MAKALAH PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN PADA ANAK DAN REMAJA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik
maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan
bawaan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui
bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.
Menurut beberapa ahli anak dilahirkan bukanlah
sebagai makhluk yang religious. Adapula yang berpendapat sebaliknya bahwa anak
sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi di
kemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap
kematangan.
Dalam makalah ini akan membahas tentang tahapan
pertumbuhan dan perkembangan jiwa keagamaan pada anak.
B.
Rumusan Masalah
A. Apa
saja Teori tentang Sumber Kejiwaan Agama ?
B. Bagaimana
Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak ?
C. Bagaimana
Perkembangan Agama pada Anak-anak ?
D. Apa
saja sifat-sifat Agama pada Anak-anak ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori Tentang Sumber Kejiwaan Agama
Hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat, bahwa
sesungguhnya apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan manusia itu bukan hanya
terbatas pada kebutuhan makan, minum, pakaian ataupun kenikmatan-kenikmatan
lainnya. Berdasarkan hasil riset dan observasi mereka mengambil kesimpulan
bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat
universal. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi
kebutuhan akan kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan
kodrati, berupa keinginan untuk mencita dan dicintai Tuhan.
Berdasarkan kesimpulan di atas manusia ingin
mengabdikan dirinya kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggapnya sebagai Zat yang
mempunyai kekuasaan tertinggi. Keinginan itu terdapat pada setiap kelompok,
golongan atua masyarakat manusia dari yang paling primitive hingga yang paling
modern.
Pernyataan yang timbul adalah : apakah yang
menjadi sumber pokok yang mendasarkan timbulnya keinginan untuk mengabdikan
diri kepada Tuhan itu? Atau dengan kata lain “Apakah yang menjadi sumber
kejiwaan agama itu”?
Untuk memberikan jawab itu telah timbul
beberapa teori antara lain :
1.
Teori Monistik : (Mono=Satu)
Teori monistik berpendapat, bahwa yang menjadi
sumber kejiwaan agama itu adalah satu sumber kejiwaan. Selanjutnya sumber
tunggal manakah yang dimaksud yang paling dominan sebagai sumber kejiwaan itu
timbul beberapa pendapat, yaitu yang dikemukakan oleh :
a.
Thomas Van Aquino
Sesuai dengan masanya Thomas Aquino
mengemukakan, bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu, ialah berpikir.
Manusia ber-Tuhan karena manusia menggunakan kemampuan berpikirnya. Kehidupan
beragama merupakan refleksi dari kehidupan berpikir manusi itu sendiri.
Pandangan semacam ini masih tetap mendapat tempatnya hingga sekarang di mana
para ahli mendewakan rasio sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber
agama.
b.
Fredrick Hegel
Hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan
oleh Thomas Van Aquino, maka filosof Jerman ini berpendapatk agama adalah suatu
pengetahuan yang sungguh-sungguh benar dan tempat kebenaran abadi.
2.
Teori Fakulti (Faculty Theory)
Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku
manusia tidak bersumber pada suatu faktor
yang tunggal tetapi terdiri atas beberapa unsure, antara lain yang
dianggap memegang peranan penting adalah : fungsi cipta (reason), rasa
(emotion) dan karsa (will).
Demikian pula perbuatan manusia yang bersifat
keagamaan dipengaruhi dan ditentukan oleh tiga fungsi tersebut :
1.
Cipta (reason) berperanan untuk menentukan benar atau tidaknya ajaran
suatu agama berdasarkan pertimbangan intelek seseorang.
2.
Rasa(emotion) menimbulkansikap batin yang seimbang dan positif dalam
menghayati kebenaran ajaran agama.
3.
Karsa (will) menimbulkan amalan-amalan atau doktrin keagamaan yang benar
dan logis.
Salah satu tokoh yang menggunakan teori ini
adalah Zakiah Daradjat. Dr. Zakiah Daradjat berpendapat bahwa pada diri manusia
itu terdapat kebutuhan pokok. Beliau mengemukakan, bahwa selain dari kebutuhan
jasmani dan kebutuhan rohani manusia pun mempunyai suatu kebutuhan akan adanya
kebutuhan akan keseimbangan dalam kehidupan jiwanya agar tidak mengalami
tekanan.
Unsur-unsur kebutuhan yang dikemukakan yaitu :
1.
Kebutuhan akan rasa kasih sayang; kebutuhan yang menyebabkan manusia
mendambakan rasa kasiha. Sebagai pernyataan tersebut dalam bentuk negatifnya
dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya : mengeluh, mengadu,
menjilat kepada atasan mengambinghitamkan orang dan lain sebagainya.
Akibat dari tidak terpenuhinya kebutuhan ini
maka akan timbul gejala psiko-somatis misalnya ; hilang nafsu makan, pesimis,
keras kepala, kurang tidur dan lain-lain.
2.
Kebutuhan akan rasa aman; kebutuhan yang mendorong manusi mengharapkan adanya
perlindungan. Kehilangan rasa aman ini akan mengakibatkan manusia sering
curiga, nakal, mengganggu, membela diri, mengguakan jimat-jimat dan lain-lain.
Kenyataan dalam kehidupan ialah adanya kecenderungan manusia mencari
perlindungan dari kemungkitan gangguan terhadap dirinya, misalnya: system
perdukunan, pertapaan dan lain-lain.
3.
Kebutuhan akan rasa harga diri, kebutuhan yang bersifat individual yang
mendoron manusia agar dirinya dihormati dan diakui oleh orang lain. Dalam
kenyataan terlihat mislnya; sikap sombong, ngambek, sifat sok tahu dan
lain-lain. Kehilangan rasa harga diri ini akan mengakibatkan tekanan batin,
misalnya sakit jiwa: delusi dan illusi.
4.
Kebutuhan akan rasa bebas: kebutuhan yang menyebabkan seseorang
bertindak secara bebas, untuk mencapai kondisi dan situasi rasa lega.
5.
Kebutuhan akan rasa sukses: kebutuhan manusia yang menyebabkan ia
mendambakan rasa keinginan untuk dibina dalam bentuk penghargaan terhadap hasil
karyanya. Jika kebutuhan akan rasa sukses ini ditekan, maka seseorang yang
mengalami hal tersebut akan kehilangan harga dirinya.
6.
Kebutuhan akan rasa ingin tahu (mengenal); kebutuhan yang menyebabkan
manusia selalu meneliti dan menyelidiki sesuatu. Jika kebutuhan ini diabaikan
akan mengakibatkan tekanan batin, oleh karena itu kebutuhan ini harus
disalurkan untuk memenuhi pemuasan pembinaan pribadinya.
Menurut Dr. Zakiah Darajat selanjutnya gabungan
dari keenam macam kebutuhan tersebut menyebabkan orang memerlukan agama.
Melalui agama kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat disalurkan. Dengan
melaksanakan ajaran agama secara baik maka kebutuhan akan rasa kasih saying,
rasa aman, rasa harga diri, rasa bebas, rasa sukses dan rasa ingin tahu akan
terpenuhi.
B.
TIMBULNYA JIWA KEAGAMAAN PADA ANAK
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik
maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan
bawaan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui
bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini
Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya maka
seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang
dimilikinya, yaitu :
1). Prinsip Biologis
Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam
keadaan lemah. Dalam segala gerak dan tindak tanduknya ia selalu memerlukan
bantuan dari orang-orang dewasa sekelilingnya. Dengan kata lain ia belum dapat
berdiri sendiri karena manusia bukanlah merupakan makhluk instinktif. Keadaan
tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan secara maksimal.
2). Prinsip tanpa daya
Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan
fisik dan psikisnya maka anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia dewasa
selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. Ia sama sekali tidak berdaya
untuk mengurus dirinya sendiri.
3).Prinsip Eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan
potensi manusia yang dibawanya sejak lahir baik jasmani maupun rohani
memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan. Jasmaninya baru akan
berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi mental
lainnya pun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika kematangan dan
pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian
perkembangannya
Kesemuanya itu tidak dapat dipenuhi secara
sekaligus melainkan melalui pentahapan.
Demikian juga perkembangan agama pada diri anak.
Timbulnya Agama Pada Anak
Menurut beberapa ahli anak dilahirkan bukanlah
sebagai makhluk yang religious. Adapula yang berpendapat sebaliknya bahwa anak
sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi di
kemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap
kematangan.
Masalah tersebut marilah kita kemukakan
beberapa teori mengenai pertumbuhan agama pada anak itu antara lain :
1.
Rasa ketergantungan (Sense of Depende)
Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori
Four Wishes. Menurutnya manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat
keinginan yaitu : keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan
pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response)
dan keinginan untuk dikenal (recognition). Berdasarkan kenyataan dan kerjasama
dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam
ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan
itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
2.
Instink Keagamaan
Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah
memiliki beberapa instink di antaranya instink keagamaan. Belum terlihat tindak
keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang
kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna. Misalnya instink social
pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai makhluk homo socius, baru berfungsi
setgelah naka dapat bergaul dan berkembang untuk berkomunikasi. Jadi instink
social itu tergantung dari kematangan fungsi lainnya. Demikian pula instink
keagamaan.
C.
PERKEMBANGAN AGAMA PADA ANAK-ANAK
Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan
agama anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya The
Development of Religios on Children ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada
anak-anak itu melalui tiga tingkatan yaitu :
1.
The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Tingkata ini dimulai pada anak yang berusia 3 –
6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh
fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini akan menghayati konsep ke
Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini
masih banyak dipengaruhi kehidupan
fantasi hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep
fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2.
The Realistic Stage (Tingkatan Kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah
Dasar hingga sampai ke usia (masa usia) adolesense. Pada masa ini die ke
Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan
(realis). Konsep ini timbul melalui
lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada
masa ini ide keagamaan pada anak di dasarkan
atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan
yang formalis. Berdarkan hak itu maka pada masa ini anak-anak tertarik dan
senang pada lembaga keagamaan yang
mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk
tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan penuh minat.
3.
The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini akan telah memiliki kepekaan
emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep
keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu :
a.
Konsep ke Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi
sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luas.
b.
Konsep ke Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang
bersifat personal (perorangan)
c.
Konsep Ke Tuhanan yang bersifat humanistic. Agama telah menjadi etos
humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap
tingkatan dipengaruhi oleh factor intern yaitu perkembangan usia dan factor
ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.
D.
SIFAT-SIFAT AGAMA PADA ANAK-ANAK
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak
berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan cirri yang mereka
miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on
outhority, ide keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh factor dari luar
diri mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah
melihat, mempelajari hal-hal yang berada di luar diri mereka. Mereka telah
melihat dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan
orang tua mereka tentang sesuatu yang
berhubungan dengan kemaslahatan agama. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap
anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki. Dengan demikian
ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang
mereka pelajari dan para orang tua maupun guru mereka. Bagi mereka sangat mudah
untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun belum mereka sadari sepenuhnya
manfaat ajaran tersebut. Berdasarkan hal itu maka bentuk dan sifat agama pada
diri anak dapat dibagi atas :
1.
Unreflective ( Tiak mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang jumlah konsep
ke Tuhanan pada diri anak 73 % mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti
manusia. Dalam suatu sekolah bahkan ada siswa yang mengatakan bahwa Santa Klaus
memotong jenggotnya untuk membuat bantal. Dengan demikian anggapan mereka
terhadap ajara agama dapat saja mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran
yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan
mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk
akal. Meskipun demikian pada beberapa orang anak terdapat mereka yang memiliki
ketajaman pikiran untuk menimbang
pendapat yang mereka terima dari orang lain.
Penelitian Praff mengemukakan dua contoh
tentang hal itu :
a.
Suatu peristiwa seorang anak mendapat keterangan dari ayahnya bahwa Tuhan selalu mengabulkan
permintaan hamba-Nya. Kebetulan seorang anak lalu di depan sebuah toko mainan.
Sang anak tertarik pada sebuah topi berbentuk kerucut. Sekembalinya ke rumah ia
langsung berdoa kepada Tuhan untuk apa yang diingininya itu. Karena hal itu
diketahui oleh ibunya, maka itu ditegur. Ibunya berkata bahwa dalam berdoa tak
boleh seseorang memaksakan Tuhan untuk mengabulkan barang yang diinginkannya
itu. Mendengar hal tersebut anak tadi langsung mengemukakan pertanyaan : “
Mengapa “?
b.
Seorang anak perempuan diberitahukan tentang doa yang dapat menggerakan
sebuah gunung. Berdasarkan pengetahuan tersebut maka pada suatu kesempatan anak
itu berdoa selama beberapa jam agar Tuhan memindahkan gunung-gunung yang ada di
daerah Washington ke laut. Karena keinginannya itu tidak terwujud maka semenjak
itu ia tak mau berdoa lagi.
Dua contoh
diaatas menunjukkan bahwa anak itu sudah menunjukkan pemikiran yang
kritis, walaupun bersifat sederhana, menurut penelitian pikiran kritis baru
timbul pada usia 12 tahun sejalan dengan pertumbuhan moral. Di usia tersebut,
bahkan anak kurang cerdas pun menunjukkan
pemikiran yang korektif. Di sini menunjukkan bahwa anak meragukan
kebenaran ajaran agama pada aspek-aspek yang bersifat kongkret.
2.
Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak
tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan
pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada
diri anak, maka tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin
meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan
anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan
yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Seorang anak yang kurang
mendapat kasih sayang dan selalu mengalami tekanan akan bersifat
kekanak-kanakan (childish) dan memiliki sifat ego yang rendah. Hal yang
demikian menganggu pertumbuhan keagamaannya.
3.
Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai ke Tuhanan pada
anak berasal dari hasil pengalamannya ke kala ia berhubungan dengan orang lain.
Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ke Tuhanan mereka tampak jelas menggambarkan
aspek-aspek kemanusiaan.
Melalui konsep yang berbentuk dalam pikiran
mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan
Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat di saat orang itu berada
dalam tempat yang gelap.
Surge terletak di langit dan untuk tempat orang
yang baik. Anak menganggap bahwa Tuhan dapat melihat segala perbuatannya
langsung ke rumah-rumah mereka sebagai layaknya orang mengintai. Pada anak yang
berusia 6 tahun menurut penelitian Praff, pandangan anak tentang Tuhan adalah
sebagai berikut :
Tuhan
mempunyai wajah seperti manusia, telinganya lebar dan besar. Tuhan tidak
makan tetapi hanya minum embun.
Konsep ke Tuhanan yang demikian itu mereka
bentuk sendiri berdasarkan fantasi masing-masing.
4.
Verbalis dan Ritualis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata
kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal
(ucapan). Mereka menghapal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain
itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut
tuntutan yang diajarkan kepada mereka. Sepintas lalu hal tersebut kurang ada
hubungannya dengan perkembangan agama pada anak di masa selanjutnya tetapi
menurut penyelidikan hal itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama
anak itu di usia dewasanya. Bukti menunjukkan bahwa banyak orang dewasa yang
taat karena pengaruh ajaran dan praktek keagamaan yang dilaksanakan pada masa
anak-anak mereka. Sebaliknya belajar agama di usia dewasa banyak mengalami
kesuburan. Latihan-latihan bersifat verbalis dan upacara keagamaan yang
bersifat ritualis (praktek) merupakan hal yang berarti dan merupakan salah satu
cirri dari tingkat perkembangan agama pada anak-anak.
5.
Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan
bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh
dari meniru. Berdoa dan sholat misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat
perbuatan di lingkungan, baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang
intensif. Pada ahli jiwa menganggap, bahwa dalam segala hal anak merupakan
peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam
pendidikan keagamaan pada anak.
Menurut penelitian Gillesphy dan Young terhadap
sejumlah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi menunjukkan, bahwa anak yang
tidak mendapat pendidikan agama dalam keluarga tidak akan dapat diharapkan
menjadi pemilik kematangan agama yang kekal.
Walaupun anak mendapat ajaran agama tidak
semata-mata berdasarkan yang mereka memperoleh sejak kecil namun pendidikan keagamaan (religious
paedagogis) sangat mempengaruhi terwujudnya tingkah laku keagamaan (religious
behavior) melalui sifat meniru itu.
6.
Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat
keagamaan yang terakhir pada anak
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik
maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan
bawaan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui
bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak
berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan cirri yang mereka
miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on
outhority, ide keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh factor dari luar
diri mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah
melihat, mempelajari hal-hal yang berada di luar diri mereka. Mereka telah
melihat dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan
orang tua mereka tentang sesuatu yang
berhubungan dengan kemaslahatan agama. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak
sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki. Dengan demikian ketaatan
kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka
pelajari dan para orang tua maupun guru mereka. Bagi mereka sangat mudah untuk
menerima ajaran. Banyak teori yang mengemukakan perkembangan agama pada anak
atau remaja. Namun, sejatinya sama tujuannya yaitu untuk mendapatkan kebenaran
agama yang hakiki.
Daftar Pustaka