LATAR
BELAKANG
Dasar hukum islam adalah
al-qur’an dan sunah. Sunah merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-qur’an.
Hadis secara bahasa mempunyai 3 arti; pertama berarti baru (jadid), kedua
berarti dekat (qarib), dan ketiga berarti berita (khabar). Adapun pengertian
hadis menurut ahli hadis adalah semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw
baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, dan sifat. Kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam
adalah sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Penegas terhadap ayat-ayat
al-Qur’an, menentukan hokum baru yang tidak ada pada al-Qur’an dan menghapus
ketentuan hukum dalam al-Qur’an.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa kedudukan hadist
sebagai sumber hukum islam?
2. Apa saja dalil-dalil
kehujahan hadis?
3. Apakah fungsi hadis
terhadap al-qur’an?
TUJUAN
Tujuan kami membuat makalah
ini untuk mengetaui lebih dalam tentang hadis sebagai sumber hukum islam, apa
saja dalil kehujahan hadis dan fungsi hadis terhadap al-qur’an. Semoga bisa
bermanfaat.
HADIS
SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Sumber hukum islam ada dua,
yaitu Al-Qur’an dan al-hadist. Kedudukan hadis sebagai sumber hukum kedua
setelah Al-Qur’an. Seluruh umat islam baik yang naql maupun yang ahli aql telah
sepakat bahwa hadis merupakan sumber dasar hukum islam, dan disepakati tentang
diwajibkannya untuk mengikuti hadis sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-Qur’an.
Dalam kaitannya dengan ini,
Muhammad Ajjaj Al-Khatib mengatakan: “Al-Qur’an dan As-Sunah (Al-Hadis)
merupakan dua sumber hukum syariat islam yang tepat, sehingga umat islam tidak
mungkin mampu memahami syatiat islam tanpa kembali kepada kedua sumber hukum
islam tersebut. Mujtahid dan orang alim pun tidak diperbolehkan hanya
mencukupkan diri dengan salah satu dari keduanya.”
AL-QUR’AN
QATH’I
Alqur'an yang diturunkan
secara mutawatir, dari segi turunnya berkualitas qath'i(pasti benar) akan
tetapi, hukum-hukum yang dikandung Alqur'an ada kalanyabersifat qath'I dan ada
kalanya bersifat zdanni (relatif benar).
Ayat yang bersifat qath'i adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal
dan tidak bisa dipamahi makna lain darinya. Ayat-ayat seperti ini, misalnya
;ayat-ayat waris, hudud , kaffarat.
Adapun ayat-ayat yang
mengandung hukum zhanni adalah lafal-lafal yang dalam Al-qur'an mengandung
pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk dita'wilkan. Misalnya lafal قر و ء ,
musytarak (mengandung pengertian ganda)
yaitu qara / lafal yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 228.
Kata quru di atas merupakan
lafal musytarak yang mengandung dua
makna, yaitu suci dan haidl. Oleh sebab itu, apabila kata quru di
artikan dengan suci, sebagaimana yang dianut ulamaSyafiiyyah ' adalah boleh /
benar. Dan jika diartikan dengan haidl juga boleh (benar)sebagaimana yang
dianut ulama Hanafiyah.
Dalil disebut Qath’i
(pasti) apabila memenuhi dua persyaratan :
1. Qath’i wurudnya (sumbernya)
yaitu : Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir
2. Qath’i dhalalah-nya
(petunjuk lafazhnya) yaitu : muhkam (tidak ada kemungkinan multi penafsiran)
dan sharih (jelas).
Bila suatu dalil dari Ayat
Al-Qur’an dan atau Hadits telah memenuhi semua syarat dalil qath’i diatas maka
menjadi dalil qath’i yang sempurna, maka hukumnya harus diterima bulat-bulat,
tanpa reserve. Tidak boleh ada ijtihad lagi dan tidak boleh diotak-atik, tidak
boleh ditambah-dikurangi.
Kebanyakan masalah Ushul
dalilnya adalah qath’i, sedangkan kebanyakan masalah furu’ dalilnya tidak
qath’i. Tetapi ada juga masalah furu’ yang dalilnya qoth’i sehingga semua ulama
menyepakatinya dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal tersebut, contohnya :
1. Hukum haram bagi daging
babi, bangkai, darah yang mengalir, khamr (arak) dan riba.
2. Hukum rajam bagi pezina
mukhson (sudah pernah menikah), dera 100 kali bagi pezina ghoiru mukhson (belum
pernah menikah).
3. Hukum Qisash (balas bunuh)
bagi pembunuhan yang disengaja.
4. Hukum potong tangan bagi
pencuri.
5. Hukum dera 80 kali bagi
orang yang mendakwakan tuduhan dusta.
6. Hukum potong tangan, kaki
dan disalip bagi pelaku kerusuhan dan tindakan anarkis. (perampok, penjarah,
pelaku huru-hara, pemberontak, dsb).
HADIS
SEBAGAI BAYAN
Hadis sebagai bayan, yaitu
bayan taqrir, bayan tafsir, bayan naskhi dan bayan tasyri’i. adapun
penjelasannya sebagai berikut:
Bayan Taqrir
Yaitu posisi hadis sebagai
penguat (taqrir) atau memperkuat keterangan al-qur’an (ta’ki). Seperti yang
dijelaskan pada hadis berikut : “Dari Ibn Umar ra.: Rasulullah saw bersabda:
Islam didirikan atas lima perkara: menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah dan bahwa Muhammad adAlah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, puasa, haji dan puasa ramadhan”.
Bayan Tafsir
Yaitu hadis sebagai
penjelas (tafsir) terhadap al-qur’an dan fungsi inilah yang terbanyak. Ada 3
macam yaitu :
1. Tafshil al mujmal, Yaitu
hadis yang memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat al-qur’an.
Seperti dalam hadis nabi yang diriwayatkan bukhari misalnya : “Shalatlah
sebagaimana engkau melihat shalatku”. (H.R. Muslim)
2. Takhshish al-amm, Yaitu hadis
yang mengkhususkan ayat-ayat al-qur’an yang umum. Seperti yang terkandung dalam
surat an-nisa’ : 14 “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (bagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sam dengan bagian dua anak
perempuan”.
3. Taqyid al-muthlaq, Yaitu
hadis yang membatasi kemutlakan al-qur’an. Misalnya firman allah dalam Q.S
Al-maidah : 38 “Pencuri lelaki dan
perempuan, potonglah tangan-tangan mereka”. Sedangkan dalam sabda nabi berbunyi
sebgai berikut: Artinya: “Rasulullah saw didatangi seorang yang membawa
pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan.
Bayan Naskhi
Yaitu hadis menghapus hukum
yang diterangkan dalam al-qur’an. Para ulama mengartikan bayan an-nasakh ini
melalui pendekatan bahasa, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan pendapat
dalam men-takrif-kannya. Hal ini terjadi pada kalangan ulama mutaakhirin dengan
ulama mutaqadimin. Menurut ulama mutaqadimin, yang disebut bayannaskhi ini
adalahdalil syara’( yang dapat menghapus ketentuan yang telah ada), karena
datangnya kemudian.
Dari pengertian di atas
jelaslah bahwa ketentuan yang dating kemudian dapat menghapuskan ketentuan yang
terdahulu. Demikianlah menurut ulama yang menganggap adanya fungsi bayan
naskhi. Imam Hanafi membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadis-hadis yang
mutawatir dan masyur, sedangkan terhadap hadis ahad dia menolaknya.
Seperti kewajiban wasiat
yang diterangkan dalam surat al-baqarah : 180 “Diwajibkan atas kamu, apabila
diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara maruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. Ayat tersebut dinasakh
dengan hadis nabi: “ Sesungguhnya Allah memberikan hak kepada setiap yang
mempunyai hak dan tidak ada wasiat itu wajib bagi waris”. (HR. An-Nasa’i)
Bayan Tasyri’i
Yaitu hadis menciptakan
hokum syari’at yang belum ijelaskan dalam al-qur’an. Para ulama berbeda
pendapat tentang fungsi sunnah sebagai dalil pada sesuwatu hal yang tidak
dijelaskan pada al-qur’an. Misalnya, keharaman jual beli dengan berbagai
cabangnya menerangkan yang tersirat dalam Surah an-Nisa’: 29 “Hai orang-orang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara
kamu”.
DALIL
KEHUJAHAN HADIS
Sebenarnya hanya dengan
petunjuk logika (dalil aql) sudah cukup untuk menetapkan kehujjahan hadis dalam
tasyri’I islam. Betapa tidak, ketika ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an pada
umumnya bersifat global tanpa disertai petunjuk teknis pelaksanaanya,
merupakannkonsekuensi logis bila kemudian sunnah Rasulullah saw dijadikan
sebagai rujukan, sebab kepada beliau pula manusia yang paling paham tentang apa
yang dikehendaki al-Qur’an.
Meski penjelasan mengenai
hal ini sudah sangat jelas dan pasti, namun akan kami kemukakan beberapa
argument yang menetapkan, agar semakin hilang keraguan yang mengurangi bobot kehujjahan
hadis. Antara lain:
Dalil Iman
Salah satu dasar keimanan
adalah iman kepada utusan-utusan Allah swt. Adalah sebuah kelaziman bahwa iman
kepada nabi Muhammad saw berarti kewajiban meneriman segala apa yang berasal
dari beliau dalam urusan agama. Allah swt berfirman: Katakanlah: "Hai
manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, Yaitu Allah yang
mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah
dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada
kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat
petunjuk".(Al-A’raaf: 158)
Keberadaan Rasulullah saw
sebagai seorang yang terpercaya (al-amin) dan tidak menyampaikan sesuatu dalam
urusan agama terkecuali seperti apa yang telah diwahyukan kepadanya, disamping
setiap nabi adalah ma’sum (terjaga dari salah/ dosa), menuntut kita untuk
selalu berpegang teguh atas sunnah danberhujjah kepadanya.
Dalil Al-Qur’an
Banyak dalil al-qur’an yang
perintah patut kepada rasul dan mengikuti sunahnya. Perintah patuh kepada rasul
berarti perintah mengikuti sunah sebagai hujah. Antara lain:
1. Konsekuensi iman kepada
allah adalah taat kepada-Nya. Sebagai mana perintah allah dalam Surat Ali Imran
: 179 “Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan jika kamu
beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar”.
2. Perintah iman kepada rasul
beserta iman kepada allah. Sebagai mana perintah allah dalam Surat An-Nisa :
136 “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya dan kepada kitab yang Alllah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab
yang Allah turunkan sebelumnya”.
3. Kewajiban taat pada rasul
karena menyambut peerintah allah. Sebagai mana perintah allah dalam Surat
An-Nisa’ : 64 “Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul, meelainkan untuk
ditaati seizing Allah”.
4. Perintah taat kepada rasul
bersama perintah taat kepada allah. Sebagai mana perintah allah dalam Surat Ali
Imran : 32 “Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.
5. Perintah taat kepada rasul
secara kusus. Sebagai mana perintah allah dalam Surat Al-Hasyr : 7 “Apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah”.
Dalil Hadis
Hadis yang dijadikan
sebagai dalil kehujahan sunah banyak sekali,di antaranya sebagaimana sabda
nabi: “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat selama
berpegang teguh pada keduanya yaitu kitab Allah dan Sunnahku.
Orang yang tidak berpegang
teguh pada pedoman al-qu’an dan sunah berarti sesat. Kehujahan sunah sebagai
konsekuensi ke ma’shuman nabi dari sifat bohong dari segala apa yang beliau
sampaikan baik berupa perkataan,perbuatan dan keteteapannya. Kebenaran al-quran
sebagai mu’jizat disampaikan oleh sunah. Demikian juga pemahaman al-qur’an juga
dijelaskan oleh sunah dalam praktek kehidupan beliau.
Ijma’ Para Ulama
Para ulama’ sepakat bahwa
sunah sebagai salah satu hujah dalam hokum islam setelah al-qur’an. Dapat
disimpulkan bahwa :
1. Para ulama sepakat bahwa
sunah sebagai hujah
2. Kehujahan sunah adakalanya
sebagi pejelas terhadap al-qur’an
3. Kehujahan sunah berdasarkan
dalil-dalil yang pasti
4. Sunah yang dijadikan hujah
yang telah memenui persaratan shahih
FUNGSI
HADIS DAN SUNNAH TERHADAP AL-QUR’AN
Fungsi hadis terhadap
al-qur’an adalah untuk menjelaskan makna kandungan al-qur’an yang sangat dalam
dan global. Allah menjelaskan dalam firmannya Q.S An-Nahl : 44 “Dan Kami
turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Fungsi Sunnah Sebagai
Penjelas Terhadap Al-Qur’an.
Sebagaimana firman allah
dalam Q.S. Al-An’am : 38, “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab”.
Sunah berfungsi sebagai
penjelas atau tambahan terhadap al-Qur’an. Tentunya pihak penjelas diberikan
peringkat kedua setelah pihak yang dijelaskan. Teks al-Qur’an sebagai pokok
asal, sedang sunnah sebagai penjelas(tafsir) yang dibangun karenanya.
Pada dasarnya, al-Qur’an
memuat ketentusn hukum yang bersifat umum. Karena itu, hadist dijadikan sebagai
pemerinci terhadap al-Qur’an, supaya hukum yang ada didalamnya dapat
dijalankan.terlebih pada ketentuan-ketentuan hokum yang bersifat amaliah
(perbuatan), perinciannya tidak tercantum dalam al-Qur’an, baik yang bersifat
ibadah maupun muamalah.
Hadis dalam fungsi ini
terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
a. Menjelaskan ayat-ayat
mujmal.
Misalnya perintah solat, membayar zakat,
menunaikan haji atau yang lainnya. Dalam al-Qur’an penjelasannya masih masih
global tanpa ada detail keterangan mengenai batas waktu solat atau jumlah
rekaatnya, juga tidak dipaparkan cara-cara pelaksanaan haji.
b.
Membatasi
lafadz yang masih muthlaq dari ayat-ayat al-Qur’an
Artinya Al-Qur’an keterangannya secara mutlak,
kemudian ditakhshis dengan hadis yang khusus. Misalnya firman Allah dalam surah
Al-Maidah: 38 “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
c.
Mengkhususkan
ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum
Misalnya ayat-ayat tentang waris dalam surah
An-Nisa: 11 “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan”
d.
Menjelaskan
makna lafadz yang masih kabur
Seperti firman Allah swt yang menerangkan batas
waktu diperbolehkannya makan dan minum ketika bulan puasa: “Dan makan minumlah
hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”. (Al-Baqarah:
187)
Hadis Berfungsi Sebagai
Penegas Bagi Al-Qur’an
Hadis dijadikan penegas
bagi ketentuan hokum yang telah ada di dalam al-Qur’an. Jadi, fungsi hadis
hanya memeperkuat hokum yang telah ada.
Hadis Sebagai Ketentuan
Hukum Baru
Hadis bisa menentukan hukum
secara mandiri yang tidak ada isyaratnya di dalam al-Qur’an. Biasanya hadis
seperti ini muncul ketika ada masalah hokum di kalangan para sahabat dan tidak
ditemukan dalam al-Qur’an.