Tampilkan postingan dengan label Makalah Sosiologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makalah Sosiologi. Tampilkan semua postingan

MAKALAH EPISTEMOLOGI ILMU (SAINS)

MAKALAH EPISTEMOLOGI ILMU (SAINS)

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

Manusia mempunyai ciri istimewa ,yaitu kemampuan berpikir yang ada dalam satu struktur dengan perasaan dan kehendaknya (sehingga disebut sebagai makhluk yang berkesadaran). Aristoteles memberikan identitas sebagai animal rationale.[1]  Memang untuk memperoleh data-data dari alam nyata di butuhkan panca indera, tetapi untuk menghubung-hubungkan satu data dengan data lainnya atau untuk menterjemahkan satu kejadian dengan kejadian lainnya yang terjadi di alam nyata ini dibutuhkan sekali akal. Andaikan bersandar pada pancaindra semata, manusia tidak akan mampu menafsirkan proses alamiah yang terjadi di jagad raya ini. Jadi, akallah yang menyusun konsep-konsep rasional yang disebut dengan pengetahuan. [2]

Para sophis bertanya, seberapa jauh pengetahuan kita mengenai kodrat benar-benar merupakan kenyataan objektif, seberapa jauh pula merupakan sumbangan subjektif manusia ? Apakah kita mempunyai pengetahuan menganai kodrat sebagaimana adanya ? Sikap skeptis inilah yang mengawali munculnya epistemologi.[3]

Harapan penulis makalah ini dapat mengungkap tentang epistemologi ilmu yakni berkaitan dengan sumber pengetahuan dan bagaimanakah cara untuk memperoleh pengetahuan itu sendiri.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.   Pengertian  Epistemologi

Epistemologi membicarakan sumber pengetahuan  dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Tatkala manusia baru lahir, ia tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun. Nanti ,tatkala ia 40 tahunan, pengetahuannya banyak sekali sementara kawannya yang berumur dengan dia mungkin mempunyai pengetahuan yang lebih banyak daripada dia dalam bidang yang sama atau berbeda. Bagaimana mereka itu masing-masing mendapat pengetahuan itu ? mengapa dapat juga berbeda tingkat akurasinya ? Hal-hal semacam ini di bicarakan didalam epistemologi.

Runes dalam kamusnya (1971) menjelaskan bahwa epistemology is the branch of philosophy which investigates the origin, strcture,methods and validity of knowledge. Itulah sebabnya kita sering menyebutnya dengan istilah filsafat pengetahuan karena ia membicarakan hal pengetahuan. Istilah epistemologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F.Ferrier pada tahun 1854 (runes, 1971:94). [4]

Menurut DW. Hamlyn, sebagimana yang dikutip Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Ilmu, epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[5]

Menurut Waryani Fajar Riyanto, filsafat ilmu sendiri adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau juga disebut epistemologi. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcme yang berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F.Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni: epistemology dan ontology (on= being, wujud, apa+ logos = teori), ontology (teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah.[6]

Pembahasan epistemologi bersangkutan dengan hakikat pengetahuan dan cara bagaimana atau dengan sarana apa pengetahuan dapat diperoleh. Pembicaraan tentang hakikat pengetahuan ini ada dua teori. Teori pertama yang disebut dengan realisme berpandangan bahwa pengetahuan adalah gambar atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata. Gambaran atau pengetahuan yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang terdapat di luar akal. Jadi, pengetahuan menurut teori ini sesuai dengan kenyataan.[7] 

B.            Pengertian Ilmu (Sains)

Kata “’ilm” merupakan terjemahan dari kata “science” yang secara etimologis berasal dari kata latin “scienre” artinya “to know”. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan obyektif.[8]

Berikut ini beberapa devinisi tentang ‘ilmu yang disampaikan oleh beberapa pakar. Menurut ‘Abd al-Jabbar dari Mu’tazilah, ‘ilmu adalah “apa yang menghasilkan ketenangan jiwa,kesejukan dada dan ketentraman hati”; Bazdawi dari Maturidiyah mendevinisikan ‘ilmu sebagai  “menangkap objek ilmu sesuai dengan kenyataannya”; Jurjani, ‘ilmu adalah i’tiqah yang pasti dan sesuai dengan realitas objek; Juwaini dan Baqilani (keduanya dari Asy’ariyah) dan Abu Ya’la (dari Hanbaliyah) sebagai, ‘ilmu adalah mengetahui objek ilmu  sesuai realitasnya’; Ibn Hazm, ‘ilmu adalah meyakini sesuatu sebagaimana realitasnya sendiri , dan lain-lain.

            Menurut  Waryani Fajar Riyanto, istilah ‘ilm dalam tradisi Islam dan science dalam tradisi barat tidaklah identik. Istilah  “sains”  atau  (science)  sendiri baru mendapatkan maknanya yang khas dalam perkembangan kegiatan ilmiah di dunia barat sejak beberapa abad. Di sana “sains” dianggap sebagai model cabang ilmu yang paling unggul, karena perkembangannya yang paling pesat dibandingkan cabang-cabang ilmu lain. Adalah anggapan tersebut yang melatar belakangi kebiasaan bahasa Inggris modern-berbeda dengan kebanyakan bahasa lain-untuk membedakan science, sebagai istilah yang di pakai untuk ilmu pengetahuan alam atau “ekstra” (pasti) ,dari berbagai cabang pengetahuan lain, terutama ilmu-ilmu sosial dan humaniora. [9]

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagaimana yang dikutip Amsal Bakhtiar, ilmu disamakan dengan pengetahuan, ilmu adalah pengetahuan. Dari asal katanya ,kita dapat mengetahui bahwa pengetahuan diambil dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge, sedangkan ilmu diambil dari kata science dan peralihan dari kata Arab ilm.[10]

Kata science berasal dari kata latin, scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan melalui intiusi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi ,kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji, sedangkan dalam bahasa Arab, ilmu (‘ilm) berasal dari kata ‘alima yang artinya mengetahui, jadi ,ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata scire. Namun ,ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang emperisme-positivesme ,sedangkan ilmu melampainya dengan non empirisme seperti metamatika dan metafisika (Kartanegara,2003).  [11]

C.           Epistemologi Ilmu

Sesuai dengan cakupan filsafat ilmu, maka pada bagian ini kita pahami epistemologi ilmu ,yakni menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan obyek ilmu, cara-cara yang ditempuh dalam memperoleh ilmu, dan validitas atau cara mengukur benar tidaknya ilmu.

1.             Obyek Ilmu

            Ada orang yang ingin tahu dan berusaha memuaskan keinginannya itu lebih mendalam. Ia ingin tahu akan hal yang dihadapinya dalam keseluruhannya, tidak hanya memperhatikan gunanya saja, bahkan sekiranya tidak berguna , masih diselidikinya juga. Tidak puas akan sifat air yang mendidih juka dipanasi , diselidikinya pula bagaimanakah air itu ? unsur dasarkah ,atau paduan dari beberapa unsur. Apakah unsur-unsur dari air itu ? jika dipanasi memang mendidih , apakah syarat yang sebenarnya, berapakah tinggi suhu yang harus diadakan, serta syarat apa lagi yang mendidihkan air itu pada ketinggian suhu tersebut ? obyek air itu diselidiki sepenuhnya. Lepas dari gunanya bagi diri sendiri, sejarah membuktikan bahwa ada kelompok manusia yang berusaha sekuat tenaga untuk mengetahui yang mendalam atas suatu obyek. [12]

            Jujun S. Suriasumantri (1994) menyatakan bahwa obyek kajian ilmu hanyalah obyek yang berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia, yaitu semua obyek yang empiris, yang dapat di indera. Bukti empiris ini diperlukan untuk menguji bukti rasional yang telah dirumuskan dalam hipotesis.

            Sepanjang dapat diketahui secara empiris, maka semua gejala apa saja dapat diteliti dan apabila hasil uji cobanya meminculkan teori, kemudian teori-teori tersebut dikelompokkan ,maka pada hakikatnya akan menjadi ilmu dan struktur ilmu, baik cabang-cabang ilmu maupun isi masing-masing ilmu itu sendiri, obyek yang menjadi kajian ilmu, meskipun bersifat spesifik tetapi tentulah sangat luas, dalam hal ini dapat saja berupa alam itu sendiri maupun penghuninya seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.[13]

            Seorang ingin mengetahui jika jeruk di tanam ,apa buahnya. Ia menanam bibit jeruk,ia dapat melihat buahnya adalah jeruk. Jadi, tahulah dia bahwa jeruk berbuah jeruk. Pada dasarnya pengetahuan jenis inilah yang disebut pengetahuan sains (scientific knowledge), sebenarnya pengetahuan sains tidaklah sesederhana itu. Pengetahuan sains harus berdasarkan logika juga. Pengetahuan sains adalah pengetahuan yang logis dan didukung oleh bukti empiris. Namun pada dasarnya pengetahuan sains tetaplah suatu pengetahuan yang berdasarkan bukti nyata (bukti empiris). Dalam bentuknya yang telah baku, pengetahuan sains ini mempunyai paradigma dan metode tertentu ,dan paradigmanya dapat disebut paradigma positif (positifistic paradigma) dan metodenya  di sebut metode ilmiah (scientific method). [14]

2.             Cara Memperoleh Ilmu

Ada beberapa cara dan sekaligus tahapan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Secara sederhana dapat kita cermati sebagai berikut :

a.  Menggunakan akal

            Mengapa manusia dalam mencari dan mendapatkan ilmu pengetahuan perlu menggunakan akal ? setidaknya ada dua alasan yang mendasari mengapa akal dipergunakan untuk mendapatkan ilmu, yakni sebagai berikut :

1). Akal telah dianggap mampu untuk mendapatkan ilmu, dan telah terbukti sepanjang sejarah perkembangan manusia sekaligus perkembangan ilmu pengetahuan.[15]

Akal atau rasionalitas menempati posisi yang tinggi dalam etika Islam. Nashiruddin al-Thusi menyebut akal sebagai kesempurnaan atau kamaliyah (entelechy) manusia. Pada akallah terletak esensi manusia yang membedakannya dari jenis hewan lainnya, bagi mereka. Akal mempunyai kecakapan kognitif sehingga mampu menyerap entias-entias ma’kulat (rohani) membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang terpuji dan yang tercela, dan antara yang benar dan yang salah. [16]

2). Akal pada setiap orang bekerja berdasarkan aturan yang sama , yakni berupa logika. Termasuk dalam kaitan ini, maka dalam filsafat lahirlah rasionalisme yang berpandangan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Bila logis ,maka benar, bila tidak logis maka tentu salah, yang selanjutnya perlu dicari dimana letak ketidak sesuaiannya.[17]

            Orang- orang Yunani kuno telah meyakini juga bahwa akal adalah alat dalam memperoleh pengetahuan yang benar, lebih-lebih pada Aristoteles. Bagi aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme, yang disebabkan kelemahan alat indera tadi, dapat dikoreksi seandainya akal di gunakan. Benda yang jauh kelihatan kecil karena bayangannya yang jatuh dimata kecil, kecil karena jauh. Gula pahit bagi orang yang demam karena lidah orang yang demam memang tidak normal. Fatamorgana adalah gejala alam, begitulah seterusnya. [18]

Karena pada kenyataannya seringkali hasil simpulan akal pada hal-hal tertentu juga tidak akurat ,mengingat keterbatasannya, sehingga diperlukan alat lain, yaitu :

b. Berdasarkan empirik

            Untuk mengatasi kelemahan rasional,disamping logis, maka diperlukan bukti empirik, bukti empirik merupakan fakta yang dapat di indra, baik dengan penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan atau yang lainnya. Contoh: rasio orang awam susah memahami adanya ilmu santet, tapi kenyataannya ada, dan dapat dibuktikan . misalnya dalam perut seseorang setelah di operasi terdapat benda logam bahkan tajam. Oleh ahlinya kejadian demikian dapat dijelaskan secara rasio, dan oleh orang yang mau memikirkannya dapat menerima karena masuk akal. Tetapi tetap susah bagi orang awam dan yang tidak mau menelusuri atau mempelajari lebih lanjut.

c. Terukur

Mengingat empirik baru pada batasan umum,yakni menyangkut misalnya : besar, sedang, dan kecil, atau dingin, hangat, dan panas. Pada pengkategorian tersebut belum ada ukuran seberapa besar dan panasnya. Untuk itu tentu diperlukan ukurannya, berapa drajat panasnya, berapa mili meter besarnya, dan sebagainya. Inilah sumbangan aliran positivisme yang menyatakan: ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya, dan yang terukur. Tapi bagaimana cara mengukurnya agar didapat simpulan yang akurat atau paling tidak mendekati ?. [19]

Tokoh aliran ini ialah August Compte (1798-1857). Ia penganut empirisisme. Ia berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Panas di ukur dengan derajat panas, jauh di ukur dengan meteran, berat di ukur dengan kiloan (timbangan atau neraca), dan sebagainya.

Kita tidak cukup mengatakan api panas, matahari panas, kopi panas, ketika panas, kita juga tidak cukup mengatakan panas sekali, panas ,tidak panas, kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar di mulai. Kebenaran diperoleh dengan akal, didukung bukti empiris yang terukur “Terukur” itulah sumbangan positivisme. [20]

d. Metode ilmiah

            Metode ilmiah menyatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang benar ,maka sekali lagi di tegaskan –lakukan langkah sebagai berikut : logico-hypphothetico-verificatif, yang berarti :buktikan bahwa itu logis, selanjutnya ajukan hipotesis tersebut secara empiris. Secara rinci dan operasional, metode ilmiah dijelaskan oleh bidang ilmu yang disebut metode riset atau metode penelitian yang menghasilkan model-model penelitian dari hasil operasional , model-model peneletian inilah yang menghasilkan berbagai teori dan ilmu pengetahuan.

3.    Mengukur Kebenaran Ilmu

Bila kita hendak mengukur kebenaran ilmu, pada intinya kita mengukur kebenaran teori,karena isi dari ilmu adalah teori-teori. Pada awalnya kita mengajukan hipotesis, selanjutnya hipotesis diuji secara logika,contoh: “Ketika datang hari raya idul fitri, kebutuhan masyarakat Indonesia secara umum terhadap sandang dan pangan akan meningkat”. Menurut teori bahkan hukum ekonomi (penawaran dan permintaan),hipotesis ini lebih cenderung benar, karena itu tentu akan ada pihak-pihak yang berkesempatan untuk meraih keuntungan yang banyak. Secara uji logika , momentum idul fitri akan meningkatkan harga-harga kebutuhan pokok, menjadi suatu hal yang rasional, dan luluslah ia.

Untuk meyakinkannya maka adakan peninjauan ke pasar-pasar dan tanyakan pada para pedagang dan pembeli tentang perkembangan harga-harga tersebut. Bila ternyata benar, uji empiris atau pengalaman lapangan menunjukan demikian, maka hipotesis secara logika dan empirik benar adanya, kemudian menjadi teori. Dan jika demikian terjadi pada setiap moment idul fitri, maka teori meningkat menjadi hukum atau aksioma.

Dengan demikian hipotesis yang kita rumuskan hendaknya telah mengandung kebenaran secara logika, sehingga kelanjutannya tinggal kebenaran empirisnyalah yang perlu dibuktikan.  [21]

Sebagai analisa dari makalah ini,  Ahmad Tafsir dalam bukunya mengatakan bahwa  pengetahuan manusia ada tiga macam, yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik, pengetahuan itu diperoleh manusia melalui berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat. Tiga macam pengetahuan manusia ,masing-masing jelas paradigmanya, metodenya, dan objeknya ,jadi jelas bedanya dan jelas kaplingnya.  Tabel pengetahuan manusia berikut bermaksud meringkaskan pengetahuan itu.  [22]

Pengetahuan Manusia

Macam pengetahuan

Objek

Paradigma

Metode

Ukuran

Sains

Filsafat

Mistik

Empiris

Abstrak logis

Abstrak Supralogis

Positivisme

Logis

Mistis

Sains

Rasio

Latihan Mistik

Logis dan empiris

Logis

Rasa, yakin, kadang-kadang empiris

 

BAB III

KESIMPULAN

 

Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcme yang berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F.Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni :epistemology dan ontology (on= being, wujud, apa + logos = teori),  ontology  (teori tentang apa).

Epistemologi membicarakan sumber pengetahuan  dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan.

ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata scire. Namun ,ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang emperisme-positivesme ,sedangkan ilmu melampainya dengan non empirisme seperti metamatika dan metafisika.

Obyek kajian ilmu hanyalah obyek yang berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia, yaitu semua obyek yang empiris, yang dapat di indera. Tahapan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. a)  Menggunakan akal, b) Berdasarkan empirik, c) Terukur, d) Metode ilmiah.

Bila kita hendak mengukur kebenaran ilmu, pada intinya kita mengukur kebenaran teori,karena isi dari ilmu adalah teori-teori.

 

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal , Filsafat Ilmu,  Jakarta :PT RajaGrafindo Persada, 2004.

Kartanegara,Mulyadi ,Nalar Religius , Jakarta: Erlangga,2007.

Maifur, Filsafat Ilmu,  Bandung: CV.Bintang WarliArtika, 2008.

Riyanto,  Waryani Fajar, Filsafat Ilmu Integral [FIT},Yogyakarta:2012.

Soetriono & SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu  dan Metodologi Penelitian,   Yogyakarta: Andi,2007.

Salam, Burhanuddin, Pengantar Filsafat ,Jakarta: PT.Bumi Aksara,2008

Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum , Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2004.

Zar, Sirajuddin ,Filsafat Islam ,Jakarta: PT.RajaGrafindo ,2004.

[1] Soetriono & SRDm Rita Hanafie,  Filsafat Ilmu  dan Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Andi,2007),hlm.6.

[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Jakarta: PT.RajaGrafindo) ,2004,hlm7.

[3] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta :PT RajaGrafindo Persada,2004),hlm.149.

[4] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2004),hlm.23.

[5] Amsal Bakhtiar, op.cit.,hlm.148

[6] Waryani Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu Integral [FIT},(Yogyakarta:2012), hlm.567.

[7] Sirajuddin Zar, loc.cit.

[8] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat (Jakarta: PT.Bumi Aksara,2008),hlm.9.

[9] Waryani Fajar Riyanto, op.cit., hlm.37-38.

[10] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta :PT RajaGrafindo Persada,2004),hlm.89.

[11] Waryani Fajar Riyanto, op.cit.,hlm.566.

[12] Soetriono & SRDm Rita Hanafie,  opcit.,hlm.12.

[13] Maifur, Filsafat Ilmu,(Bandung: CV.Bintang WarliArtika,2008),hlm.69-70.

[14] Ahmad Tafsir, op.cit.,hlm.16

[15] Maifur,op.cit.,hlm.70.

[16] Mulyadi Kartanegara, Nalar Religius (Jakarta: Erlangga,2007),hlm.48.

[17] Maifur,op.cit.,hlm.70.

[18] Ahmad Tafsir, op.cit.,hlm.25

[19] Maifur,op.cit.,hlm.71.

[20] Ahmad Tafsir,op.,cit.,hlm.26.

[21] Maifur,op.cit.,hlm.71-72.

[22] Ahmad Tafsir,op.cit.,hlm.17-18

MAKALAH KEANEKARAGAMAN MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

MAKALAH KEANEKARAGAMAN MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang  Masalah

Kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang berwujud sebagai komunitas desa, atau kota, atau sebagai kelompok adat yang lain, bisa menampilkan corak yang khas. Corak khas dari suatu biasa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil, berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus. Atau karena diantara pranata-pranatanya ada suatu pola sosial yang khusus, atau dapat juga karena warganya menganut suatu tema budaya yang khusus. Sebaliknya, corak khas tadi juga disebabkan karena adanya kompleks unsur-unsur yang lebih besar. Berdasarkan atas corak khususnya tadi, suatu kebudayaan dapat dibedakan dari kebudayaan lain. Dalam makalah ini akan memebahas keanekaragaman warna masyarakat dan kebudayaannya.

B.     Rumusan Masalah

1.      Seperti apakah konsep suku bangsa itu ?

2.      Bagaimana dengan konsep daerah kebudayaan ?

3.      Seperti apakah daerah-daerah kebudayaan di Amerika-Asia ?

4.      Bagaiman dengan Ras, Bahasa, dan Kebudayaan ?

C.    Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk  membahas keanekaragaman warna masyarakat dan kebudayannya, yang di dalamnya terdapat konsep suku bangsa, konsep daerah kebudayaan, dan persoalan-persoalan lain yang berhubungan dengan keanekaragaman warna masyarakat.

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Konsep Suku Bangsa

1.      Suku Bangsa

Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang berwujud sebagai komunits desa, atau kota, atau sebagai kelompok adat yang lain, bisa menampilkan corak yang khas. Hal itu terlihat oleh orang luar yang bukan warga masyarakat yang bersangkutan. Seorang warga dari suatu kebudayaan yang telah hidup dari hari kehari di dalam lingkungan kebudayaan biasanya tidak melihat corak khas itu. Sebaliknya, terhadap kebudayaan tetangganya, ia dapat melihat corak khasnya, terutama mengenai unsur-unsur yang berbeda menyolok dengan kebudayaan sendiri.

Corak khas dari suatu biasa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil, berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus. Atau karen diantara pranata-pranatanya ada suatu pola sosial yang khusus, atau dapat juga karena warganya menganut suatu tema budaya yang khusus. Sebaliknya, corak khas tadi juga disebabkan karena adanya kompleks unsur-unsur yang lebih besar. Berdasarkan atas corak khususnya tadi, suatu kebudayaan dapat dibedakan dari kebudayaan lain.

Pokok perhatian dari suatu diskripsi etnografi adalah kebudayaan dengan corak khas. Istilah etnografi untuk suatu kebudayaan dengan corak khas adalah “suku bangsa”, atau dalam bahsa ingris ethnic group (kelompok etnik). Tapi lebih diutamakan istilah suku bangsa daripada kelompok etnik. Sifat kesatuan dari suatu suku bangsa bukan sifat kesatuan suatu kelompok, melainkan sifat kestuan golongan. Oleh karena itu istilah kelompok etnik kurang cocok.

Konsep yang tercakup dalam istilah suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh sutu kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas tadi sering kali dikuatkan juga oleh kestauan bahasa. Dengan demikian kesatuan kebudayaan bukan suatu hal yang ditentukan oleh orang luar, misalnya oleh orang ahli antropologi, ahli kebudayaan atau ahli lainnya, dengan metode-metode analisa ilmiah, melainkan oleh warga kebudayaan yang bersangkutan itu sendiri. Dengan demikian kebudayaan sunda merupakan suatu kesatuan, bukan karena peneliti yang secara etnografi telah menentukan bahwa kebudayaan sunda itu merupakan kebudayaan tersendiri yang berbeda dengan kebudayaan jawa, banten, atau bali. Orang-orang sunada sendiri sadar bahwa diantara merka ada keseragaman mengenai kebudayaan mereka, yaitu kebudayaan sunda yang mempunyai kepribadian dan identitas khusus. Apalagi adanya bahasa sunda yang berbeda dengan bahasa jawa, atau bali. Hal tersebut lebih mempertinggi kesadaran akan kepribadian khusus tadi.

Dalam kenyatannya, konsep suku bangsa lebih kompleks daripada apa yang terurai diatas. Ini disebabkan karena dalam kenyataan batas kesatuan manusia merasakan diri terikat oleh keseragaman kebudayaan itu dapat meluasnatau menyempit, tergantung pada keadaan. Misalnya, penduduk pulau flores di NTT terdiri dari beberapa suku bangsa yang khusus, juga menurut kesdaran orang flores, yaitu orang Manggarai, Ngada, Sika, Riung, Ende, dan Larantuka. Kepribadian dari suku bangsa tersebut dikuatkan oleh bahasa-bahasa khusus, yaitu bahasa manggarai, ngada, sikka, ende, dan lainnya yang berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga seorang manggarai tidak mengerti bahsa sikka, orang sikka tidak mengerti bahasa ngada. Walaupun demikian kalau orang Flores berada di jakarta misalnya, merka akan merasa bersatu sebagai putra Flores, dan tidak sebagai orang sikka, larantuka, atau ngada.

Mengenai makna suku bangsa harus lengkap tidak boleh suku saja. Sebaiknya kita mengetahui suku bangsa Minangkabau, suku bangsa Sunda, Suku bangsa Makasar, dan lain-lain. Hal tersebut sangat penting karena istilah suku, baik dalam bahasa Minangkabau maupun dalam sistem peristilahan etnogrfi dan ilmu hukumadat Indonesia, sudah mempunyai arti teknikal yang khas.

2.      Aneka Warna Kebudayaan Suku Bangsa

Kecuali mengenai besar kecilnya jumlah penduduk dalam kestauan masyarakat suku bangsa, seorang sarjana antropologi tentu menghadapi suatu perbedaan asas dan kompleksitas dari unsur kebudayaan yang menjadi pokok penelitian atau pokok deskripsi etnografinya. Dalam hal itu, para sarjana antropologi sebaiknya membedakan kesatuan masyarkat suku-suku bangsa di dunia berdasarkan asa kriterium mata pencarian dan sistem ekonomi kedalam enam macam: (1) masyarakat pemburu dan peramu, (2) masyarakat peternak, (3) masyarakat peladang,(4) masyarakat nelayan, (5) dan masyarakat perkotaan.

Kebudayaan suku bangsa yang hidup dari berburu dan meramu pada akhir abad ke-20 sudah hampir tidak ada di muka bumi. Mereka tinggal di daerah terisolasi di daerah pinggiran atau daerah terpencil yang karena keadaan alamnya tidak suka diganggu oleh bangsa-bangsa lain. Daerah seperti itu misalnya, daerah di pantai utara kanada yang telampau dingin atau daerah yang tidak cocok untuk bercocok tanam seperti daerah gurun. Di daerah pantai utara kanada tinggal suku bangsa eskimo yang memburu binatang kutub. Di daerah gurun kalihara  di afrika selatan tinggal orang bushmen, dan gurun Australia tinggala beberapa suku bangsa penduduk asli Australia (aborigin) sebagai pemburu binatang gurun.

Pada masa kini jumlah dari semua suku bangsa yang hidup dari berburu di seluruh dunia belum ada setengah juta orang. Dibandingkan dengan sluruh penduduk dunia yang berjumlah tiga milir orang, maka hanya tinggal kira-kira 0,01% dari seluruh penduduk dunia yang masih hidup dan berburu. Jumlah itu semakin berkurang karena suku-suku bangsa yang berburu sudah banyak yang pindah ke kota untuk menjadi buruh.

Masyarakat peternak yang hidup hingga kini masih ada di daerah-daerah padang rumput stepa atau sabana di Asia Barat Daya, Asia Tengah, Siberia, Asia Timur Laut,Afrika Timur, atau Afrika Selatan. Binatang yang dipelihara berbeda menurut daerah geografinya. Misalnya, di daerah sumber air di gurun Semenanjung Arab hidup suku bangsa badui yang memelihara unta, kambing dan kuda. Di daerah gurun stepa dan sabana di Asia Barat daya hidup suku bangsa khanzah di Iran, dan Pashtun di Afganistan yang memelihara domba sapi dan kuda.

DI daerah stepa Asia Tengah hidup suku bangsa Mongolik dan Turkik, seperti buryatyi, Kazakh, dan Uzbek yang memlihara domba, kambing, unta, dan kuda. Kehidupan suku peternak adalah sangat labil. Merka pindah dari suatu perkemahan ke perkemahan lain dengan menggembala ternak mereka terentu. Merka memeras susu ternak yang mereka buat menjadi mentega, keju, makanan-makana susu lain dapat disimpan lama.

Masyarakat peladang yang hidup terbatas di daerah hutan rimbika tropikal di daerah aliran sungai Kongo di Afrika Tengah, di Asia Tenggara termasuk Indonesia, dan didaerah pengairan sungai Amazon di Amerika Selatan. Para peladang tersebut menggunakan tekhnik bercock tanam yang sama. Mereka mulai membersihkan belukar dalam hutan, menebang pohon-pohon dan membakar daun-daun, dahan dan balok-balok pohon ditebang. Mereka menanam berbagai macam tanaman tanpa pengolahan tanah dan irigasi. Bercocok tanam di ladang merupakan suatu mata pencaharian yang dapat mejadi dasar suatu peradaban. Contoh peradaban Indian Maya dalam abad ke-15 di Meksiko Selatan, Yukatan, dan Guatemala di Amerika Tengah.

Masyarakat nelayan da di seluruh dunia, di sepanjang pantai, baik dari negara-negara yang berada di pinggir benua maupun pulau-pulau. Secara khusus daerah desa nelayan biasanya terletak di muara sungai atau sekitar teluk. Di muara sungai memudahkan nelayan untuk melabuhkan perahunya yang mereka pakai ke laut, sedangkan di teluk banyak terdapat ikan.

Suatu masyarakat nelayan tentu mengetahui teknologi pembuatan perahu, mengetahui cara-cara navigasi di laut, mempunyai organisasi sosial yang dapat menampung suatu sistem pembagian kerja antara nelayan, pemilik perahu, dan pembuat perahu. Sedangkan sistem religinya biasanya mengandung unsur-unsur keyakinan, upacar-upacara, serta ilmu gaib yang erat kaitannya dengan persepsi serta konsepsi mereka mengenai laut.

 Mayarakat petani pedesaan pada masa sekarang merupakan bagian terbesar dari objek perhatian para ahli antropologi, karena suatu proporsi terbesar dari penduduk masa kini merupakan petani yang hidup dalam komunitas desa, yang berdasarkan pertanian, khususnya bercocok tanam menetap secara tradisisonal dengan irigasi.

Masyarakat yang kompleks telah menjadi objek perhatian para ahli antropolgi, terutama sesudah perang dunia II. Pada masa itu timbul banyak negara baru bekas jajahan, dengan penduduk yang terdiri dari banyak suku bangsa, golongan, bahasa, dan agama dalam satu wadah negara nasional yang merdeka.

B.     Konsep Daerah Kebudayaan

Suatu daerah kebudayaan atau culture area merupaka suatu penggabungan atau penggolongan (oleh ahli antropologi) dari suku-suku bangsa yang dalam masing-masingkebudayaan yang beranaeka warna mempunyai beberapa unsur dari ciri mencolok serupa. Sistem penggolongan daerah kebudayaan yang sebenarnya merupakan suatu sistem klasifikasi yang mengklaskan beraneka warna suku bangsa yang tersebar disuatu daerah atau benua besar, kedalam golongan berdasarkan atas beberpa persamaan unsusr dalam kebudayanya. Hal ini untuk memudahkan gambaran menyeluruh dalam hal penelitian analisa atau penelitian komperatif dari suku-suku bangsa di daerah atau benua yang bersangkutan.

Saran-saran pertama untuk perkembangan sistem culture area nerasal dari seorang ilmuan antropologi di Amerika, F. Boas. Walaupun para pengarang dari abad ke-19 tentang kebudayaan dab masyarakat suku bangsa indian pribumi benua Amerika telah mempergunakan istilah klasifikasi berdasarkan daerah-daerah geografi di benua Amerika yang menunjukan banyak persamaan dengan sistem klasifikasi culture area di Amerika Utara yang kita kenal sekarang.

Meskipun benih-benih untuk sistem klasifikasi culture  area itu sudah ada pada para pengarang etnografi di Amerika, tetapi murid Boas bernama C. Wissler adalah yang membuat konsep itu populer, terutama karena bukunya yang berjudul The American Indian (1920), di mana ia membicarakan berbagai macam suku bangsa indian Amerika Utara berdasarkan atas sembilan buah culture area.

Sistem culture area mulai dikembangkan oleh C. Wissler untuk mengklasifikasikan  aneka warna kebudayaan penduduk indian pribumi di Amerika Selatan, Oseania, Afrika, dan di Asia, semuanya dengan sedikit keterangan dan contoh.

C.    Daerah-daerah Kebudayaan di Amerika-Asia

Clark Wissler mengklasifikasikan Amerika Utara kedalam sembilan daerah kebudayaan.

a.      Daerah Kebudayaan di Amerika Utara

1.      Daerah kebudayaan eskimo

Yang meliputi susku-suku bangsa pemburu binatang laut di pantai utara dan barat laut kanada, serta pantai-pantai yang berhadapan dengan panatai kanada seperti Greenlandyang telah mengdaptasikan diri terhadap kehidupan di daerah sebelah utara garis pantai dan di dalam suatu alam yang sangat dingin dan banyak es dan salju keras. Contoh suku bangsa dari daerah ini Eskimo, Nanivakimut di Alaska, Eskimo Iglulik di pantai bagian utara dari teluk Hudson.

2.      Daerah Kebudayaan  Yukon-Mackenzi

Yang meliputi suku-suku bangsa pemburu binatang hutan koniferus di Kanada Barat Laut, seperti beruang atau binatang-binatang buruan yang lebih kecil, serta penangkapan ikan di sungai-sungai Yukon dan Mackenzi, serta anak-anak sungai. Dibeberapa tempat ada pula suku-suku bangsa yang musim-musim tertentu memburu binatangrusa reindeer. Salju lembut yang banyak di daerah itu telah menyebabkan berkembangnya alat sepatu salju. Contoh suku bangsa di daerah itu adalah Tanana di hulu sungai Yukon, Kaska di hulu sungai Mackenzie, dan chipwayan di daerah-daerah danau kanada utara.

3.      Daerah Kebudayaan pantai barat laut

Yang meliputi suku-suku bangsa bermasyarakat rumpun yang hidup di desa-desa tepi pantai barat laut Kanada, atau di tepi pantai pulau-pulau yang berhadapan dengan panatai Kanada. Suku bangsa itu hidup dari perikanan (ikan salm) dan membru ikan paus dilaut terbuka. Ciri yang mencolok dari kebudayaannya adalah upacara-upacara tetonisme dengan suatu seni patung kayu yang berkembang luas, seni teun yang indah, danadat setiadat sekitar potlatch, yaitu pesta-pesta besar dimana kelompok-kelompok kekerabatan yang berasal dari desa-desa lain saling bersaing secara berlebihan dalam hal memamerkan kekayaan. Contoh suku bangsa dari daerah ini adalah Tlinggit, Haida, dan Kwakikut.

4.      Daerah Kebudayaan Dataran Tinggi

Yang meliputi suku-suku bangsa bermasyarakat rumpun hidup di desa-desa, dirumah-rumah setengah di bawah tanah dalam musim dingin dan rumah-rumah jerami untuk musim panas . Mata pencariannya adalah perikanan dan meramu tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan. Contoh suku bangsa ini adalah Kutensi, Klamat, dan Yurok.

5.      Daerah kebudayaan Plains

Yang meliputi suku-suku bangsa bermasyarakat rumpun yang sampai sekitar abad ke-19 tersebar didaerah stepa-stepa yang sangat luas, yaitu di ddaerah praire atau plains diantara sungai besra misissipidan deret pegunungn Rocky, yang hidup dari berburu binatang banteng bison dengan  kuda ( yang pemakainnya mereka pelajari dari orang spanyol). Sekarang dengan musnahnya bison, orang indian praire sudah mempunyai mata pencaharian hidup lain atau sudah tersebar di kota-kota. Contoh suku bangsa daerah ini adalah Crow, Omaha, dan Comanche.

6.      Daerah kebudayaan hutan timur

Yang meliputi suku-suku bangsa bermasyarakat rumpun yang tersebar di daerah-daerah sekitar bagian timur laut, dan yang hidup berdasarkan pertanian menetap dengan jagung sebagai tanaman pokok. Suku bangsa itu umumnya hidup di desa-desa dengan rumah-rumah panjang yang terbuat dari kulit pohon untuk musim panas dan rumah-rumah setengah bola yang juga terbuat dari kulit pohon untuk musim dingin (wigwam). Contoh suku bangsa ini adalah Winnebago, Huron, dan Iroquis.

7.      Daerah kebudayaan dataran kalifornia

Yang meliputi suku-suku bangsa bermasyarakat rumpun yang hidup dari berburu dan mengumpulkan biji-bijian. Mereka tinggal dalam rumah-rumah jerami dan terkenal dengan seni keindahan anyamannya. Contoh suku bangsa ini adalah Miwok, Washo, dan Ute.

8.      Daerah kebudayaan Barat Daya

Yang meliputi suku-suku bermasyarakat rumpun yang tersebar di daerah gurun dan setengah gurun, dan hidup dari pertanian intensif di lembah-lembah sungai. Suku bangsa itu tinggal di desa-desa berumah persegi bertingkat-tingkat yang terbuat dari tanah liat (peublo), dan yang sering dibangun diatas puncak gunung karang yang tinggi curam untuk keperluan pertahanan. Contoh suku bangsa ini adalah Apache, Navaho, Zuni Peublo, Hopi Peublo, dan santa carla peublo.

9.      Daerah kebudayaan tenggara

Yang meliputi suku-suku bangsa bermasyaratkat rumpun yang bercocok tanam intensif dengan cangkul dan menanam jagung, labu-labuan dan tembakau sebagai tanaman pokok. Mereka hidup dalam desa dengan rumah-rumah berbentuk persegi panjang yang tergabung dalam federasi-federasi desa yang luas. Dalam kehidupan kehidupan keagamaannya merka telah mengembangkan suatu sistem upacara yang luas berpusat pada pemujaan matahari. Contoh suku bangsa ini adalah Cherokee, Seminole, dan Chowtow

10.  Dearah Kebudayaan Meksiko

Yang meliputi suku-suku bangsa bermasyarakat rakyat pedesaan yang berorientasi terhadap peradaban kota yang banyak terpengaruh oleh kebudyaan spanyol dan agama Katolik.

Dalam zaman sebelum orang Spanyol datang, rakayat pedesaan berorientasi pada suatu perdaban yang tinggi di kota-kota besra dengan bangunan kuil-kuil yang indah, pusat penyembahan matahari, yang dilakukan dengan upacara-upacara luas dengan korban manusia. Rakyat hidup dari bercocok tanam di ladang dengan jagung, kentang , labu-labum, tembakau, dan kapas sebagai tanaman pokok.

b.      Daerah-daerah kebudayaan di Asia

Suatu pembagian dari benua Asia kedalam daerah-daerah kebudayaan pernah dibuat oleh AL. Kroeber. Pembagian itu sebenarnya masih bersifat kasar dan lebih berdasrkan common sense daipad analisa dan perbandingan dengan unsur-unsur kebudayaan secara mendalam dan luas.

Pada hakikatnya sutu benua besar seperti Asia terlamapau besar perbedaan-perbedaan sifat-sifatnya untuk dapat dibagi secara keseluruhan ke dlam daerah-daerah kebudayaan. Kalau kita ambil bagian-bagian khusus dari benua itu, misalnya Asia Barat Daya, Siberia, Asia Selatan, atau daerah lain yang mengklasifikasikan aneka warna kebudayaan dalam bagian khusus itu kedalam daerah-daerah kebudayaan, maka bru klasifikasi seperti ada artinya.

Dalam bab ini kawasan Asia menurtu Kroeber dengan beberapa perubahan, kedalam tujuh bagian yaitu :

1.      Daerah Kebudayaan Asia Tenggara

2.      Daerah Kebudayaan Asia Selatan

3.      Daerah Kebudayaan Asia Barat Daya

4.      Daerah Kebudayaan China

5.      Daerah Kebudayaan Stepa

6.      Daerah Kebudayaan Siberia Asia Tengah

7.      Daerah Kebudayaan Asia timur Laut

8.      Suku-suku bangsa di Indonesia

Seorang ahli Antropologi biasanya, kecuali memilih suatu kejuruan mengenai satu sub ilmu dalm antropologi fisik, ahli etnologi, ahli antropologi-sosial, dan sebagainya, juga memilih suatu kejuruan mengenai suatu daerah di muka bumi ( Ahli Asia Barat Daya, Ahli Amerika Utara, Ahli Amerika Latin, ahli Oseania, ahli Asia tenggara, dan sebagainya).

Kita tinjau seorang ahli asia tenggara secara konvensional seorang ahli antroplogi serupa itu dianggap mengenal secara luas dan mendalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan semua suku bangsa yang tersebar di Birma,Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Biasanya ia pernah melakukan penelitian yang mendalam diantara paling sedikit dua suku bangsa, terdapat mungkin satu di Benua (Asia Tenggara), dan satu di kepulauan (Asianesia).

Seorang ahli antropologi Indonesia sudah tentu tidak dapat mengikuti syarat-syarat konvensional yang lazim diterima oleh dunia antropologi itu. Seorang ahli Antropologi Indonesia wajib untuk mengenal bentuk-bentuk masyarakat dan kebudayaan di wilyah indonesia sendiri, dan wajib mengetahui dengan cukup mendalam masyarakat dan kebudayaan diwilayah negara tetangga, yaitu : Malaysia, Brunei, Filipina, Papua Nugini dan Asia tenggara pada umumnya.

Klasifikasi dari aneka waran suku bangsa di Indonesia biasanya masih berdasarkan sistem lingkaran hukum adat yang mula-mula disusun oleh Van Vallenhoven. Sistem yang tergambar dalam peta 7 membagi Indonesia kedalam 19 daerah yaitu:

1.      Aceh

2.      Sulawesi Selatan

3.      Gayo-Alas Batak

4.      Ternate

5.      Nias dan Batu

6.      Ambon Maluku

7.      Minangkabau

8.      Kepulauan Barat Daya

9.      Mentawai

10.  Papua (Irian)

11.  Sumatra Selatan

12.  Timor

13.  Enggano

14.  Bali dan Lombok

15.  Melayu

16.  Jawa Tengah dan Jawa Timur

17.  Bangka dan Belitung

18.  Surakarta dan Yogyakarta

19.  Kalimantan

20.  Jawa Barat

21.  Sangir-Talaud

22.  Gorontalo

23.  Toraja

Mengenai lokasi suku-suku bangsa di Indonesia masih berdasarkan peta bahasa dari J.Esser. Hrus diperhatikan terutam untuk daerah Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Timur bahkan bagian dari Sumatra masih banyak terdapat keragu-raguan.

D.    Ras , Bahasa, dan Kebudayaan

Sejumlah manusia yang memiliki ciri-cir ras tertentu yang sama, belum tentu mempunyai bahasa induk yang termasuk satu keluarga bahasa, apalagi mempunyai satu kebudayaan yang tergolong satu daerah kebudayaan. Diantara sejumlah manusia itu, misalnya ada beberapa orang Thai, Khmer, dan beberapa orang sunda. Ketiga golongan tersebut mempunyai ciri-ciri ras yang sama, yang dalam Ilmu Antropologi fisik disebut ciri-ciriras Paleo-Mongoloid. Namun bahasa induk masing-masingorang tadi termasuk keluarga bahasa yang berlainan. Bahasa Thai termasuk keluarga bahasa Sino-Tibetani, bahsa Khmer termasuk keluarga bahasa Austro-Asia, dan Bahasa Sunda termasuk kelurga bahasa Austronesia. Kebudayaan Thai dan Khmer terpengaruh oleh agama Budha Theravada, kebudayaan sunda terpengaruh oleh agam Islam.

Ada sejumlah manusia yang memiliki ciri-ciri ras yang berbeda tetapi mempergunakan beberpa bahasa induk yang berasal dari satu keluarga bahasa, sedangkan kebudayaan mereka berbeda, seperti orang Huwa di daerah pegunungn Madagaskar, dengan orang Jawa, dan orang papua daerah pantai utara papua. Orang Huwa memiliki ciri-ciri ras Negroid dengan beberpa unsur ras Kaukasoid Arab, orang Jawa memiliki ciri-ciri ras Mongoloid-Melayu, dan orang Papua memiliki ciri-ciri ras Melanosoid.

Tetapi ketiga golongan manusia tersebut mempergunakan bahasa yang termsuk satu induk, yaitu bahasa Huwa, bahasa Jawa, bahasa Bugis, yang walaupun berbeda antara yang satu dengan yang lain, tetapi termasuk keluarga bahasa Austronesia. Kebudayaan orang Huwa adalah kebudayaan orang pertanian dengan irigasi, yang dikuasai kerajaan kuno Imerina, dengan agama pribumi dan kini terpengaruh oleh agama Katolik. Kebudayaan Huwa digolongkan kedalam daerah kebudayaan Madagaskar. Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan pertanian dengan irigasi yang hidup untk sebagian besar dalam masyarakat pedesaan yang dikuasai oleh suatu rangkaian kerajaan-kerajaan kuno sejak abad ke-9, dengan agama Hindu dan Budha Mahayana yang kemudian terpengruh oleh agama Islam.

Kebudayaan Jawa kemduian digolongkan kedalam lingkaran hukum adat Jawa-Madura. Kebudayaan penduduk pantai utara Papua adalah peramu sagu, yang hidup didesa-desa kecil disepanjang lembah-lembah sungai dekat rawa-rawa dan hutan-hutan sagu.

Mereka memupunyai satu sistem religi pribumi yang kini terpengaruh oleh agama Kristen Belanda Keadaan lain adalah dimana sejumlah manusia dengan sejumlah kebudayaan, berasal dari berbagai ras, contoh di negara-negara besar Zaman sekarang. Warga negara Amerika Serikat hidup dalam satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Amerika masa kini, tetapi merke berasal dari berbagai macam ras, yaitu ras Kaukasoid, ras Negroid (Amerika Indians) dan Ras Mongoloid Amerika (Chinese American, Japanese American, atau Korean American).

Dengan demikian, warga negara Inggris dikota-kota besar yang berkebudayaan Inggris masa kini ada yang memilki ciri –ciri ras Kaukasoid, ras Kaukasoid India (India warga negara Inggris), dan Mongoloid (cina warga negara Inggris).

Dari contoh-contoh diatas jelas bahwa perbedaan ras antar manusia di muka bumi, mencapai kemantapan sejak beberapa ratus ribu tahun yang lalu, ketika persebaran keluraga bahasa, terjadi kemudian, yaitu sejak beberapa puluh ribu tahunyng lalu, sedang pembentukan dan penyebaran aneka warna kebudayaan merupakan suatu proses yang terjadi kemudian, yaitu dalam akhir zaman Prihestoria dan selama Zaman Histori, yaitu kira-kira empat ribu tahun.

Namun untuk keperluan analisa antropologi secara historis perlu mengetahui pola-pola penyebaran yang asli dari aneka warna ras, bahasa dan kebudayaan di muka bumi.

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Adanya keragaman manusia di maksudkan bahwa setiap manusia memiliki perbedaan. Perbedaan itu ada karena manusia adalah mahluk individu memiliki ciri-ciri khas sendiri. Dalam kehidupan masyarakat juga terdapat keanekaragaman warna dan kebudayaan. Misalnya keanekaragaman ras,bahasa,budaya,dan lain-lain. Adanya keanekaragaman budaya juga turut dipengaruhi oleh keadaan geografi suatu lingkungan  masyarakat. Dengan adanya keadaan geografi yang berbeda juga turut mempengaruhi pola kehidupan suatu masyarakat, sperti berburu,meramu,berladang,berternak,dll.

B.     Saran

Dengan adanya keanekaragaman warna masyarakat dan kebudayaan hendaknya kita menyikapinya dengan bijak. Toleransi dan saling menghormati antar sesama masyarakat harus dijunjung tinggi. Walaupun banyak perbedaan dalam kehidupan masyarakat. Hal yang terpenting adalah menghindari sifat etnosentrisme dan egoisme dalam kehidupan masyarakat yang multikultural demi tercapainya kelangsungan hidup masyarakat yang damai dan aman.

 

Daftar Pustaka

 

..............Fathoni,Abdurrahmat.2006.Antropologi Sosial Budaya.Jakarta:Rineka Cipta

..............Herimanto.2008.Ilmu Sosial.Jakarta:Bumi Aksara

..............Koentjoroningrat.2010.Sejarah Teori Antropologi.Jakarta:UI-Press

Featured Post

Tinjauan Tentang Siklamat

Tinjauan Tentang Siklamat Siklamat memiliki nama dagang yang dikenal sebagai assugrin, sucarly, sugar twin, atau weight watchers. Siklamat...