BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekonomi mikro merupakan ilmu yang memiliki
beberapa pokok bahasan, salah satunya adalah studi mengenai perilaku konsumen.
Terdapat suatu alasan ketika konsumen membeli barang lebih banyak pada saat
harga barang rendah dan mengurangi pembeliannya saat harga barang tersebut
tinggi. Setiap individu ataupun rumah tangga
pasti mempunyai perkiraan tentang berapa pendapatannya dalam suatu periode
tertentu, misalkan satu tahun. Dan mereka juga pasti mempunyai suatu gambaran
tentang barang – barang atau jasa – jasa apa saja yang akan mereka beli. Tugas
setiap rumah tangga adalah bagaimana mereka bisa memaksimalkan pendapatan
mereka yang terbatas untuk mendapatkan dan memenuhi semua kebutuhan sehingga
bisa mencapai kesejahteraan. Tapi ternyata hampir tidak satupun individu atau
rumah tangga yang berhasil dalam tugasnya tersebut. Sampai pada tingkat
tertentu, kegagalan tersebut disebabkan oleh adanya keterangan - keterangan
yang tidak tepat dan ada juga alasan - alasan lain seperti pembelian –
pembelian secara impulsif.
Segala usaha yang dilakukan
untuk mencapai kepuasan maksimum dengan pendapatan yang terbatas inilah yang
mempengaruhi permintaan konsumen terhadap barang dan jasa di pasar. Untuk
menganalisa pembentukan permintaan konsumen secara lebih akurat, maka akan digunakan
beberapa asumsi yang akan menyederhanakan realitas ekonomi. Atas dasar beberapa hal tersebut maka terdapat pokok
bahasan teori nilai guna (utility).
Dalam sejarahnya, teori nilai guna (utility)
merupakan teori yang terlebih dahulu dikembangkan untuk menerangkan perilaku
individu dalam memilih barang-barang yang akan dibeli dan dikonsumsinya. Dapat
dilihat bahwa analisis tersebut telah memberi gambaran yang cukup jelas tentang
prinsip-prinsip pemaksimuman kepuasan yang dilakukan oleh orang-orang yang
berfikir secara rasional dalam memilih berbagai barang keperluannya. Disini
kita juga akan mempelajari bagaimana suatu barang dapat memberikan kenikmatan
terhadap individu dan bagaimana barang tersebut sama sekali tidak dapat
memberikan kenikmatan terhadap seseorang.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana penjelasan dan penjabaran teori
nilai guna (utility) dalam ekonomi mikro?
1.3 Tujuan
a. Tujuan Umum
Tujuan
umum makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami teori nilai guna (utility).
b. Tujuan Khusus
Tujuan khusus makalah ini antara lain:
1) Untuk mengetahui pengertian nilai guna (utility)
2) Untuk mengetahui jenis nilai guna (utility)
3)
Untuk mengetahui hukum nilai guna kardinal
4)
Untuk mengetahui konsekuensi hukum nilai guna kardinal
5) Untuk mengetahui cara mengukur nilai guna (utility)
kardinal dan ordinal.
1.4 Manfaat
Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah mahasiswa mampu
memahami teori nilai guna (utility) mulai dari pengertian nilai
guna,jenis nilai guna hingga cara mengukur nilai guna (utility).
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Nilai Guna (Utility)
Utility atau nilai guna
sering digunakan sebagai istilah untuk
menjelaskan mengenai suatu manfaat barang atau komoditas tertentu. Pada
teori keseimbangan, diketahui bahwa teori keseimbangan menggambarkan antara
kesesuaian antara permintaan dan penawaran. Permintaan timbul karena konsumen
memerlukan manfaat dari komoditas yang diminta. Manfaat inilah yang dikenal
dengan istilah utilitas (utility).
Jadi sebenarnya permintaan suatu komoditas menggambarkan permintaan akan
manfaat dari komoditas tersebut (Sugiarto Dkk, 2007)
Teori utility sering digunakan sebagai
pendekatan dalam menjelaskan perilaku konsumen. Pokok persoalan ekonomi yang
dihadapi oleh setiap orang dalam perannya sebagai konsumen membutuhkan bermacam
barang dan jasa yang semua harus diimbangi dengan kemampuan membeli. Konsumen
harus berhadapan dengan pilihan jenis dan jumlah barang dan jasa yang harus di
beli serta harga yang harus dibayar untuk mendapatkan barang dan jasa yang
dituju.
Konsumen yang bertindak
ekonomis harus mempertimbangkan pengorbanan, yaitu harga yang harus dibayar dan
hasilnya, yaitu manfaat atau nilai guna atau kepuasan yang diperoleh dari
pengeluaran uang tersebut. Sebagai contoh yaitu jika seseorang hanya mempunyai
satu baju yang baik, maka manfaat baju yang satu itu (dan penilaiannya terhadap
baju itu) amat besar. Jika baju tersebut sobek, maka seseorang itu akan merasa
susah dan perlu/butuh untuk membeli baju lain meskipun harus membayar harga
yang cukup mahal. Tetapi jika seandainya terdapat persediaan 10 baju yang masih
baik di almari, manfaat dari satu potong baju itu tidak dirasakan begitu besar.
Kalau ada satu baju yang sobek, maka tingkat kebutuhan terhadap pembelian baju
menjadi menurun.
Utility atau daya guna
suatu barang sebenarnya berarti kemampuan barang tersebut untuk memenuhi
kebutuhan manusia secara obyektif. Produksi menciptakan kemampuan tersebut.
Namun baru dirasakan apabila barang itu dikonsumsi. Oleh karena itu, pengertian
utility dalam analisis perilaku
konsumen berarti manfaat yang dirasakan dari konsumsi suatu barang atau
kepuasan yang diperoleh dari barang / jasa tersebut dan dengan demikian juga
penghargaan konsumen terhadapnya. Jadi utility
juga merupakan suatu yang subyektif, tergantung pada pribadi yang melekat pada
diri konsumen yaitu sejauh mana kebutuhannya terpenuhi dengan konsumsi
barang/jasa tertentu (Gilarso, 2003).
2.2 Jenis Nilai Guna (Utility)
Terdapat 4
jenis nilai guna (utility) yaitu
sebagai berikut:
a.
Place Utility (Nilai Guna Tempat)
Nilai guna
tempat adalah nilai guna produk yang berhubungan dengan bagaimana produk
tersedia di tempat yang dapat dijangkau oleh konsumen. Dimana produk seharusnya
tersedia di tempat yang mudah dijangkau oleh konsumen. Nilai guna tempat dapat
dimaksimalkan dengan menjadikan produk dapat dijangkau oleh konsumen pada waktu
yang tepat. Untuk mencapai hal tersebut, efektivitas, dan efisiensi sangat dibutuhkan.
Contoh:
kantin perusahaan hendaknya berada di bagian depan bangunan perusahaan agar
kantin mudah dijangkau oleh konsumen yang berasal dari perusahaan itu sendiri
maupun tamu perusahaan. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan nilai guna
tempat dari kantin yaitu agar kantin tersedia di tempat yang mudah dijangkau
konsumen.
b.
Form Utility (Nilai Guna Bentuk)
Nilai guna bentuk adalah nilai yang diciptakan oleh suatu bisnis dengan
menggabungkan bahan-bahan dan komponen-komponen tertentu untuk menghasilkan
suatu produk. Nilai guna bentuk merupakan nilai guna produk yang
berhubungan dengan bentuk produk yang dipasarkan oleh produsen. Bentuk yang
dimaksud adalah bentuk yang lebih bermanfaat dari pada bentuk dari bahan yang
digunakan untuk membuat produk tersebut. Jadi, produk akan memiliki nilai guna
bentuk lebih tinggi jika ada perubahan bentuk dari bahan pembuat produk
tersebut. Penerapan konsep form utility ini dalam
bidang pemasaran adalah dengan meningkatkan daya jual (marketability)
suatu produk melalui pengubahan karakteristik-karakteristiknya: bentuk, ukuran,
warna, fungsi, gaya (style).
Contoh: nilai
guna bentuk sepotong roti itu lebih tinggi dari pada nilai guna bentuk bahan
pembuat roti seperti tepung, gula, dan telur.
c.
Time Utility (Nilai Guna Waktu)
Nilai guna waktu adalah nilai guna produk yang
berhubungan dengan bagaimana produk dapat diakses oleh konsumen pada waktu
produk tersebut dibutuhkan.
Contoh: baju
tebal dipasarkan pada beberapa bulan sampai musim dingin berakhir. Tujuannya
adalah agar konsumen dapat membeli baju tebal pada waktu baju tebal tersebut
dibutuhkan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan nilai guna waktu dari produk
tersebut.
d.
Possession
Utility (Nilai Guna Kepemilikan)
Nilai guna
kepemilikan adalah nilai guna produk yang berhubungan dengan perubahan
kepemilikan produk dari satu orang ke orang lain. Nilai guna kepemilikan
terbentuk ketika seorang konsumen membeli suatu produk dari produsen untuk
memenuhi kebutuhannya. Dengan memiliki suatu barang, seseorang bisa
menggunakan secara bebas (memperoleh kontrol penuh) atas barang itu. Possession utility memiliki arti yang
sama dengan ownership utility. Fungsi bisnis yang menciptakan possession utility dari suatu produk
adalah fungsi pemasaran.
Contoh: nilai
guna kepemilikan stetoskop bagi tenaga medis adalah tinggi karena tenaga medis
membutuhkan stetoskop dalam menjalankan pekerjaannya.
2.3 Pendekatan Nilai Guna (Utility)
Terdapat 2 pendekatan dalam memaksimalkan nilai guna (utility) yaitu sebagai berikut:
a. PendekatanKardinal(Cardinal
Approach)
Pendekatan kardinal merupakan gabungan
dari beberapa ahli ekonomi aliran subjektif seperti Herman Heinrich Gossen
(1854), William Stanley Jevons (1871), dan Leon Wallras (1894). Pendekatan
kardinal memberikan penilaian subjektif akan pemuasan kebutuhan dari suatu barang.
Artinya tinggi rendahnya nilai guna suatu barang tergantung pada subjek yang
memberikan penilaian. Jadi suatu barang akan memberikan nilai guna yang tinggi
bila barang dimaksud memberikan daya guna yang tinggi bagi sang pemakai.
Misalnya:
Sebuah dayung
perahu akan memberikan daya guna yang tinggi bagi nelayan daripada bagi pemain
badminton. Sehingga nilai guna dayung lebih tinggi nilainya bagi nelayan
daripada bagi pemain badminton.
Dalam pendekatan kardinal berlaku
asumsi sebagai berikut:
1)
Daya guna diukur
dalam satuan uang, yaitu jumlah uang yang bersedia dibayar oleh konsumen dalam
rangka menambah unit yang akan dikonsumsi.
2)
Daya guna
marginal dari uang tetap, yaitu bahwa nilai dari suatu uang dalam satuannya
adalah sama untuk setiap orang tanpa memandang statusnya.
3)
Addivitas, yaitu
bahwa nilai guna total adalah keseluruhan konsumsi dari barang.
4)
Daya guna
bersifat independen, artinya daya guna suatu barang tidak dipengaruhi oleh
karena mengkonsumsi barang lain.
5)
Periode konsumsi
suatu barang berdekatan dan dengan jumlah yang sama.
Dalam pendekatan kardinal dikenal konsep utilitas marjinal
(marginal utility = MU) dan utilitas total (total utility = TU) sebagai
berikut:
1.
Utilitas Marginal (Marginal Utility = MU)
Utilitas marginal adalah pertambahan
atau pengurangan kepuasan yang diperoleh seseorang sebagai akibat dari pertambahan atau
pengurangan mengkonsumsi satu unit barang tertentu
untuk memenuhi kepuasannya.

Gambar 2.1 Kurva Marginal Utility
(Sadono Sukirno, 2010)
2.
Utilitas Total (Total Utility = TU)
Utilitas total adalah jumlah seluruh nilai guna (kepuasan) yang di peroleh seseorang dari mengkonsumsi sejumlah barang
tertentu.

Gambar 2.2 Kurva Kardinal Utility (Sadono Sukirno,
2010)
b. Pendekatan Ordinal (Ordinal Approach)
Dalam pendekatan ordinal bahwa besarnya
nilai guna ordinal dapat diukur atau dihitung dengan menggunakan pendekatan
nilai relatif yaitu melalui order
atau rangking. Bila di dalam pendekatan kardinal kepuasan mengkonsumsi suatu barang
penilaiannya bersifat subjektif (tergantung pada siapa yang menilai), tentu
saja setiap orang memiliki penilaian yang berbeda. Maka dalam pendekatan
ordinal ini tingkat kepuasan dapat diurutkan dalam tingkatan-tingkatan
tertentu, misalnya rendah, sedang, tinggi. Dengan demikian, setiap kepuasan
yang diperoleh dapat teranalisis.
Dalam
menganalisis tingkat kepuasan masing-masing individu dengan menggunakan pendekatan ordinal
dapat menggunakankurva indifference.

Gambar 2.3 Kurva Indifference
(Sadono Sukirno, 2010)
Yang dimaksud
kurva indifference adalah kurva yang
menggambarkan kombinasi 2 macam input untuk menghasilkan output yang sama
(kepuasan). Sedangkan yang dimaksud dengan kepuasan sama adalah bahwa sepanjang
kurva indifference yang pertama (KII)
misalnya, tingkat kepuasan konsumen adalah sama dimana saja (A, B, C, atau D),
hanya yang membedakannya bahwa anggaran untuk mencapai kepuasan di titik A
tentu berbeda dengan di titik C. Begitupun pada titik B, konsumen harus cukup
puas bila ternyata ia hanya mampu mencapai di titik B.
Beberapa asumsi
yang mendasari pendekatan ordinal adalah sebagai berikut :
1)
Rasionalitas, di
mana konsumen akan berusaha meningkatkan kepuasannya atau akan memilih tingkat
kepuasan yang tertinggi yang bisa dicapainya.
2)
Konveksitas,
yaitu bentuk kurva indifference
cembung dari titik origin dari sumbu absis dan ordinat.
3)
Nilai guna
tergantung pada jumlah barang yang dikonsumsi.
4)
Transitivitas,
yaitu konsumen akan menjatuhkan pada pilihan terbaik dari beberapa pilihan.
5)
Berdasarkan
asumsi ke-4, maka kurva indifference tidak
boleh bersinggungan atau saling berpotongan.
Konsumen dalam memilih barang yang akan
memaksimalkan tingkat kepuasan ditunjukan dengan
bantuan kurva indifference.
2.4 Hukum Nilai Guna (Utility)
Kardinal
Hukum nilai guna yang semakin menurun dikenal dengan Hukum Gossen
I, dikemukaan oleh Herman Henrich Gossen (1818-1859), seorang ahli ekonomi dari
Jerman.Hipotesis teori nilai guna atau lebih dikenal sebagai hukum nilai guna
kardinal menurun (Law Diminishing
Kardinal Benefit):
“Tambahan nilai
guna yang akan diperoleh seseorang dari mengkonsumsikan suatubarang akan
menjadi semakin sedikit apabila orang tersebut terus menerus menambah
komsumsinya keatas barang tersebut dan pada akhirnya tam-bahan nilaiguna akan
menjadi negatif”
Hipotesis tersebut
menjelaskan bahwa pertambahan yang terus menerus dalam mengonsumsi suatu barang, tidak secara terus
menerus menambah kepuasan yang dinikmati orang yang mengonsumsinya. Pada
mulanya, setiap tambahan konsumsi akan mempertinggi tingkat
kepuasan orang tersebut, namun semakin lama, tingkat kepuasan seseorang tersebut
akan semakin menurun.
Pada akhirnya, tambahan nilai guna akan
menjadi negatif yang artinya apabila konsumsi atas barang tersebut ditambah
satu unit lagi maka nilai guna total akan menjadi semakin sedikit. Misalnya,
apabila seseorang yang sedang merasa haus memperoleh segelas air, maka ia
memperoleh sejumlah kepuasan dan jumlah kepuasan itu akan menjadi bertambah
tinggi apabila ia dapat meminum segelas air lagi. Kepuasan yang lebih tinggi
akan diperolehnya apabila ia diberi kesempatan untuk memperoleh gelas yang ke
tiga. Pertambahan kepuasan ini tidak terus berlangsung, misalnya pada gelas
yang ke lima, ia merasa bahwa yang diminumnya sudah cukup banyak dan sudah
memuaskan dahaganya.
Gelas ke enam akan ia tolak karena dia merasa
lebih puas meminum lima gelas air dari pada enam gelas air. Artinya, pada gelas
yang ke enam, tambahan nilai guna adalah negatif. Nilai guna total dari meminum
enam gelas air adalah lebih rendah dari nilai guna yang diperoleh dari meminum
lima gelas air. Hukum nilai guna marjinal yang semakin menurun dapat dipahami
lebih jelas dalam contoh secara angka dan selanjutnya, contoh tersebut
digambarkan dengan grafik.
2.5 Konsekuensi Hukum Nilai Guna (Utility) Kardinal
Konsep nilai guna telah dikembangkan oleh beberapa ahli,
salah satunya adalah Herman Heinrich Gossen. Gossen menjelaskan mengenai nilai guna total dan nilai guna kardinal
dalam hukum Gossen I.Nilai guna total adalah kepuasan total yang dinikmati oleh
konsumen ketika mengkonsumsi sejumlah barang tertentu secara keseluruhan,
sedangkan nilai guna kardinal adalah tambahan kepuasan yang diperoleh dari
setiap penambahan konsumsi barang tersebut.
Dalam nilai guna kardinal dikenal sebuah hukum yaitu Law of
Diminishing Kardinal Utility atau hukum penurunan nilai guna. Hukum tersebut menyatakan bahwa individu akan mendapatkan nilai guna yang semakin sedikit
dari suatu barang apabila barang tersebut dikonsumsi terus menerus. Pada tahap
awal konsumsi, nilai guna yang diperoleh individu akan bertambah seiring dengan
bertambahnya unit konsumsi. Hal ini akan berlangsung hingga mencapai satu titik
tertentu, titik ini dapat dijelaskan sebagai tahap individu memperoleh kepuasan
maksimal. Setelah melewati titik tersebut, apabila individu tetap melanjutkan
konsumsi atas barang yang sama, maka nilai guna yang diperoleh justru semakin
menurun.
Perubahan nilai guna
kardinal suatu barang dapat dipengaruhi oleh perubahan cita rasa dan perubahan
pendapatan konsumen. Perubahan cita rasa
konsumen dapat terjadi dengan membandingkan barang yang biasa dikonsumsi dengan
barang lain akibat terjadi perubahan harga pada barang tersebut. Harga suatu
barang yang semakin naikmenyebabkan nilai guna marginalnya semakin rendah,
sebaliknya harga barang yang mengalami penurunan akan menyebabkan nilai guna
marginalnya semakin tinggi.
Teori nilai guna dapat
menerangkan mengenai wujud kelebihan kepuasan yang dinikmati oleh konsumen, atau disebut sebagai surplus konsumen. Surplus konsumen menunjukkan adanya perbedaan antara kepuasan
yang diperoleh dibandingkan
dengan pembayaran yang dilakukan untuk
mendapatkan produk atau jasa tersebut, dalam hal ini diasumsikan bahwa kepuasan yang diperoleh seseorang selalu lebih besar. Surplus konsumen
berkaitan dengan nilai guna kardinal yang semakin sedikit. Misal pada barang ke-n yang dibeli, nilai guna
marginalnya sama dengan harga. Dengan demikian, karena nilai guna
kardinal barang ke-n lebih rendah dari barang sebelumnya, maka nilai guna
kardinal barang sebelumnya lebih tinggi dari harga barang tersebut, dan
perbedaan harga yang terjadi merupakan surplus konsumen.
Penggambaran tentang cardinal utility dan law diminshing
cardinal utility adalah ketika seseorang sedang lapar maka iya akan
makan, setiap nasi yang ia makan akan memiliki nilai kepuasan namun bila
porsinya ditambah terus menerus pada suatu saat akan kenyang disini disebut
dengan titik kepuasaan maksimal. Namun bila sudah mencapai kepuasaan maksimal
dan terus ditambah maka akan menurunkan
nilai kepuasannya, sama seperti bila sudah kenyang namun porsi makanan terus
ditambah maka pada suatu saat akan muntah.

Gambar 2.4. Kurva law diminshing cardinal utility
Terlihat pada kurva 2.3
bahwa konsumsi suatu barang secara kontinyu akan mencapai suatu titik yang
disebut dengan titik kepuasaan puncak atau titik jenuh . dan konsumsi yang
dilakukan setelah mencapai titik puncak akan menurunkan tingkat kepuasan dari
barang tersebut secara total.

Gambar 2.5. Kurva nilai
guna suatu barang
Gambar
2.5 menggambarkan tentang nilai guna suatu barang. Jumlah
barang yang terus ditambahkan akan menurunkan tingkat nilai guna dari barang
tersebut.
Jika nilai guna menurun, maka solusinya
adalah melakukan inovasi. Inovasi digunakan produsen untuk mencegah konsumen
beralih ke produk pesaing. Dengan kata lain, inovasi dilakukan sebagai upaya
untuk mempertahankan konsumen. Inovasi dilihat sebagai generator penciptaan dan
perbaikan atau modifikasi nilai guna. Ketika nilai guna sudah berada pada titik
maksimal dan akan turun, maka diperlukan sebuah inovasi untuk membuat nilai
guna kembali naik. Inovasi adalah pengenalan cara baru dalam mengubah input
menjadi output sehingga menghasilkan
perubahan besar dalam perbandingan antara nilai guna yang dipersepsikan oleh
konsumen atas manfaat produk (barang atau jasa) dan harga (nilai moneter) yang
ditetapkan produsen untuk dikenakan kepada konsumen dan/atau pengguna. Setiap usaha
bisnis atau usaha pelayanan publik hendaknya berinovasi untuk menciptakan nilai
guna yang lebih tinggi atas produk yang dihasilkannya bagi konsumen atau
pengguna atau pasar yang ditargetkan. Inovasi ini harus melihat dari kacamata
konsumen, bukan dari kacamata produsen semata.
Bentuk inovasi seperti inovasi produk yang dapat mencakup
perubahan dalam bungkus produk, ukuran produk atau model produk termasuk warna
produk, inovasi proses dalam bentuk proses produksi menjadi lebih efisien,
inovasi sistem distribusi seperti membuat saluran distribusi lebih sederhana,
dan inovasi manajemen seperti
membuat organisasi lebih fleksibel. Apapun jenis inovasi yang dilakukan, pada
akhirnya konsumen yang menentukan keputusan membeli atau tidak membeli produk
yang ditawarkan kepadanya. Karenanya, menjadi penting untuk memperhatikan
prinsip inovasi, yaitu bahwa konsumen menjadi pusat dari proses penciptaan
nilai dalam inovasi.
Pembuatan atau penciptaan produk baru harus mempertimbangkan
masukan dari konsumen. Karenanya, konsumen harus dilibatkan dari awal proses
inovasi atau penciptaan nilai. Aspek personal
atau pengalaman personal konsumen dalam inovasi menjadi penting. Hal ini
berlaku pula untuk produk-produk kerajinan dan seni. Bagaimana menciptakan
produk-produk kerajinan dan seni yang diminati oleh konsumen, tentunya dengan
tetap mempertahankan kreativitas dan idealisme atau cita-cita luhur pencipta produk itu
sendiri. Prinsip inovasi mempunyai
pengaruh pada bagaimana proses penciptaan nilai dilakukan yaitu prosesnya harus
bersifat ko-kreatif (value cocreation), antara produsen dan konsumen atau
calon konsumen.
Nilai guna menurut persepsi konsumen, sangat dipengaruhi oleh
pengalaman konsumen dalam ikut menciptakan nilai dan dalam menggunakan produk
dibandingkan dengan harga produk (konsumen memperoleh surplus konsumen).
Semakin tinggi nilai guna dibandingkan dengan harganya (konsumen mengalami
surplus konsumen), semakin besar kemungkinan konsumen membeli produk. Dan
semakin menarik bagi produsen untuk terus melakukan aktivitas produksi atau
aktivitas penciptaan nilainya (yang mengikutsertakan konsumen). Ini akan
berdampak pada peningkatan nilai tambah bisnis perusahaan. Keuntungan atau
surplus yang diperoleh produsen adalah pertama-tama hasil dari usahanya dalam
memenuhi kebutuhan konsumen, dalam memenuhi atau menciptakan nilai yang baik
bagi konsumen dan menurut persepsi konsumen yang sudah dilebur dalam proses
penciptaan nilai bersama dengan produsen. Suatu proses yang indah, adanya
lingkaran saling ketergantungan yang membawa manfaat bagi banyak pihak.
Ada dua kondisi ekonomi yang diperlukan agar kegiatan penciptaan
nilai bertahan. Pertama, harga yang dikenakan harus melebihi biaya produksi
(uang, waktu, biaya, kesenangan) yang dialami produsen dalam menciptakan nilai
tersebut, paling tidak pada suatu waktu tertentu ketika proses pertukaran
terjadi. Kedua, harga yang konsumen ingin bayar merupakan fungsi dari selisih
kinerja antara nilai guna yang baru dari produk baru atau dari produk lama yang
sudah mengalami re-touch dan alternatif produk terdekat yang konsumen miliki
(produk-produk yang sudah ada). Karenanya, produsen sangat penting dan perlu
untuk mengikutsertakan konsumen dalam proses penciptaan nilai. Kondisi pertama
dan kedua di atas akan berjalan dengan baik pada saat produsen berfokus pada
proses penciptaan nilai yang melibatkan konsumen (value co-creation).
Tanpa adanya keuntungan/marjin positif yang produsen alami dan tanpa adanya
kelebihan nilai guna dibanding harga (surplus konsumen) yang konsumen/pengguna alami
maka dalam jangka panjang, baik konsumen/pengguna maupun produsen tidak ingin
mengulangi keterlibatan mereka dalam kegiatan-kegiatan penciptaan nilai
tersebut. Produsen harus memfokuskan proses penciptaan nilai dengan melibatkan
konsumen atau calon konsumen (value cocreation).
2.6 Pemaksimuman Nilai Guna (Utility)
Setiap orang akan berusaha untuk
memaksimumkan nilai guna dari barang yang dikonsumsinya. Tidak sukar untuk
menentukan pada tingkat mana nilai guna dari menikmati barang itu akan mencapai
tingkat yang maksimum apabila yang dikonsumsinya hanya satu barang saja. Bila
barang yang digunakan adalah berbagai jenis, cara untuk menentukan corak
konsumsi barang yang akan menciptaka nilai guna yang maksimum menjadi lebih
rumit. Kerumitan diakibatkan adanya perbedaan harga dari masing-masing barang.
Syarat pemaksimuman nilai guna adalah bahwa
setiap rupiah yang dikeluarkan untuk membeli unit tambahan dari berbagai jenis
barang harus memberikan nilai guna yang sama besarnya (Sukirno, 1997). Misalkan,
seseorang melakukan pembelian dan konsumsi atas dua macam barang, yaitu makanan
dan pakaian yang harganya berturut-turut adalah 5.000 rupiah dan 50.000 rupiah.
Misalkan tambahan satu unit makanan akan memberikan nilai guna kardinal
sebanyak 5, dan tambahan satu unit pakaian mempunyai tambahan nilai guna
kardinal sebanyak 50. Andaikata orang tersebut memiliki uang 50.000 rupiah,
dengan uang tersebut, ia dapat membeli 10 unit tambahan makanan, maka jumlah
nilai guna marginalnya adalah 10 x 5 = 50.
Bila uang itu digunakan untuk membeli
pakaian, yang diperolehnya hanya satu unit dan nilai guna kardinal dari satu
unit tambahan pakaian ini adalah 50. Seseorang akan memaksimumkan nilai guna
dari barang yang dikonsumsinya apabila perbandingan nilai guna kardinal berbagai
barang tersebut adalah sama dengan perbandingan harga barang tersebut. Syarat
pemaksimuman nilai guna dinyatakan dalam rumus sebagai berikut:



Dalam persamaan diatas, MU adalah nilai guna kardinal dan
PA, PB, serta PC adalah harga barang A,
barang B, dan barang C. MU barang A = P barang A ,dll , artinya kepuasan
tertinggi yang dicapai seseorang bila ia mengkonsumsi barang A dengan harga
tersebut (PA) adalah apabila nilai guna marjinalnya sama dengan harga yang
dibayarkan untuk barang A.
2.7 Cara Pengukuran Nilai Guna (Utility)
2.7.1 Cara Pengukuran Nilai Guna Kardinal
Dalam pendekatan marginal dianggap manfaat
atau kenikmatan yang diperoleh seorang konsumen dapat dinyatakan secara kuantitatif.
Pendekatan ini bertitik tolak pada anggapan bahwa kepuasan konsumen dapat
diukur dengan angka. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pendekatan ini:
a. Nilai Guna Total / Total
Utility (TU)
Nilai kepuasan secara keseluruhan yang diperoleh konsumen
dalam mengkonsumsi barang / jasa.
Contohnya: Saat mengkonsumsi 5 unit diperoleh kepuasan
total (TU) 30
b. Nilai Guna Marginal / Marginal
Utility (MU)
Tambahan kepuasan yang diperoleh konsumen dari setiap
unit tambahan barang yang dikonsumsi.
Contohnya: Saat mengkonsumsi 4 unit diperoleh TU 28,
sedang saat mengkonsumsi 5 unit diperoleh TU 30, jadi besarnya marginal utility:

c. Nilai Guna Marginal Yang Semakin Menurun (Diminishing Marginal Utility)
Nilai guna marginal (MU) yang diperoleh konsumen untuk
setiap tambahan konsumsi pada mulanya meningkat tetapi sampai pada titik
tertentu akan mengalami penurunan.
Contoh perhitungan dengan Pendekatan Kardinal
adalah sebagai berikut:
Tabel
2.1 Perhitungan dengan Pendekatan Kardinal
Konsumsi Air Gelas
|
Nilai Guna Total
(TU)
|
Nilai Guna Marginal
(MU)
|
1
2
3
4
5
|
50
90
100
100
80
|
50
40
10
0
-20
|
`
Keterangan:
1)
Pada awalnya TU terus bertambah dari 50, 90, 100 dan
mencapai titik maksimum 100, bila diteruskan (minum gelas ke 5) TU akan turun
(menjadi 80)
2)
Kepuasan maksimum (titik kepuasan maksimum) terjadi pada
saat tingkat TU sama dengan tingkat TU sebelumnya dan MU sama dengan nol ( pada
gelas ke-4)
3)
Setelah mencapai kepuasan maksimum TU akan mengalami
penurunan (pada gelas ke 5)
4)
MU turun terus
dari 50, 40, 10, 0, -20 (berlakunya Law
of Diminishing Marginal Utility)
2.7.2 Cara Pengukuran Nilai Guna Ordinal
Dalam pendekatan ordinal, manfaat yang diperoleh masyarakat dari
mengkonsumsikan barang-barang tidak di kuantitatif. Pendekatan ordinal
dilakukan dengan menggunakan analisis kurva indiferensi. Kurva Indiferensi
yaitu kurva yang menunjukkan berbagai titik-titik kombinasi dua barang yang
memberikan kepuasan yang sama.
Pendekatan ordinal menganggap bahwa utilitas suatu barang tidak
perlu diukur, cukup untuk diketahui dan konsumen mampu membuat urutan tinggi
rendahnya utilitas yang di peroleh dari mengonsumsi sejumlah barang atau jasa.
Selanjutnya konsumsi dipandang sebagai upaya optimalisasi dalam konsumsinya.
Pendekatan ordinal dapat dianalisis dengan menggunakan kurva indiferen (indifference curve) dan garis anggaran (budget line).
A. Kurva Indiferen (Indeference
Curve)
Kurva indiferen adalah kurva yang menunjukkan kombinasi dua macam
barang konsumsi yang memberikan tingkat utilitas yang sama Seorang konsumen membeli
sejumlah barang, misalnya, makanan dan pakaian dan berusaha mengombinasikan dua
kebutuhan yang menghasilkan utilitas yang sama, digambarkan dalam Tabel 2.2 Contoh
pengukuran dengan pendekatan ordinal, yaitu:
Tabel
2.2 Contoh pengukuran dengan pendekatan ordinal
Situasi
|
Makanan
|
Pakaian
|
A
|
4
|
2
|
B
|
3
|
4
|
Apabila
konsumen menyatakan bahwa :
a. A > B, berarti makan 4 kali sehari dengan membeli pakaian 2
kali setahun lebih berdaya guna dan memuaskan konsumen daripada makan 3 kali
sehari dan membeli pakaian 4 kalisetahun.
b. A < B, berarti makan 3 kali sehari dengan membeli pakaian 4
kali setahun lebih berdaya guna dan memuaskan konsumen daripada makan 4 kali
sehari dengan membeli pakaian 2 kali setahun.
c. A = B, berarti makan 4 kali sehari dengan membeli pakaian 2 kali
setahun dan makan 3 kali sehari dengan membeli pakaian 4 kali setahun
memberikan utilitas yang sama kepada konsumen.
Contoh
situasi tersebut dapat digambarkan dalam kurva berikut:

Gambar
2.6. Kurva Kombinasi 2 Jenis Barang Konsumsi
Dari
gambar 2.6, terlihat bahwa dengan memperoleh lebih banyak barang yang satu akan
menyebabkan kehilangan sebagian barang yang lain. Kombinasi makanan dan pakaian
yangmemberikan utilitas sama digambarkan sebagai kurva indiferen. Ciri-ciri
kurva indiferen adalah sebagai berikut:
a.
Turun dari kiri
atas ke kanan bawah, hal ini berakibat pada terjadinya keadaan yang saling
meniadakan (trade-off), yaitu jika konsumen ingin menambah konsumsi atas satu
barang, ia harus mengurangi konsumsi atas barang lainnya.
b.
Cembung ke arah titik asal (angka 0),
yang menunjukkan jika konsumen menambah konsumsi satu unit barang, jumlah
barang lain yang dikorbankan semakin kecil. Dalam analisis ilmu ekonomi hal ini
sering disebut sebagai tingkat substitusi marginal (marginal rate of substitution
atau MRS), yaitu tingkat ketika barang X bisa disubstitusikan dengan barang
Ydengan tingkat utilitas yang tetap. Secara matematis dapat di tuliskan dengan
persamaan :

c.
Kurva indiferen
tidak saling berpotongan.
d.
Jika kombinasi
barang yang dikonsumsi memiliki kualitas yang semakin banyak, maka akan
memberikan utilitas yang semakin tinggi yang ditunjukan oleh kurva indiferen
yang semakin menjauhi titik 0.
B. Garis Anggaran (Budget Line)

Dimana
:
I = Pendapatan konsumen
P = Harga barang atau jasa yang
dikonsumsi
X,Y = Jenis Barang X dan Y
Misalnya seorang konsumen mengonsumsi
barang X dan Y, harga barang X (Px) dan harga barang Y (Py) adalah Rp1.000,00
dan pendapatan konsumen (I) pada saat itu adalah Rp10.000,00 dan semuanya
dibelanjakan untuk barang X dan Y. dapat di gambarkan pada gambar 2.7 ini:

Gambar 2.7. Kurva Budget Line
Jika
konsumen membelanjakan semua pendapatannya untuk barang Y, dia dapat membeli
sebanyak 10 unit barang X 10000., hal tersebut ditunjukkan oleh titik A.
Sebaliknya 10=1000, jika konsumen membelanjakan semua pendapatannya untuk
barang 10000.X, dia dapat membeli sebanyak 0 unit barang Y, 10=1000 ditunjukkan
oleh titik B. Menghubungkan titik A dan B dengan suatu garis lurus dapat
diperoleh garis anggaran AB yang memperlihatkan kombinasi yang berbeda dari dua
jenis barang yang dapat dibeli konsumen dengan tingkat pendapatan yang
terbatas.
Selanjutnya
untuk mengetahui pada saat kapan konsumen optimalisasi dalam mengonsumsi secara
optimal, yaitu pada saat kurva indiferen (IC2) bersinggungan dengan garis
anggaran (AB), terjadi di titik (E). Adapun kurva indiferen (IC1) dan kurva
indiferen (IC3) merupakan kurva yang tidak diharapkan oleh konsumen, karena
kurva-kurva tersebut tidak menunjukkan keseimbangan barang dan jasa yang
dikonsumsi.
KESIMPULAN
Utility atau daya guna suatu barang
merupakan kemampuan barang untuk memenuhi kebutuhan manusia secara obyektif.
Dalam analisis perilaku konsumen yaitu manfat atau kepuasan ang dirasakan dari
konsumsi suatu barang dan demikian juga penghargaan konsumen terhadapnya, jadi
utility juga merupakan suatu yang subyektif, tergantung pada pribadi yang
melekat pada diri konsumen yaitu sejauh mana kebutuhannya terpenuhi dengan
konsumsi barang atau jasa tertentu.
Terdapat empat jenis nilai guna, yaitu nilai guna tempat, nilai guna bentuk,
nilai guna waktu, dan nilai guna kepemilikan. Serta terdapat dua pendekatan
teori nilai guna yang digunakan dalam perhitungan yaitu nilai guna kardinal dan
nilai guna ordinal. Terkait dengan nilai guna, terdapat Hukum Gossen I yang
menjelaskan bahwa pertambahan yang terus-menerus dalam mengonsumsi suatu
barang, tidak secara terus-menerus menambah kepuasan yang dinimati orang yang
mengonsumsinya. Pada mulanya, setiap tambahan konsumsi akan mempertinggi
tingkat kepuasan orang tersebut, namn semakin lama tingkat kepuasan orang
tersebut akan semakin menurun. Nilai guna total adalah kepuasan total yang
dinikmati oleh konsumen ketika mengonsusi sejumlah barang tertentu secara
keseluruhan, sedangkan nilai guna marjinal adalah tambahan kepuasan yang
diperoleh dari setiap penambahan konsumsi barang tersebut.
Setiap orang akan berusaha untuk memaksimumkan nilai guna dari barang yang
dikonsumsinya. Syarat pemaksimman nilai guna adalah bahwa setiap rupiah yang
dikeluarkan untuk membeli unit tambahan dari berbagai jenis barang harus
memberikan nilai guna yang sama besarnya. Dalam teori nilai guna dan teori
permintaan, ada dua faktor yang menyebabkan permintaan ke atas suatu barang
mengalami perubahan, yaitu efek pengganti dan efek pendapatan.
DAFTAR
PUSTAKA
Gilarso, T. (2003).
Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro. Kanisius. Yogyakarta.
Kalyango, Ronny. 2014. Five
Different Types of Utility in Marketing. http://www.ehow.com.
Diakses pada Selasa, 1 April 2014 pukul 19:53
Kurnia, Aulia
Dzikriyati. 2010. Teori Konsumsi dalam Ekonomi Mikro (Analisis Kritis dalam
Perspektif Ekonomi Islam). Program Sarjana. Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang. Malang
Kuspriatni, L. Tanpa Tahun. Teori tingkah laku konsumen. http://lista.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/28856/Materi+4+Teori+Tingkah+Laku+Konsumen.pdf. Diakses 2 April 2014
[18:13]
Nafisah, U. 2014. Need and demand. https://www.academia.edu/5477282/NEED_AND_DEMAND. diakses 1 April 2014
[09:23]
Prasetyo, Himawan. PerilakuKonsumendanProdusen.DiaksesTanggal
1 April 2014. Dari http://himawanprasetyo.vv.si/materi/perilaku-konsumen-dan-produsen/
Riyanto, Kuwat. 2010. Teori Tingkah
Laku Konsumen. Dari http://kuwatriy.files.wordpress.com/2010/04/teori-tingkah-laku-konsumen.ppt.
DiaksesTanggal
2 April 2014.
Samuelson danNordhaus. 2003. Ilmu
Mikroekonomi Edisi Tujuh Belas. Jakarta: P.T. Media Global Edukasi
Sholeh, M. 2006. Ekonomika Mikro. http://staff.uny.ac.id/system/files/pendidikan/Drs.%20Maimun%20Sholeh,%20M.Si./A1%20Diktat%20Ekonomika%20Mikro.docx. Diakses 2 April 2014
[09:30]
Sugiarto Dkk (2007). Ekonomi Mikro
Sebuah Kajian Komprehensif. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Sukirno, Sadono.
2005.MikroEkonomi Teori Pengantar, Edisi
Ketiga.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Warsidi. 2009. Universitas Jenderal Soedirman. http://www.warsidi.com/2009/12/utility-dalam-konteks-ilmu-ekonomi.html
Diakses 29 Maret 2014 pukul 20.06