MODEL-MODEL PENELITIAN HADITS (METODOLOGI STUDI ISLAM)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits merupakan sumber ajaran Islam yang kedua
setelah Al-Qur’an. Kajian terhadap hadits sangatlah menarik karena keberadaanya
yang mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang kehidupa. Penelitian terhadap
hadits baik secara keotentikannya, kandungan ma’na dan ajaran yang diajarkanya, macam-macam tingkatan dan
fungsi dalam menjelaskan kandungan yang ada pada al-Qur’an banyak dilakukan
oleh para ahli. Hasil dari kajian dan penelitian yang dilakukannya kemudian di
publikasikan diberbagai kalangan akademis diperguruan tinggi, madrasah maupun
masyarakat umum melalui berbagai karya-karya yang telah dirumuskanya. Hasil
dari kajian-kajian tersebut bisa dijadikan sebagai suatu kajian Islam dalam study
hadits yang kita perlukan.
Sebagaimana al-Qur’an hadis banyak diteliti
oleh para ahli, dapat dikatakan penelitian hadis lebih banyak kemungkinan dibandingkan
penelitian al-Qur’an. Ditinjau dari segi datangnya, al-Qur’an diyakini secara
mutawatir dari Allah. sedangkan al-hadis tidak seluruhnya diyakini berasal dari
nabi. Hal ini disebabkan sifat-sifat lafadz hadis tidak bersifat mu’jizat dan
juga perhatian terhadap penulisan hadis pada zaman Rasulullah agak kurang
bahkan beliau pernah melarang penulisan terhadap hadis. Begitu pula sebab-sebab
politisme lainnya, antara masing-masing pembawa hadits berbeda. sehingga
perlulah hadis tersebut untuk di teliti.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi hadits ?
2. Apa sajakah model penelitian yang digunakan
oleh para ulama’ untuk meneliti hadits ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits
Dilihat dari pendekatan kebahasaan, hadits
berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata hadatsa, yahdutsu, hadtsan, haditsan
dengan pengertian yang bermacam-macam. Kata tersebut misalnya dapat berarti
al-jadid min al-asy ya’ sesuatu yang baru, sebagai lawan dari kata al-qadim
yang artinya sesuatu yang sudah kuno atau klasik.
Kata al-hadits kemudian dapat pula berarti
al-khabar yang berarti ma yutahaddats bih wa yunqal, yaitu sesuatu yang
diperbincangkan, dibicarakan atau diberitakan dan dialihkan dari seseorang
kepada orang lain. Hadits dengan pengertian al-khabar sebagaimana tersebut
dalam beberapa ayat al-Qur’an, Allah swt. Berfirman:
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat
yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar.” (Q.S. Ath-Thur (52): 34)
“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh
dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, Sekiranya mereka tidak
beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).”(Q.S. Al-Kahfi (18): 6)
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah
kamu siarkan.” (Q.S. Adh-Dhuha (93): 11)
Berdasarkan informasi ayat-ayat di atas, kita
dapat memperoleh suatu pengertian bahwa pengertian hadits dari segi bahasa
lebih ditekankan pada arti berita atau khabar.
Hadits menurut istilah (terminologi) para ahli
memberikan definisi (ta’rif) yang berbeda-beda, hal ini antara lain disebabkan
karena perbedaan cara pandang yang digunakan oleh masing-masing dalam melihat
suatu masalah.
Para ahli hadits misalnya berpendapat bahwa
hadits adalah segala perkataan Nabi, perbuatan, dan ihwalnya. Adapun yang
dimaksud dengan hal ihwal adalah segala
yang diriwayatkan dari Nabi saw. yang berkaitan dengan hikmah, sejarah
kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya. Sebagian ahli hadits (muhadditsin)
berpendapat bahwa pengertian hadits di atas merupakan pengertian yang sempit.
Menurut mereka, hadits mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas tidak
terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi saw. (hadits marfu’) saja,
melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat (hadits mauquf)
dan tabi’in (hadits maqtu’).
Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa hadits
adalah segala perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah saw. yang berkaitan
dengan hukum. Sementara. itu ulama ahli fiqih mengidentifikasikan hadits dengan
sunah, yaitu sebagai salah satu hukum taklifi, suatu perbutan apabila
dikerjakan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak akan disiksa. Dalam kaitan ini ulama ahli
fikih berpendapat bahwa hadits adalah sifat syari’iyah untuk perbuatan yang
dituntut untuk mengerjakannya, akan tetapi tuntutan melaksanakannya tidak
secara pasti, sehingga diberi pahala orang yang mengerjakannya dan tidak disiksa
orang yang meninggalkannya.
Para Jumhur Ulama umumnya berpendapat, istilah
lain yang semakna dengan hadits adalah sunnah, khabar dan atsar. Yang mempunyai
pengertian yaitu segala sesuatu yang dinukilkan dari Rasulullah saw. sahabat
atau tabi’in baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapannya, baik
semuanya dilakukan sewaktu-waktu saja, ataupun labih sering dan banyak diikuti
oleh para sahabat.
B. Model-Model Penelitian Hadits
Sebagaimana al-Qur’an, al-Hadits pun telah
banyak diteliti oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan penelitian terhadap
al-Qur’an lebih banyak kemungkinan dibandingkan penelitian terhadap al-Qur’an.
Hal ini antara lain dilihat dari segi datangnya al-qur’an dan al-Hadits
berbeda. Kedatangan (wurud), atau turun (nuzul) nya al-Qur’an dinyakini secara
mutawatir berasal dari Allah. Tidak ada satu ayat al-Qur’an yang bukan berasal
dari Allah. Atas dasar ini maka dianggap tidak perlu meneliti apakah ayat-ayat
al-Qur’an itu berasal dari Allah atau tidak.
Hal ini berbeda dengan Hadits. Dari segi datang
(al-wurud) nya hadits tidak seluruhnya diyakini dari Nabi, melainkan ada yang
berasal dari selain Nabi. Hal ini selain disebabkan sifat dari lafadz-lafadz
hadits yang tidak bersifat mukjizat, juga disebabkan perhatian terhadap
penulisan Hadits pada zaman Rasulullah agak kurang, bahkan beliau pernah
melarangnya. Keadaan inilah yang menyebabkan para ulama seperti Imam Bukhari
dan Muslim mencurahkan segenap tenaga, pikiran dan waktunya bertahun-tahun
untuk meneliti hadits, dan hasil penelitiannya dibukukan dalam kitabnya Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim.
Imam Abu Daud juga meneliti hadits dan hasil
penelitiannya dibukukan dalam kitab Sunan Abu Daud. Selanjutnya giliran Imam
At-Thirmidzi yang hasilnya dituangkan dalam kitab Sunan At-Thirmidzi. Imam
Nasa’i membuat penelitian Hadits, dan hasilnya dituangkan dalm kitab Sunan
An-Nasa’i. Terakhir Imam Ibnu Majah dengan kitabnya Sunan Ibnu Majah.
Para peneliti Hadits berikutnya tampil dalam
bentuk yang berbeda-beda. Model penelitian yang dilakukan menunjukkan sudut
pandang masing-masing peneliti berbeda, sesuai latar belakang pendidikan yang
ditempuh. Adapun model penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama hadits
berikutnya adalah sebagai berikut.
1. Model H.M.Quraish Shihab
Penelitian yang dilakukan Quraish Shihab
terhadap hadits menunjukkan jumlahnya tidak lebih banyak jika dibandingkan
dengan penelitian terhadap al-Qur’an. Dalam bukunya berjudul membumikan
Al-Qur’an, Quraish Shihab hanya meneliti dua sisi dari keberadaan hadits, yaitu
mengenai hubungan hadits dan al-Qur’an serta fungsi dan posisi sunnah dalam
tafsir. Bahan-bahan penelitian yang beliau gunakaan adalah bahan kepustakaan
atau bahan bacaan, yaitu sejumlah buku yang ditulis para pakar di bidang hadits
termasuk pula al-Qur’an.
Hasil penelitian Quraish Shihab tentang fungsi
hadits terhadap al-Qur’an, menyatakan bahwa al-Qur’an menekankan bahwa
Rasulullah saw. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah swt. Penjelasan
atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk
dan sifat serta fugsinya.
Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh al-Azhar,
dalam bukunya al-Sunnah Fi Makanatiba wa Fi Tarikhikba, sebagaimana dikutib
H.M. Quraish Shihab, menulis bahwa sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan
dengan al-Qur’an dan fungsi yang berhubungan dengan pembinaan hukum syara’.
Yang pertama sekedar menguatkan dan menggaris bawahi kembali apa yang terdapat
di dalam al-Qur’an. Ulama lain menyebutkan sebagai menetapkan dan memperkuat
hukum-hukum yang telah ditentukan oleh al-Qur’an. Dalam keadaan demikian, maka
al-Qur’an dan al-Sunnah kedua-duanya bersama-sama menjadi sumber hukum. Untuk
contoh fungsi al-Sunnah yang pertama ini dapat diambil hadits yang berbunyi
sebagai berikut.
اَلا أَنْبِئُكُمْ بِأَكْبَرِ
الْكَبَائِرِ؟ قَالُوْا بَلَى : قَالَ الإشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوقُ
اْلوَالِدَيْنِ وَكَانَ مُتَّكِئًا وَجَلَسَ وَقَالَ أَلا وَقَوْلُ الزُّوْرِ
“Tidakkah kamu sekalian ingin aku jelaskan
tentang dosa yang paling berat? Sahut kami (para sahabat): Ya Rasulullah.
Beliau meneruskan sabdanya: (1) Menyekutukan Allah; (2) Berbuat durhaka kepada
kedua orang tua (saat itu Rasulullah masih bersandar, tiba-tiba duduk seraya
bersabda lagi: awas ingat pula) yaitu (3) bersaksi palsu. (H.R. Bukhari dan
Muslim).”
Hadits tersebut adalah sebagai menetapkan dan
menggaris bawahi ayat al-Qur’an yang berbunyi:
“Dan jauhilah perkataan dusta. (QS. Al-Hajj,
ayat 30)”
Adapun fungsi yang kedua dari al-Sunnah adalah
memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat
al-Qur’an. Yaitu memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang
masih mujmal, memberikan taqyid (persyaratan)
ayat-ayat al-Qur’an yang masih muthlaq dan memberikan takhshish
(penentuan khusus) ayat-ayat al-Qur’an yang masih umum.
Misalnya perintah mengerjakan sholat, membayar
zakat dan menunaikan ibadah haji di dalam al-Qur’an tidak dijelaskan jumlah
rakaat dan bagaimana cara-cara melaksanakannya; tidak diperincikan nisab-nisab
zakat dan juga tidak dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji. Tetapi
semuanya itu telah di tafshil (diterangkan secara terperinci) dan ditafsirkan
sejelas-jelasnya oleh hadits. Misalnya hadits yang artinya ”Dihalakan bagi
kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai itu adalah
bangkai ikan dan bangkai belalang. Sedangkan dua macam darah itu ialah hati dan
limpa” (H.R. Ibn Madjah dan al-Hakim). Hadits ini merupakan pengecuali
terhadap ayat al-Qur’an yang sifatnya umum sebagai berikut: “Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.” (QS. al-Maidah, 5 : 3).
Selain itu hadits juga dapat mengambil peran
sebagai menetapkan hukum atau aturan yang tidak didapati di dalam al-Qur’an.
Dalam hubungan ini kita misalkan membaca hadits yang artinya: “Tidak boleh
seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ‘ammah (saudari bapak)
nya dan seorang wanita dengan khalah (saudari ibu) nya”. (H.R. Bukhari Muslim),
dan hadits yang artinya: “Sungguh Allah telah mengharamkannya karena
senasab” (H.R. Bukhari dan Muslim). Materi hukum yang ditetapkan
keharamanya oleh kedua hadits tersebut sepanjang penelitian yang dilakukan para
ahli hadits tidak dijumpai di dalam al-Qur’an, sehingga Nabi Muhammad saw.
mengambil inisiatif untuk mengharamkannya.
2. Model Musthafa Al-Siba’iy
Mustafa al-Shiba’iy yang dikenal sebagai tokoh
intelektual Muslim dari Mesir dan disebut-sebut sebagai pengikut gerakan
Ikhwanul Muslimin, selain banyak menulis (meneliti) tentang masalah-masalah
sosial ekonomi dan sudut pandang Islam, juga menulis buku-buku materi kajian
agama Islam. Di antara bukunya yang berkenaan dengan hadits adalah al-Sunnah wa
Makanatuba fi al-Tafsyiri’i al-Islami yang diterjemahkan oleh Nurcholis Madjid
menjadi Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam Sebuah Pembelaan Kaum
Suni dan diterbitkan oleh pustaka Firdaus, Jakarta pada tahun 1991, cetakan
pertama.
Penelitian yang dilakukan Musthafa al-Siba’iy
dalam bukunya itu bercorak eksploratif dengan menggukan pendekatan historis dan
disajikan secara deskriptif analitis. Yakni dalam sistem penyajiannya
menggunakan pendekatan kronologi urutan waktu dalam sejarah. Ia berupaya
mendapatkan bahan-bahan penelitian sebanyak-banyaknya dari berbagai literatur
hadits sepanjang perjalanan kurun waktu yang tidak singkat.
Hasil penelitian yang dilakukan Musthafa
al-Siba’iy antara lain mengenai sejarah proses terjadi dan tersebarnya hadits
mulai dari Rasulullah sampai terjadinya upaya pemalsuan hadits dan usaha para
ulama untuk membendungnya, dengan melakukan pencatatan sunnah, dibukukannya
Ilmu Musthalah al-hadits, Ilmu Jarh dan al-Ta’dil, kitab-kitab tentang
hadits-hadits palsu dan para pemalsu dan penyebarannya.
3. Model Muhammad Al-Ghazali
Muhammad al-Ghazali yang menyajikan hasil
penelitiannya tentang hadits dalam bukunya berjudul al-Sunnah al-Nabawiyah
Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits adalah seorang ulama jebolan Universitas
Al-Azhar Mesir yang disegani di dunia Islam, khusunya Timur Tengah, dan salah
seorang penulis Arab yang sangat produktif.
Dilihat dari segi kandungan yang terdapat dalam
buku tersebut, nampak bahwa penelitian hadits yang dilakukan Muhammad
al-Ghazali termasuk penelitian eksploratif, yaitu membahas, mengkaji dan
menyelami sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual yang muncul di masyarakat
untuk kemudian diberikan status hukumnya dengan berpijak pada konteks hadits
tersebut. Dengan kata lain Muhammad al-Ghazali terlebih dahulu memahami hadits
yang ditelitinya itu dengan melihat konteksnya kemudian baru dihubungkan dengan
berbagai masalah aktual yang muncul di masyarakat.
Masalah yang terdapat dalam buku hasil
penelitian Muhammad al-Ghazali itu nampak cukup banyak. Setelah ia menjelaskan
tentang kesahihan hadits dan persyaratannya, ia mengemukakan tentang mayit yang
diazab karena tangisan keluarganya, tentang hukum qishash, salat tahiyah
masjid, tentang sekitar dunia wanita yang meliputi antara kerudung dan cadar,
wanita keluarga dan profesi, hubungan wanita dengan masjid, kasus-kasus pidana
dan qishash, etika makan, minum,
berpakain dan membangun rumah.
4. Model Zain al-Din ‘Abd al-Rahim bin
Al-Husain Al-Iraqi
Al-Hafidz Zain al-Din ‘Abd al-Rahim bin Husain
al-Iraqi yang hidup tahun 752-806 tergolong ulama generasi pertama yang banyak
melakukan penelitian hadits. Bukunya berjudul al-Taqyid wa al-Idlah Syarh
Muqaddiman Ibn al-Shalah adalah termasuk kitab ilmu hadits tertua yang banyak mengemukakan hasil penelitian dan
banyak dijadikan rujukan oleh para peneliti dan penulis hadits generasi
berikutnya. Ia disebutkan sebagai penganut madzab Syafi’i, belajar di Mesir dan
mendalami bidang fikih. Di antara gurunya adalah al-Asnawiy dan Ibn ‘Udlan yang
keduanya termasuk pendiri mazhab Syafi’i. Selain itu juga dikenal menguasai
ilmu al-nahwu (gramatika), ilmu qira’at dan hadits.
Mengingat sebelum zaman al-Iraqi belum ada
hasil penelitian hadits, maka nampak ia berusaha membangun ilmu hadits dengan
menggunakan bahan-bahan hadits nabi serta berbagai pendapat para ulama yang
dijumpai dalam kitab tersebut. Dengan demikian penelitiannya bersifat
penelitian awal, yaitu penelitian yang ditujukan untuk menemukan bahan-bahan
untuk digunakan membangun suatu ilmu.
Buku inilah buat pertama kali mengemukakan
macam-macam hadits yang didasarkan pada kualitas sanad dan matannya, yaitu ada
hadits yang tergolong sahih, hasan, dan dlaif. Kemudian dilihat pula dari
keadaan bersambung atau terputusnya sanad yang dibaginya menjadi hadits musnad,
marfu’, mauquf, mursal. Selanjutnya dilihat pula dari keadaan kualitas matannya
yang dibagi menjadi hadits yang syadz dan munkar.
BAB III
KESIMPULAN
Hadits ada yang mengartikan sebagai al-Jadid,
yaitu sesuatu yang baru, lawannya al-Qadim yaitu sesuatu yang sudah kuno atau
klasik. Ada juga yang mengartikan al-Khabar yaitu sesuatu yang diperbincangkan,
dibicarakan atau diberitakatan.
Dibalik larangan Rasulullah menulis hadits
ternyata ada sejumlah sahabat yang memiiki catatan-catatan dan melakukan
penulisan terhadap hadits. Larangan menulis hadits adalah khusus ketika
al-Qur’an turun, keadaan ini menyebabkan para ulama seperti Imam Bukhari dan
Imam Muslim, tenaga dan waktunya bertahun-tahun untuk meneliti hadits. Dalam
menjaring hadits yang shahih para peneliti berikutnya juga ikut mencurahkan
seluruh kemampuannya untuk meneliti hadits. Model-model penelitian tersebut
bervariasi sesuai latar belakang pendidikannya. Penelitian yang dilakukan
bermacam-macam model, seperti:
1. Model penelitian Quraish Shihab
2. Model penelitian Musthafa Al-Siba’i
3. Model penelitian Muhammad Al-Ghazali
4. Model penellitian Zain al-Din ‘Abd al-Rahman
bin Al-Husain Al-Iraqi
5. Model penelitian lainnya