Gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku petugas vaksin pada sistem cold chain di 5 Puskesmas di Kota Mataram - Proposal Penelitian


1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.      Latar belakang

Vaksin adalah suatu antigen yang berwujud mikroorganisme yang tidak hidup/sudah mati atau masih hidup tapi sudah dilemahkan, yang beberapa bagiannya masih utuh dan telah diolah. Bisa juga berupa toksin mikroorganisme yang sudah diubah menjadi toksoid ataupun protein rekombinan yang bisa menimbulkan efeek kekebalan spesifik terhadap suatu penyakit infeksi tertentu. (Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 42 Tahun 2013).

Menurut WHO (World Health Organization, 2002), Penyakit-penyakit yang bisa dicegah dengan vaksin adalah : Tuberkolosis, difteri, pertusis, tetanus, campak, polio, hepatitis B, cacar dan rubella. Penyimpanan dan transportasi vaksin harus memenuhi syarat rantai dingin vaksin yang baik untuk mempertahankan kualitas vaksin (Ranuh, et al., 2011). Kualitas vaksin yang rendah menyebabkan vaksin tidak potensi sehingga tidak bisa memberikan perlindungan.

 Vaksin harus memiliki dua karakteristik yaitu keamanan vaksin dan potensi vaksin. Vaksin akan kehilangan potensi jika mereka tidak disimpan atau diangkut pada suhu dan kondisi yang tepat. Potensi vaksin harus dipelihara untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari program imunisasi (UNICEF, 2010).

Vaksin adalah suatu bahan yang berasal dari kuman atau virus yang menjadi penyebab penyakit, namun telah dilemahkan atau dimatikan, atau diambil sebagian, atau mungkin tiruan dari kuman penyebab penyakiit, yang secara sengaja dimasukkan kedalam tubuh seseorang atau kelmpok orang dengan tujuan merangsang timbulnya zat anti penyakit tertentu pada orang-orang tersebut (Achmad, 2006).

Rantai dingin vaksin merupakan sebuah lingkungan dengan suhu yang terkontrol digunakan untuk memelihara dan mendistribusikan vaksin dalam kondisi optimal. Rantai dingin vaksin bergantung pada tiga elemen utama yaitu personil yang terlatih secara efektif, peralatan transportasi dan penyimpanan yang tepat, dan prosedur manajemen yang efisien. Ketiga elemen harus tetap konsisten untuk memastikan vaksin diangkut dan disimpan secara benar (CDC, 2014).

Menurut UNICEF (2010) terdapat tiga elemen kunci dari rantai dingin yaitu personil untuk mengelola penyimpanan dan distribusi vaksin, peralatan untuk menyimpan dan transportasi vaksin, dan prosedur untuk memastikan bahwa vaksin disimpan dan diangkut pada suhu yang tepat.

Elemen kunci rantai dingin vaksin salah satunya adalah prosedur untuk memastikan bahwa vaksin disimpan dan diangkut pada suhu yang tepat (UNICEF, 2010). Pengelolaan yang tidak sesuai dengan ketentuan dapat mengakibatkan kerusakan vaksin dan dapat menurunkan atau menghilangkan potensi vaksin. Pemantauan suhu yang tepat adalah kunci untuk manajemen rantai dingin yang baik (CDC, 2003).

Vaksin yang telah rusak tidak dapat diperbaiki lagi dan tidak dapat menimbulkan kekebalan. Penggunaan vaksin yang rusak akan memberikan rasa aman yang palsu kepada para penerima vaksin dan hal ini juga dapat mempengaruhi kredibilitas program menjadi negatif. Akibatnya wabah penyakit yang dapat dicegah imunisasi akan terus terjadi (UNICEF, 2010).

Unit pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan imunisasi salah satunya adalah puskesmas. Puskesmas adalah unit pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan imunisasi di puskesmas ataupun kegiatan imunisasi yang dilakukan di lapangan seperti  posyandu dan imunisasi yang dilakukan di bidan.

Vaksin di puskesmas tidak hanya digunakan untuk pelayanan imunisasi di puskesmas namun juga digunakan oleh unit pelayanan kesehatan lainnya. Oleh karena itu rantai dingin vaksin di puskesmas harus memenuhi syarat rantai dingin vaksin yang baik agar kualitas vaksin tetap terjamin.

Ada lima jenis vaksin yang wajib oleh pemerintah yaitu BCG, Hepatitis B, Polio, DPT dan Campak. Daftar lemari  pendingin penyimpanan vaksin ada 10 yang tersebar di 5 Puskesmas Mataram.  Puskesmas Mataram memiliki 2 lemari pendingin, penyimpanan vaksin, Puskesmas Dasan Agung memilik 2 lemari pendingin penyimpanan vaksin, Puskesmas Karang Taaliwang 1 lemari pendingin penyimpanan vaksin, Puskesmas Babakan memiliki 1 lemari pendingin penyimpanan vaksin, dan di Puskesmas Selaparang memiliki 4 lemari penyimpanan vaksin.

Berdasarkan informasi dari Petugas Puskesmas yang ada di Mataram bahwa Penelitian tentang pengetahuan, sikap, dan perilaku petugas vaksin pada system cold chain di 5 Puskesmas di Kota Mataram belum pernah dilakukan  sehingga peniliti ingin melakukan penelitian tersebut.

1.2.      Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut “Bagaimanakah gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku petugas vaksin pada sistem cold chain di 5 Puskesmas  di Kota Mataram”.

1.3.      Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku petugas vaksin pada sistem cold chain  di 5 Puskesmas  di Kota Mataram.

1.4.      Manfaat Penelitian

1)      Bagi Institusi Pelayanan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi refrensi dan sebagai bahan evaluasi dalam menerapkan pengetahuan, sikap, dan prilaku petugas vaksin pada sistem cold chain.

2)      Bagi Institusi pendidikan

Menambah pengetahuan dan wawasan bagi civitas akademika diploma farmasi khususnya tentang gambaran pengetahuan, sikap dan prilaku petugas vaksin pada sistem cold chain di 5 Puskesmas Mataram.



3)      Bagi Peneliti Lain

Dapat digunakan sebagai data awal atau literatur untuk dikembangkan dalam penelitian berikutnya yang lebih spesifik baik itu kolerasi maupun penelitian yang bersifat eksperimen. Dengan adanya hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut yang cakupan komunitasnya lebih luas.

4)      Bagi peneliti

Sebagai dasar pengembangan penelitian lebih lanjut mengenai Gambaran pengetahuan, sikap, dan prilaku petugas vaksin pada sistem cold chain  di 5 Puskesmas  di Kota Mataram.

5)      Bagi puskesmas

Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi penanggung jawab program imunisasi guna perbaikan kualitas penyimpanan dan pelayanan imunisasi.

1.5.      Keaslian Penelitian

a.        Berdasaarkan penelitan oleh Kurniawati, Laueren (0310071) pada tahun 2006 dengan judul Gambaran Tentang Sistem  Cold Chain Dihubungkan Dengan Pelaksanaan Imunisaasii Dasar Lengkap Di Puskesmas Cipageran, Kelurahan Citeureup, Kota Cimahi.

Hasil penelitian ini didapatkan sebagian besar tingkat pengetahuan, perilaku dan sikap petugas kesehatan yang menangani vaksin cukup baik. Peralatan system cold chain baik, namun prosedur pencatatan jumlah vaksin yang akan dibutuhkan masih kurang. Kesimpulan penelitian ini adalah cakupan program imunisasi di puskesmas Cipageran kelurahan Citeureup masih di bawah target karena prosedur pencatatan jumlah vaksin yang masih kurang sempurna.

b.      Berdasarkan penelitan oleh Khaerul, Ari Udiyono, Lintang Saraswati pada tahun 2016 dengan judul Gambaran  Pengelolaan Rantai Dingin Vaksin Program Imunisasi Dasar (studi di 12 puskesmas induk kabupaten Sarolangun). Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan bahwa di 12 puskesmas induk kabupaten Sarolangun 25% lemari es yang tidak memiliki thermometer. Sesuai dengan petunjuk pedoman pengelolaan cold chain petugas imunisasi bahwa kamar dingin, lemari es,cool box, vaccine carrier harus dilengkapi dengan thermometer untuk mengontrol suhu saat membawa vaksin dari pusat ke provinsi, dari provinsi ke kabupaten dan dari kabupaten ke puskesmas hingga vaksin dibawa ke Posyandu, Semua rantai dingin ini suhunya harus di control dengan thermometer untuk menjamin kualitas vaksin.

Pengelolaan rantai dingin vaksin program imunisasi dasar di 12 puskesmas induk kabupaten sarolangun, belum ada yang memenuhi persyaratan rantai dingin vaksin yang sesuai dengan peraturan menteri tersebut.

c.       Berdasarkan penelitian oleh Ryza Jazid B. N.,Rismayanti, Dian Sidik A, dengan judul Pelaksanaan Prosedur Rantai Dingin Vaksin Pada Pelayanan Imunisasi Dasar Di Kota Makassar. Hasil penelitian ini menunjukanbahwa komponen input berupa sumber daya manusia belum memeadai (69%) dan perlengkapan rantai dingin vaksin belum memadai di 25 puskesmas (56%). Dari lima komponen proses yang dinilai masih terdapat tiga yang bermasalah yaitu penyimpanan vaksin masih kurang baik di 37 puskesmas (82,2%, pemantauan suhu masih kurang baik di 40 puskesmas (88,9%), dan pencatatan dan pelaporan yang kurang di 31 puskesmas (69%). Komponen output berupa kualitas vaksin yang buruk terdapat di empat puskesmas (8,9%) di Kota Makassar.

Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah tempat penelitian dan kuesioner.




BAB II


TINJAUAN PUSTAKA



2.1.   Konsep Vaksin

2.1.1        Definisi Vaksin

Vaksin adalah antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati, masih hidup tapi dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, yang telah diolah, berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid, protein rekombinan yang bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit infeksi tertentu (Kemenkes RI, 2013).

Vaksin adalah suatu bahan yang berasal dari kuman atau virus yang menjadi penyebab penyakit, namun telah dilemahkan atau dimatikan, atau diambil sebagian, atau mungkin tiruan dari kuman  penyebab penyakit, yang secara sengaja dimasukkan kedalam tubuh seseorang atau kelompokorang dengan tujuan merangsang timbulnya zat anti penyakit tertentu pada orang-orang tersebut (Achmadi, 2006)

Kebal adalah suatu keadaan dimana tubuh mempunyai daya kemampuan mengadakan pencegahan penyakit dalam rangka menghadapi serangan kuman tertentu, namun kebal atau resistensi terhadap suatu penyakit belum tentu kebal terhadap penyakit lain (Depkes RI, 1994).

2.1.2        Tujuan vaksin

Tujuan dilakukan vaksin yaitu untuk melindungi dan mencegah penyakit-penyakit menular yang sangat berbahaya bagi anak dan bayi dan mengurangi angka penderita suatu penyakit sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. (Maaryunani, 2010).

2.1.3        Manfaat Vaksin

Manfaat dilakukan vaksin tidak hanya dirasakan oleh pemerintah dengan menurunnya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan dilakukannya vaksinisasi, tetapi dirasakan oleh :

a.    Untuk Anak

Mencegah penderitaan  yang disebabkan oleh penyakit dan kemungkinan cacat dan kematian.

b.   Untuk Keluarga

Menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit.

c.    Untuk Negara

Memperbaiki tingkat kesehaatan, menciptakan bangssaa yang kuat dan berbakat untuk melanjutkan pembangunan Negara (Proverarti, 2010).

2.1.4        Jenis-jenis vaksin

Pada dasarnya, vaksin dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu : Live attenuated (bakteri atau virus yang dilemahkan) dan Inaclivated (bakteri, virus atau komponennya yang dibuat tidak aktif). Sifat vaksin attenuated dan Inaclivated berbeda sehingga hal ini menentukan bagaimana vaksin ini digunakan (Ranuh. el. all, 2011).

Vaksin terdiri dari kuman atau virus yang dilemahkan, masih antigenik namun tidak patogenik. Contohnya adalah virus polio oral, campak, rubella dan BCG. Oleh karena vaksin diberikan sesuai infeksi alamiah (oral), virus dalam vaksin akan hidup dan berkembang biak di epitel saluran cerna, sehingga akan memberikan kekebalan lokal. Sekresi antibodi IgA lokal yang ditingkatkan akan mencegah virus liar yang masuk ke dalam sel tubuh (Ranuh. el. all, 2011).

Vaksin Inactivated (vaksin mati) jelas tidak patogenik dan tidak berkembang biak dalam tubuh. Contohnya vaksin pertusis dan inactivated poliomyelitis (IPV). Oleh karena itu diperlukan pemberian beberapa kali (Ranuh. el. all, 2011).

Susunan vaksin rekombinan (misal hepatitis B) memerlukan epitop organisme yang patogen. Contohnya vaksin pneumococcus, hepatitis B, influenza. Sintesa dari antigen vaksin tersebut melalui isolasi dan penentuan kode gen epitop bagi sel penerima vaksin (Ranuh. el. all, 2011).

Vaksin toksoid merupakan vaksin yang paling berhasil dari semua vaksin bakteri adalah vaksin tetanus dan difteri. Bahan yang bersifat imunogenik dibuat dari toksin kuman. Pemanasan dan penambahan formalin biasanya digunakan dalam proses pembuatannya. Hasil dari pembuatan bahan toksoid efektif selama satu tahun. Bahan adjuvan digunakan untuk memperlama rangsangan antigenik dan meningkatkan imunogenesitasnya (Marimbi, 2010). 

Dan yang terakhir adalah Vaksin plasma DNA (plasmid DNA vaccines). Vaksin ini berdasarkan isolasi DNA mikroba yang mengandung kode antigen yang patogen dan saat ini sedang dalam perkembangan penelitian. Hasil akhir penelitian pada binatang percobaan menunjukkan bahwa vaksin DNA (virus dan bakteri) merangsang respon humoral dan selular yang kuat, sedangkan penelitian klinis pada manusia saat ini sedang dilakukan (Marimbi, 2010).

Menurut WHO (Wold Health Organization, 2002), Penyakit-penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi adalah:

1.      Batuk rejan (pertussis)

Batuk rejan merupakan penyakit menular yang berhasil ditekan penyebarannya karena cakupan imunisasi yang cukup tinggi. Anak yang menderita penyakit batuk rejan biasanya mengalami batuk tanpa henti akibat bakteri bordetella pertussis. Penyakit ini bisaa dicegah dengan pemberian vaksin DPT (difteri, pertusis dan tetanus). 

2.      Polio

Polio merupakan penyakit infeksi virus yang menular dan dapat menyebabkan kelumpuhan permanen. Vaksin yang dapat mencegah penyakit ini adalah vaksin polio.

3.      Difteri

Difteri merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae menyerang infeksi saluran pernafasan bagian atas hingga menimbulkan bercak putih yang menutupi saluran pernafasan. Difteri paling fatal terjadi ketika menyyerang jantung. Vaksin DPT bisa mencegah anak terkena difteri.

4.      Tetanus

Tetanus disebabkan oleh bakteri yang tumbuh dilingkungan tanpa oksigen seperti luka kotor, atau tali pusat yang tak dijaga kebersihannya. Bakteri ini menghasilkan racun yang dapat menyebabkan komplikasi serius atau kematian. Vaksin DPT efektif mencegah penularan tetanus.

5.      Meningitis

Meningitis merupakan penyakit ganas yang merusak otak dan selaputnya. Anak yang tertular penyakit ini akan mengalami cacat yang permanen, bahkan tak jarang menimbulkankematian. Vaksin meningitis Hib sudah masuk program imunisasi nasional sejak 2013 demi menghalau penyakit meningitis dan pneumonia.

6.      Hepatitis B

Hepatitis B menyerang hhati dan mengakibatkan sirosis hingga kanker hati. Vaksin hhepatitis B untuk bayi telah diperkenalkan di 185 negara pada akhir 2015. Diindonesia vaksin hepatitis B sudah masuk program imunisaasi nasional.

7.      Cacar

Cacar air merupakan penyakit menular yang menimbulkan bekas bopeng di beberapa bagian tubuh. Penyakit yang disebaabkan oleh virus varicella ini bisa dicegah dengan pemberian vaksin varicella.

8.      Campak

Penyakit campak ditandai dengan demam tinggi dan ruam di beberapa bagian tubuh. Penyakit campak bisa dicegah dengan pemberian vaksin campak.

9.      Rubella

Adalah penyakit yang umumnya bersifat ringan pada anak. Namuun jika infeksi terjadi pada awal kehamilan dapat memicu kematian janin atau sindrom rubella konginetal yang memicu kerusakan otak, jantung, mata, dan telinga. Resiko ini bisa dicegah dengaan pemberian vaksin rubella. 

2.1.5        Sifat Vaksin

Sifat vaksin digolongkan berdasarkan pada kepekaan atau sensitivitasnya terhadap suhu. Sifat-sfat vaksin tersebut, yaitu :

a.       Vaksin yang sensitif terhadap beku (freeze senzitive) merupakan vaksin yang rusak bila terpapar dengan suhu dingin atau suhu pembekuan (0°). Vaksin yang tergolong dalam sifat ini, antara lain vaksin Hepatitis B, vaksin DPT HB, DT, dan TT (Maryunani, 2010).

Tabel 2.1. Vaksin yang sensitif terhadap beku

Vaksin
Pada suhu
Dapat bertahan selama
Hepatitis B, DPT-HB
0,5°C
Maksimal 30 menit
DPT, DT, TT
5°C s/d 10°C
Maksimal 1,5 – 2 jam
DPT, DPTHB, DT
Beberapa  °C di atas suhu udara luar (ambient temperatur  < 34°C)
14 hari
HB dan TT
Beberapa  °C di atas suhu udara luar (ambient temperatur  < 34°C)
30 hari



b.      Vaksin yang sensitif terhadap panas (Heat Sensitive) merupakan golongan vaksin yang akan rusak jika terpapar dengan suhu panas yang berlebihan. Vaksin yang mempunyai sifat seperti ini, antara lain vaksin Polio, vaksin BCG dan vaksin Campak (Maryunani, 2010).

Tabel 2.2. Vaksin yang sensitif terhadap panas

Vaksin
Pada suhu
Dapat bertahan selama
Polio
Beberapa  °C di atas suhu udara luar (ambient temperature < 34°C)
2 hari
Campak  dan BCG
Beberapa  °C di atas suhu udara luar (ambient temperaure < 34°C)
7 hari



2.2.   Konsep Cold chain

2.3.1        Pengertian cold chain

Cold chain adalah system pengelolaan vaksin yang dimaksudkan untuk memelihara dan menjamin mutu vaksin dalam pendistribusian mulai dari pabrik pembuat vaksin sampai pada sasaran (Kemenkes, 2017).

Untuk menjaga kualitas, vaksin harus disimpan pada tempat dengan kendali suhu tertentu karena vaksin harus selalu ada di dalam lemari pendingin sampai saatnya dibutuhkan, semua vakssin yang sudaah tidak digunakan lagi harus dikembalikan ke dalam lemari pendingin.

 Rantai dingin vaksin merupakan sebuah lingkungan dengan suhu yang terkontrol digunakan untuk memelihara dan mendistribusikan vaksin dalam kondisi optimal.

Rantai dingin merupakan system transportasi dan penyimpanan vaksin pada suhu +2 0C sampai +80C dari tempat pembuatan smpai diberikan pada individu. Apabila rantai vaksin tidak baik, maka vaksin tidak bisa merangsang kekebalan tubuh dengan optimal bahkan dapat menyebabkan kejadian ikutan paska imunisasi (KIPI) (Ranuh, 2011). Oleh karena itu sangat penting untuk memastikan rantai dingin vaksin berjalan dengan benar.

2.3.2        Petugas Pengelola Cold Chain

         Petugas yang memegang peranan dan wewenang dalam hal penyimpanan/stock obat-obatan serta penyaluran obat harus mempunyai kualifikasi kemampuan serta pengalaman untuk menjamin produk-produk tersebut disimpan dan didistribusikan dengan baik. Jumlah karyawan hendaklah cukup serta harus diberikan pelatihan yang terkait dengan tugasnya, sehingga memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sesuai dengan tugasnya (Badan POM, 2007).

2.3.3        Elemen rantai dingin (cold chain)

Rantai dingin vaksin (cold chain) bergantung pada tiga elemen utama yaitu :

a.         Personil yang terlatih secara efektif

b.        Peralatan transportasi dan penyimpanan yang tepat

c.         Prosedur menajemen yang efisien.

Ketiga elemen harus tetap konsisten untuk memastikan vaksin diangkut dan disimpan secara benar (CDC, 2014).

Sedangkan menurut UNICEF (2010), terdapat tiga elemen kunci dari rantai dingin yaitu:

a.       Personil untuk mengelola penyimpanan dan distribusi vaksin

b.      Peralatan untuk menyimpan dan transportasi vaksin

c.       Prosedur untuk memastikan bahwa vaksin disimpan dan diangkut pada suhu yang tepat. Vaksin yang sudah terbuka atau sedang dipakai diletakkan dalam satu wadah/ tempat khusus (tray), sehingga dapat dibedakan dengan vaksin yang belum dipakai.

Elemen kunci rantai dingin vaksin salah satunya adalah prosedur untuk memastikan bahwa vaksin disimpan dan diangkut pada suhu  yang tepat (UNICEF, 2010).

Pengelolaan yang tidak sesuai dengan ketentuan dapat mengakibatkan kerusakan vaksin dan dapat menurunkan atau menghilangkan potensi vaksin. Pemantauan suhu yang tepat adalah kunci untuk manajemen rantai dingin yang baik (CDC, 2003).

2.3.4        Peralatan rantai vaksin

Peralatan rantai vaksin adalah seluruh peralatan yang digunakan dalam pengelolaan vaksin sesuai dengan prosedur pengelolaan vaksin untuk menjaga vaksin pada suhu yang telah ditetapkan.

Jenis peralatan rantai vaksin adalah :

A.    Lemari pendingin

Berdasarkan system pendinginyya, lemari pendingin dibagi menjadi 2, yaitu system kompresi dan system absorbsi. Perbedaan kedua sister tersebut adalah :

1.      System kompresi

a)   Lebih cepat dingin

b)   Bila terjadi kebocoran pada system mudah diperbaiki.

c)   Hanya dengan listrik AC/DC

2.      System absorbsi

a)       Pendingin lebih lambat.

b)      Dapat dengan listrik AC/DC atau nyala api minyak tanah/gas

c)       Bila terjadi kebocoran pada system tidak dapat diperbaiki.

Bentuk pintu lemari pendingin /frezzer, terdiri atas 2 yaitu:

1)      Bentuk buka dari depan

a)    Suhu tidak stabil. Pada saat pintu lemari pendingin dibuka kedepan maka suhu dingin dari atas akan turun kebawah dan keluar.

b)    Bila listrik padam relatif suhu tidak dapat bertahan lama.

c)    Jumlah vaksin yang dapat ditampung sedikit.

d)    Susunan vaksin menjadi mudah dan vaksin terlihat jelas dari samping depan (Kemenkes RI, 2017).

2)      Bentuk buka dari atas

a)    Suhu lebih stabil. Pada saat pintu lemari pendingin dibuka keatas maka suhu dingin dari atas akan turun kebawah dan tertampung.

b)    Bila listrik padam relatif suhu tidak akan bertahan lama

c)    Jumlah vaksin yang dapat ditampung sedikit.

d)    Penyusunan vaksin agak sulit karena vaksin bertumpuk dan tidak jelas dari atas (Kemenkes RI, 2017)

B.     Vaccine carrier/ termos

Vaccine carrier/ termos merupakan alat untuk mengirim atau membawa vaksin dari puskesmas keposyandu atau tempat pelayanan imunisasi lainnya yang dapat mempertahankan suhu 20C sampai dengan 80C.

C.     Kotak dingin cair (cold pack)

Kotak dingin cair (cold pack) merupakan wadah plastik berbentuk segi empat yang diisi dengan air yang kemudian didinginkan dengan suhu 2-8 0C dalam lemari es selama 24 jam.

D.    Cold box

Cold box ditingkat puskesmas digunakan apabila dalam keadaan darurat seperti listrik padam untuk waktu cukup lama, atau lemari pendingin sedang mengalami kerusakan yang bila diperbaiki memakan waktu yang lama.

E.     Freeze tag/freeze watch

Freeze tag/freeze watch digunakan untuk memantau suhu dari kabupaten ke puskesmas pada waktu membawa vaksin, serta dari puskesmas sampai lapangan/posyandu dalam upaya peningkatan kuualitas rantai vaksin (Kemenkes RI, 2017).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan vaksin:

1)      Vaksin akan rusak apabila temperatur terlalu tinggi atau terkena sinar matahari langsung, seperti polio oral (OPV), BCG dan Campak.

2)      Kerusakan akan terjadi apabila terlalu dingin atau beku, seperti Tetanus Toxoid (TT), vaksin pertisus (DPT/HB) dan hepatitis B.

3)      Vaksin polio boleh membeku dan mencairkan tanpa membahayakan potensinya.

4)      Pada beberapa vaksin apabila rusak akan terlihat perubahan fisik. Vaksin DPT misalnya apabila pernah membeku akan terlihat gumpalan antgen yang tidak bisa larut lagi walaupun sudak di kocok kuat-kuat. Sedangkan vaksin lainnya tidak akan berubah penampilan fisiknya walaupun potensinya sudah hilang atau berkurang.

5)      Vaksin yang sudah dilarutkan akan lebih cepat rusak.

6)      Sekali potensi vaksin hilang akibat panas atau beku maka potensinya tidak dapat dikembalikan walaupun temperatur sudah dikembalikan, Potensi vaksin hanya bisa diketahui dengan pemeriksaan laboraturium.

7)      Control suhu penyimpanan pada thermometer yang berada dalam lemari es dan diisi pada buku grafik pencatatan suhu setiap hari.

8)      Harus ada plastik berisi es atau air garam ( 1-2 sendok makan per liter) diletakan di bagian bawah lemari pendingin untuk mempertahankan keseimbangan temperatur dalam ruang lemari pendingin, untuk mempertahankan keseimbangan temperatur dalam ruang lemari pendingin, terutama pada saat tidak ada arus listrik.

Lemari pendingin yang aman untuk menyimpan vaksin adalah:

1.      Harus ada thermometer di ruangan

2.      Lemari pendingin harus ditutup rapat, dan lemmari pendingin harus di buka seminimal muungkin..

3.      Lemari pendingin tidak boleh dipakai untuk menyimpan makanan dan minuman

4.      Jangan memenuhi lemari pendingin dengan vaksin yang berlebihan karena akan menganggu sirkuasi udara dingin dalam lemari pendingin dan  vaksin yang sudah kadaluwarsa  harus segera dikeluarkaan dari lemaari pendingin untuk mencegah terjadinya kecelakaan.

5.      Selama dilakukan defrosting atau pembersihan lemari pendingin, maka vaksin harus dipindahkan ke lemari pendingin lainnya atau simpan dalam kotak berisolasi yng berisi es batu ice pack. Defrosting harus dilakukan secara teratur pada lemari pendingin yang tidak ada frost free untuk mencegah terbentuknya gumpalan es di ruang pembeku.

F.     Auto Disable Syringe

Auto Disable Syringe yang selanjutnya disingkat (ADS) adalah alat suntik sekali pakai untuk pelaksanaan pelayaanan imunisasi. (Buku pedoman pengelolaan cold chain petugas imunisasi, 2013) 

2.3.   Pengetahuan  (Knowledge)

2.3.1.      Definisi

Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang mengadakan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihtan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).

2.3.2.      Tingkat  Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan. Tingkatan yang pertama yaitu “tahu” diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Setelah seseorang tahu akan pengetahuan yang diperolehnya maka ia akan mengarah menuju tingkatan yang kedua yaitu memahami. Memahami itu sendiri diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar (Notoatmodjo, 2003).

Dari hasil tahu dan memahami akan suatu pengetahuan itu maka seseorang akan menuju tingkatan yang selanjutnya yaitu mengaplikasikannya. Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Dalam pengaplikasian suatu pengetahuan itu maka seseorang akan menganalisa pengetahuan yang diperolehnya. Analisa itu sendiri adalah suatu  kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya  satu sama lain (Notoatmodjo, 2003).

Setelah semua pengetahuan diaplikasikan maka seseorang akan berusaha untuk menuju ke tingkatan yang selanjutnya yaitu mengsintesiskan pengetahuan yang diperolehnya. Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru dari  formulasi-formulasi yang ada. Selanjutnya pengetahuan yang diperoleh akan dievaluasi terlebih dahulu kebenarannya. Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek  (Notoatmodjo, 2003). 

2.3.3.      Cara Memperoleh Pengetahuan

Untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni: cara tradisional atau nonilmiah, yakni tanpa melalui penelitian ilmiah, dan cara  modern atau cara ilmiah, yakni melalui proses penelitian. Cara kuno atau tradisional ini dipakai orang untuk memperoleh kebenaran pengetahuan, sebelum ditemukannya metode ilmiah atau metode penemuan secara sistematik dan logis (Notoatmodjo, 2010).

Cara-cara penemuan pengetahuan pada periode ini terdapat 10 macam cara. Yang pertama yaitu cara coba-salah (trial and error) yaitu merupakan upaya pemecahannya dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah, dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan yang lain. Apabila kemungkinan kedua ini gagal pula, maka  dicoba kembali dengan kemungkinan ketiga dan seterusnya, sampai masalah tersebut dapat terpecahkan (Notoatmodjo, 2010).

Cara yang kedua yaitu secara kebetulan yang merupakan penemuan kebenaran secara kebetulan terjadi karena tidak disengaja oleh orang yang bersangkutan. Cara yang ketiga yaitu cara kekuasaan atau otoriter yaitu sumber pengetahuan tersebut dapat berupa pemimpin-pemimpin masyarakat baik formal maupun informal, ahli agama, pemegang pemerintah dan sebagainya. Dengan kata lain pengetahuan tersebut diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas atau kekuasaan  ahli ilmu pengetahuan (Notoatmodjo, 2010).

Cara yang keempat yaitu berdasarkan pengalaman pribadi, pengalaman adalah guru yang baik, demikian bunyi pepatah. Pepatah ini mengandung maksud bahwa pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan, atau  pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan.  Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun digunakan sebagai upaya memperoleh  pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang  diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi, maka untuk memecahkan  masalah lain yang sama, orang dapat pula menggunakan cara tersebut (Notoatmodjo, 2010).

Cara yang kelima yaitu cara akal sehat, dimana akal sehat atau common sense kadang-kadang dapat menemukan teori atau  kebenaran. Sebelum ilmu pendidikan ini berkembang, para orang tua zaman dahulu  agar anaknya mau menuruti nasihat orang tuanya, atau agar anak disiplin  menggunakan cara hukuman fisik bila anaknya berbuat salah. Cara keenam yaitu kebenaran melalui wahyu yang mana ajaran dan dogma agama adalah suatu kebenaran yang diwahyukan dari Tuhan melalui para Nabi. Kebenaran ini harus diterima dan diyakini oleh pengikut-pengikut agama yang bersangkutan, terlepas dari apakah kebenaran tersebut rasional  atau tidak. Sebab kebenaran ini diterima oleh para Nabi adalah sebagai wahyu dan  bukan karena hasil usaha penalaran atau penyelidikan (Notoatmodjo, 2010).

Cara yang ketujuh yaitu kebenaran secara intuitif dimana kebenaran secara intuitif diperoleh manusia secara cepat sekali melalui  proses di luar kesadaran dan tanpa melalui proses penalaran atau berpikir. Kebenaran yang diperoleh melalui intuitif sukar dipercaya karena kebenaran ini tidak menggunakan cara-cara yang rasional dan sistematis. Kebenaran ini diperoleh  seseorang hanya berdasarkan intuisi atau suara hati atau bisikan hati saja (Notoatmodjo, 2010).

Cara yang kedelapan yaitu melalui jalan pikiran, sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia. Cara berfikir manusia pun ikut berkembang, dari sini manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya, baik melalui induksi  maupun  deduksi. Induksi dan deduksi pada dasarnya merupakan cara melahirkan pemikiran  secara tidak langsung melalui pernyataan-pernyataan yang dikemukakan, kemudian  dicari hubungannya sehingga dapat dibuat suatu kesimpulan itu melalui pernyataan-pernyataan khusus kepada yang umum dinamakan induksi. Sedangkan deduksi  adalah pembuatan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan umum kepada yang khusus (Notoatmodjo, 2010).

Cara yang kesembilan yaitu secara Induksi  yaitu merupakan proses berpikir induksi itu beranjak dari hasil pengamatan indra atau hal-hal  yang nyata, maka dapat dikatakan bahwa induksi beranjak dari hal-hal yang konkret  kepada hal yang abstrak. Cara yang kesepuluh yaitu secara deduksi yaitu merupakan pembuatan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan umum  ke khusus. Di dalam proses berpikir deduksi berlaku bahwa sesuatu yang dianggap  benar secara umum pada kelas tertentu, berlaku juga kebenarannya pada semua  peristiwa yang terjadi pada setiap yang termasuk dalam kelas itu. Di sini terlihat  proses berpikir berdasarkan pada pengetahuan yang umum mencapai pengetahuan  yang khusus (Notoatmodjo, 2010).

Selain cara tradisional atau nonilmiah pengetahuan dapat diperoleh dengan cara modern atau ilmiah. Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini  lebih sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut “metode penelitian ilmiah” atau  lebih popular disebut metodologi penelitian (Notoatmodjo, 2010)

2.3.4.      Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

a.       Umur

Dengan bertambahnya umur seseorang akan mengalami perubahan aspek fisik dan psikologis (mental). Secara garis besar, pertumbuhan fisik terdiri atas empat kategori perubahan yaitu perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama, dan timbulnya ciri-ciri baru. Perubahan ini terjadi karena pematangan fungsi organ. Pada aspek psikologis atau mental, taraf berfikir seseorang menjadi semakin matang dan dewasa (Mubarak, 2011).

b.      Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain agar dapat memahami sesuatu hal. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya pengetahuan yang dimilikinya akan semakin banyak. Sebaliknya, jika seseorang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, maka akan menghambat perkembangan sikap orang tersebut terhadap penerimaan informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan (Mubarak, 2011).

c.       Lama Bekerja.

Masa kerja adalah rentang waktu yang telah ditempuh oleh seorang bidan dalam melaksanakan tugasnya, selama waktu itulah banyak pengalaman dan pelajaran yang dijumpai sehingga sudah mengerti apa keinginan dan harapan klien kepada seorang bidan (Wawan, 2010).

2.3.5.      Kriteria Tingkat Pengetahuan

Menurut Arikunto 2006 dalam Wawan (2010), pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu:

1)      Baik           : hasil presentase 76% - 100%

2)      Cukup       : hasil presentase 56% - 75%

3)      Kurang      : hasil presentase < 56 % (Wawan, 2010). 

2.4.   Sikap

2.4.1        Defenisi

Menurut Eagly & Chaiken 1993 dalam Wawan (2010), mengemukakan bahwa sikap dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi terhadap objek sikap, yang diekspresikan ke dalam proses-proses kognitif, afektif, dan perilaku. Sedangkan Aiken (dalam Mitchell, 1990) mengemukakan bahwa sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten, baik positif maupun negatif terhadap suatu objek. Melalui sikap, kita memahami proses kesadaran yang menentukan tindakan nyata dan mungkin dilakukan individu dalam kehidupan sosialnya (Wawan, 2010).

Defenisi tersebut diatas menunjukkan bahwa secara garis besar sikap terdiri dari komponen kognitif (ide yang umumnya berkaitan dengan pembicaraan dan dipelajari), perilaku (cenderung mempengaruhi respon sesuai dan tidak sesuai), dan emosi (menyebabkan respon-respon yang konsisten) (Wawan, 2010)

2.4.2        Komponen Sikap

Menurut Azwar 2000 dalam Wawan (2010), struktur sikap terdiri atas 3 komponen yang saling menunjang. Komponen yang pertama yaitu komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial. Komponen yang kedua yaitu komponen afektif  yang mana merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang, komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu (Wawan, 2010).

Komponen yang ketiga yaitu Komponen konatif yang merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimilki oleh  seseorang. Dan berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak dan bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Dan berkaitan dengan objek yang dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah dicerminkan dalam bentuk tendensi perilaku (Wawan, 2010).

2.4.3        Tingkatan Sikap

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari 4 tingkatan. Tingkatan yang pertama yaitu tingkatan menerima (receiving), dimana menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Tingkatan yang kedua yaitu tingkatan dalam merespon (responding), dimana memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan. Lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang itu menerima ide tersebut (Notoatmodjo, 2003).

Tingkatan yang ketiga yaitu tingkatan menghargai (valuting), dimana proses mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Tingkatan yang kelima atau yang terakhir yaitu tingkatan bertanggungjawab (responsible), dimana bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah mempunyai sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2003).

2.4.4        Cara Pengukuran Sikap

Menurut Notoatmodjo 2003 dalam wawan (2010), pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pertanyaan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner (Wawan, 2010).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran sikap yang meliputi keadaan objek yang diukur, situasi pengukuran, alat ukur yang digunakan, penyelenggaraan pengukuran, serta pembacaan atau penilaian hasil pengukuran (Wawan, 2010).



2.5.   Perilaku

2.5.1        Definisi Perilaku

Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks sehingga kadang-kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang menerapkan perilaku tertentu (Wawan, 2010).

Sedangkan menurut Mubarak (2011), perilaku merupakan seperangkat perbuatan atau tindakan seseorang dalam melakukan respon terhadap sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan karena adanya nilai yang diyakini (Mubarak, 2011).

2.5.2        Respon Perilaku

Menurut Skinner 1938 dalam Wawan (2008), seorang ahli perilaku mengemukakan bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus), tanggapan (respon) dan respon. Ia membedakan adanya 2 respon, yakni : respondent respon atau reflexive respon merupakan respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu. Dan operant respon atau instrumental respon merupakan respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Perangsang semacam ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer karena rangsangan tersebut memperkuat respon yang telah dilakukan oleh organisme  (Wawan, 2010).

2.5.3        Proses Perubahan Perilaku

Proses perubahan perilaku mencakup lima fase berikut, fase pertama yaitu fase pencairan (unfreezing phase), yaitu individu dimulai mempertimbangkan penerimaan terhadap perubahan. Fase kedua yaitu fase diagnosis masalah (problem diagnosis phase), yaitu individu mulai mengidentifikasi segala sesuatu, baik yang mendukung maupun menentang perubahan. Fase ketiga yaitu fase penentuan tujuan (goal setting phase), yaitu individu menentukan tujuan sesuai dengan perubahan yang diterimanya. Fase yang keempat yaitu fase tingkah laku baru (new behavior phase), yaitu individu mulai mencoba. Dan fase yang kelima yaitu fase pembekuan ulang (refreezing phase), yaitu tingkah laku individu yang permanen (Mubarak, 2011).

2.5.4        Perilaku Kesehatan

Berdasarkan batasan perilaku dari Skinner tersebut, maka perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan (Notoatmodjo, 2003).

Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yang pertama yaitu perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance) merupakan perilaku atau usaha-usaha untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Yang kedua yaitu perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan yaitu merupakan perilaku yang menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Serta yang ketiga yaitu perilaku kesehatan lingkungan merupakan bagaimana seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya (Notoatmodjo, 2003).

2.6.   Konsep Puskesmas

2.6.1.      Definisi Puskesmas

Puskesmas adalah pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (Permenkes RI NO.75, 2014).

2.6.2.      Puskesmas di Mataram

Jumlah Puskesmas di Mataram ada 11 yaitu :

1.      Puskesmas Ampenan

Alamat : Jl. Saleh Sungkar NO. 4 Kel. Ampenan Utara, Kec. Ampenan.

2.      Puskesmas Karang Pule

Alamat : Jl. Gajah Mada Kel. Jempong Baru, Kec. Ampenan.

3.      Puskesmas Pejeruk

Alamat: Jl. Pinang Raya Lingkungan Moncok Karya Kec. Sekarbela.

4.      Puskesmas Tanjung Karang

Alamat: Jl. Sultan Salahudin Kel. Tanjung Karang, Kec. Sekarbela.

5.      Puskesmas Mataram

Alamat: Jl. Catur Warga Kel. Mataram Barat, Kec. Selaparang.

6.      Puskesmas Pagesangan

Alamat: Jl. Majapahit No.3 Kel. Pagesaangan, Kec Mataram

7.      Puskesmas Selaparang

Alamat: Jl. Jenderal Sudirman Kel. Rembiga, Kec. Selaparang

8.      Puskesmas Dasan Agung

Alamat: Jl. Gunung Merapi Kel. Dasan Agung Baru Kec. Selaparang.

9.      Puskesmas Karang Taliwang

Alamat: Jl. Ade Irma Suryani No. 60 Kel. Kaarang Taliwang, Kec Cakranegara.

10.  Puskesmas Babakan

Alamat: Jl. Lalu Mesir No 2, Babakan, Sandubaya, Kota Mataram.

11.  Puskesmas Cakranegara

Alamat: Jl. Brawijaya No. 3B Kel. Mandalika, Kec Sandubaya.

2.6.3.      Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di 5 PKM Mataram yaitu:

1.      Puskesmas Dasan Agung

Alamat: Jl. Gunung Merapi Kel. Dasan Agung Baru Kec. Selaparang.

2.      Puskesmas Karang Taliwang

Alamat: Jl. Ade Irma Suryani No. 60 Kel. Kaarang Taliwang, Kec Cakranegara.

3.      Puskesmas Selaparang

Alamat: Jl. Jenderal Sudirman Kel. Rembiga, Kec. Selaparang

4.      Puskesmas Mataram

Alamat: Jl. Catur Warga Kel. Mataram Barat, Kec. Selaparang

5.      Puskesmas Babakan

Alamat: Jl Lalu Mesir No 2, Babakan, Sandubaya, Kota Mataram.






2.7.   Kerangka Teori

Sistem cold chain
Lemari pendingin
Penyimpanan vaksin
Penggunaan vaksin
Gambaran pengetahuan, sikap dan perilaku







                                              







Gambar 2.4 Kerangka Teori

Related Posts

There is no other posts in this category.