IJARAH
Anotasi Buku “Bank Islam: Analisis Fiqih Keuangan”, Pengarang: Ir.
Adiwarman A. Karim, Penerbit: PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011.
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat (hak guna),
bukan perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah
sama dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya terletak pada objek
transaksinya. Bila jual beli objeknya barang, pada ijarah objek transksinya
adalah barang dan jasa.
Pada dasarnya, ijarah didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan
barang/ jasa dengan membayar imbalan tertentu. Menurut Fatwa Dewan Syariah
Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang
atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
Dengan demikian, dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan,
tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.
Anotasi Buku “Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek Hukumnya”,
Pengarang: Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Penerbit: Prenadamedia Group,
Jakarta, 2015.
Kata ijarah berasal dari kata al-‘Ajr yang berarti kompensasi
(compensation), substitusi (substitute), pertimbangan (consideration), imbalan
(return), atau counter value (al-‘Iwad). ljarah berarti lease contract dan juga
berarti hire contract.
Dalam konteks perbankan syariah, ijarah adalah suatu lease contract
di bawah mana suatu bank atau lembaga keuangan menyewakan peralatan
(equipment), sebuah bangunan, barang-barang seperti mesin-mesin, pesawat
terbang, dan lain-lain kepada salah satu nasabahnya berdasarkan pembebanan
biaya sewa yang sudah ditentukan sebelumnya secara pasti (fixed charge)
Sementara itu, menurut al-Kasani sebagaimana dikutip oleh Ayub,
dalam hukum Islam ijarah adalah “A contract of a known and proposed usufruct of
specified assets for a specified time period against a specified and lawful
return or consideration for the service or return for the benefit proposed to
be taken, or for the effort or work proposed to be expended.”
Seperti halnya juga pada transaksi murabahah, dalam transaksi
ijarah harus terdapat dua akad, yaitu akad bai ’ (jual-beli atau sale) antara
bank dan pemasok (dimungkinkan bank diwakili oleh nasabah yang memerlukan jasa
ijarah)
Anotasi Buku “Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah”, Pengarang: Dr.
Mardani, Penerbit: Kencana Prenamedia Group, Jakarta, 2013.
Ijarah adalah perjanjian sewa-menyewa suatu barang dalam waktu
tertentu melalui pembayaran sewa. Ijarah adalah transaksi sewa-menyewa atas
suatu barang dan atau upah-mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu
melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. Menurut Dr. Muhammad Syafl’i
Antonio, ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa, melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
(ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah, ijarah adalah sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan
pembayaran. Ijarah dapat juga diartikan dengan lease contract dan juga hire
contract. Karena itu, ijarah dalam konteks perbankan syariah adalah suatu lease
contract. Lease contract adalah suatu lembaga keuangan menyewakan peralatan
(equipment), baik dalam bentuk sebuah bangunan maupun barang-barang, seperti
mesin-mesin, pesawat terbang, dan lain-lain. Kepada salah satu nasabahnya
berdasarkan pembebanan biaya yang sudah ditentukan secara pasti sebelumnya.
Dasar hukum ijarah adalah firman Allah S.W.T. QS. al-Baqarah/2: 233
sebagai berikut: “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka
tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut
....”
Ayat di atas menjadi dasar hukum adanya sistem sewa dalam Hukum
Islam, seperti yang diungkapkan dalam ayat bahwa seseorang itu boleh menyewa
orang lain untuk menyusui anaknya, tentu saja ayat ini akan berlaku umum
terhadap segala bentuk sewa-menyewa.
Selain itu, Hadis Nabi Muhammad S.A.W. Riwayat Bukhari-Muslim
sebagai berikut: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
berbekamlah kamu, kemudian berikanlah oleh mu upahnya kepada tukang bekam itu”.
Dalam Hadis lain disebutkan “Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)
Adapun rukun ijarah ialah Pertama: Pihak yang menyewa. Kedua: Pihak
yang menyewakan. Ketiga: Benda yang diijarahkan. dan yang Keempat: Akad.
Anotasi Buku “Fikih Muamalah: Klasik dan Kontempoter (Hukum
Perjanjian, Ekonomi, Bisnis, dan Sosial), Pengarang: Prof. Dr. H. Ismail Nawawi,
MPA, M.Si., Penerbit: Ghalia Indonesia, Bogor, 2011.
Sewa (ijarah) berasal dari kata al-ajru artinya ‘ganti, upah atau
menjual manfaat’. Zuhaili mengatakan, transaksi sewa (ijarah) identik dengan
jual beli, tetapi dalam sewa (ijarah) pemilikan dibatasi dengan waktu. Secara
istilah syariah, menurut ulama flkih, antara lain disebutkan oleh Aljazairi,
sewa (ijarah) dalam akad terhadap manfaat untuk masa tertentu dengan harga
tertentu. Menurut Sabiq, sewa adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat
dengan jalan penggantian.
Sewa (ijarah) dalam hukum Islam diperbolehkan berdasarkan
dalil-dalil sebagai berikut, Allah S.W.T. berfirman “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana
kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka umtuk menyempitkan (hati) mereka dan jika mereka (istri-istri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka
berikanlah kepada mereka upanya dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain
boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. (QS. Ath-Thalaq [65]: 6)
Rasulullah saw. bersabda “Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Tiga
orang dimana Aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat, orang yang memberi
dengan-Ku kemudian mengkhianatiaya, orang yang menjual orang mereka kemudian
memakan hasil penjualannya, dan orang yang menyewa pekerja kemudian pekerja
bekerja baik untuknya namun ia tidak memberikan upahnya’”. (HR. Bukhari)
Sewa (ijarah) menjadi batal dengan kerusakan pada sesuatu yang
disewakan, misalnya rumah yang disewakan roboh, atau kematian hewan yang
disewakan, namun penyewa harus membayar uang sewa selama ini memanfaatkan sesuatu
yang disewanya sebelum rusak
Barangsiapa menyewa sesuatu dan mendapatkannya cacat di dalamnya,
ia berhak membatalkan sewa jika ia tidak mengetahui cacat itu sebelumnya dan
tidak merelakannya.
Anotasi Buku “Fiqh Muamalah”, Pengarang: Prof. DR. Rachmat Syafe’i,
M.A., Penerbit: CV Pustaka Setia, Bandung, 2006.
Menurut etimologi ijarah adalah menjual manfaat, ada yang
menterjemahan ijarah sebagai jual beli jasa, yakni mengambil manfaat tenaga
manusia, ada pula yang menterjemahkan sewa menyewa, yakni mengambil manfaat
dari barang.
Jumhur ulama fiqh berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat
dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu
mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil
susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan
manfaatnya, bukan bendanya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan
firman Allah S.W.T. “Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka
berikanlah mereka upahnya” (QS. Thalaq: 6)
Adapun rukun ijarah yakni ‘Aqid, Shighat akad, Ujrah, dan Manfaat.
Sedangkan syarat ijarah meliputi Syarat Al-Inqad (terjadinya akad), Syarat
An-Nafadz (syarat pelaksanaan akad), Syarat Sah, dan Syarat Lazim.
Anotasi Pribadi
Ijarah merupakan suatu akad yang dimana pihak pertama selaku
pemilik barang/jasa sedangkan pihak kedua selaku penyewa barang/jasa, yang
dimana nantinya pihak kedua akan melakukan akad sewa terhadap barang/jasa yang
dimiliki oleh pihak pertama disertai pembayaran upah atas barang/jasa yang akan
disewa nantinya oleh pihak kedua.
Dasar hukum ijarah berdasarkan firman Allah S.W.T. dalam surah
At-Thalaq Ayat 6 yang berbunyi “Jika mereka menyusukan (anak-anakmu)
untukmu, maka berikanlah mereka upahnya”. Berdasarkan ayat tersebut, jumhur
ulama sepakat bahwa ijarah hukumnya boleh dilakukan selama tidak bertentangan
dengan syariat islam.
Adapun rukun ijarah yakni Mu’jir dan Musta’jir, Shighat, Ujrah,
Barang yang akan disewakan. Akad ijarah berakhir apabila terjadi cacat pada
barang sewaan, rusaknya barang sewaan yang terjadi sebelum ada ditangan penyewa
(sebelumnya kerusakan yang ada tidak diberitahukan oleh pihak pemilik).