MAKALAH EPISTEMOLOGI ILMU (SAINS)
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia mempunyai ciri istimewa ,yaitu
kemampuan berpikir yang ada dalam satu struktur dengan perasaan dan kehendaknya
(sehingga disebut sebagai makhluk yang berkesadaran). Aristoteles memberikan
identitas sebagai animal rationale.[1]
Memang untuk memperoleh data-data dari alam nyata di butuhkan panca
indera, tetapi untuk menghubung-hubungkan satu data dengan data lainnya atau
untuk menterjemahkan satu kejadian dengan kejadian lainnya yang terjadi di alam
nyata ini dibutuhkan sekali akal. Andaikan bersandar pada pancaindra semata,
manusia tidak akan mampu menafsirkan proses alamiah yang terjadi di jagad raya
ini. Jadi, akallah yang menyusun konsep-konsep rasional yang disebut dengan
pengetahuan. [2]
Para sophis bertanya, seberapa jauh pengetahuan
kita mengenai kodrat benar-benar merupakan kenyataan objektif, seberapa jauh
pula merupakan sumbangan subjektif manusia ? Apakah kita mempunyai pengetahuan
menganai kodrat sebagaimana adanya ? Sikap skeptis inilah yang mengawali
munculnya epistemologi.[3]
Harapan penulis makalah ini dapat mengungkap
tentang epistemologi ilmu yakni berkaitan dengan sumber pengetahuan dan
bagaimanakah cara untuk memperoleh pengetahuan itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Epistemologi
Epistemologi membicarakan sumber
pengetahuan dan bagaimana cara
memperoleh pengetahuan. Tatkala manusia baru lahir, ia tidak mempunyai
pengetahuan sedikit pun. Nanti ,tatkala ia 40 tahunan, pengetahuannya banyak
sekali sementara kawannya yang berumur dengan dia mungkin mempunyai pengetahuan
yang lebih banyak daripada dia dalam bidang yang sama atau berbeda. Bagaimana
mereka itu masing-masing mendapat pengetahuan itu ? mengapa dapat juga berbeda
tingkat akurasinya ? Hal-hal semacam ini di bicarakan didalam epistemologi.
Runes dalam kamusnya (1971) menjelaskan bahwa
epistemology is the branch of philosophy which investigates the origin,
strcture,methods and validity of knowledge. Itulah sebabnya kita sering
menyebutnya dengan istilah filsafat pengetahuan karena ia membicarakan hal
pengetahuan. Istilah epistemologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan
oleh J.F.Ferrier pada tahun 1854 (runes, 1971:94). [4]
Menurut DW. Hamlyn, sebagimana yang dikutip
Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Ilmu, epistemologi atau teori pengetahuan
ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[5]
Menurut Waryani Fajar Riyanto, filsafat ilmu
sendiri adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau juga disebut epistemologi.
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcme yang berarti knowledge,
pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan
oleh J.F.Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni: epistemology
dan ontology (on= being, wujud, apa+ logos = teori), ontology (teori tentang
apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang
menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah.[6]
Pembahasan epistemologi bersangkutan dengan
hakikat pengetahuan dan cara bagaimana atau dengan sarana apa pengetahuan dapat
diperoleh. Pembicaraan tentang hakikat pengetahuan ini ada dua teori. Teori
pertama yang disebut dengan realisme berpandangan bahwa pengetahuan adalah gambar
atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata. Gambaran atau
pengetahuan yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang terdapat di
luar akal. Jadi, pengetahuan menurut teori ini sesuai dengan kenyataan.[7]
B.
Pengertian Ilmu (Sains)
Kata “’ilm” merupakan terjemahan dari kata
“science” yang secara etimologis berasal dari kata latin “scienre” artinya “to
know”. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukan ilmu
pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan obyektif.[8]
Berikut ini beberapa devinisi tentang ‘ilmu
yang disampaikan oleh beberapa pakar. Menurut ‘Abd al-Jabbar dari Mu’tazilah,
‘ilmu adalah “apa yang menghasilkan ketenangan jiwa,kesejukan dada dan
ketentraman hati”; Bazdawi dari Maturidiyah mendevinisikan ‘ilmu sebagai “menangkap objek ilmu sesuai dengan
kenyataannya”; Jurjani, ‘ilmu adalah i’tiqah yang pasti dan sesuai dengan
realitas objek; Juwaini dan Baqilani (keduanya dari Asy’ariyah) dan Abu Ya’la
(dari Hanbaliyah) sebagai, ‘ilmu adalah mengetahui objek ilmu sesuai realitasnya’; Ibn Hazm, ‘ilmu adalah
meyakini sesuatu sebagaimana realitasnya sendiri , dan lain-lain.
Menurut Waryani Fajar Riyanto,
istilah ‘ilm dalam tradisi Islam dan science dalam tradisi barat tidaklah identik.
Istilah “sains” atau
(science) sendiri baru
mendapatkan maknanya yang khas dalam perkembangan kegiatan ilmiah di dunia
barat sejak beberapa abad. Di sana “sains” dianggap sebagai model cabang ilmu
yang paling unggul, karena perkembangannya yang paling pesat dibandingkan
cabang-cabang ilmu lain. Adalah anggapan tersebut yang melatar belakangi
kebiasaan bahasa Inggris modern-berbeda dengan kebanyakan bahasa lain-untuk
membedakan science, sebagai istilah yang di pakai untuk ilmu pengetahuan alam atau
“ekstra” (pasti) ,dari berbagai cabang pengetahuan lain, terutama ilmu-ilmu
sosial dan humaniora. [9]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagaimana
yang dikutip Amsal Bakhtiar, ilmu disamakan dengan pengetahuan, ilmu adalah
pengetahuan. Dari asal katanya ,kita dapat mengetahui bahwa pengetahuan diambil
dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge, sedangkan ilmu diambil dari
kata science dan peralihan dari kata Arab ilm.[10]
Kata science berasal dari kata latin, scire
yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti “keadaan atau fakta
mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang
dikontraskan melalui intiusi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami
perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang sistematis
yang berasal dari observasi ,kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan
untuk menentukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji, sedangkan dalam
bahasa Arab, ilmu (‘ilm) berasal dari kata ‘alima yang artinya mengetahui, jadi
,ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari
kata scire. Namun ,ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science
(sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang emperisme-positivesme
,sedangkan ilmu melampainya dengan non empirisme seperti metamatika dan
metafisika (Kartanegara,2003). [11]
C.
Epistemologi Ilmu
Sesuai dengan cakupan filsafat ilmu, maka pada
bagian ini kita pahami epistemologi ilmu ,yakni menyangkut hal-hal yang
berkaitan dengan obyek ilmu, cara-cara yang ditempuh dalam memperoleh ilmu, dan
validitas atau cara mengukur benar tidaknya ilmu.
1.
Obyek Ilmu
Ada orang yang ingin tahu dan berusaha memuaskan keinginannya itu lebih
mendalam. Ia ingin tahu akan hal yang dihadapinya dalam keseluruhannya, tidak
hanya memperhatikan gunanya saja, bahkan sekiranya tidak berguna , masih
diselidikinya juga. Tidak puas akan sifat air yang mendidih juka dipanasi ,
diselidikinya pula bagaimanakah air itu ? unsur dasarkah ,atau paduan dari beberapa
unsur. Apakah unsur-unsur dari air itu ? jika dipanasi memang mendidih , apakah
syarat yang sebenarnya, berapakah tinggi suhu yang harus diadakan, serta syarat
apa lagi yang mendidihkan air itu pada ketinggian suhu tersebut ? obyek air itu
diselidiki sepenuhnya. Lepas dari gunanya bagi diri sendiri, sejarah
membuktikan bahwa ada kelompok manusia yang berusaha sekuat tenaga untuk
mengetahui yang mendalam atas suatu obyek. [12]
Jujun S. Suriasumantri (1994) menyatakan bahwa obyek kajian ilmu
hanyalah obyek yang berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia, yaitu semua
obyek yang empiris, yang dapat di indera. Bukti empiris ini diperlukan untuk
menguji bukti rasional yang telah dirumuskan dalam hipotesis.
Sepanjang dapat diketahui secara empiris, maka semua gejala apa saja
dapat diteliti dan apabila hasil uji cobanya meminculkan teori, kemudian
teori-teori tersebut dikelompokkan ,maka pada hakikatnya akan menjadi ilmu dan
struktur ilmu, baik cabang-cabang ilmu maupun isi masing-masing ilmu itu
sendiri, obyek yang menjadi kajian ilmu, meskipun bersifat spesifik tetapi
tentulah sangat luas, dalam hal ini dapat saja berupa alam itu sendiri maupun
penghuninya seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.[13]
Seorang ingin mengetahui jika jeruk di tanam ,apa buahnya. Ia menanam
bibit jeruk,ia dapat melihat buahnya adalah jeruk. Jadi, tahulah dia bahwa
jeruk berbuah jeruk. Pada dasarnya pengetahuan jenis inilah yang disebut
pengetahuan sains (scientific knowledge), sebenarnya pengetahuan sains tidaklah
sesederhana itu. Pengetahuan sains harus berdasarkan logika juga. Pengetahuan
sains adalah pengetahuan yang logis dan didukung oleh bukti empiris. Namun pada
dasarnya pengetahuan sains tetaplah suatu pengetahuan yang berdasarkan bukti
nyata (bukti empiris). Dalam bentuknya yang telah baku, pengetahuan sains ini
mempunyai paradigma dan metode tertentu ,dan paradigmanya dapat disebut
paradigma positif (positifistic paradigma) dan metodenya di sebut metode ilmiah (scientific method).
[14]
2.
Cara Memperoleh Ilmu
Ada beberapa cara dan sekaligus tahapan untuk
memperoleh ilmu pengetahuan. Secara sederhana dapat kita cermati sebagai
berikut :
a.
Menggunakan akal
Mengapa manusia dalam mencari dan mendapatkan ilmu pengetahuan perlu
menggunakan akal ? setidaknya ada dua alasan yang mendasari mengapa akal
dipergunakan untuk mendapatkan ilmu, yakni sebagai berikut :
1). Akal telah dianggap mampu untuk mendapatkan
ilmu, dan telah terbukti sepanjang sejarah perkembangan manusia sekaligus
perkembangan ilmu pengetahuan.[15]
Akal atau rasionalitas menempati posisi yang
tinggi dalam etika Islam. Nashiruddin al-Thusi menyebut akal sebagai
kesempurnaan atau kamaliyah (entelechy) manusia. Pada akallah terletak esensi
manusia yang membedakannya dari jenis hewan lainnya, bagi mereka. Akal
mempunyai kecakapan kognitif sehingga mampu menyerap entias-entias ma’kulat
(rohani) membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang terpuji dan
yang tercela, dan antara yang benar dan yang salah. [16]
2). Akal pada setiap orang bekerja berdasarkan
aturan yang sama , yakni berupa logika. Termasuk dalam kaitan ini, maka dalam
filsafat lahirlah rasionalisme yang berpandangan bahwa akal itulah alat pencari
dan pengukur pengetahuan. Bila logis ,maka benar, bila tidak logis maka tentu
salah, yang selanjutnya perlu dicari dimana letak ketidak sesuaiannya.[17]
Orang- orang Yunani kuno telah meyakini juga bahwa akal adalah alat
dalam memperoleh pengetahuan yang benar, lebih-lebih pada Aristoteles. Bagi
aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme, yang disebabkan kelemahan alat
indera tadi, dapat dikoreksi seandainya akal di gunakan. Benda yang jauh
kelihatan kecil karena bayangannya yang jatuh dimata kecil, kecil karena jauh.
Gula pahit bagi orang yang demam karena lidah orang yang demam memang tidak
normal. Fatamorgana adalah gejala alam, begitulah seterusnya. [18]
Karena pada kenyataannya seringkali hasil
simpulan akal pada hal-hal tertentu juga tidak akurat ,mengingat
keterbatasannya, sehingga diperlukan alat lain, yaitu :
b. Berdasarkan empirik
Untuk mengatasi kelemahan rasional,disamping logis, maka diperlukan
bukti empirik, bukti empirik merupakan fakta yang dapat di indra, baik dengan
penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan atau yang lainnya. Contoh: rasio
orang awam susah memahami adanya ilmu santet, tapi kenyataannya ada, dan dapat
dibuktikan . misalnya dalam perut seseorang setelah di operasi terdapat benda
logam bahkan tajam. Oleh ahlinya kejadian demikian dapat dijelaskan secara
rasio, dan oleh orang yang mau memikirkannya dapat menerima karena masuk akal.
Tetapi tetap susah bagi orang awam dan yang tidak mau menelusuri atau
mempelajari lebih lanjut.
c. Terukur
Mengingat empirik baru pada batasan umum,yakni
menyangkut misalnya : besar, sedang, dan kecil, atau dingin, hangat, dan panas.
Pada pengkategorian tersebut belum ada ukuran seberapa besar dan panasnya.
Untuk itu tentu diperlukan ukurannya, berapa drajat panasnya, berapa mili meter
besarnya, dan sebagainya. Inilah sumbangan aliran positivisme yang menyatakan:
ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya, dan yang terukur. Tapi bagaimana
cara mengukurnya agar didapat simpulan yang akurat atau paling tidak mendekati
?. [19]
Tokoh aliran ini ialah August Compte
(1798-1857). Ia penganut empirisisme. Ia berpendapat bahwa indera itu amat
penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu
dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat
eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Panas di ukur
dengan derajat panas, jauh di ukur dengan meteran, berat di ukur dengan kiloan
(timbangan atau neraca), dan sebagainya.
Kita tidak cukup mengatakan api panas, matahari
panas, kopi panas, ketika panas, kita juga tidak cukup mengatakan panas sekali,
panas ,tidak panas, kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan
sains benar-benar di mulai. Kebenaran diperoleh dengan akal, didukung bukti
empiris yang terukur “Terukur” itulah sumbangan positivisme. [20]
d. Metode ilmiah
Metode ilmiah menyatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang benar ,maka
sekali lagi di tegaskan –lakukan langkah sebagai berikut : logico-hypphothetico-verificatif,
yang berarti :buktikan bahwa itu logis, selanjutnya ajukan hipotesis tersebut
secara empiris. Secara rinci dan operasional, metode ilmiah dijelaskan oleh
bidang ilmu yang disebut metode riset atau metode penelitian yang menghasilkan
model-model penelitian dari hasil operasional , model-model peneletian inilah
yang menghasilkan berbagai teori dan ilmu pengetahuan.
3.
Mengukur Kebenaran Ilmu
Bila kita hendak mengukur kebenaran ilmu, pada
intinya kita mengukur kebenaran teori,karena isi dari ilmu adalah teori-teori.
Pada awalnya kita mengajukan hipotesis, selanjutnya hipotesis diuji secara
logika,contoh: “Ketika datang hari raya idul fitri, kebutuhan masyarakat
Indonesia secara umum terhadap sandang dan pangan akan meningkat”. Menurut
teori bahkan hukum ekonomi (penawaran dan permintaan),hipotesis ini lebih
cenderung benar, karena itu tentu akan ada pihak-pihak yang berkesempatan untuk
meraih keuntungan yang banyak. Secara uji logika , momentum idul fitri akan
meningkatkan harga-harga kebutuhan pokok, menjadi suatu hal yang rasional, dan
luluslah ia.
Untuk meyakinkannya maka adakan peninjauan ke
pasar-pasar dan tanyakan pada para pedagang dan pembeli tentang perkembangan
harga-harga tersebut. Bila ternyata benar, uji empiris atau pengalaman lapangan
menunjukan demikian, maka hipotesis secara logika dan empirik benar adanya,
kemudian menjadi teori. Dan jika demikian terjadi pada setiap moment idul
fitri, maka teori meningkat menjadi hukum atau aksioma.
Dengan demikian hipotesis yang kita rumuskan
hendaknya telah mengandung kebenaran secara logika, sehingga kelanjutannya
tinggal kebenaran empirisnyalah yang perlu dibuktikan. [21]
Sebagai analisa dari makalah ini, Ahmad Tafsir dalam bukunya mengatakan
bahwa pengetahuan manusia ada tiga
macam, yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik,
pengetahuan itu diperoleh manusia melalui berbagai cara dan dengan menggunakan
berbagai alat. Tiga macam pengetahuan manusia ,masing-masing jelas
paradigmanya, metodenya, dan objeknya ,jadi jelas bedanya dan jelas
kaplingnya. Tabel pengetahuan manusia
berikut bermaksud meringkaskan pengetahuan itu.
[22]
Pengetahuan Manusia
Macam pengetahuan
Objek
Paradigma
Metode
Ukuran
Sains
Filsafat
Mistik
Empiris
Abstrak logis
Abstrak Supralogis
Positivisme
Logis
Mistis
Sains
Rasio
Latihan Mistik
Logis dan empiris
Logis
Rasa, yakin, kadang-kadang empiris
BAB III
KESIMPULAN
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yakni
episcme yang berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori.
Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F.Ferier tahun 1854 yang membuat
dua cabang filsafat yakni :epistemology dan ontology (on= being, wujud, apa +
logos = teori), ontology (teori tentang apa).
Epistemologi membicarakan sumber
pengetahuan dan bagaimana cara
memperoleh pengetahuan.
ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda
dengan science yang berasal dari kata scire. Namun ,ilmu memiliki ruang lingkup
yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang
emperisme-positivesme ,sedangkan ilmu melampainya dengan non empirisme seperti
metamatika dan metafisika.
Obyek kajian ilmu hanyalah obyek yang berada
dalam ruang lingkup pengalaman manusia, yaitu semua obyek yang empiris, yang
dapat di indera. Tahapan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. a) Menggunakan akal, b) Berdasarkan empirik, c)
Terukur, d) Metode ilmiah.
Bila kita hendak mengukur kebenaran ilmu, pada
intinya kita mengukur kebenaran teori,karena isi dari ilmu adalah teori-teori.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal , Filsafat Ilmu, Jakarta :PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Kartanegara,Mulyadi ,Nalar Religius , Jakarta:
Erlangga,2007.
Maifur, Filsafat Ilmu, Bandung: CV.Bintang WarliArtika, 2008.
Riyanto,
Waryani Fajar, Filsafat Ilmu Integral [FIT},Yogyakarta:2012.
Soetriono & SRDm Rita Hanafie, Filsafat
Ilmu dan Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Andi,2007.
Salam, Burhanuddin, Pengantar Filsafat
,Jakarta: PT.Bumi Aksara,2008
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum , Bandung:
PT.Remaja Rosdakarya, 2004.
Zar, Sirajuddin ,Filsafat Islam ,Jakarta:
PT.RajaGrafindo ,2004.
[1] Soetriono & SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu
dan Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Andi,2007),hlm.6.
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Jakarta:
PT.RajaGrafindo) ,2004,hlm7.
[3] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta :PT
RajaGrafindo Persada,2004),hlm.149.
[4] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung:
PT.Remaja Rosdakarya, 2004),hlm.23.
[5] Amsal Bakhtiar, op.cit.,hlm.148
[6] Waryani Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu
Integral [FIT},(Yogyakarta:2012), hlm.567.
[7] Sirajuddin Zar, loc.cit.
[8] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat
(Jakarta: PT.Bumi Aksara,2008),hlm.9.
[9] Waryani Fajar Riyanto, op.cit., hlm.37-38.
[10] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta :PT
RajaGrafindo Persada,2004),hlm.89.
[11] Waryani Fajar Riyanto, op.cit.,hlm.566.
[12] Soetriono & SRDm Rita Hanafie, opcit.,hlm.12.
[13] Maifur, Filsafat Ilmu,(Bandung: CV.Bintang
WarliArtika,2008),hlm.69-70.
[14] Ahmad Tafsir, op.cit.,hlm.16
[15] Maifur,op.cit.,hlm.70.
[16] Mulyadi Kartanegara, Nalar Religius
(Jakarta: Erlangga,2007),hlm.48.
[17] Maifur,op.cit.,hlm.70.
[18] Ahmad Tafsir, op.cit.,hlm.25
[19] Maifur,op.cit.,hlm.71.
[20] Ahmad Tafsir,op.,cit.,hlm.26.
[21] Maifur,op.cit.,hlm.71-72.
[22] Ahmad Tafsir,op.cit.,hlm.17-18