A. Pengertian Filsafat, Pendidikan dan Islam
Filsafat sebenarnya berasal dari kata atau
bahasa Yunani philoshophia. Dari kata philoshopia ini kemudian
banyak diperoleh pengertian-pengertian filsafat, baik dari segi pengertiannya
secara harfiah atau etimologi maupun dari segi kandungannya. Ada pula yang mengatakan bahwa filsafat
berasal dari bahasa arab, yaitu falsafah, yang artinya alhikmah. Kata filsfat
dalam bahasa inggris yaitu philosophy, kembali meninjau pengertian filsafat dalam
bahasa yunani yang berasal dari kata philoshopia. Philos artinya cinta,
sedangkan Sophia, artinya kebijaksanaan.
Dengan demikian, filsafat dapat diartikan “cinta
kebijaksanaan atau al-hikmah.” Orang yang mencintai atau mencari kebijaksanaan
atau kebenaran disebut dengan filsuf. Filsuf selalu belajar dan mencari
kebenaran dan kebijaksanaan tanpa mengenal batas. Mencari kebenaran dengan
Beberapa definisi filsafat diatas dapat diambil
kesimpulan umum, filsafat merupakan proses pencarian kebenaran dengan cara
menelusuri hakikat dan sumber kebenaran secara sistematis, logis, kritis,
rasional dan spekulatif. Alat yang digunakan untuk mencari kebenaran adalah
akal yang merupakan sumber utama dalam berpikir. Dengan demikian, kebenaran
filosofis adalah kebenaran berpikir yang rasional, logis, sistematis, kritis,
radikal dan universal. [1]
Pendidikan dari segi bahasa berasal dari kata
didik, dan diberi awalan men, menjadi mendidik, yaitu kata kerja yang artinya
memelihara dan member latihan (ajaran). Pendidikan sebagai kata benda, berarti
proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. [2]
Istilah pendidikan disebut juga dengan istilah at-tarbiyah,
at-ta’lim, dan at-ta’dib. Kata at-tarbiyah sebangun dengan kata ar-rabb,
rabbayani, nurabbi, ribbiyyun, dan rabban. Fahrur Rozi berpendapat bahwa
ar-rabb merupakan fenom yang seakar dengan at-tarbiyah, yang berarti
at-tanmiyah, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Ibnu Abdillah Muhammad bin
Ahmad Al-Anshari Al-Qurtubi mengartikan ar-rabb dengan makna pemilik, yang maha
memperbaiki, yang maha pengatur, yang maha menambah, yang maha menunaikan. [3]
Kata Islam secara etimologi memiliki pengertian
diantaranya dia berasal dari kata (أسلم يسلم) dengan pengertian tunduk dan
pemurnian ibadah kepada Allah. (mu’jaamul wasiith) hal 446.Islam secara
terminologi mengandung pengertian penyerahan diri kepada Allah dengan
bertauhid, dan patuh kepadaNya dengan menjalankan keta’atan dan berlepas diri
dari kesyirikan dan ahlinya.
Setelah mengetahui pengertian dari tiga kata
diatas, pemakalah mengambil kesimpulan:
1.
Filsafat
merupakan proses berpikir secara radikal, sistematis.logis dan rasional
terhadap seluruh bidang kehidupan/ seluruh alam dengan menggunakan akal sebagai
sumber utama.
2.
Filsafat
pendidikan Islam merupakan bagian dari ilmu filsafat yang disesuaikan dengan
ajaran-ajaran yang terdapat dalam ajaran agama Islam.
Dengan kata lain, filsafat pendidikan Islam
merupakan kajian filosofis berbagai masalah pendidikan yang berlandaskan ajaran
Islam. Kajian filosofis yang digunakan filsafat pendidikan Islam mengandung
arti bahwa filsafat pendidikan Islam merupakan kajian yang sangat mendalam,
sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran atau inti
pendidikan Islam. Dengan demikian filsafat pendidikan Islam
senantiasa mengkaji filsafat pendidikan yang berlandaskan norma Islam.
Terdapat beberapa karakteristik yang dimiliki pendidikan Islam yaitu:
1.
Pendidikan
Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik berupa fisik, mental,
akidah, akhlaq, emosional, estetika maupun sosial.
2.
Pendidikan
Islam dilaksanakan secara terus-menerus dan kontinyu tanpa batas waktu, mulai
proses pembentukan janin dalam rahim sang ibu sampai meninggal dunia.
3.
Pendidikan
islam dimulai dengan mempelajari sesuatu yang paling penting, mempelajari
apa-apa yang diwajibkan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada hambaNya, seperti
sholat lima waktu, puasa ramadhan, berbakti kepada kedua orang tua dal lain
sebagainya.
4.
Pendidikan
dalam Islam bukan hanya sekedar bertujuan mengumpulkan maklumat atau
memperbanyak pengetahuan serta menambah gelar akademik, tujuan yang paling
penting adalah mengamalkan ilmu yang telah dipelajari serta mengajarkannya
kepada yang lain.
B. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Mempelajari filsafat
pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematis,
logis dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan yang tidak hanya
dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuan Agama Islam saja, melainkan menuntut
kepada kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan . Sebagai hasil buah
pikiran bernuansa Islam, filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya adalah
konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumberkan atau melandaskan ajaran
agama Islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan
dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya
dijiwai oleh ajaran Islam, serta mengapa manusia harus dibina menjadi hamba
Allah yang berkepribadian demikian. Sarana dan upaya apa sajakah yang dapat
mengantarkan pencapaian cita-cita demikian dan sebagainya.
Menurut Muzayyin Arifin, ruang lingkup filsafat pendidikan Islam adalah
masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan
pendidikan, masalah pendidik/ guru, alat pendidikan (kurikulum, metode, dan evaluasi pendidikan)
dan lingkungan pendidikan.
Secara umum ruang
lingkup pembahasan filsafat pendidikan Islam ini adalah pemikiran yang serba
mendalam, mendasar, sistematis, terpadu, menyeluruh, dan universal mengenai
konsep-konsep yang berkaitan dengan pendidikan atas dasar ajaran Islam.
C. Kegunaan
Filsafat Pendidikan Islam
Omar Muhammad
al-taomy al-saibny mengemukakan tiga manfaat dari
mempelajari filsafat pendidikan Islam tersebut sebagai berikut:
1.
Filsafat
pendidikan itu dapat menolong para perancang pendidikan dan orang-orang yang melaksanakannya
dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran yang matang terhadap sistem
pendidikan.
2.
Filsafat
pendidikan dapat menjadi asas atau pondasi yang terbaik untuk penilaian
(evaluasi) pendidikan, dalam arti yang menyeluruh. Penilaian pendidikan itu
dianggap persoalan yang perlu bagi setiap sistem pengajaran yang baik.
3.
Filsafat pendidikan islam
akan menolong dalam memberikan pendalaman pikiran yang berhubungan dengan
faktor-faktor spiritual,kebudayaan,sosial,ekonomi, dan politik dinegara kita.
Fungsi pendidikan lebih konkrit lagi
dijelaskan oleh Ahmad D. Marimba. Menurutnya bahwa filsafat pendidikan islam dapat menjadi pegangan
pelaksanaan pendidikan yang menghasilkan generasi-generasi baru yang
berkepribadian muslim.
Muzayyin Arifin menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam itu
seharusnya bertugas dalam 3 dimensi, yaitu:
1.
Memberikan landasan dan
sekaligus mengarahkan kepada proses
pelaksanaan pendidikan yang berdasarkan
islam.
2.
Melakukan kritik dan
koreksi terhadap proses pelaksanaan pendidikan tersebut
3.
Melakukan evaluasi
terhadap metode yang digunakan dalam proses pendidikan tersebut.
D. Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat pendidikan Islam sudah dipastikan memiliki metode
pengembangan dan pengkajiannya yang khas, karena metode inilah sesungguhnya
yang memberikan petunjuk operasional dan teknis dalam mengembangkan suatu ilmu.
Metode pengembangan filsafat pendidikan islam ini.Sebagai suatu
sumber, pengembangan suatu ilmu biasanya memerlukan empat hal sebagai berikut:
Pertama: bahan-bahan yang akan digunakan untuk pengembangan filsafat pendidikan.
Kedua: metode pencarian bahan
Ketiga: metode pembahasan
Keempat: pendekatan
Itulah langkah pokok yang dapat digunakan untuk mengkaji dan mengembangkan filsafat
islam. Jika seseorang misalnya ingin meneliti masalah pendidikan islam, dan
hasil penenlitiannya itu ingin di bukukan. Dalam referensi yang lain disebutkan, dalam menyelesaikan problema pendidikan
yang dihadapi umat islam, dapat menggunakan metode-metode antara lain :
1. Metode spekulatif dan kontemplatif yang merupakan metode utma dalam
setiap cabang filsafat. Dalam sistem filsafat islam disebut tafakkur. Tafakkur
atau yang kita kenal dengan berpikir secara mendalam untuk mendapatkan inti
dari objek yang dipikirkan.
2. Pendekatan normatif. Norma
berarti nilai. Pendekatan ii dimaksudkan mencari aturan-aturan dalam kehidupan
nyata, atau yang sering kita kenal dengan pendekatan syar’iyyah.
3. Analisa konsep yang disebut juga dengan analisa bahasa. Konsep yang dimaksud aalah
pengertian yang ditangkap seseorang terhadap suatu obyek. Dalam istilah
filsafat islam, menta’wilkan ayat-ayat Al-Qur’an merupakan praktek nyata dari
pendekatan analisa konsep.
4. Pendekatan Historis. Historis artinya sejarah, yaitu mengambil pelajaran dari peristiwa dan
kejadian masa lalu. Peristiwa searah berguna untuk memberikan petunjuk dalam
membina masa depan. Tidak sedikit ayat-ayat AlQur;an atau hadith-hadith Nabi
Shallahu ’alaihi wa sallam yang menganjurkan untuk mengambil pelajaran dari
sejarah.
5. Pendekatan ilmiah terhadap masalah aktual, kontemporer atau yang kita kenal dengan istilah (نازلة) . Pendekatan ini menuntut umat islam untuk berpikir secara
rasional, karena usaha untuk mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi
tidak mungkin terlaksana kalau umat islam dalam hal ini praktisi pendidikan tidak memahami
permasalahan-permasalahan aktual yang dihadapinya.
6. Dalam sistem filsafat Islam secara umum, berkembang pendekatan yang bersifat terpadu,
yaitu menggabungkan sumber naqli dan ’aqli. Sebagaimana akal yang
sehat tidak akan bertentangan dengan naqli yang shohih.[4]
E.
Filsafat Pendidikan Islam Kontemporer
Lahirnya pemikiran Islam kontemporer di dunia Islam tidak terlepas dari
terjadinya persentuhan budaya berfikir kaum intelektual muslim dengan tradisi
keilmuan Barat atau Eropa. Islam kontemporer maksudnya adalah penafsiran Islam
yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadith dengan perkembangan pemikiran oleh
kaum intelektual muslim dalam membaca perubahan zaman. Pemikiran Islam
kontemporer maksudnya adalah pemikiran Islam yang berkembang pada masa modern
(abad 19 masehi) hingga sekarang.
Ciri
khas pemikirannya adalah bersifat agresif yang berkembang dengan metode
pemikiran baru dalam menafsirkan Al-Qur’an dan peradaban Islam. Akan tetapi,
pertanyaan yang menggugah para intelektual Islam adalah “di manakah pemikiran
Islam kontemporer?” Sebagai upaya untuk mengembalikan suasana kebebasan
berfikir, Muhammad arkoun mengangkat tradisi keilmuan klasik Imam Ghazali dan
Ibnu Rush yang mencerminkan puncak kegemilangan dialog pemikiran yang
konstruktif.[5]
Gema
Islam kontemporer semakin meluas. Namun secara umum gema tersebut masih dalam
kerangka tarik-menarik dengan pemikirann klasik. Karena keterkaitan para
intelektual Islam sangat kuat dengan masa keemasan para pendahulunya, mereka
membuka lembaran masa lalu, untuk menggali inspirasi. Masa lalu adalah pemicu
para intelektual muslim kontemporer untuk melakukan reaktualisasi, rekonstruksi
dan dekonstruksi.
Murad
wahbah menyatakan, bahwa Ibnu Rushd, filsuf Muslim kelahiran Maroko adalah
pintu gerbang pencerahan di Eropa. Bahkan sampai saat ini tidak ada karya
secemerlang Ibnu Rushd dalam kategori komentar terhadap buku-buku Aristoteles,
sehingga ia dijuluki dengan al-sya>rih al-‘adham (komentator agung). Maka
dari itu, di akhir abad 20-an para intelektual Islam baik di wilayah Timur
maupun wilayah barat, mulai mengangkat khazanah rasionalitas Ibnu Rushd dalam
rangka membumitanahkan pencerahan pemikiran Islam.
Aliran filsafat pendidikan kontemporer yaitu progresivisme,
rekonstruksionisme, futurisme, dan humanisme. Garis demarkasi yang membatasi
penyebutan tradisional dengan kontemporer tidak hanya berpijak pada waktu
semata, melainkan, pada kekhasan aliran tersebut. Ditilik dari sejarah
kemunculannya, justru progresivisme muncul lebih awal di Amerika Serikat
daripada esensialisme.
Asumsi
pendukung esensialisme adalah bahwa progresivisme telah menimbulkan
ketidakstabilan pelaksanaan pendidikan dan kurang memerhatikan nilai-nilai,
norma, serta pewarisan budaya. Dari mana sumber munculnya progresivisme sebagai
falsafah pendidikan yang tergolong modern-kontemporer? Akar falsafah pendidikan
kontemporer bisa dilacak dari basis filosofisnya, pragmatisme.
1.
Progresivisme
Aliran
progressivisme ini adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang berkembang
dengan pesat pada permulaan abad ke-20 dan sangat
berpengaruh dalam pembaharuan pendidikan. Progressivisme dalam pandangannya
selalu berhubungan dengan pengertian “the liberal road to culture” yakni
liberal yang fleksibel (lentur dan tidak kaku, toleran dan bersikap terbuka,
serta ingin mengetahui dan menyelediki demi pengembangan pengalaman. Progressivisme
juga disebut sebagai naturalisme yang mempunyai pandangan bahwa kenyataan yang
sebenarnya adalah alam semesta ini (bukan kenyataan spiritua dan supernatural).
Pendidikan
progressivisme selalu menekankan akan tumbuh dan berkembangnya pemikiran dan
sikap mental, baik dalam pemecahan masalah maupun kepercayaan kepada diri
sendiri bagi peserta didik. Progres atau kemajuan
menimbulkan perubahan dan perubahan menghasilkan pembaharuan. Kemajuan nampak
apabila tujuan telah tercapai. Dan nilai dari suatu tujuan tertentu itu dapat
menjadi alat jika ingin dipakai untuk mencapai tujuan lain. Misalnya faedah
kesehatan yang baik akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.
2.
Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme
sering kali diartikan sebagai rekonstruksi sosial yang merupakan perkembangan
dari gerakan filsafat pendidikan progresivisme. Umumnya rekonstruksionisme
menganggap bahwa progresivisme belum cukup jauh berusaha memperbaiki
masyarakat. Mereka percaya progresivisme hanya memerhatikan problem masyarakat pada
saat itu saja, padahal yang diperlukan pada abad kemajuan teknologi yang pesat
adalah rekonstruksi masyarakat dan penciptaan tatanan dunia baru secara
menyeluruh.
Rekonstruksionisme timbul sebagai akibat dari
pengamatan tokoh-tokoh pendidik terhadap Amerika khususnya, dan masyarakat
Barat umumnya, yang menjelang tahun tiga puluhan, menjadi kurang menentu. Keadaan
masyarakat tidak sepadan dengan harapan ideal seperti timbulnya kebebasan,
kesamaan, dan persaudaraan. Untuk mengembalikan kepada keadaan semula hendaknya
pendidikan dapat berperan sebagai instrumen rekonstruksi masyarakat. Artinya,
bahwa tujuan pendidikan, kurikulum, metode, peranan guru dan peranan sekolah
sebagai lembaga pendidikan hendaknya searah dengan situasi dan kebutuhan
masyarakat. Peserta didik dalam sekolah yang bercorak rekonstruksionisme ini
diarahkan supaya mampu beradaptasi dan berinteraksi dengan masyarakat di mana
ia tinggal. Maka, orientasi pendidikannya adalah masyarakat.[6]
Imam barnadib mengartikan rekonstruksionisme
sebagai filsafat pendidikan yang menghendaki agar anak didik dapat dibangkitkan
kemampuannya untuk secara rekonstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan dan
perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan
dan teknologi. Kaitannya dengan pendidikan, rekonstruksionisme menghendaki tujuan
pendidikan untuk meningkatkan kesadaran siswa mengenal problematika sosial,
politik, dan ekonomi yang dihadapi oleh manusia secara global, dan untuk
membina mereka, membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan dasar agar bisa
menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Kurikulum dan metode pendidikan
bermuatan materi sosial, politik, dan ekonomi yang sedang dihadapi oleh
masyarakat.
Rekonstruksionisme
memiliki dua perspektif, masa kini yang banyak mengandung progresivisme dan
masa depan yang bersifat futuristik. Itulah sebabnya futurisme dalam pendidikan
sering dianggap sebagai perkembangan dan bagian tak terpisahkan dari
rekonstruksionisme.[7]
3.
Futurisme
Menurut
Jhon Dewey, filosof pendidikan pragmatisme, fungsi mata pelajaran dalam
pendidikan adalah untuk menjaga agar proses pendidikan tetap hidup, dan
menjaganya dengan cara yang dapat menimbulkan kemudahan dalam menghadapi
kehidupan masa depan.
Masa
kini bukanlah sekedar sesuatu yang muncul setelah masa lalu secara tiba-tiba,
melainkan sedikit atau banyak dipengaruhi olehnya. Masa kini adalah kelanjutan
dari kehidupan yang ditinggalkan pada masa sebelumnya. Mengkaji produk masa
lalu tidak akan membantu memahami masa kini, sebab masa kini bukanlah
ditimbulkan dari produk, melainkan dipengaruhi oleh kehidupan yang menghasilkan
produk. Pengetahuan mengenai masa lalu beserta warisannya amat berarti saat
memasuki masa kini, bukan sebaliknya.[8]
Kesalahan dalam memahami dan melestarikan
materi pendidikan pada masa lalu merupakan pemotongan terhadap hubungan yang
vital antara masa kini dan masa lampau,
akibatnya cenderung menjadikan masa lalu sebagai rival bagi masa kini, dan masa
kini sedikit banyak merupakan imitasi masa lampau.
Selanjutnya,
dikatakan bahwa masa lalu adalah masa lalu sebagaimana adanya, karena pada masa
tersebut tidak memiliki karakteristik yang dimiliki masa kini. Keadaan yang
sedang berkembang pada masa kini meliputi dan/atau dipengaruhi oleh masa lalu
dengan syarat menggunakan masa lalu untuk mengarahkan perkembangan/pergerakan
masa kini.
Masa lalu merupakan sumber imajinasi yang
berharga, ia menambah dimensi baru dalam kehidupan masa kini dengan syarat
bahwa hal itu dipandang sebagai masa lalu yang memengaruhi masa kini, bukan
sesuatu yang lain dan dunia yang tak berhubungan satu sama lain. Prinsip yang
memperkecil peranan masa kini bagi kehidupan dan terjadinya perkembangan,
merupakan perkara yang selalu ada, secara alami tampak seperti masa lampau
karena tujuannya masa depan yang terbentuk adalah masih jauh dan kosong.
Menurut
Dewey, dengan uraian diatas, menganggap bahwa masa lalu, disamping tidak
memiliki relevansi jika ditinjau dari segi substansinya, tetap berkaitan dan
mempunyai mata rantai yang tak terpisahkan dengan kehidupan masa kini dan
mendatang. Kaitan
itu bukan terletak pada produk, melainkan kehidupan yang menghasilkan produk
itu sendiri. Jelas bahwa peranan waktu bagi pembentukan masa depan amat penting
Dalam
kaitannya dengan prospek pendidikan di masa depan, Dewey menyebutkan:
“Education
may be conceived either retrospectively or prospectively. That it to say it, may be treated as process of accommodating of
the Future to the past, or as an utilization of the past for a resource
in A developing the future. The former finds its standars and pattern in what
has gone before”.
4.
Humanisme
Fokus
perhatian humanisme adalah manusia (human). Aspek ini ada dalam pendidikan, walaupun aliran pemikiran kependidikan
memiliki perbedaan persepsi dalam memandang aspek manusianya, tetapi objeknya tetap sama yaitu manusia.
Tendensi pemikiran edukatif Dewey dalam kaitan ini
lebih mengarah pada sosio-antroposentris. Artinya, humanisme itu merupakan refleksi
timbal balik antara kepentingan individu dengan masyarakat. Karenanya
pendidikan harus diselenggarakan dengan memusatkan perhatian pada keduanya.
Kemudian mengingat masyarakat itu selalu berkembang dan berubah, nilai-nilai
yang dianggap baik dan buruk bagi individu juga mengalami perkembangan dan
perubahan. Bila nilai-nilai, tendensi dan implus tadi dipandang baik oleh masyarakat, maka nilai-nilai, tendensi dan
implus tadi dipandang sebagai sifat-sifat manusia yang baik. [9]
Dewey mengatakan bahwa setiap tendens dan impuls
yang ada pada manusia tidaklah mempunyai suatu arti apa-apa, jadi tidaklah
berakibat baik ataupun buruk terhadap masyarakat. Tendens dan impuls baru
mempunyai arti bila ia memberikan akibat yang
dipengaruhi atau dipaksakan oleh faktor-faktor luar, yaitu faktor-faktor dari kebudayaan.
Bila akibat antara tendens dengan faktor-faktor luar dianggap baik oleh masyarakat, maka tendens dipandang sebagai sifat-sifat manusia yang baik. Bila akibat itu dianggap merugikan masyarakat, maka tendens tadi dianggap sebagai suatu sifat manusia yang buruk. Oleh karena itu, ukuran baik dan buruk, adalah hasil perbuatan manusia dan masyarakat, hal ini mengacu pada sosio-antroposentris.
F.
Daftar Pustaka
Assegaf,
Abd. Rachman. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2011)
Hakim,
Lukman. “Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia: Membaca masa depan gerakan
Islam di Indoensia). Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 2010.
Isma’il,
Fu’ad Farid & Abdul Hamid Mutawali. Cara Mudah Belajar Filsafat. (Jogjakarta:
Bhineka, 2012)
Salahudin, Anas. Filsafat pendidikan, Bandung:
Pustaka Setia, 2011.
Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1988)
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam: filosof dan Filsafatnya. (Jakarta:
Rajagrafindo, 2012)
Zuhairini. Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1995.
[1] Anas
Shalahdin, filsafat pendidikan. Hal: 12
[2] Ibid. Hal:18
[3] Ibid.
Hal:19
[4] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta : Bumi
Aksara 1995 ), 131-134
[8] Ibid., 210.