Mencari Rezeki (Ruang Lingkup AlHadist)
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Salah satu pokok permasalahan yang
paling mendasar dari permasalahan ekonomi adalah bukan karena kelangkaan sumber
daya alam melainkan karena keserakahan umat manusia itu sendiri. Ia ingin
mendapatkan rezeki yang sebanyak-banyaknya untuk kepentingan diri sendiri tanpa
menghiraukan halal ataupun haram dari cara memperolehnya.
Menurut teori ekonomi, masalah
ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas. Artinya
adalah, manusia selagi mempunyai keinginan maka keinginan itu mendorong mereka
untuk memilikinya. Sementara sumber daya yang tersedia untuk memenuhi keinginan
mereka itu terbatas jumlahnya. Mazhab Baqir menolak pernyataan ini, sebab Islam
tidak mengenal adanya sumber daya yang terbatas[1].
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian Rezeki ?
2. Apa
saja macam-macam Rezeki ?
3. Apa
batasan-batasan Rezeki ?
4. Bagaimana
kewajiban mencari Rezeki ?
5. Bagaimana
pendapat Ulama tentang mencari Rezeki ?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
pengertian Rezeki
2. Mengetahui
macam-macam Rezeki
3. Mengetahui
batasan-batasan Rezeki
4. Mengetahui
bagaimana kewajiban mencari rezeki
5. Mengetahui
bagaimana pendapat Ulama tentang mencari Rezeki
BAB II
Pembahasan
A.
Pengertian
Rezeki
Menurut kamus besar bahasa Indonesia
(KBBI), kata rezeki memiliki dua arti yaitu, pertama rezeki adalah segala
sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan)
berupa makanan (sehari-hari); nafkah. Kedua, yaitu kata kiasan dari
penghidupan, pendapatan, (uang dan sebagainya yang digunakan memelihara kehidupan),
keuntungan, kesempatan mendapatkan makanan dan sebagainya[2].
Adapun defenisi lain, kata rezeki
berasal dari bahasa Arab. Secara etimologi, رزق berarti pemberian[3].
Adapun menurut istilah, Al-Jurjani menyebutkan ar-rizq berarti segala sesuatu yang diberikan oleh Allah s.w.t.
kepada makhluk-Nya untuk mereka konsumsi, baik halal atau haram[4].
B.
Landasan
Syariah
Adapun dalam pandangan
Islam, rezeki bukanlah senata-mata materi, harta, dan benda saja. Apalagi, yang
hanya terbatas karena hasil usaha (kerja) manusia itu sendiri. Rezeki dalam
Islam melingkupi semua apa yang ada dalam kehidupan manusia. Berupa waktu, kesehatan,
kesempatan, kecerdasan, istri, anak, orang tua, tetangga, teman, lingkungan,
hujan, tanaman, hewan piaraan dan masih banyak sekali yang lainnya. Sebagaimana
yang Allah subhanahu wa ta’ala jelaskan di dalam Al-Qur’an yang artinya: “dan di antara hewan ternak itu ada yang
dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang untuk disembelih. makanlah dari
rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
(QS. Al-An’am: 142)
Kemudian itulah mengapa
Allah s.w.t. mengingatkan manusia bahwa nikmat (rezeki) Allah terhadap manusia
sungguh tidak akan pernah bisa dihitung. Sebab, Allah s.w.t. telah menyediakan
untuk umat manusia apa saja yang manusia perlukan pada segala situasi dan
kondisi.
“Dan
Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan
kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zhalim dan sangat
mengingkari (nikmat Allah).” (QS: Ibrahim: 34). Allah s.w.t. memang
memberikan rezeki kepada semua makhluk-Nya, tetapi tidak semua mendapatkan
rezeki yang mulia dari-Nya. Lantas, siapa sajakah mereka itu? Allah s.w.t.
menegaskan dalam Al-Qur’an: “Maka
orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka ampunan dan rezeki
yang mulia.” (QS. Al-Hajj: 50) .
Terhadap ayat tersebut,
Ibn Katsir mengutip pernyataan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi. “Apabila engkau mendengar firman Allah
Ta’ala (wa rizqun karim) ‘Dan rezeki yang mulia,’ maka rezeki yang mulia itu
adalah surga[5].”
Dengan demikian, maka sebaik-baik
rezeki adalah surga. Jadi, dalam kehidupan dunia ini kita harus mengutamakan
dua perkara penting, yakni iman dan amal sholeh. Karena hanya keduanyalah yang
dapat mengantarkan setiap jiwa mendapatkan rezeki yang mulia.
Sangat tidak patut bahkan sangat
tercela bila ada seorang Muslim merasa terhina hanya karena kurang harta.
Apalagi kalau sampai berani mengambil keputusan tidak benar dalam hidupnya
karena alasan kemiskinan. Sebab, rezeki yang paling mulia adalah surga, bukan
harta atau benda. Itulah sebabnya mengapa, para Nabi dan Rasul tidak pernah
berbangga dengan rezeki yang didapatkan berupa harta dan benda yang dimiliknya.
Bahkan para Nabi dan Rasul itu lebih memilih hidup susah demi rezeki yang mulia
di sisi-Nya. Namun demikian, Islam tidak mengharamkan umatnya kaya raya. Karena
kekayaan yang disertai iman juga bisa mengantarkan seseorang pada derajat yang
mulia di sisi-Nya[6].
C.
Macam-macam
Rezeki
Menurut Syaikh Abdur Razzaq bin
Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr, rezeki Allah s.w.t. bagi hamba-Nya ada dua macam:
1.
Rezeki yang umum yang
mencakup orang yang baik dan jelek, yang mukmin dan kafir, yang pertama dan
yang terakhir, yaitu rezeki badan. Allah s.w.t. berfirman yang artinya: “dan tidak ada suatu binatang melata[7]
pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui
tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya[8],
semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Hud: 6).
Jika Allah memberi
rezeki dan anak keturunan kepada orang kafir dan melapangkannya bukan berarti
Allah ridha’ terhadapnya. Sebagaimana yang ditegaskan dalam al-Qur’an, Allah
berfirman yang artinya: “Apakah mereka
mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti
bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? tidak,
sebenarnya mereka tidak sadar[9].”
2.
Rezeki yang khusus,
yaitu rezeki hati dan siramannya berupa ilmu, iman, dan rezeki halal yang dapat
memperbaiki agama seorang hamba. Dan ini khusus bagi orang-orang yang beriman
sesuai dengan tingkatan mereka darinya, sesuai dengan ketentuan hikmah dan
rahmat-Nya. Dan Allah menyempurnakan kemuliaan-Nya bagi mereka dan
menganugerahkan kepada mereka surga yang penuh dengan kenikmatan pada hari
kiamat[10].
Sebagaimana firman Allah s.w.t. dalam al-Qur’an yang artinya: “(dan mengutus) seorang Rasul yang
membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum)
supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari
kegelapan kepada cahaya. dan Barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan
amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya.” (QS. Ath-Thalaq: 11)
D.
Batasan
Rezeki
Batasan rezeki dalam kehidupan
manusia harus diperluas agar setiap saat kita tetap bersyukur kepada Allah
s.w.t. atas nikmat yang telah Allah s.w.t. berikan tidak hanya sebatas harta
kekayaan semata melaikan semua aspek yang berkitan dengan kehidupan baik di
dunia maupun di akhirat.
Konteks rezeki bisa bermacam-macam
wujudnya, contohnya; penciptaan kita sebagai manusia makhluk yang mempunyai
banyak kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan Allah yang
lainnya, penciptaan langit dan bumi dari sanalah Allah menghampar
rezeki-rezekinya untuk manusia yang mau terus berusaha, berfungsinya akal yang
kita miliki dengan baik dan normal, keimanan dan keislaman adalah rezeki,
sehat, hujan, kemarau, kehidupan, ilmu yang bermanfaat, saudara seiman merupakan
sebagian kecil rezeki yang Allah berikan.
Jika konteks rezeki demikian luas,
mengapa kita mempersempit makna rezeki itu sendiri hanya dalam batas kekayaan
semata? Kita sebagai manusia kadang sangat lupa karunia yang Allah berikan
kepada kita sebagai manusia, bila saja kita diciptakan sebagai hewan apakah
kita akan menikmati rezeki yang Allah berikan layaknya kita sebagai manusia?
Manusia adalah makhluk yang terkadang melupkan rasa syukur terhadap rezeki yang
Allah berikan. Selayaknya sebagai manusia yang memiliki iman kita tetap
berusahan memperoleh rezeki yang telah Allah janjikan kepada hamba-hamba-Nya
dan terus berusaha di jalan Allah dengan cara halal dan baik[11].
E.
Aplikasi
Berlandaskan Al-Hadits
Ummat manusia telah dijadikan
sebagai ummat yang lebih mulia dibanding kebanyakan makhluk-Nya. Sehingga
merupakan suatu kehinaan bagi mereka bila mereka merendahkan dirinya dengan
mengagungkan dan mengibadahi sesama makhluk, misalnya sapi, ular, kerbau, jin,
wali, Nabi, atau senjata dan lainnya[12].
Padahal kedudukannya sama atau bahkan lebih rendah dibanding mereka, bahkan
kebanyakan mereka diciptakan di dunia ini untuk kepentingan manusia[13].
Qatadah rahimahullahu ta’ala berkata yang artinya: “Tidaklah ada suatu perangai baik yang pernah diyakini dan diamalkan
kaum Jahiliyyah zaman dahulu melainkan telah Allah perintahkan. Dan tiada
perangai buruk yang dahulu mereka jadikan bahan celaan kecuali telah Allah
larang. Dan sesungguhnya yang Allah larang hanyalah perangai-perangai yang
rendah dan tercela”.[14]
Diantara bentuk akhlak dan
kepribadian mulia yang diajarkan oleh Islam kepada ummatnya adalah sifat
mandiri dan tidak menggantungkan diri kepada orang lain dalam setiap keperluan
hidupnya. Oleh karena itu Rasulullah s.a.w. bersabda yang artinya: ”Tidaklah ada seseorang yang memakan suatu
makanan yang lebih baik daripada makanan hasil dari pekerjaan tangannya
sendiri. Dan dahulu Nabi Dawud ‘alaihissalam makan dari hasil pekerjaan
tangannya sendiri.”[15].
Dalam hadits ini, Rasulullah s.a.w. secara khusus menyebutkan bahwa Nabi
Dawud a.s. makan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri, ini dikarenakan beliau
adalah seorang Nabi yang diberi kekayaan dan kekuasaan, akan tetapi walau
demikian adanya, beliau tidak mau memakan kecuali dari hasil pekerjaannya
sendiri[16].
Pada hadits yang lain, Rasulullah s.a.w.
bersabda yang artinya: Telah menceritakan
kepada kami Mu'allaa bin Asad telah menceritakan kepada kami Wuhaib dari Hisyam
dari bapaknya dari Az-Zubair bin Al-'Awwam radhiyallahu 'anhu dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sungguh seorang dari kalian yang
mengambil talinya lalu dia mencari seikat kayu bakar dan dibawa dengan
punggungnya kemudian dia menjualnya lalu Allah mencukupkannya dengan kayu itu
lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada manusia, baik manusia itu
memberinya atau menolaknya". (HR. Bukhari)
Dan juga dalam hadits
lain yang berkaitan dengan hadits di atas adalah sabda Rasulullah s.a.w. yang
artinya: “Tangan yang di atas lebih baik
dibanding tangan yang di bawah, tangan yang di atas adalah tangan yang memberi,
sedangkan tangan yang di bawah adalah tangan peminta.”[17]
Oleh karena itu, dahulu
para sahabat dan ulama salaf bekerja guna mencukupi kebutuhannya sendiri atau
mencari rezeki, ada yang berdagang, ada yang bercocok tanam, dan ada yang
menjadi pekerja tanpa ada rasa sungkan atau gengsi.
Dalam Hadits riwayat Imam Bukhari
dan Muslim, yakni yang artinya: “Telah
menceritakan kepada kami Abu Nu'aim berkata, telah menceritakan kepada kami
Syaiban dari Yahya -yaitu Ibnu Abu Katsir- dari Abu Salamah dari Abu Hurairah
bahwa 'Umar radhiyallahu 'anhu ketika berdiri memberikan khuthbah pada hari
Jum'at, tiba-tiba ada seorang laki-laki masuk (Masjid). 'Umar lalu bertanya,
"Kenapa anda terlambat shalat?" Laki-laki itu menjawab: "Aku
tidak tahu hingga aku mendengar adzan, maka aku pun hanya berwudhu." Maka
"Umar berkata, "Bukankah kamu sudah mendengar bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: 'Jika salah seorang dari kalian berangkat shalat
jum'at hendaklah mandi, Sahabat ‘Umar bin Khaththab r.a. tidak mencela sahabat
ini karena ia bekerja mencari rezeki, akan tetapi mencelanya karena ia
terlambat hadir shalat jum’at dan melupakan kewajiban mandi sebelum menghadiri
shalat jum’at [18]”.
F.
Studi
Kasus.
DR. Fadl-ul-Ilahi dalam bukunya yang
berjudul Mafaatihul Rizq fi Daw’ Al-Kitab
wa Al-Sunnah, pengarang
mengetengahkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits yang menjelaskan sebab
dibukanya pintu-pintu rezeki. Seperti firman Allah s.w.t. dalam surah Nuh ayat 10-12, surah Hud ayat 3 dan 52. Dalil dari sunnah
seperti hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas r.a. “Barang siapa memperbanyak Istighfar maka
Allah akan menjadikan setiap kesulitan jalan keluar dan setiap kesempitan akan
mengantikan dengan keluasan, serta memberikan rezeki dari jalan yang tidak
disangka-sangkakan” (HR Imam Ahmad,
Abu Daud, Ibnu Majah, Nisa’i, dan Hakim).
Dan
yang perlu di pahami adalah rezeki dan kerja merupakan dua hal yang berbeda.
Menggantungkan rezeki semata-mata pada pekerjaan yang kita lakukan adalah
kesalahan, sebagai mana Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi telah memperingatkan
dalam bukunya “Rezeki” (Gema Insani
Press, 1995), Allah maha luas rezeki-Nya.
Mengantungkan rezeki semata-mata
pada pekerjaan yang kita lakukan sama dengan mempersempit pintu rezeki, padahal
Allah membukanya lebar-lebar untuk kita. Akan tetapi mengharapkan rezeki dari
Allah tanpa mau memeras keringat dengan kerja yang meletihkan, sama halnya
dengan mengangap sepi nasihat Nabi s.a.w. yang artinya: “Sesungguhnya, bekerja mencari rezeki yang halal itu merupakan
kewajiban setelah ibadah-ibadah fardu” (HR At-tabrabi dan Baihaqi).
Barang kali, hadits diataslah yang
menginspirasi rakyat Pakistan sehingga mencantumkan makna hadits ini disetiap
uang kertas mereka “Husule rizq halal
ibadat hay”.
Kesulitan demi
kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat dalam masalah mencari rezeki menjadikan
mereka mengkambinghitamkan agama dan
hal ini sangat berbahaya sekali karena pada akhirnya nanti masyarakat akan anti
pada agama.
Pemahaman ini harus disampaikan
kepada masyarakat luas. Tanpa itu maka jangan heran kalau orang Islam sendiri
akan anti kepada Islam karena gara-gara mereka berangapan “Aturan agama menyulitkan untuk memperoleh rezeki”. Para da’i harus
andil dalam hal ini, karena dakwah adalah pekerjaan mempengaruhi, sementara
dalam “kacamata” masyarakat orang
kaya lebih mudah berpengaruh jika dibandingkan dengan orang miskin. Maka
sebagai seorang calon da’i kita harus pandai untuk mencari jalan dan solusi
dalam memudahkan mereka dalam mencari rezeki. Setelah kita memenuhi kebutuhan
mereka barulah mereka akan mendengar nasehat-nasehat agama yang kita sampaikan.
Praktik-praktik semacam ini adalah
cara-cara yang paling berhasil yang pernah dilakukan oleh para misionaris
Kristen dalam memurtadkan umat islam ditanah air.
BAB III
Penutup
A.
Kesimpulan
Rezeki memiliki dua arti yaitu,
Pertama rezeki adalah segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan
(yang diberikan oleh Tuhan) berupa makanan (sehari-hari); nafkah. Kedua, yaitu
kata kiasan dari penghidupan, pendapatan, (uang dan sebagainya yang digunakan
memelihara kehidupan), keuntungan, kesempatan mendapatkan makanan dan
sebagainya.
Adapun defenisi lain, berarti segala
sesuatu yang diberikan oleh Allah s.w.t. kepada makhluk-Nya untuk mereka
konsumsi, baik halal atau haram.
B.
Saran
Menerapkan konsep rezeki ini dalam
menjalani kehidupan sehari-hari demi terciptanya kegiatan perekonomian yang
sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Euis. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Depok.
Gramata Publishing.
Arsyad, Jahrudin. 2008. 10 Pintu Rezeki 9 Dibuka Lewat Jalur Bisnis.
Tangerang. Irsyad Publishing.
Asadullah Al-Faruq. 2012. Rahasia Sukses Dagang Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam. Solo. As-Salam Publishing.
Chaudry, Muhammad Sharif. 2012. Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar. (Penj. Suherman Rosyidi).
Jakarta. Kencana.
Departemen Agama RI Badan Litbang
dan Diklat. 2009. Tafsir Al-Qur’an
Tematik. Pembangunan Ekonomi Umat. Penerbit. Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Qur’an. Jakarta.
Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta.
Penerbit. Pustaka Pelajar.
[1] Euis Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam. Depok. Gramata Publishing. 2010. Hlm. 288
[2] Em Zul Fajri, dkk., Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), Difa Publishing
[3] Ibrahim Musthafa dkk, al-Mu'jam al-Wasith,
Istanbul: al-Maktabah al-Islamiyah, 1972, hlm.342.
[4] Ali ibn Muhammad al-Jurjani, at-Ta'rifat,
Beirut : Dar al-Kitab al-Arabi, 1405, Al-Maktabah asy-Syamilah versi 3.47, hlm.
147.
[5] M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT.
Dana Bhakti Prima Yasa, Edisi Lisensi, 1997, hlm. 68.
[6] Asadullah Al-Faruq, Rahasia Sukses Dagang Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam dan Abdurrahman bin Auf, Solo: As-Salam Publishing, 2012, hlm.
126.
[7] Yang dimaksud binatang melata di sini ialah
segenap makhluk Allah yang bernyawa.
[8] Menurut sebagian ahli tafsir yang dimaksud
dengan tempat berdiam di sini ialah dunia dan tempat penyimpanan ialah akhirat.
dan menurut sebagian ahli tafsir yang lain maksud tempat berdiam ialah tulang
sulbi dan tempat penyimpanan ialah rahim.
[9] Lihat surat at Taubah ayat 55, dan Lihat
surat Ali Imran ayat 178.
[10] Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin
Al-‘Abbad Al-Badr, Fikih Asma’ul Husna, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010, hlm.
169-170.
[11] Muhammad Arifin bin Badri, Sifat Perniagaan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Panduan Praktis Fiqih Perniagaan Islam,
Bogor: Pustaka Darul Ilmi, Cet. II, 2010, hlm. 11.
[12] QS. Al-Baqarah: 29, QS. Luqman: 20
[13] Muhammad Arifin bin Badri, Sifat Perniagaan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Panduan Praktis Fiqih Perniagaan Islam,
Bogor: Pustaka Darul Ilmi, Cet. II, 2010, hlm. 12.
[14] Ibid, hlm. 13.
[15] HR. Al-Bukhari
[16] Muhammad Arifin bin Badri, Sifat Perniagaan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Panduan Praktis Fiqih Perniagaan Islam,
Bogor: Pustaka Darul Ilmi, Cet. II, 2010, hlm. 13.
[17] HR. Bukhari-Muslim
[18] Muhammad Arifin bin Badri, Sifat Perniagaan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Panduan Praktis Fiqih Perniagaan Islam,
Bogor: Pustaka Darul Ilmi, Cet. II, 2010, hlm. 13.