Pendidikan
Islam Era Wali Songo Terhadap Pengaruh Kebudayaan Hindu – Budha
Oleh:
Azid Zainuri
Masuknya
islam ke Indonesia memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan masuknya
islam ke daerah-daerah lain. Hal ini dikarenakan masuknya islam di Indonesia
melalui proses secara damai yang dibawah oleh para pedagang dan mubaligh.[1]
Dalam masuknya islam di Indonesia terdapat beberapa teori, diantaranya: 1)
menurut sarjana Belanda meraka kebanyakan berpendapat bahwa kedatangan islam ke
nusantara berasal dari India[2],
2) menurut Naquib al-Attas bahwa kedatangan islam ke nusantara berasal dari
Arab[3],
3) menurut beberapa sumber sejarah bahwa kedatangan islam ke nusantara
dilakukan melalui rute selat malaka dengan jalur perdagangan[4],
4) bahwa islam masuk ke Indonesia pada abad ke-I H dari Arab dengan tujuan
membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi.[5]
Sejarah
masuknya agama islam di Jawa dimulai sekitar abad 15-16. Proses penyebaran
islam dilakukan dengan berbagai jalan, mulai dari perdagangan, pernikahan,
pengobatan, budaya maupun pendidikan[6].
Masyarakat muslim di Indonesia terjadi melalui proses yang panjang, yang
dimulai dari terbentuknya pribadi-pribadi muslim sebagai hasil upaya para da`i
di zamannya. Salah satu da’i yang sering kita kenal dalam proses penyebaran
islam adalah para wali yang biasa kita kenal dangan sebutan wali songo[7]
yang bergelar sebagai seorang sunan[8].
Upaya
Walisongo dalam perkembangan islam di Indonesia salah satunya adalah melalui
pendidikan. Pada masa walisongo terkenal berhasil mengislamkan Jawa karena
metodenya mengkombinasikan aspek spiritual Islam dengan tradisi masyarakat
setempat. Hal ini dikarenakn dahulu di Indonesia mayoritas penduduknya beragama
Hindu dan Budha, dan terdapat berbagai kerajaan Hindu dan Budha, sehingga
budaya dan tradisi lokal saat itu kental diwarnai kedua agama tersebut. Budaya
dan tradisi lokal itu oleh Walisongo tidak dianggap “musuh agama” yang harus
dibasmi. Bahkan budaya dan tradisi lokal itu mereka jadikan “teman akrab” dan
media dakwah agama, selama tak ada larangan dalam hukum islam.
Cara metode
dakwah walisongo ini sebagaimana yang telah dialukan Nabi Muhammad, sahabat,
dan ulama salaf dieranya. Hal ini sebagaimana tertuang dalam ayat yang artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk”.(Q.S.An-Nahl), dan ayat yang artinya: “Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Q.S. Ali’imran
159). Juga pesan Nabi saat mengutus Abu Musa dan Mu’adz berdakwah,
“Mudahkanlah, jangan mempersulit. Berilah kabar gembira, jangan membuat (objek
dakwah) lari!” (HR Muslim). Dan Hadits dari Siti Aisyah, “Rasulullah memerintah
kami menempatkan (memperlakukan) manusia sesuai keberadaan (akal) mereka.” (HR
Abu Dawud).
Adapun
secara rinci, metode yang dilakukan Walisongo adalah:
1.
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Maulana Malik Ibrahim umumnya
dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa, dianggap sebagai
ayah dari walisongo. Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah
berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok
dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan
diri untuk mengobati masyarakat secara gratis.
Di Gresik, beliau juga memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat gresik semakin meningkat. Beliau memiliki gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi sawah dan ladang.[9] Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondok pesantren[10] sebagai tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419. Pemikiran ini dilakukan karena terinspirasi dengan praktik kependidikan dalam dalam masyarakat beragama Hindu - Budha yaitu pawiyatan[11].
Sebagai tempat dakwah Islam sekaligus sebagai proses belajar mengajar maka di era walisongo dalam mengembangkan pendidikan dan dakwah Islam dengan mendirikan yang diprakasai oleh Maulana Malik Ibrahim,[12]
2. Sunan Ampel (Raden Rahmad)
Sunan Ampel adalah anak dari Maulana
Malik Ibrahim yang tertua, ia membangun mengembangkan pondok pesantren di daerah
Ampel Denta yang berawa-rawa. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya.
Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentral pendidikan yang
sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para
santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian
disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi, namun pada para santrinya, beliau hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum-minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotika, dan tidak berzina.
3.
Sunan bonang (Raden Maulana Makhdum Ibrahim)
Sunan Bonang belajar agama dari
pesantren ayahnya di Ampel Denta. Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam
fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan
garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra
dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang
piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat
‘cinta’. Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang,
cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada
Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer
melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang
bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang.
4.
Sunan Drajat (Raden Qasim)
Belau menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Beliau mendirikan pesantren yang bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta, beri makan pada yang lapar, beri pakaian pada yang telanjang”.Gamelan Singomengkok adalah salah satu peninggalannya yang terdapat di Musium daerah Sunan Drajat, Lamongan.
5.
Sunan Kudus (Ja’far Shadiq)
Beliau memiliki keahlian khusus
dalam bidang agama, terutama dalam ilmu fikih, tauhid, hadits, tafsir serta
logika. Karena itulah di antara walisongo hanya ia yang mendapat julukan wali
al-‘ilm (wali yang luas ilmunya), dank arena keluasan ilmunya ia didatangi oleh
banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di Nusantara. Cara berdakwahnya pun
meniru pendekatan gurunya Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat.
Cara penyampaiannya bahkan lebih halus.
Cara-cara
berdakwah Sunan Kudus adalah sebagai berikut:
a. Strategi
pendekatan kepada masa dengan jalan
1)
Membiarkan adat istiadat lama yang
sulit diubah
2)
Menghindarkan konfrontasi secara
langsung dalam menyiarkan agama islam
3)
Tut Wuri Handayani
4)
Bagian adat istiadat yang tidak
sesuai dengan mudah diubah langsung diubah.
b. Merangkul
masyarakat Hindu seperti larangan menyembelih sapi karena dalam agama Hindu
sapi adalah binatang suci dan keramat.
c. Merangkul
masyarakat Budha
Selain masjid, Sunan Kudus juga mendirikan padasan
tempat wudlu dengan pancuran yang berjumlah delapan, diatas pancuran diberi
arca kepala Kebo Gumarang diatasnya hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha.
d. Selamatan
Mitoni
Biasanya sebelum acara selamatan diadakan membacakan sejarah Nabi.[13]
6.
Sunan Giri (Ainul Yaqi Atau Raden Paku)
Beliau mendirikan pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung yang bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
7.
Sunan Kalijaga (Raden Mas Syahid)
Dalam dakwah, ia punya pola yang
sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Ia memilih
kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah penyebaran Islam, antara
lain dengan wayang, sastra dan berbagai kesenian lainnya. Pendekatan jalur
kesenian dilakukan oleh para penyebar Islam seperti Walisongo untuk menarik
perhatian di kalangan mereka, sehingga dengan tanpa terasa mereka telah
tertarik pada ajaran-ajaran Islam sekalipun, karena pada awalnya mereka
tertarik dikarenakan media kesenian itu. Misalnya, Sunan Kalijaga adalah tokoh
seniman wayang. Ia itdak pernah meminta para penonton untuk mengikutinya
mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian wayang masih dipetik dari cerita
Mahabarata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disispkan ajaran agama dan
nama-nama pahlawan Islam.[14]
Beliau sangat toleran pada budaya
lokal, ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya.
Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi.
Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya
kebiasaan lama hilang.
Sunan Kalijaga jugalah yang menciptakan Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid.
8.
Sunan Muria (Raden Umar Said)
Gaya berdakwahnya banyak mengambil
cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih
suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk
menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah
kesukaannya.
Sunan Muria dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
9.
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati sebelum meletakkan
dasar agama Islam dan bagi perdagangan orang Islam, terlebih dahulu telah
menunaikan rukun ke-5 naik haji ke Mekkah sebelum tiba di Kerajaan Sultan
Demak. sebagai haji yang shaleh dan sebagai mufasir yang mengenal percaturan
dunia ia mendapat sambutan hangat di kerajaan itu.
Kemudian setelahitu pindah ke Banten, dan ia berhasil menggaantikan bupati Pasundan di situ, dan mengambil alih pemerintahan atas kota pelabuhan tersebut. Dengan awal langkah inilah ia memenfaatkan tahtanya untuk menyebarkan agama Islam, terutama mengislamkan Jawa Barat.[15]
Secara garis besar peran walisongo dalam penyebaran agama
islam antara lain:
a. Pada masa Sunan Ampel mulai
didirikan pesantren Ampel Denta sehingga beliau juga dikenal sebagai pembina
pondok pesantren di Jawa timur. Di pesantren tersebut sunan Ampel mendidik para
pemuda Islam untuk menjadi dai.
b. Di bidang politik, sebagai pendukung
kerajaan-kerajaan Islam meupun sebagai penasehat raja-raja Islam, atau sebagai
raja.
c. Dibidang seni budaya, berperan
sebagai pengembang kebudayaan setempat yang disesuikan dengan budaya Islam baik
melalui akulturasi maupun asimilasi kebudayaan.
d. Menyebarkan agama Islam dengan
menyesuaikan diri dengan kebudayaan masyarakat jawa yang sangat menggemari
wayang serta musik gamelan hal itu terjadi pada masa Raden Maulana Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang). Dalam aktifitas dakwahnya, ia mengganti nama-nama dewa
dengan nama-nama malaikat.
e. Mendidik anak-anak melalui berbagai
permainan yang berjiwa agama, seperti tembang jelungan, cublak-cublak suweng,
dan lir-ilir, pangkur.
f.
Menggunakan wayang kulit dan mengarang aneka cerita wayang
yang bernapaskan Islam dalm menyebarkan agama Islam.
g. Mengembangkan seni suara, seni ukir,
seni busana, seni pahat, dan kesusastraan.
h. Menjadikan desa-desa terpencil
sebagi pusat dakwah dan mengadakan kursus-kursus bagi kaum pedagang, para
nelayan dan rakyat biasa.[16]
DAFTAR PUSTAKA
Abu Su’ud, Islamologi (Sejarah Ajaran
dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia), (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003)
Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII, (Bandung: Mizan, 1994)
Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah
Walisongo Misi Pengislaman di Jawa, (Yogyakarta: Graha Pustaka, 2009)
Darsono, tonggak sejarah kebudayaan
islam 3, (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009)
Haidar
Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Islam di Indonesia,
Cet Ke-IV, (Jakarta: Kencana, 2014)
Muhammad
Rifa’I, Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik Hingga Modern,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)
Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
Amzah, 2010)
W.P.
Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia & Malaya Counpiled From
Chinese Sources. Baca Poesponegoro, dkk, Sejarah Nasional Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1984)
Zuhairini,
dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Cet Ke-IV, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)
http://multazam-einstein.blogspot.com/2013/05/makalah-peran-walisongo-dalam.html.
9 diakses pada 23 Mei 2015
[1] Haidar Putra Daulay, Sejarah
Pertumbuhan dan Pembaharuan Islam di Indonesia, Cet Ke-IV, (Jakarta:
Kencana, 2014), h.11
[2] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan,
1994), h.24
[3] Ibid, h.27
[4] Dikutip dari tulisan W.P.
Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia & Malaya Counpiled From
Chinese Sources. Baca Poesponegoro, dkk, Sejarah Nasional Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h.1
[5] Haidar Putra Daulay, Sejarah
Pertumbuhan dan Pembaharuan Islam di Indonesia, h. 12
[6] Muhammad Rifa’I, Sejarah
Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011), h.29
[7] Kata wali berasal dari bahasa Arab ولي – والى yang berarti kekasih. Hal ini
menggambarkan tentang adanya orang yang sangat taat beribadah kepada Allah,
sehingga mereka disebut kekasih Allah. Baca Zuhairini, dkk, Sejarah
Pendidikan Islam, Cet Ke-IV, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h.138
[8] Asal kata dari susuhunan yaitu
sebagai penasihat dan pembantu raja. Baca Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan
Islam, h. 139
[9]Abu Su’ud, Islamologi
(Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia), (Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2003), h.125.
[10] Isltilah pesantren berasal dari
kata pe-santri-an. Kata santri berarti murid, siswa atau pelajar
sedangkan istilah pondok berasal dari Bahasa Arab فنوق yang berarti
tempat penginapan. Baca Muhammad Rifa’I, Sejarah Pendidikan Nasional Dari
Masa Klasik Hingga Modern, h. 32
[11] Sebauah lembaga yang dihuni oleh
Ki Ajar (orang yang mengajar/ guru) dan
Cantrik (orang yang diajar/ murid) yang mana tinggal dalam satu kompleks untuk
proses belajar mengajar. Baca Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan
Pembaharuan Islam di Indonesia, h.22
[12] Haidar Putra Daulay, Sejarah
Pertumbuhan dan Pembaharuan Islam di Indonesia, h. 21
[13]http://multazam-einstein.blogspot.com/2013/05/makalah-peran-walisongo-dalam.html.
9 diakses pada 23 Mei 2015
[14]Samsul Munir, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h.308.
[15]Budiono Hadi
Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Jawa, (Yogyakarta: Graha
Pustaka, 2009), h.166.
[16]Darsono, tonggak
sejarah kebudayaan islam 3, (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri,
2009), h.55.