BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam
adalah agama yang universal sebagai pedoman yang mengatur segala aspek
kehidupan manusia, pada garis besarnya menyangkut dua bagian pokok, yaitu ibadah
dan muamalah. Ibadah adalah mengahambakan diri kepada Allah SWT dengan menaati
segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan muamalah ialah
kegiatan-kegiatan yang menyangkut antar manusia yang meliputi aspek ekonomi,
politik dan sosial. Untuk kegiatan muamalah yang menyangkut aspek ekonomi
seperti jual beli, simpan pinjam, hutang piutang, usaha bersama dan lain
sebagainya.
Adapun
bentuk-bentuk jual beli yang telah dibahas oleh para ulama dalam fiqh muamalah
Islamiyah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan atau
puluhan. Sesungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada salah satu jenis
jual beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam
pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah, yaitu bai’
al-murabahah atau jual beli murabahah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pengertian murabahah ?
2.
Bagaimana
hukum murabahah dalam al Qur’an dan Hadist ?
3.
Apa
saja Sarat dan rukun murabahah ?
4.
Peranan
Murabahah dalam Bank Syariah.
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
murabahah
2.
Mengetahui
hukum murabahah
3.
Mengetahui
sarat dan rukun murabahah
4.
Mengetahui
peranan murabahah dalam bank Syariah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian jual
beli dalam Murabahah
Jual beli adalah
tukar menukar harta benda atau sesuatu yang di inginkan dengan sesuatu yang
sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat. Murabahah berasal dari kata
ribhu ( keuntungan), jadi murabahah adalah jual beli barang di tambah
keuntungan yang disepakati.
Jual beli Murabahah
adalah pembelian oleh satu pihak untuk kemudian dijual kepada pihak lain yang
telah mengajukan permohonan pembelian terhadap sesuatu dengan keuntungan atau
tambahan harga yang tranparan[1]. Atau
singkatnya jual beli murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan
harga perolehan dan keuntungan ( margin ) yang di sepakati oleh penjual dan
pembeli.
B.
Dasar hukum.
Murabahah adalah
suatu jenis jual beli yang dibenarkan oleh syariah dan merupakan
implementasi muamalah tajariyah (
intraksi bisnis ). Hal ini bedasarkan kepada Q.S. Al-Baqarah ayat : 275.
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya : “ Allah mengalalkan jual
beli dan mengharamkan riba”.
Dalam ayat ini,
Allah mempertegas legalitas dan keabsahan jual beli secara umum serta menolak
dan melarang konsep ribawi. Berdasarkan dari ketentuan ini jual beli murabahah
mendapat pengakuan dan legalitas syariah, dan sah untuk dijalankan dalam
praktek pembiayaan bank syariah karena ia merupakan salah satu bentuk jual
beli dan tidak mengandur unsur ribawi.
Dalam hadits
disebutkan riwayat dari Abu Said al Khudri bahwa Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya
jual beli itu harus dilakukan suka sama suka” (HR. Al Baihaqi dan Ibnu Majah)
Sabda
Rasulullah lainnya:
“Ada tiga hal
yang mengandung berkah, jual beli tidak secara tunai mudharabah, mudharabah,
dan mencampur gandum dengan jejawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk
dijual” (HR. Ibnu Majah)
Hadits
diatas memberikan prasyarat bahwa akad jual beli murabahah harus dilakukan
dengan adanya kerelaan masing-masing pihak ketika melakukan transaksi. Segala
ketentuan yang terdapat dalam jual beli murabahah, seperti penentuan harga
jual, margin yang diinginkan, mekanisme pembayaran, dan lainnya, harus terdapat
persetujuan dan kerelaan antara pihak nasabah dan bank, tidak bisa ditentukan
secara sepihak[2].
C.
Syarat dan Rukun Murabahah
1. Rukun Murabahah
Dalam
jual beli ada tiga rukun yang harus dipenuhi (IBI. 2001: 77).
·
Orang
yang berakad.
·
Penjual
dan pembeli
·
Barang
yang diperjual belikan.
·
Harga.
·
Akad/
Shighot:
·
Serah
(Ijab) Terima (Qabul)
2.
Syarat Murabahah
Selain
karena faktor yang telah ada seperti akad menjadi sah atau lengkap adalah
adanya syarat. Syarat yaitu sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun (sufficient condition). Contohnya:
adalah pelaku transaksi haruslah orang yang cakap hukum (mukalaf) menurut mazhab Hanafi, bila
rukun sudah terpenuhi tapi syarat tidak terpenuhi maka rukun menjadi tidak
lengkap sehingga transaksi tersebut menjadi fasid (rusak) (Adi Warmaan Azram Karim.2003 : 47).
Adapun
syarat-syarat jualbeli sebagai berikut (Sulaiman Rusdid. 1954: 243).
- Penjual dan Pembeli
- Berakal.
- Dengan kehendak sendiri
- Keadaan tidak Mubadzir (pemboros).
- Baliq
- Uang dan Benda yang dibeli (obyek yang diperjual belikan).
- Suci.
- Ada manfaat.
- Keadaan barang tersebut dapat di serahkan.
- Keadaan barang tersebut kepunyaan penjual atau kepunyaan yang diwakilkan
- Barang tersebut diketahui antarasi penjual dan pembeli dengan terang dzat, bentuk, kadar (ukuran) dan sifat-sifatnya sehingga tidak terjadi keadaan yang mengecewakan.
- Ijab Qabul
- Jangan ada yang memisahkan, janganlah pembeeli diam saja setelah penjual menyatakan ijabnya begitu pula sebaliknya.
- Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijabdan qabul.
- Beragama Islam, syarat ini khusus utuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu seperti seseorang dilarang menjual hambanya yang beraga islam kepa pembeli yang beragama tidak islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah melarang orang mu’min.
D.
Jenis – jenis murabahah
Murabahah pada prinsipnya adalah jual beli
dengan keuntungan, hal ini bersifat dan berlaku umum pada jual beli
barang-barang yang memenuhi syarat jual beli murabahah. Dalam prakteknya pembiayaan murabahah yang diterapkan Bank Bukopin Syariah terbagi kepada 3
jenis, sesuai dengan peruntukannya, yaitu:
a) Murabahah Modal Kerja (MMK), yang diperuntukkan untuk pembelian
barang-barang yang akan digunakan sebagai modal kerja. Modal kerja adalah jenis pembiayaan yang
diperlukan oleh perusahaan untuk operasi sehari-hari. Penerapan murabahah untuk modal kerja
membutuhkan kehati-hatian, terutama bila obyek yang akan diperjualbelikan
terdiri dari banyak jenis, sehingga dikhawatirkan akan mengalami kesulitan
terutama dalam menentukan harga pokok masing-masing barang.
b) Murabahah Investasi (MI), adalah pembiayaan jangka menengah atau
panjang yang tujuannya untuk pembelian barang modal yang diperlukan untuk
rehabilitasi, perluasan, atau pembuatan proyek baru.
c)
Murabahah Konsumsi (MK), adalah pembiayaan
perorangan untuk tujuan nonbisnis, termasuk pembiayaan pemilikan rumah, mobil.
Pembiayaan konsumsi biasanya digunakan untuk membiayai pembelian barang
konsumsi dan barang tahan lama lainnya. Jaminan yang digunakan biasanya berujud
obyek yang dibiayai, tanah dan bangunan tempat tinggal.
E.
Aplikasi
Murabahah pada Bank Syariah
Di
Indonesia, aplikasi jual beli murabahah pada bank syariah di
dasarkan pada Keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dan Peraturan Bank Indonesia (PBI). Menurut keputusan fatwa DSN
Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 ketentuan murabahah pada perbankan syariah
adalah sebagai berikut (Dewan Syariah Nasional MUI dan Bank Indonesia. 2006 :
24-25).
- Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
- Barang yang diperjual-belikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
- Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
- Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
- Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
- Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
- Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
- Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
- Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
Selain itu,
ketentuan pelaksanaan pembiayaan murabahah di perbankan syariah diatur
berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 9/19/PBI/2007 jo Surat Edaran
BI No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008, sebagai berikut :
- Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan barang terkait dengan kegiatan transaksi Murabahah dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang;
- Barang adalah obyek jual beli yang diketahui secara jelas kuantitas, kualitas, harga perolehan dan spesifikasinya;
- Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk Pembiayaan atas dasar Akad Murabahah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah;
- Bank wajib melakukan analisis atas permohonan Pembiayaan atas dasar Akad Murabahah dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (Character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital ), dan/atau prospek usaha (Condition);
- Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya;
- Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang yang dipesan nasabah;
- Kesepakatan atas marjin ditentukan hanya satu kali pada awal Pembiayaan atas dasar Murabahah dan tidak berubah selama periode Pembiayaan
- Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar Murabahah; dan
- Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah.
Atas dasar
peraturan yang berkaitan dengan murabahah baik yang bersumber dari
Fatwa DSN maupun PBI, perbankan syariah melaksanakan pembiayaan murabahah.
Namun demikian, dalam praktiknya tidak ada keseragaman model penerapan
pembiayaan murabahah karena beberapa faktor yang melatarbelakanginya.
Ada beberapa tipe penerapan murabahah dalam praktik perbankan syariah
yang kesemuanya dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu:
1) Tipe Pertama penerapan murabahah adalah tipe
konsisten terhadap fiqih muamalah. Dalam tipe ini bank membeli dahulu
barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada perjanjian sebelumnya. Setelah
barang dibeli atas nama bank kemudian dijual ke nasabah dengan harga perolehan
ditambah margin keuntungan sesuai kesepakatan. Pembelian dapat dilakukan secara
tunai (cash), atau tangguh baik berupa angsuran atau sekaligus
pada waktu tertentu. Pada umumnya nasabah membayar secara tangguh. Untuk lebih
jelasnya.
2) Tipe Kedua mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan
kepemilikan langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan
pembayaran dilakukan bank langsung kepada penjual pertama/supplier.
Nasabah selaku pembeli akhir menerima barang setelah sebelumnya melakukan
perjanjian murabahah dengan bank. Pembelian dapat dilakukan
secara tunai (cash), atau tangguh baik berupa angsuran atau sekaligus
pada waktu tertentu. Pada umumnya nasabah membayar secara tangguh. Transaksi
ini lebih dekat dengan murabahah yang asli, tapi rawan dari
masalah legal. Dalam beberapa kasus ditemukan adanya klaim nasabah bahwa mereka
tidak berhutang kepada bank, tapi kepada pihak ketiga yang mengirimkan
barang. Meskipun nasabah telah menandatangani perjanjian murabahah
dengan bank, perjanjian ini kurang memiliki kekuatan hukum karena tidak
ada tanda bukti bahwa nasabah menerima uang dari bank sebagai bukti
pinjaman/hutang. Untuk mengindari kejadian seperti itu maka ketika bank syariah
dan nasabah telah menyetujui untuk melakukan transaksi murabahah maka bank akan
mentransfer pembayaran barang ke rekening nasabah (numpang lewat) kemudian
didebet dengan persetujuan nasabah untuk ditranfer ke rekening supplier.
Dengan cara seperti ini maka ada bukti bahwa dana pernah ditranfer ke rekening
nasabah. Namun demikian, dari perspektif syariah model murabahah
seperti ini tetap saja berpeluang melanggar ketentuan syariah jika pihak
bank sebagai pembeli pertama tidak pernah menerima barang (qabdh) atas
namanya tetapi langsung atas nama nasabah. Karena dalam prinsip syariah akad
jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip,
menjadi milik bank .
3) Tipe Ketiga ini yang paling banyak dipraktekkan oleh bank
syariah. Bank melakukan perjajian murabahah dengan nasabah, dan
pada saat yang sama mewakilkan (akad wakalah) kepada nasabah untuk
membeli sendiri barang yang akan dibelinya. Dana lalu dikredit ke rekening
nasabah dan nasabah menandatangi tanda terima uang. Tanda terima uang ini
menjadi dasar bagi bank untuk menghindari klaim bahwa nasabah tidak berhutang
kepada bank karena tidak menerima uang sebagai sarana pinjaman. Tipe
kedua ini bisa menyalahi ketentuan syariah jika bank mewakilkan kepada nasabah
untuk membeli barang dari pihak ketiga, sementara akad jual beli murabahah
telah dilakukan sebelum barang, secara prinsip, menjadi milik bank (Cecep
Maskanul Hakim. 2004).
Berbagai
tipe praktek jual beli murabahah di atas dilatar belakangi motivasi
yang bermacam-macam. Ada kalanya untuk lebih menyederhanakan prosedur sehingga
bank tidak perlu repot-repot membeli barang yang dibutuhkan nasabah
tetapi cukup dengan menunjuk atau menghubungi supplier agar
menyediakan barang dan langsung mengirimkan ke nasabah sekaligus dengan atas
nama nassabah (Tipe II). Atau dengan cara bank langsung memberikan uang ke
nasabah kemudian nasabah membeli sendiri barang yang dibutuhkan dengan
melaporkan nota pembelian kepada pihak bank (tipe III). Kedua cara tersebut sering
dilakukan perbankan syariah untuk menghindari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
dua kali yang dinilai akan mengurangi nilai kompetitif produk bank syariah
dibandingkan bank konvensional yang dikecualikan dari PPN. Ini terjadi karena
dalam jual beli murabahah tipe I, di mana bank terlebih dahulu akan
membelikan barang yang dibutuhkan nasabah atas nama bank baru kemudian dijual
ke nasabah secara murabahah maka akan terjadi perpindahan kepemilikan
dua kali, yaitu dari supplair ke bank dan dari bank ke nasabah.
Melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 9/19/PBI/2007 jo Surat Edaran BI
No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 yang menghapus keberlakuan PBI Nomor
7/46/PBI/2005 tentang Akad penghimpunan dan Penyaluran dana Bank Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, pelaksanaan pembiayaan
murabahah semakin menempatkan bank syariah semata-mata lembaga intermediary yang
bertindak sebagai penyedia dana bukan pelaku jual beli murabahah. Hal
ini ditegaskan dalam teks Surat Edaran BI No. 10/14/DPbS pada point III.3,
bahwa ” Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan
barang terkait dengan kegiatan transaksi Murabahah dengan nasabah
sebagai pihak pembeli barang ”. Di lihat dari teks surat edaran ini, jelas
ada upaya Bank Indonesia untuk menegaskan bahwa transaksi perbankan syariah
yang didasarkan pada prinsip jual beli murabahah tetap merupakan
pembiayaan sebagaimana transaksi lainnya yang menggunakan akad mudharabah,
musyarakah, salam, istishna, ijarah, dan ijarah
muntahiya bit tamlik.
F.
Penggunaan
Akad Murabahah pada Pembiayaan Murabahah di Syariah
Mekanisme
pembiayaan murabahah dapat digunakan untuk pengadaan barang, modal
kerja, pembangunan rumah dan lain-lain. Berikut ini beberapa contoh aplikasi
mekanisme pembiayaan murabahah dalam perbankan syariah:
1. Pengadaan Barang
Transaksi
ini dilakukan oleh bank syariah dengan prinsip jual beli murabahah,
seperti pengadaan sepeda motor, kulkas, kebutuhan barang untuk investasi untuk
pabrik dan sejenisnya. Apabila seorang nasabah menginginkan untuk memiliki
sebuah kulkas, ia dapat datang ke bank syariah dan kemudian mengajukan
permohonan agar bank membelikannya. Setelah bank syariah meneliti keadaan
nasabah dan menganggap bahwa ia layak untuk mendapatkan pembiayaan untuk
pengadaan kulkas, bank kemudiaan membeli kulkas dan menyerahkannya kepada
pemohon, yaitu nasabah. Harga kulkas tersebut sebesar Rp. 4.000.000,- dan pihak
bank ingin mendapatkan keuntungan sebesar RP. 800.000,-. Jika pembayaran
angsuran selama dua tahun, maka nasabah dapat mencicil pembayarannya sebesar
Rp. 200.000,- per bulan. Selain memberikan keuntungan kepada bank syariah,
nasabah juga dibebani dengan biaya administrasi yang jumlahnya belum ada
ketentuannya. Dalam praktiknya biaya ini menjadi pendapatan fee base income
bank syariah. Biaya-biaya lain yang diharus ditanggung oleh nasabah adalah
biaya asuransi, biaya notaris atau biaya kepada pihak ketiga ( Wiroso. 2005 :
137).
2. Modal Kerja (Modal Kerja Barang)
Penyediaan
barang persediaan untuk modal kerja dapat dilakukan dengan prinsip jual
beli murabahah. Akan tetapi, transaksi ini hanya berlaku sekali putus,
bukan satu akad dengan pembelian barang berulang-ulang. Sebenarnya, penyediaan
modal kerja berupa uang tidak terlalu tepat menggunakan prinsip jual beli
murabahah. Transaksi pembiayaan modal kerja dalam bentuk barang atau uang lebih
tepat menggunakan prinsip mudharabah (bagi hasil) atau musyarakah (penyertaan
modal). Karena, jika pembiayaan modal kerja dalam bentuk uang menggunakan
mekanisme murabahah, maka transaksi ini sama dengan consumer finance
(pembiayaan konsumen) dalam bank konvesional yang mengandung usur bunga.
Transaksi dalam consumer finance menggunakan pinjam meminjam uang dan dalam
murabahah menggunakan transaksi jual beli.
3. Renovasi Rumah (Pengadaan Material Renovasi Rumah)
Pengadaan
material renovasi rumah dapat menggunakan mekanisme jual beli murabahah.
Barang-barang yang diperjualbelikan adalah segala bentuk barang yang dibutuhkan
untuk renovasi rumah, seperti bata merah, genteng, cat, kayu dan lainlain.
Transaksi dalam pembiayaan ini hanya berlaku sekali putus, tidak satu akad
dilakukan berulang-ulang.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jual beli Murabahah
adalah pembelian oleh satu pihak untuk kemudian dijual kepada pihak lain yang
telah mengajukan permohonan pembelian terhadap sesuatu dengan keuntungan atau
tambahan harga yang tranparan. Atau singkatnya jual beli murabahah adalah akad
jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan ( margin )
yang di sepakati oleh penjual dan pembeli.
Murabahah adalah
suatu jenis jual beli yang dibenarkan oleh syariah dan merupakan
implementasi muamalah tajariyah (
intraksi bisnis ). Hal ini bedasarkan kepada Q.S. Al-Baqarah ayat : 275. Artinya : “ Allah mengalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”.
Murabahah pada prinsipnya adalah jual beli
dengan keuntungan, hal ini bersifat dan berlaku umum pada jual beli
barang-barang yang memenuhi syarat jual beli murabahah. Dalam prakteknya pembiayaan murabahah yang diterapkan Bank Bukopin Syariah terbagi kepada 3
jenis, sesuai dengan peruntukannya, yaitu:
1.
Murabahah Modal Kerja (MMK).
2.
Murabahah Investasi (MI).
3.
Murabahah Konsumsi (MK).
Penggunaan
Akad Murabahah pada Pembiayaan Murabahah di Syariah, Mekanisme pembiayaan murabahah
dapat digunakan untuk pengadaan barang, modal kerja, pembangunan rumah dan
lain-lain. Berikut ini beberapa contoh aplikasi mekanisme pembiayaan murabahah
dalam perbankan syariah:
DAFTAR PUSTAKA
Lina Maulidiana, Penerapan
Prinsip-Prinsip Murabahah Dalam Perjanjian Islam (Kajian Operasional Bank
Syariah Dalam Modernisasi Hukum), Jurnal Sains Dan Informasi, Fakultas
Hukum Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai, No. 7, 2011.
Hendi Suhendi, M. Si, Fiqh
Muamalah,Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002.
Adi Warman
Azram karim, Bank Islam, analisis fiqh dan keuangan, Jakarta: IIIT
Indonesia, 2003.
Ahmad Wanson
Munawir, Al Munawir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progesif,
1997.
Dewan Syariah Nasional MUI dan
Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Cet. 3,
Jakarta; CV. Gaung Persada, 2006.
http://www.muhammadhafizh.com/pengertian-murabahah senin, 14 Maret 2016 , jam 08.52 WITA
[1]
Gamela dewi et al. Op. cit, hlm. 111
[2] http://www.muhammadhafizh.com/pengertian-murabahah senin, 14 Maret 2016 , jam 08.52
WITA