Malaya
National Organisation), yaitu sebuah Partai Politik yang menjadi tumpuan
kerajaan Malaysia sejak mendapatkan kemerdekaan dari Kerajaan Inggris.[49]
Melihat latar belakang keluarga al-Attas, Syed
Muhammad Naquib al-Attas adalah sosok yang dapat dikategorikan tergolong
berdarah biru, yang bukan berasal dari keluarga biasa secara sosio kultural,
akan tetapi dari golongan Ningrat.[50]
Di dalam dirinya mengalir tidak hanya darah
biru tetapi juga semangat dan emosi keagamaan yang luhur dan tinggi dalam
hirarki spiritualitas Islam, yakni keluhuran dan kesucian pribadi seperti yang
diajarkan dalam ajaran tasawuf.[51]
Sejarah pendidikannya dimulai sejak Ia masih
berumur 5 tahun di Johor Baru sampai akhirnya Ia menjadi seorang ilmuwan yang
berbagai karya-karyanya yang terkenal dalam berbagai bidang keilmuan, yang
jumlahnya mencapai sekitar 22 buku dengan 30 makalah. Yang secara global dapat
diklasifikasikan kepada 2 klasifikasi, yaitu karya-karya kesarjanaan (scholarly
writing), dan karya-karya pemikiran lainnya. Ia juga aktif dalam berbagai
organisasi dan menjadi dosen tetap di Univesitas Malaya serta berbagai jabatan
sudah dialaminya. Salah satunya pada tahun 1968-1970, Ia menjabat sebagai ketua
Departemen Kesusasteraan dalam pengkajian Melayu dan pada tahun 1970-1973, Ia
menjabat dekan fakultas sastra dan lain sebagainya.[52]
Al-Attas mendirikan sebuah institusi pendidikan
tinggi bernama International Institute of Islamic Thought and Civilization
(ISTAC) di Kuala Lumpur. Melalui institusi ini Al-Attas bersama sejumlah kolega
dan mahasiswanya melakukan kajian dan penelitian mengenai Pemikiran dan
Peradaban Islam, serta memberikan respons yang kritis terhadap Peradaban
Barat.[53]
Pendidikannya dijalani dari Sekolah Dasar Johor
Malaysia, setelah itu pada masa pendudukan Jepang ia kembali ke Jawa dan
meneruskan pendidikannya di Madrasah Al Urwat al Wustha, Sukabumi.[54]
Kegiatan intelektual Al-Attas di mulai di
universitas Malaya pada pertengahan 1960-an dan telah dapat membangkitkan
kesadaran baru akan pentingnya peranan Islam dalam sejarah, nasionalisme dan
kebudayaan Melayu. Ia telah berhasil menumbuhkan kesadaran baru tentang peranan
Islam kepada mahasiswa dan masyarakat umum. Disamping itu ia mengkritisi
berbagai disiplin ilmu filsafat, kebudayaan dan politik yang telah terbaratkan.
Ide-ide itu terlukiskan dalam karya-karyanya yang antara lain The origin of the
Malaya Syair (1968), Prelimenary Statement on the Islamization of the
malay-Indonesian Archepelago (1969) dalam hal ini Al-Attas bukan berarti
antipati terhadap pemikiran Barat. Dalam pengembangan disiplin-disiplin keilmuan
tidak hanya didasarkan kepada ajaran- ajaran Islam, tetapi harus di analisis
dengan filsafat Yunani dan Yahudi-Kristen serta tradisi-tradisi klasik abad
pertengahan.[55]
Syed Naquib al-Attas memberikan pengertian
Islamisasi pengetahuan sebagai pembebasan manusia dari magic, mitos, animism
dan tradisi kebudayaan kebangsaan dan selanjutnya dominannya sekulerisme atas
pikiran dan bahasanya.[56]
Al-Attas memandang bahwa umat Islam menghadapi
tantangan terbesar saat ini yaitu dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang
telah salah dalam memahami ilmu dan keluar dari maksud dan tujuan ilmu itu
sendiri. Meskipun ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh peradaban barat telah
memberikan manfaat dan kemakmuran kepada manusia, namun ilmu pengetahuan itu
juga telah menimbulkan kerusakan dan kehancuran di muka bumi.[57]
Ilmu pengetahuan yang dikembangkan di atas
pandangan hidup, budaya dan peradaban Barat, menurut Al-Attas dipengaruhi oleh
lima faktor, yaitu :
a.
Mengendalikan akal
b.
Bersikap dualistic
c.
Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan kehidupan sekuler
d.
Membela doktrin humanisme, dan menjadikan drama dan sebagai unsur-unsur
yang dominan dalam fitrah dan eksistensi manusia.[58]
Dengan kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan
di atas, Al-Attas meyakini pentingnya digagas suatu gerakan Islamisasi
pengetahuan, karena ilmu pengetahuan modern tidak netral dan masuk budaya dan
filosofis yang sebenarnya berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman
manusia Barat. Islamisasi ilmu pengetahuan modern bukan memberikan label Islam
pada ilmu pengetahuan dan menolak semua yang berasal dari Barat, karena
terdapat beberapa persamaan antara Islam dengan filsafat Barat.[59]
Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Attas
dapat dilakukan dengan melalui dua proses yang berkaitan yaitu :
1.
Mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk peradaban
Barat yang dimiliki oleh pengetahuan modern saat ini terutama ilmu pengetahuan
Humaniora. Dengan demikian ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasinya harus
ditundukkan dengan ajaran-ajaran Islam, khususnya dalam fakta-fakta dan
formulasi teori-teori lainnya. Fakta dianggap tidak benar jika itu bertentangan
dengan pandangan hidup Islam. Unsur-unsur dan konsep-konsep Asing yang merusak
ajaran Islam tersebut adalah: konsep dualisme yang meliputi hakikat dan
kebenaran, doktrin humanisme, ideologi sekuler, konsep tragedi khususnya dalam
kesusastraan. Keempat unsur asing tersebut telah menjangkiti ilmu khususnya
dalam bidang sains kemanusiaan dan kemasyarakatan, sains fisik, terapan yang
melibatkan perumusan fakta dan teori. Konsep-konsep inilah yang membentuk
pemikiran dan peradaban Barat dan telah menular dikalangan umat Islam.
2.
Memasukan unsur-unsur, konsep-konsep Islam dalam setiap bidang dari ilmu
pengetahuan modern yang relevan.[60]
Konsep-konsep Islam yang harus menggantikan
konsep-konsep Barat tersebut adalah: manusia, din, ‘ilm dan ma’rifah, hikmah,
al-‘adl, amal-adab dan konsep kulliyat-jam’iyah (universitas).[61]
Jika kedua proses Islamisasi tersebut
dilakukan, maka manusia akan terbebas dari magic, mitologi, animisme, dan
tradisi budaya yang bertentangan dengan Islam. Islamisasi ilmu pengetahuan akan
membebaskan manusia dari keraguan (syakk), dugaan (dzann) dan argumentasi
kosong menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual dan materi.
Dan akhirnya Islamisasi akan membebaskan ilmu pengetahuan modern dan ideologi,
makna dan pernyataan-pernyataan sekuler.[62]
Al-Attas menolak bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan
sekedar memberikan labelisasi ilmu dengan prinsip-prinsip Islam. Islamisasi
ilmu pengetahuan bertujuan agar umat Islam terlindungi dari pengaruh ilmu
pengetahuan yang telah terjangkit unsur-unsur dan konsep Barat yang akan
menimbulkan kesesatan dan kekeliruan, serta bertujuan mengembangkan ilmu yang
hakiki yang dapat membangunkan pemikiran dan kepribadian umat Islam dan dapat
menambahkan keimanan kepada Allah SWT. Dengan demikian Islamisasi ilmu
pengetahuan akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan, keselamatan dan
keimanan kepada Allah SWT.[63]
Al-Attas menolak posisi sains modern sebagai
sumber pencapaian kebenaran yang paling otoritatif dalam kaitannya dengan
epistemologis, karena banyak kebenaran agama yang tak dapat dicapai oleh
sains__yang hanya berhubungan dengan realitas empirik. Pada tingkat dan
pemaknaan seperti ini, sains bertentangan dengan agama. Baginya, dalam proses
pembalikan kesadaran epistemologis ini, program Islamisasi menjadi satu bagian
kecil dari upaya besar pemecahan "masalah ilmu."[64]
Memang dilema yang dihadapi oleh umat muslim
pada saat sekarang ini adalah kekeliruan dan kesalahan dalam ilmu sehingga
menyebabkan kehilangan adab di tengah-tengah umat. Dari sini juga timbul
permasalahan yang sangat pelik di tengah umat Islam yaitu kemunculan
pemimpin-pemimpin yang tak layak untuk memimpin umat Islam. Pemimpin yang tidak
memiliki moral, intelektual dan spiritual yang tinggi untuk bisa memperbaiki
dan memimpin umat Islam.[65]
Al-Attas berpendapat bahwa Islamisasi harus menyeluruh
dari filosofi, paradigma hingga proses pembelajarannya yang menyesuaikan dengan
karakteristik keilmuan Islam. Proses pembelajarannya mengamini dan melanjutkan
apa yang telah dilakukan oleh para intelektual Muslim pada masa lalu. Dominasi
intelektual Muslim pada periode keemasan Islam merefleksikan keunggulan sistem
pendidikan atau pembelajaran ilmu pengetahuan.[66]
D. Pentingnya Islamisasi Ilmu
Islamisasi ilmu pada dasarnya adalah suatu
respons terhadap krisis masyarakat modern yang disebabkan karena pendidikan
Barat yang bertumpu pada suatu pandangan dunia yang lebih bersifat
materialistis dan relavistis yang menganggap bahwa pendidikan bukan untuk
membuat manusia bijak__yakni mengenali dan mengakui posisi masing-masing dalam
tertib realitas___tetapi memandang realitas sebagai sesuatu yang bermakna
secara material bagi manusia, dan karena itu hubungan manusia dengan tertib
realitas bersifat eksploitatif bukan harmonis. Ini adalah salah satu penyebab
munculnya krisis masyarakat modern.[67]
Islamisasi ilmu adalah suatu upaya pembebasan
ilmu dari asumsi-asumsi atau penafsiran-penafsiran Barat yang sekularitas dan
kemudian menggantikannya dengan pandangan dunia Islam. Selain itu, Islamisasi
juga muncul sebagai reaksi terhadap adanya konsep dikotomi antara agama dan
ilmu pengetahuan yang dianggap kontradiktif. Dalam catatan sejarah, hubungan
ilmu dan agama mengalami pasang surut dan tak semulus yang seharusnya. Salah
satu tokoh yang memaparkan pola relasi ilmu dan agama adalah Ian G.
Barbour.[68] Sebagaimana dikutip oleh Ulya, Ian G. Barbour mengemukakan
hubungan ilmu dan agama menjadi empat bagian, yakni :
Pertama, konflik pertentangan (conflict).
Pandangan ini menempatkan agama dan ilmu dalam dua kutub ekstrim yang saling
berlawanan. Menurutnya, agama dan ilmu mempunyai statemen-statemen dan
praktik-praktik yang saling berlawanan pula. Agama mengasumsikan atau melihat
suatu persoalan dari segi normatifnya (bagaimana seharusnya), sedangkan sains
meneropongnya dari segi obyektifnya (bagaimana adanya). Agama melihat
problematika dan solusinya melalui petunjuk Tuhan, sedangkan sains melalui
eksperimen dan rasio manusia. Karena ajaran agama diyakini sebagai petunjuk
Tuhan, kebenaran dinilai mutlak, sedangkan kebenaran sains relatif.[69]
Kedua, Independensi-Pemisahan (independence).
Kelompok ini menyatakan bahwa antara agama dan ilmu harus dipisahkan ke dalam
dua wilayah yang berbeda. Baik agama maupun ilmu dianggap mempunyai kebenaran
sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain sehingga seharusnya masing-masing
bisa hidup secara berdampingan dengan damai. Jadi, diantara keduanya memang
tidak ada konflik tetapi juga tidak ada interaksi dan komunikasi, apalagi
dialog antar keduanya.[70]
Ketiga, Dialog-Perbincangan (dialogue).
Pandangan ini menyatakan bahwa antara ilmu dan agama di samping mempunyai
perbedaan juga mempunyai kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling
mendukung satu sama lain. Antara agama dan ilmu memiliki kesejajaran
karakteristik yaitu koherensi, kekomprehensifan dan kemanfaatan serta
metodologis. Dalam menghubungkan agama dan ilmu, pandangan ini dapat diwakili
oleh pendapat Albert Einstein yang mengatakan bahwa Religions without science
is blind, sciences without religions is lame. Tanpa sains agama akan menjadi
buta dan tanpa agama, sains akan lumpuh.[71]
Keempat, Integrasi-perpaduan (integration).
Pandangan ini menganggap bahwa antara ilmu dan agama mempunyai titik temu
diantara keduanya. Doktrin-doktrin keagamaan dan ilmu sama-sama dianggap valid
dan menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia, bahkan pemahaman tentang
dunia yang diperoleh melalui ilmu diharapkan dapat memperkaya pemahaman
keagamaan bagi manusia yang beriman. Dalam hal ini Haught menyatakan bahwa
antara ilmu dan agama harus saling mengukuhkan, artinya agama dapat memainkan
peran dalam pengembangan ilmu yang lebih bermakna. Begitu pula, temuan-temuan
ilmu hendaknya dapat memperkaya dan memperbarui pemahaman agama. Dengan
demikian ilmu hendaknya dapat mempengaruhi manusia sampai pada kemuliaan Sang
Pencipta dan mempengaruhi perhatian manusia secara langsung pada kemegahan alam
fisik ciptaan-Nya. Sedangkan dengan agama dapat memberi motivasi kepada manusia
pada pembangkitan kerja ilmiah, juga berfungsi untuk mencegah penggunaan ilmu
dari tujuan yang menyimpang dari agama dan kemanusiaan.[72]
Dari perkembangan ini terjadilah apa yang bisa
kita sebut sebagai ‘sekularisasi’ ilmu dengan segala konsekuensinya yang
berbahaya. Sekularisasi ini tidak terjadi begitu saja, melainkan diusahakan
secara sadar dan sistematis.[73]
Pemisahan ilmu dari agama sebagaimana telah
dijelaskan di atas pada gilirannya telah menimbulkan problem teologis yang
krusial, karena lama kelamaan banyak ilmuan Barat merasa tidak perlu lagi
menyinggung atau melibatkan Tuhan sedikit pun dalam penjelasan keilmuan mereka.
Bagi mereka, Tuhan seolah-olah telah berhenti menjadi apapun, termasuk menjadi
pencipta dan pemelihara alam semesta.[74] Dalam perspektif sejarah, pemisahan
ilmu dari aspek keagamaan ini bermula dengan adanya gerakan renaissance pada abad
15 M. Gerakan ini berhasil menyingkirkan peran agama dan mendobrak dominasi
gereja Roma dalam kehidupan sosial dan intelektual masyarakat Eropa sebagai
akibat dari sikap gereja yang memusuhi ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, ilmu
pengetahuan di Eropa dan Barat mengalami perkembangan setelah memisahkan diri
dari pengaruh agama. Setelah itu, berkembanglah pendapat-pendapat yang
merendahkan agama, karena kemajuannya yang begitu pesat di Eropa dan Amerika
sebagaimana yang disaksikan sampai sekarang.[75]
Sains dan teknologi yang demikian itu
selanjutnya digunakan untuk mengabdi kepada kepentingan manusia semata-mata,
yaitu untuk tujuan memuaskan hawa nafsunya, menguras isi alam untuk tujuan
memuaskan nafsu konsumtif dan materialistik, menjajah dan menindas bangsa-bangsa
yang lemah, melanggengkan kekuasaan dan tujuan-tujuan destruktif lainnya.[76]
Sikap ilmuan seperti itu, tentu saja tidak
cocok dengan sikap dan kepribadian masyarakat Indonesia, terlebih Islam yang
religius dan selalu percaya dengan sepenuh hati bahwa alam semesta tak lain
kecuali hasil ciptaan dan tanda kebesaran Tuhan. Mereka juga meyakini bahwa
sumber ilmu serta metodenya tidak terbatas pada observasi tetapi juga akal,
intuisi dan wahyu.[77]
Penyimpangan dari tujuan penggunaan ilmu
pengetahuan yang demikian itulah yang direspon melalui konsep Islamisasi Ilmu
yaitu upaya menempatkan sains dan teknologi dalam bingkai Islam, dengan tujuan
agar perumusan dan pemanfaatan sains dan teknologi itu ditujukan untuk
mempertinggi harkat dan martabat manusia, melaksanakan fungsi kekhalifahannya
di muka bumi serta tujuan-tujuan luhur lainnya. Inilah yang menjadi salah satu
misi Islamisasi ilmu.[78]
Hingga saat ini ilmu pengetahuan diyakini tidak
netral dan tergantung kepada bagaimana dia diciptakan. Prof. Dr. Hamidullah
Marazi pada Head of Department of Religious Studies, Central University of
Kashmir, India memaparkan bahwa agama merupakan akar dari ilmu pengetahuan.
“Ini menjadi jawaban kenapa umat Islam saat ini tidak maju, karena terjadi
korupsi keilmuan. Dimana tidak adanya Islamisasi ilmu dalam internal umat Islam
sendiri,” tuturnya dalam kegiatan Public Lecture “Integration of Knowledge,
Islamic Education Reform/Tajdid and the Need of the New Textbbok Writing in
Universities” Senin (26/2) di Gedung Kasman Singodimedjo Pascasarjana UMY.[79]
Berdasarkan hal tersebut maka Dr. Hamidullah
memaparkan perlunya langkah-langkah untuk melaksanakan Islamisasi ilmu
pengetahuan. Terdapat tiga langkah yang perlu untuk dilakukan. Yang pertama
adalah penguasaan bahasa, khususnya bahasa Arab yang telah dipilih sebagai
bahasa untuk Al-Quran. Yang kedua dengan cara pengembangan filsafat ilmu Islam.
Selain itu, perlu juga ditumbuhkan rasa ingin mengerti dan mendalami ilmu
pengetahuan melalui Al-Quran. “Dengan mengkaji pemahaman lebih dalam mengenai
Al-Quran. Salah satunya dengan mengkaji lebih dalam tentang istilah tafakkur
dan tadabbur di dalam Al-Quran,” jelasnya. Yang terakhir yang dianggap cukup
penting adalah dengan memurnikan kembali tasawuf. Menurut Dr. Hamidullah dalam
aspek tasawuf masih terdapat poin-poin yang berasal dari luar Islam.[80]
Selanjutnya Dr. Syamsuddin Arif menguraikan
lima alasan kenapa Islamisasi ilmu itu perlu dan penting dilakukan. Pertama,
ilmu yang di pelajari dan diajarkan hari ini di seluruh dunia____termasuk di
negara-negara Islam___adalah ilmu yang dihasilkan dari peradaban Barat, yaitu
ilmu yang telah menyimpang dari tujuan hakikinya. Sebab ilmu pengetahuan modern
tidak memberikan kedamaian dan kebahagiaan, tetapi justru membawa kekacauan dan
ketidakadilan dalam kehidupan umat manusia. Kedua, ilmu pengetahuan modern
justru membuahkan keragu-raguan dan kekeliruan, skeptisisme dan confusion.
Ketiga, ilmu pengetahuan modern kini telah menjadikan dugaan dan perkiraan
sebagai ilmu dan kebenaran. Keempat, ilmu pengetahuan itu sebenarnya tidak
bebas nilai alias tidak netral, karena hakikatnya mencerminkan suatu pandangan
hidup, ideologi, atau akidah penggiatnya. Kelima, ilmu yang disajikan oleh
peradaban Barat sekarang ini telah
mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil, dilebur secara halus sehingga
sulit untuk mengenali lagi mana yang benar dan mana yang palsu.[81]
Mengutip pendapat Prof. Syed Muhammad Naquib
al-Attas ia menjelaskan posisi umat Islam yang serba salah. Jika mau ikut Barat
hancur, tidak ikut Barat mundur babak-belur.[82]
Dilema yang dirasakan hari ini disebabkan oleh
tiga hal. Pertama, karena kekeliruan dan kesalahfahaman mengenai ilmu, yang
akibatnya melahirkan gejala kurang ajar. Kedua, lenyapnya sikap menghargai dan
tahu menempatkan diri (Lost of Adab) di masyarakat. Dan berakibat pada aspek
ketiga, yaitu munculnya
pemimpin-pemimpin palsu, pemimpin yang tidak memiliki visi dan misi islami,
tidak berakhlak mulia, dan tidak mempunyai daya intelektual dan rohaniah yang
diperlukan.[83]
Dengan menjadikan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wassallam dan para sahabat sebagai model teladan, maka langkah pertama
Islamisasi adalah mengislamkan akal dan pemikiran melalui Islamisasi
bahasa.[84]
Dua jenis ilmu yang dibagi oleh al-Attas (ilmu
dari didapat langsung dari Allah melalui wahyu dan ilmu yang dihasilan lewat
pengalaman, perenungan dan penelitian). Jenis yang pertama dari ilmu ini mesti
menjadi asas kepada jenis ilmu yang kedua.[85]
Kemudian langkah Islamisasi lainnya adalah
dengan memisahkan unsur-unsur asing___dalam hal ini adalah Barat
sekular___termasuklah konsep-konsep penting dalam ilmu kemanusiaan.[86]
Setelah melakukan penyaringan itu, ilmu-ilmu
yang telah dibersihkan itu diolah kembali dengan unsur-unsur dan konsep-konsep penting
Islam. Selanjutnya dilakukan perumusan dan penyatuan atau integrasi unsur-unsur
tersebut supaya terhasil ilmu Islami yang dapat dipakai dalam sistem pendidikan
dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.[87]
E.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam
Pandangan Al-Faruqi dan Al-Attas tentang
islamisasi ilmu pengetahuan, dalam kerangka operasionalnya Islamisasi ilmu
pengetahuan____menurut Muhaimin__terdiri dari beberapa model yaitu:
1.
Purifikasi, yaitu Islamisasi ilmu pengetahuan yang
mempunyai arti penyucian dan pembersihan. Model ini mengandung pengertian
Islamisasi ilmu pengetahuan harus dapat menyucikan ilmu pengetahuan agar sesuai
dan sejalan dengan ajaran Islam. Model ini yang dikenal dalam pemikiran
Al-Faruqi dan Al-Attas dalam Islamisasi ilmu pengetahuan. Al-Faruqi menggunakan
model ini dengan memberikan langkah-langkah dalam Islamisasi, yaitu :
a.
Menguasai khazanah intelektual muslim.
b.
Menguasai khazanah ilmu pengetahuan modern.
c.
Identifikasi kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan modern dalam
perspektif ajaran islam.
d.
Rekonstruksi ilmu pengetahuan agar selaras dengan ajaran Islam.[88]
2.
Modernisasi, Islamisasi ilmu pengetahuan model
modernisasi adalah membangun semangat umat Islam untuk selalu modern, maju,
progresif, terus menerus mengusahakan perbaikan-perbaikan bagi diri dan
masyarakatnya agar terhindar dari keterbelakangan dan ketertinggalan dibidang
ilmu pengetahuan. Sebagai seorang modernis seringkali berusaha memahami
ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan
Al-Hadits, dengan mempertimbangkan khazanah intelektual pada masa kontemporer
dan mengabaikan pemikiran-pemikiran tokoh intelektual muslim klasik.[89]
3. Neo
Modernisme, Islamisasi ilmu pengetahuan dengan pola neo
modernisme adalah upaya memahami ajaran-ajaran Islam yang terkandung dalam
Al-Qur an dan Al-Hadits dengan memperhatikan pemikiran intelektual muslim
klasik dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang digunakan ilmu pengetahuan
kontemporer.[90]
Model ini berlandaskan pada metodologi sebagai
berikut:
a.
Persoalan-persoalan umat Islam kontemporer harus dicari penjelasannya
dari hasil ijtihad pemikir Islam terdahulu yang merupakan hasil penafsiran
terhadap al-Qur‟an
b.
Jika dalam tradisi dan ijtihad ulama terdahulu tidak ditemukan maka
ditelaah kondisi sosio cultural sehingga lahir ijtihad ulama-ulama tersebut
c.
Telaah sosio historis yang akan melahirkan etika sosial al-Qur an,
d.
Etika sosial al-Qur an menghasilkan penjelasan dalam menjawab persoalan
umat Islam dengan bantuan pendekatan ilmu-ilmu modern.[91]
F.
Implikasi Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan
Dalam konteks Pendidikan Islam, Islamisasi ilmu
pengetahuan dengan model purifikasi dapat diterapkan misalnya dalam
mempurifikasi teori pengetahuan modern dalam pendidikan, yang kemudian
disesuaikan dengan pemikiran para tokoh intelektual muslim. Sebagai contoh,
teori yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
seseorang kaitannya dengan belajar.[92]
Terdapat tiga aliran yang menerangkan
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan jiwa seseorang yaitu:
a.
Aliran Nativisme, aliran ini meyakini bahwa perkembangan jiwa seseorang
dipengaruhi oleh faktor pembawaan.
b.
Aliran Empirisme, yang meyakini bahwa perkembangan jiwa seseorang
dipengaruhi oleh lingkugan.
c.
Aliran Konvergensi yang mendudukan kedua faktor di atas.[93]
Dalam khazanah pemikiran intelektual muslim
klasik dikenal perkataan Al-Syafii yang terkenal yaitu “ ilmu itu adalah cahaya
Allah tidak diberikan pada orang-orang yang melakukan maksiyat kepada-Nya”. Perkataan
Al-Syafii di atas menegaskan ada faktor hidayah yang mempengaruhi perkembangan
seseorang.[94]
Sedangkan Islamisasi ilmu pengetahuan dengan
model modernisasi dalam konteks pendidikan, berkaitan dengan modernisasi
pendidikan Islam baik secara kelembagaan___dalam hal ini pesantren dan
madrasah___maupun dalam pengembangan kurikulum. Dalam modernisasi pendidikan
pesantren dikenal dengan berbagai sistem dan metode pembelajaran yang
dilaksanakan pesantren. Sejarah pembelajaran pesantren yang pada awal pertumbuhannya
menggunakan sistem non kelas, diubah dan diperbaiki dengan sistem berkelas
(klasikal) dan berjenjang mulai tingkat dasar (ibtida’iyah), menengah pertama
(Tsanawiyah), maupun menengah atas (aliyah). Demikian juga dalam pendidikan
madrasah selama ini telah diadakan perbaikan-perbaikan diantaranya dengan
munculnya berbagai madrasah unggulan seperti MAPK, yang kini berubah menjadi
MAK.[95]
Dalam pengembangan kurikulum, lembaga-lembaga
pendidikan Islam terutama madrasah terjadi perubahan-perubahan kurikulum menuju
kesempurnaan.[96]
Selanjutnya Islamisasi pengetahuan dengan model
neo modernisme dalam pendidikan Islam misalnya dapat dilakukan dengan
mengangkat penyataan Al Ghazali yang memberikan anjuran-anjuran kepada guru
dalam mengajar. Al-Ghazali menyatakan mengajar adalah pekerjaan dan tugas yang
mulia. Sedemikian tinggi penghargaan Al-Ghazali terhadap pekerjaan guru
sehingga ia memberikan perumpamaan sebagai Matahari, yang merupakan sumber
kehidupan dan sumber penerangan di langit dan di bumi. Perkataan Al-Ghazali di
atas dapat dijadikan sebuah penekanan tentang bagaimana guru harus mengajar dan
membimbing anak, yang ditekankan pada pencitraan figur guru yang dapat menjadi
teladan bagi anak didiknya di samping sebagai pengajar dan pendidik. Ini untuk
menjawab persoalan mendasar pendidikan umat Islam masa sekarang, ketika umat
telah kehilangan figur-figur teladan yang patut dicontoh dan di tiru.[97]
Pepatah mengatakan, “Science without religion
is lame, religion without science is blind” yang maknanya ilmu tanpa agama
lumpuh, dan agama tanpa ilmu buta. Dari pepatah tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa antara ilmu dan agama tidak boleh dipisahkan, antara ilmu dan
agama saling membutuhkan dan paduan antara keduanya akan membentuk suatu
kebijaksanaan dan kebijaksanaan yang ditimbulkan dari ilmu pengetahuan tersebut
bersumber dan hanya milik Allah SWT semata.[98]
Dalam ajaran Islam, ilmu harusnya yang
rasional, sesuai dengan akal dan dapat dijangkau oleh kekuatan akal pikiran
manusia. Walaupun demikian, masih ada ilmu yang belum dapat dicapai oleh
pikiran. Bentuk ilmu ini menunggu perkembangan atau modifikasi ilmu-ilmu
sebelumnya. Dengan kebebasan berfikir, berperasaan dan bertindak yang telah
diberikan kepada Allah SWT kepada manusia, mereka harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya dihadapan Allah SWT.
Seluruh alam semesta ini diciptakan oleh dan atas kehendak yang bebas dari
Allah menurut kodrat dan irodat-Nya. Manusia dilengkapi dengan bekal dan sarana
hidup dan kehidupannya, baik fisik maupun non fisik. Manusia telah diberi
kemampuan dan kesanggupan untuk menilai sesuatu dan mengambil keputusan untuk
bertindak berdasarkan ilmu pengetahuannya dari hasil akal pikirannya, perasaan
dan kesadarannya.[99]
Pendidikan Islam pada dasarnya tidak menghendaki
adanya dikotomi keilmuan, karena sistem dikotomi akan menyebabkan sistem
pendidikan Islam menjadi sekularistis, rasionalistis, empiristis, intuitif dan
materialistis.[100]
Kondisi
yang demikian akan sulit mempertemukan dan mengkolaborasikan ilmu pada satu
fokus, sehingga jarang sekali ditemukan tokoh yang kuat antara “ilmu agama” dan
“ilmu umum” pada era sekarang. Artinya tokoh yang dapat menguasai “ilmu agama”
sekaligus “ilmu umum” seperti kedokteran, kimia, ekonomi dan sebagainya.[101]
Keadaan demikian tidak bisa mendukung tata
kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islam. Oleh karena itu,
ilmu-ilmu yang diberikan kepada anak didik harus dijadikan substansi dalam
membuat desain kurikulum pendidikan di lembaga pendidikan Islam.[102]
Dengan demikian, peningkatan ilmu harus
dibarengi dengan peningkatan kebijaksanaan (suatu konsepsi yang benar mengenai
tujuan hidup) yang sementara ini belum diberikan oleh sains sehingga tidak
cukup untuk menjamin semua kemajuan sejati, meskipun sains ini telah memberikan
formulasi yang diperlukan dalam kemajuan.[103]
Selanjutnya implikasi Islamisasi Ilmu
Pengetahuan dalam pendidikan tercantum dalam beberapa aspek diantaranya :
1.
Aspek Kelembagaan
Islamisasi dalam aspek kelembagaan ini dimaksud
adalah penyatuan dua sistem pendidikan, yakni pendidikan Islam (agama) dan
sekuler (umum). Artinya melakukan modernisasi bagi lembaga pendidikan agama dan
Islamisasi pendidikan sekuler. Adanya lembaga pendidikan modern (Barat
sekuler), dipandang sebagai kamuflase yang mengatas namakan Islam dan
menjadikan Islam sebagai simbol, untuk mengantisipasi keadaan ini maka perlunya
dibangun lembaga pendidikan baru sebagai tandingan. Sepertinya implikasi dari
Islamisasi ilmu pengetahuan pada aspek kelembagaan adalah terbentuknya lembaga
independen yang mengintegrasikan pengembangan keilmuan agama dan umum, jadi
apapun nama lembaganya tersebut yang terpenting adalah terintegrasinya secara
komprehensif antara sistem umum dan agama. Meskipun dalam tatanan sistematika keorgaanisasian
lembaga mengadopsi Barat namun secara subtansial menerapkan sistem Islam.[104]
2.
Aspek Kurikulum
Mengkaji kurikulum tidak diserahkan pada satu
tim saja, namun membutuhkan ahli-ahli di bidangnya, perbincangan ini harus
dimulai sejak awal Islamisasi. Dalam hal ini kurikulum yang telah dikembangkan
di Barat tidak boleh diabaikan. Rumusan kurikulum dalam Islamisasi ilmu
pengetahuan dengan memasukkan segala keilmuan dalam kurikulum. Dengan demikian
lembaga pendidikan memiliki kurikulum yang actual, responsive terhadap tuntutan
permasalahan kontemporer. Artinya lembaga akan melahirkan lulusan yang
visioner, berpandangan integrative, proaktif dan tanggap terhadap masa depan
serta tidak dikotomik dalam keilmuan.[105]
3.
Aspek Pendidik
Dalam hal ini pendidik ditempatkan pada posisi
yang selayaknya, artinya kompetensi dan professional yang mereka miliki
dihargai sebagaimana mestinya. Bagi Al-Faruqi tidak selayaknya para pendidik
mengajar dengan prinsip keikhlasan, pendidik diberikan honorarium sesuai dengan
keahliannya. Terkait dengan pengajar yang memberikan pembelajaran pada tingkat
dasar dan lanjutan tidak dibenarkan Islamologi atau misionaris, artinya harus
pendidik yang benar-benar Islam dan memiliki basic keislaman yang mantap. Di samping
itu, staf pengajar yang diinginkan dalam universitas Islam adalah staf pengajar
yang saleh serta memiliki visi keislaman.[106]
Dengan demikian harus ada rumusan yang jelas
tentang kriteria calon pendidik, selain indeks prestasi (IP) sebagai parameter
kualitas intelektual, penting dilakukan wawancara menyangkut aqidah, keimanan,
keaagamaan, jiwa dan sikap terhadap jabatan, kriteria ini juga harus ditopang
oleh kode etik Islam tentang profesi pendidik. Seorang pendidik dituntut
mempunyai kemampuan subtantif, yakni berupa gagasan dua segi keilmuan, yakni
ilmu agama dan ilmu modern sekaligus.[107]
Selain kemampuan subtantif seorang pendidik
juga dituntut memiliki kemampuan nonsubtantif, yakni berupa multiskill
didaktis. Kemampuan ini mencakup ketrampilan dalam menggunakan metode dan
strategi pembelajaran, pengelolaan atau manajemen pendidikan, pengevaluasian
dan lain sebagainya, yang secara keseluruhan bertumpu pada unsur tauhid.[108]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan Gagasan Islamisasi Ilmu
Pengetahuan Dan Implikasinya Dalam Pendidikan, dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1.
Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu sebenarnya telah dilakukan
pertama kali oleh Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya upaya untuk melakukan
Islamisasi Ilmu menurut beberapa sumber pertama kali diangkat Syed Husein Nasr,
kemudian gagasan tersebut dikembangkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan
selanjutnya gagasan tersebut disambut dan dipelopori oleh Ismail Raji
al-Faruqi.
2. Konsep Dasar dan Latar Belakang Islamisasi
Ilmu Pengetahuan
Menurut Al-Faruqi__yaitu kondisi realitas dunia
Islam pada saat gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dikemukakan__disebutnya
sebagai sebuah malaise (krisis) global yang di alami sebagian umat Islam di
dunia Krisis tersebut telah menyebabkan umat Islam menempati posisi terendah di
antara bangsa-bangsa lain dari segi kehidupan politik, ekonomi, agama, sosial
dan budaya.
3. Tokoh pelopor, biografi dan
pemikirannya
— Ismail
Raji al-Faruqi
Dilahirkan di Palestina dan akhirnya hijrah ke
Amerika
Pemikirannya :
-
Penyebab tertinggalnya dunia Islam dibanding dunia barat modern,
disebabkan kondisi pendidikan Islam yang mengalami krisis identitas, akibat
pengaruh filsafat dan ilmu pengetahuan yang melanda sistem pendidikan Islam,
yang berimplikasi pada terbelahnya sistem pendidikan Islam secara dikotomik
yaitu menganggap ilmu itu terbelah menjadi dua, yaitu ilmu-ilmu sekuler (profane)
dan ilmu-ilmu agama Islam.
- Berusaha mewujudkan dalam bentuk gerakan
sistematik berupa pembuatan buku-buku ilmiah yang telah diislamkan terlebih
dahulu, sebelum dijadikan referensi utama bagi proses pembelajaran pada jenjang
pendidikan tinggi dalam Islam.
- Mengembangkan kembali metodologi pengembangan
ilmu pengetahuan berbasis ajaran Islam pada masa modern, sebagaimana
keberhasilan ulama-ulama klasik dalam mengislamkan ilmu-ilmu yang berasal dari
Yunani.
— Syed
Muhammad Naquib al-Attas
Beliau lahir pada tanggal 5 September 1931 di
Bogor, Jawa Barat..
Pemikirannya :
-
Memandang bahwa umat Islam menghadapi tantangan terbesar saat ini yaitu
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang telah salah dalam memahami ilmu dan
keluar dari maksud dan tujuan ilmu itu sendiri. Meskipun ilmu pengetahuan yang
dikembangkan oleh peradaban Barat telah memberikan manfaat dan kemakmuran
kepada manusia, namun ilmu pengetahuan itu juga telah menimbulkan kerusakan dan
kehancuran di muka bumi.
-
Islamisasi ilmu pengetahuan dapat dilakukan dengan melalui dua proses
yang berkaitan yaitu : Mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk peradaban Barat yang
dimiliki oleh pengetahuan modern saat ini. Memasukan unsur-unsur, konsep-konsep
Islam dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan modern yang relevan
4.
Pentingnya Islamisasi Ilmu
Pemisahan ilmu dari agama pada gilirannya telah
menimbulkan problem teologis yang krusial, karena lama kelamaan banyak ilmuan
Barat merasa tidak perlu lagi menyinggung atau melibatkan Tuhan sedikit pun dalam
penjelasan keilmuan mereka
Sikap ilmuan seperti itu, tentu saja tidak
cocok dengan sikap dan kepribadian masyarakat Indonesia terlebih Islam yang religius
dan selalu percaya dengan sepenuh hati bahwa alam semesta tak lain kecuali
hasil ciptaan dan tanda kebesaran Tuhan.
Penyimpangan dari tujuan penggunaan ilmu
pengetahuan yang demikian itulah yang direspon melalui konsep Islamisasi Ilmu
yaitu upaya menempatkan sains dan teknologi dalam bingkai Islam, dengan tujuan
agar perumusan dan pemanfaatan sains dan teknologi itu ditujukan untuk
mempertinggi harkat dan martabat manusia, melaksanakan fungsi kekhalifahannya
di muka bumi serta tujuan-tujuan luhur lainnya. Inilah yang menjadi sebab
pentingnya Islamisasi ilmu.
5. Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan
Islam
Pandangan Al-Faruqi dan Al-Attas tentang
islamisasi ilmu pengetahuan, dalam kerangka operasionalnya Islamisasi ilmu
pengetahuan____menurut Muhaimin__terdiri dari beberapa model yaitu: Purifikasi,
Modernisasi, Neo Modernisme
6. Implikasi
Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan
Model purifikasi dapat diterapkan misalnya
dalam mempurifikasi teori pengetahuan modern dalam pendidikan, yang kemudian
disesuaikan dengan pemikiran para tokoh intelektual muslim.
Model modernisasi dalam konteks pendidikan
berkaitan dengan modernisasi pendidikan Islam baik secara kelembagaan maupun dalam pengembangan
kurikulum
Model Neo Modernisme dalam pendidikan Islam
misalnya dapat dilakukan dengan mengangkat penyataan Al Ghazali yang memberikan
anjuran-anjuran kepada guru dalam mengajar bahwa mengajar adalah pekerjaan dan
tugas yang mulia.
Selanjutnya implikasi Islamisasi Ilmu
Pengetahuan dalam pendidikan yang lain
diantaranya :
— Dalam
aspek Kelembagaan yaitu penyatuan dua
sistem pendidikan, yakni pendidikan Islam (agama) dan sekuler (umum).
—
Dalam aspek Kurikulum dengan cara mengkaji kurikulum tidak diserahkan
pada satu tim saja, namun membutuhkan ahli-ahli di bidangnya, Rumusan kurikulum
dalam Islamisasi ilmu pengetahuan dengan memasukkan segala keilmuan dalam
kurikulum. Dengan demikian lembaga pendidikan memiliki kurikulum yang actual,
responsive terhadap tuntutan permasalahan kontemporer. Artinya lembaga akan
melahirkan lulusan yang visioner, berpandangan integrative, proaktif dan
tanggap terhadap masa depan serta tidak dikotomik dalam keilmuan.
—
Dalam aspek Pendidik, yaitu
pendidik ditempatkan pada posisi yang selayaknya, artinya kompetensi dan
professional yang mereka miliki dihargai sebagaimana mestinya. Seorang pendidik
dituntut memiliki visi keislaman dan kemampuan subtantif, yakni berupa gagasan
dua segi keilmuan, yakni ilmu agama dan ilmu modern sekaligus. Juga dituntut memiliki kemampuan nonsubtantif,
yakni berupa multiskill didaktis. Kemampuan ini mencakup ketrampilan dalam
menggunakan metode dan strategi pembelajaran, pengelolaan atau manajemen
pendidikan, pengevaluasian dan lain sebagainya, yang secara keseluruhan
bertumpu pada unsur tauhid.
B.
Saran
Hendaknya intelektual-intelektual muslim segera
menindaklanjuti dan merealisasikan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dalam
pendidikan sebagaimana yang telah dirintis oleh ilmuan-ilmuan muslim terdahulu agar
dapat melaksanakan fungsi kekhalifahannya di muka bumi serta sesuai dengan
tujuan pendidikan Islam yaitu terbentuknya manusia muslim seutuhnya (insan
kamil) untuk mewujudkan terciptanya negara yang Baldatun Toyyibatun Wa Rabbun
Ghafuur.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Fadl, Mona. 1990. Where East Meets West;
The West on Agenda of Islamic Revival, Herndon. Virginia: International
Institute Of Islamic Thought.
Al-Attas, Syed M. al- Naquib. 1990. Islam Dalam
Sejarah Dan Kebudayaan Melayu. Bandung: Mizan.
Al-Faruqi, Ismail Raji. 1984. Islamisasi
Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin Bandung: Pustaka Setia.
Al-Faruqi, Ismail Raji. tt. Islamization of
Knowledge General Principles and Work Plann, Terj. bahasa Indonesia ,
Islamisasi Pengetahuan, Terj. Anas Mahyuddin, Islamisasi Pengetahuan.
Aziz, Abdul. 2009. Filsafat Pendidikan Islam.
Yogyakarya: Teras.
Baharuddin, dkk, 2011. Dikotomi Pendidikan
Islam. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Iswati. 2017. Upaya Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam. At-Tajdid, Volume. 1, No. 1
Januari-Juni.
Jawahir. 1989. ”Syed M. al- Naquib al-Attas,
Pakar Agama, Pembela Aqidah dan Pemikir Islam yang dipengaruhi paham
orientalis”, dalam panji masyarakat, no. 603, edisi 21-28 Februari.
Kertanegara, Mulyadhi. 2007. Mengislamkan Nalar. Jakarta : Erlangga.
Lapidus, Ira M. 2000. Sejarah Sosial Umat
Islam, terj. Gufron A.Mas‟adi, Vol. 1,. Jakarta: Radja Grafindo Persada.
Mas’ud dkk, Abdurrachman. 2001. Paradigma
Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Muhaimin. 2014. Wawasan Pendidikan Islam. Bandung:
Marja.
Muzani, Saiful. 1991. Pandangan Dunia dan
Gagasan Islamisasi Syed Muhammad Naquib al-Attas’’ dalam jurnal al-hikmah. No.3
edisi Juli – Oktober.
Nasution, Harun. 1985. Pembaharuan dalam Islam,
Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang
Nata, Abuddin. 2003. Manajemen Pendidikan ;
Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
Novayani, Irma. 2017. Islamisasi Ilmu
Pengetahuan Menurut Pandangan Syed M. Naquib Al-Attas Dan Implikasi Terhadap
Lembaga Pendidikan International Institute Of Islamic Thought Civilization
(ISTAC), Jurnal Al-Muta’aliyah STAI Darul Kamal NW Kembang kerang Volume I No
1.
Rahardjo, M. Dawam. 2000. Strategi Islamisasi
Ilmu Pengetahuan: dalam Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Moeflih Hasbullahed. Jakarta:
Pustaka Cidesindo.
Soleh, Khudori. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam.
Yogyakart: Pustaka Pelajar.
Suharto, Ugi. 2006. Islam dan Sekularisme,
Islamia, Tahun I, No. 6, Juli-September.
Suprayogo, Imam. 2002. Quo Vadis Pendidikan Islam.
Malang: UIN Malang Press.
Syah, Muhibbin. 2002. Psikologi Pendidikan
Dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Ulya. 2009. Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Kudus: STAIN Kudus.
Wan Daud, Wan Mohd Nor. 2003. Filsafat dan
Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas. Bandung: Mizan. cet. Ke-1.
http://inpasonline.com/mega-proyek-pemikiran-syed-naquib-al-attas/,
http://sirojtedunan.blogspot.com/2010/12/pembahasan-gagasan-islamisasi-ilmu.html,
http://www.umy.ac.id/islamisasi-ilmu-pengetahuan-penting-dilakukan.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Syed_Muhammad_Naquib_al-Attas,
https://sudiryona.wordpress.com/about/islamisasi-ilmu-pengetahuan-islam/
https://www.hidayatullah.com/berita/berita-dari
anda/read/2015/11/22/83690/pentingnya-islt-yang-sekular.html
https://www.kompasiana.com/srimaulida/55802df411937355190285d4/islamisasi-ilmu-pengetahuan?page=all,
[1] Imam Suprayogo, Quo Vadis Pendidikan Islam
(Malang: UIN Malang Press, 2002), 252.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Muhaimin, Wawasan Pendidikan Islam
(Bandung: Marja, 2014), 335.
[6]https://www.kompasiana.com/srimaulida/55802df411937355190285d4/islamisasi-ilmu-pengetahuan?page=all,
(online), diakses pada 18 Pebruari 2020, pukul 04.36 WIB.
[7] Iswati, Upaya Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam (At-Tajdid, Volume. 1, No. 1
Januari-Juni 2017), 92.
[8] Muhaimin, Wawasan..., 335.
[9] Ibid.
[10] Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam
(Yogyakart: Pustaka Pelajar, 2004), 241.
[11] Ibid.
[12] Ibid., 242.
[13]Abdurrachman Mas’ud dkk, Paradigma
Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 113.
[14] Ibid.
[15]Ibid.
[16] Khudori Soleh., Wacana..., 243.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid., 244.
[20] Ibid.
[21] Khudori Soleh., Wacana..., 244.
[22] Abdurrachman Mas’ud dkk, Paradigma...,
119.
[23] Ibid.
[24] Abdurrachman Mas’ud dkk, Paradigma...,
119.
[25] Iswati, Upaya Islamisasi..., 95.
[26] Ibid.
[27]Kekalahan-kekalahan umat Islam dimulai
dengan ekspansi dan penetrasi negara-negara Eropa ke wilayah-wilayah umat Islam
pada abad ke delapan belas. Pada saat itu kekuatan Eropa mulai bangkit dan
menembus kekuatan-kekuatan rezim-rezim umat Islam. Kekuatan-kekuatan negara
Atlantik dan Eropa telah menampakkan ambisi untuk menguasai dan memperluas
wilayah kekuasaan mereka di wilayah perbatasan bagian utara dan selatan
masyarakat Muslim. Eropa Barat dan Rusia pada abad ini telah memulai
ekspansinya melalui Asia Tengah dan Siberia menuju Pasifik. Pada
wilayah-wilayah masyarakat muslim di Selatan, ekspansi bangsa Eropa di mulai
dengan perlawatan perdagangan para saudagar Portugis, Belanda dan Inggris.
Portugis mendirikan beberapa pusat kekuasaan Kolonial di Hindia dan Malaka.
Pada abad 16 yang kemudian dilanjutkan Belanda yang menguasai Asia Tenggara
pada abad ke 17. Sedangkan Inggris melalui ekspansi mereka dengan menguasai
sebuah imperium di India dengan melalui persaingan yang ketat dengan Perancis.
Pada abad akhir abad ke 18 Inggris telah berhasil menaklukan Bengal dan terus
menjajah wilayah India. Lihat Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, terj.
Gufron A.Mas’adi, Vol. 1, (Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2000), 89.
[28] Iswati, Upaya Islamisasi..., 96.
[29] Ibid.
[30] Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi
Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka Setia, 1984), 2-8. Gambaran
tentang munculnya pertentangan antara umat Islam yang telah terbaratkan dengan
mereka yang masih kokoh memegang ajaran Islam terjadi di Negara Turki dengan
terbaginya umat Islam dalam pembaharuan di Turki, yaitu kaum sekuler, kaum
nasionalis dan kaum agamawan (Islam). Golongan barat menghendaki agar
pembaharuan di Turki didasarkan pada pembaharuan Barat, golongan Islam
menghendaki pembaharuan tetap didasarkan kepada ajaran-ajaran Islam dan
golongan nasionalis menghendaki pembaharuan didasari pada nilai-nilai
nasionalisme bangsa Turki. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam,
Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang,1985), 126.
[31] Iswati, Upaya Islamisasi..., 96.
[32] Ibid., 92.
[33]http://sirojtedunan.blogspot.com/2010/12/pembahasan-gagasan-islamisasi-ilmu.html,
(online), diakses pada 18 Pebruari 2020, pukul 05.36 WIB.
[34] Ibid.
[35] Ibid.
[36] Ibid.
[37] Iswati, Upaya Islamisasi..., 92.
[38] Ibid.
[39] Ibid., 93.
[40] M. Dawam Rahardjo, Strategi Islamisasi
Ilmu Pengetahuan: dalam Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Moeflih Hasbullahed (Jakarta: Pustaka
Cidesindo, 2000), 12-13.
[41] Iswati, Upaya Islamisasi..., 94.
[42] Ibid.
[43]Ismail Raji Al-Faruqi, Islamization of
Knowledge General Principles and Work Plann, Terj. bahasa Indonesia ,
Islamisasi Pengetahuan, Terj. Anas Mahyuddin, Islamisasi Pengetahuan, 98-118.
Lihat juga Mona Abu Fadl, Where East Meets West; The West on Agenda of Islamic
Revival, Herndon (Virginia: international Institute of Islamic Thought, 1990),
54.
[44]https://sudiryona.wordpress.com/about/islamisasi-ilmu-pengetahuan-islam/(online),
diakses 10 Oktober 2019, pukul 05.30 WIB.
[45] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan
Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas ( Bandung: Mizan, 2003) cet.
Ke-1, 45.
[46] Jawahir,”Syed M. al- Naquib al-Attas,
Pakar Agama, Pembela Aqidah Dan Pemikir Islam Yang Dipengaruhi Paham
Orientalis”, dalam panji masyarakat, no. 603, edisi 21-28 Februari 1989, 32.
[47] Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan Gagasan
Islamisasi Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam jurnal al-hikmah. ( No.3 edisi
Juli – Oktober 1991 ), 90.
[48] Ibid.
[49] Ibid.
[50] Ibid.
[51] Ibid.
[52] Pidatonya tersebut telah diterbitkan di
Indonesia, lihat Syed M. al- Naquib al-Attas, Islam Dalam Sejarah Dan
Kebudayaan Melayu (Bandung: Mizan,
1990).
[53]https://id.wikipedia.org/wiki/Syed_Muhammad_Naquib_al-Attas,
(online) diakses 18 Pebruari 2020, pukul
06.17 WIB.
[54] Iswati, Upaya Islamisasi..., 94.
[55] Ibid., 95.
[56] Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi
Pengetahuan..., 98.
[57] Iswati, Upaya Islamisasi..., 97.
[58] Ibid., 98.
[59] Ibid.
[60] Ibid.
[61] Ibid.
[62] Menurut Al-Attas, istilah sekuler berasal
dari kata seacullum yang mempunyai pengertian waktu ( time ) dan tempat (
location ). Dengan demikian seacullum itu berarti masa kini dan di sini. Masa
kini berarti masa sekarang dan di sini berarti dunia ini. Jadi paham sekuler menurut
Al-Attas adalah merujuk pada makna kesaatinian dan kedisinian. Kalau kata
sekuler itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, maka kata yang paling mendekati
kesesuaian adalah kedisinian ( hunalaniyah ), berdasarkan perkataan dalam
bahasa Arab huna yang berarti di sini dan al ‘an yang berarti sekarang.
Berdasarkan analisis di atas, Al-attas menerjemahkan sekuler ke dalam Bahasa
Arab dengan almaniyah sebenarnya tidak menjelaskan pengertian konsep aliran
itu. Dalam kesempatan lain Al-Attas menyarankan agar sekularisme diterjemahkan
dengan syikulariyah dalam bahasa Arab, sehingga dapat memberikan pemahaman yang
benar di kalangan umat Islam dengan tidak mereduksi makna dari konsep itu.
Lihat Ugi Suharto, Islam dan Sekularisme, Islamia, Tahun I, No. 6, Juli-September,
2006.
[63] Iswati, Upaya Islamisasi..., 99.
[64]
http://inpasonline.com/mega-proyek-pemikiran-syed-naquib-al-attas/, (online),
diakses 18 Pebruari 2020, pukul 17.33 WIB.
[65] Irma Novayani, Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Menurut Pandangan Syed M. Naquib Al-Attas Dan Implikasi Terhadap Lembaga
Pendidikan International Institute Of Islamic Thought Civilization (ISTAC),
Jurnal Al-Muta’aliyah STAI Darul Kamal NW Kembang kerang Volume I No 1 Tahun
2017, 87.
[66]https://sudiryona.wordpress.com/about/islamisasi-ilmu-pengetahuan-islam/(online),
diakses 10 Oktober 2019, pukul 20.30
WIB.
[67]Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan:
Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media,
2003), 96.
[68]Ulya, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Kudus:
STAIN Kudus, 2009), 66-73.
[69] Ibid.
[70] Ibid.
[71] Ibid.
[72] Ibid.
[73] Mulyadhi Kertanegara, Mengislamkan Nalar (Jakarta:
Erlangga, 2007), 10.
[74] Ibid.
[75] Ibid.
[76] Ibid.
[77] Ibid.
[78] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan ; Mengatasi
Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2003), 99.
[79]http://www.umy.ac.id/islamisasi-ilmu-pengetahuan-penting-dilakukan.html
(online) diakses 10 Oktober 2019, pukul 18.55 WIB.
[80] Ibid.
[81]https://www.hidayatullah.com/berita/berita-dari
anda/read/2015/11/22/83690/pentingnya-islt-yang-sekular.html (online) diakses
10 Oktober 2019, pukul 19.15 WIB.
[82] Ibid.
[83] Ibid.
[84] Ibid.
[85] Ibid.
[86] Ibid.
[87] Ibid.
[88] Iswati, Upaya Islamisasi..., 100.
[89] Ibid., 101.
[90] Ibid.
[91] Ibid.
[92] Iswati, Upaya Islamisasi..., 101.
[93] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan
Pendekatan Baru (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), 43- 46.
[94] Iswati, Upaya Islamisasi..., 101.
[95] Iswati, Upaya Islamisasi..., 102.
[96] Ibid.
[97] Ibid.
[98] Abdul Aziz, Filsafat Pendidikan Islam
(Yogyakarya:Teras, 2009), 113.
[99] Ibid. 114.
[100] Baharuddin, dkk, Dikotomi Pendidikan
Islam (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2011), 79.
[101] Ibid.
[102] Ibid.
[103] Ibid.
[104] Iswati, Upaya Islamisasi..., 99.
[105] Ibid.
[106] Ibid., 100.
[107] Ibid.