Anotasi Buku Tentang Mudharabah


MUDHARABAH



Anotasi Buku “Bank Islam: Analisis Fiqih Keuangan”, Pengarang:Ir.Adiwarman A. Karim, Penerbit: PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011.



Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oIeh umat Muslim sejak zaman nabi, bahkan telah dipraktikan oleh bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Ketika Nabi Muhammad S.A.W. berprofesi sebagai pedagang, ia melakukan akad mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian, di tinjau dari segi hukum Islam, maka praktik nudharabah ini dibolehkan, baik menurut Alquran, Sunnah, maupun Ijma’.



Dalam praktik mudharabah antara Khadijah dengan nabi, saat itu Khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual oleh Nabi Muhammad S.A.W. ke luar negeri. Dalam kasus ini, Khadijah berperan sebagai pemilik modal (shahib al maal) sedangkan Nabi Muhammad S.A.W. berperan sebagai pelaksana usaha. Nah, bentuk kontrak antara dua pihak di mana satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan empercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua, yakni si pelaksana usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan untung disebut akad mudharabah. Atau singkatnya, akad mudharabah adalah “Persetujuan kongsi antara harta dari salah satu pihak dengan kerja dari pihak lain”.



Pada prinsipnya bentuk mudharabah terbagi menjadi 2 jenis, pertama: Mudharabah Mutlaqah, dimana shahib al maal tidak menetapkan restriksi atau syarat-syarat tertentu kepada mudharib. Kemudian yang kedua: Mudharabah Muqayyadah, dimana shahib al maal boleh menetapkan batasan-batasan / syarat-syarat tertentu guna menyelamatkan modalnya dari resiko kerugian.



Anotasi Buku “Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek Hukumnya”, Pengarang: Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Penerbit: Prenadamedia Group, Jakarta, 2015.



Mudharabah adalah akad kerja sama dalam suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-maal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua ('amil, mudarib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.



Mudharabah juga disebut dengan istilah lain, yaitu qirad. Dalam hal yang demikian itu, investor atau pemilik modal disebut muqarid. Istilah mudharabah dipakai oleh mazhab Hanafi, Hanbali, dan Zaydi, sedangkan istilah qirad dipakai oleh mazhab Maliki dan Syafi’i.



Sejalan dengan keterangan di atas, menurut Ayub bahwa dari berbagai buku tentang fikih, istilah mudharabah digunakan saling menggantikan (interchangeably) dengan istilah qirad dan muqaradah. Istilah mudharabah berasal dari Irak sedangkan qirad dan muqaradah digunakan di Hijaz. Dalam perkembangannya, mazhab Maliki dan Syafi’i menggunakan qirad dan muqaradah, sedangkan mazhab Hanafi menggunakan istilah mudharabah.



Anotasi Buku “Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah”, Pengarang: Dr. Mardani, Penerbit: Kencana Prenamedia Group, Jakarta, 2013.



Secara etimologis mudharabah mempunyai arti berjalan di atas bumi yang biasa dinamakan berpergian, hal ini sesuai dengan firman Allah S.W.T. dalam QS. An-Nisaa’ 4: 101; “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qasahar shalat."



Secara terminologis mudharabah adalah kontrak (perjanjian) antara pemilik modal (rab al-maal) dan pengguna dana (mudharib) untuk digunakan untuk aktivitas yang produktif di mana keuntungan dibagi dua antara pemodal dan pengelola modal. Kerugian jika ada ditanggung oleh pemilik modal, jika kerugian itu terjadi dalam keadaan normal, pemodal (rab al-mal) tidak boleh intervensi kepada pengguna dana (mudharib) dalam menjalankan usahanya.



Dasar kebolehan praktik mudharabah adalah QS. Al Baqarah 2; 198: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu”. Adapun dalil hadist adalah bahwasanya Nabi Muhammad S.A.W. pernah melakukan akad mudharabah (bagi hasil) dengan harta Khadijah ke negeri Syam (waktu itu Khadijah belum menjadi istri Rasulullah S.A.W.). Dan Hadist “Dari Shuhaibah Rasulullah SAW bersabda: Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan kurma untuk keluarga, bukan untuk dijual.” (HR.Ibnu Majah)



Diriwayatkan dari Daruquthni Hakim Ibn Hizam apabila memberi modal kepada seseorang, dia mensyaratkan: harta jangan digunakan untuk membeli binatang, jangan kamu bawa ke laut, dan jangan di bawa menyeberang sungai, apabila kamu lakukan salah satu dari larangan-larangan itu, maka kamu harus bertanggung jawab terhadap hartaku.



Dalam muwatha’ Imam Malik, dari al-A’la Ibn Abdur Rahman Ibn Yakub dari kakeknya, bahwa ia pernah mengerjakan harta Ustman r.a. sedang keuntungannya dibagi dua.



Kebolehan mudharabah juga dapat di-qiyas-kan dengan kebolehan praktik musaqah (bagi hasil dalam bidang perkebunan). Selain itu. kebolehan praktik mudharabah merupakan ijma’ ulama.



Anotasi Buku “Fikih Muamalah: Klasik dan Kontemporer (Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis, dan Sosial), Pengarang: Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, MPA, M.Si., Penerbit: Ghalia Indonesia, Bogor, 2011.



Istilah mudharabah berasal dari kata dharb, artinya ‘memukul atau berjalan’. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang menggerakan kakinya dalam menjalankan usaha. Mudharabah merupakan bahasa Irak, sedangkan bahasa penduduk Hijaz manyebut dengan istilah qiradh.



Zuhaily mengemukakan, mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak: pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) yang menyediakan seluruh modal; dan pihak kedua sebagai pengelola usaha (mudharib). Keuntungan yang didapatkan dari akad mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak dan biasanya dalam bentuk presentase (nisbah).



Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian maka kerugian itu ditanggung oleh pemilik modal (shahibul maal) sepanjang kerugian itu bukan kelalaian mudharib. Sementara mudharib menanggung kerugian atas upaya jerih payah dan waktu yang telah dilakukan untuk menjalankan usaha. Namun, jika kerugian itu diakibatkan karena kelalaian mudharib, maka mudharib harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.



Firman Allah S.W.T. dalam Al Quran “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah” QS. Muzammil: 73, 20



Jaminan dalam kontrak mudharabah merujuk kepada tanggung jawab mudharib untuk mengembalikan modal kepada pemilik dana dalam semua keadaan. Hal ini tidak dibolehkan karena adanya fakta bahwa pegangan mudharib akan dana itu sifatnya amanah, dan orang yang diamanahkan tidak berkewajiban menjamin dana itu kecuali melanggar batas atau menyalahi ketentuan. Jika pemilik modal (shahibul maal) mensyaratkan kepada mudharib untuk menjamin penggantian modal ketika terjadi kerugian, maka syarat itu merupakan syarat bathil dan akad tetap sah adanya, ini menurut pendapat Hanafiyah dan Hanabilah. Menurut. Syafiiyyah dan Malikiyah, akad mudharabah menjadi rusak (fasid), karena syarat tersebut bersifat kontradiktif dengan karakter dasar akad mudharabah.



Anotasi Buku “Fiqh Muamalah”, Pengarang: Prof. DR. Rachmat Syafe’i, M.A., Penerbit: CV Pustaka Setia, Bandung, 2006.



Mudharabah atau qiradh termasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian). Istilah mudharabah digunakan oleh orang irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya dengan istilah qiradh. Dengan demikian, mudharabah dan qiradh adalah dua istilah untuk maksud yang sama.



Munurut bahasa, qiradh diambil dari kata qardh yang berarti qath (potongan), sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada pengusaha agar mengusahakan harta tersebut, dan pengusaha akan memberikan potongan dari laba yang diperoleh. Bisa juga diambil dari kata muqaradhah yang berarti musawwah (kesamaan), sebab pemilik modal dan pengusaha memiliki hak yang sama terhadap laba.



Orang irak menyebutnya dengan istilah mudharabah sebab setiap yang melakukan akad memiliki bagian dari laba, atau pengusaha harus mengadakan perjalanan dalam mengusahakan harta modal tersebut.



Mengenai pengertian mudharabah secara istilah, diantara ulama fikih terjadi perbedaan pendapat, yakni “Pemilik harta (modal) menyerahkan modal kepada pengusaha untuk berdagang dengan tersebut, dan laba dibagi diantara keduanya berdasarkan persyaratan yang disepakati”



Apabila rugi, hal itu ditanggung oleh pemilik modal. Dengan kata lain, pekerja tidak bertanggung jawab atas kerugiannya. Begitu pula tidak boleh berupa hutang. Pemilik modal memiliki hak untuk mendapatkan laba sebab modal tersebut miliknya, sedangkan pekerja mendapatkan laba dari hasil pekerjaannya.



Ulama fikih sepakat bahwa mudharabah disyaratkan dalam Islam berdasarkan Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Firman Allah S.W.T. “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan-Mu” (QS. Al Baqarah : 198)



Anotasi Pribadi



Mudharabah merupakan suatu akad yang dimana pihak pertama selaku pemilik modal dengan pihak kedua selaku pengelola modal yang bekerjasama untuk menghasilkan usaha yang nantinya laba yang diperoleh dibagi menurut ketentuan yang telah disepakati bersama antara pihak pertama dan pihak kedua



Dasar hukum mudharabah yakni pada surah Al Baqarah yang berbunyi “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan-Mu” dan pada surah Al Muzammil yang berbunyi “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah”. Para ulama madzab sepakat bahwa akad mudharabah sah dilakukan berdasarkan ketetapan yang ada sejak zaman Rasulullah S.A.W.



Adapun syarat sah mudharabah meliputi Syarat Aqidaini (Kedua pihak disyaratkan harus ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil), Syarat Modal (Berupa uang, nyata dan jelas, dan modal harus diberikan kepada pengusaha), Syarat Laba (Memiliki ukuran/ takaran, dan berupa bagian yang umum/masyhur dikalangan pengusaha).



Penutup



Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.



Dalam praktiknya, bank membiayai pembelian barang yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli terlebih dahulu barang itu dari pemasok barang dan setelah kepemilikan barang itu berada di tangan bank, kemudian bank tersebut menjualnya kepada nasabah dengan menambahkan suatu margin (keuntungan) di mana nasabah harus diberitahu oleh bank berapa harga beli bank dari pemasok dan menyepakati berapa besar margin (keuntungan) yang ditambahkan ke atas harga beli bank tersebut.



Ijarah merupakan suatu akad yang dimana pihak pertama selaku pemilik barang/jasa sedangkan pihak kedua selaku penyewa barang/jasa, yang dimana nantinya pihak kedua akan melakukan akad sewa terhadap barang/jasa yang dimiliki oleh pihak pertama disertai pembayaran upah atas barang/jasa yang akan disewa nantinya oleh pihak kedua



Mudharabah merupakan suatu akad yang dimana pihak pertama selaku pemilik modal dengan pihak kedua selaku pengelola modal yang bekerjasama untuk menghasilkan usaha yang nantinya laba yang diperoleh dibagi menurut ketentuan yang telah disepakati bersama antara pihak pertama dan pihak kedua




Anotasi Buku Tentang Ijarah


IJARAH



Anotasi Buku “Bank Islam: Analisis Fiqih Keuangan”, Pengarang: Ir. Adiwarman A. Karim, Penerbit: PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011.



Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila jual beli objeknya barang, pada ijarah objek transksinya adalah barang dan jasa.



Pada dasarnya, ijarah didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang/ jasa dengan membayar imbalan tertentu. Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.



Dengan demikian, dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.



Anotasi Buku “Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek Hukumnya”, Pengarang: Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Penerbit: Prenadamedia Group, Jakarta, 2015.



Kata ijarah berasal dari kata al-‘Ajr yang berarti kompensasi (compensation), substitusi (substitute), pertimbangan (consideration), imbalan (return), atau counter value (al-‘Iwad). ljarah berarti lease contract dan juga berarti hire contract.



Dalam konteks perbankan syariah, ijarah adalah suatu lease contract di bawah mana suatu bank atau lembaga keuangan menyewakan peralatan (equipment), sebuah bangunan, barang-barang seperti mesin-mesin, pesawat terbang, dan lain-lain kepada salah satu nasabahnya berdasarkan pembebanan biaya sewa yang sudah ditentukan sebelumnya secara pasti (fixed charge)



Sementara itu, menurut al-Kasani sebagaimana dikutip oleh Ayub, dalam hukum Islam ijarah adalah “A contract of a known and proposed usufruct of specified assets for a specified time period against a specified and lawful return or consideration for the service or return for the benefit proposed to be taken, or for the effort or work proposed to be expended.”



Seperti halnya juga pada transaksi murabahah, dalam transaksi ijarah harus terdapat dua akad, yaitu akad bai ’ (jual-beli atau sale) antara bank dan pemasok (dimungkinkan bank diwakili oleh nasabah yang memerlukan jasa ijarah)



Anotasi Buku “Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah”, Pengarang: Dr. Mardani, Penerbit: Kencana Prenamedia Group, Jakarta, 2013.



Ijarah adalah perjanjian sewa-menyewa suatu barang dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa. Ijarah adalah transaksi sewa-menyewa atas suatu barang dan atau upah-mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. Menurut Dr. Muhammad Syafl’i Antonio, ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ijarah adalah sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran. Ijarah dapat juga diartikan dengan lease contract dan juga hire contract. Karena itu, ijarah dalam konteks perbankan syariah adalah suatu lease contract. Lease contract adalah suatu lembaga keuangan menyewakan peralatan (equipment), baik dalam bentuk sebuah bangunan maupun barang-barang, seperti mesin-mesin, pesawat terbang, dan lain-lain. Kepada salah satu nasabahnya berdasarkan pembebanan biaya yang sudah ditentukan secara pasti sebelumnya.



Dasar hukum ijarah adalah firman Allah S.W.T. QS. al-Baqarah/2: 233 sebagai berikut: “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut ....



Ayat di atas menjadi dasar hukum adanya sistem sewa dalam Hukum Islam, seperti yang diungkapkan dalam ayat bahwa seseorang itu boleh menyewa orang lain untuk menyusui anaknya, tentu saja ayat ini akan berlaku umum terhadap segala bentuk sewa-menyewa.



Selain itu, Hadis Nabi Muhammad S.A.W. Riwayat Bukhari-Muslim sebagai berikut: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda: berbekamlah kamu, kemudian berikanlah oleh mu upahnya kepada tukang bekam itu”. Dalam Hadis lain disebutkan “Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)



Adapun rukun ijarah ialah Pertama: Pihak yang menyewa. Kedua: Pihak yang menyewakan. Ketiga: Benda yang diijarahkan. dan yang Keempat: Akad.



Anotasi Buku “Fikih Muamalah: Klasik dan Kontempoter (Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis, dan Sosial), Pengarang: Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, MPA, M.Si., Penerbit: Ghalia Indonesia, Bogor, 2011.



Sewa (ijarah) berasal dari kata al-ajru artinya ‘ganti, upah atau menjual manfaat’. Zuhaili mengatakan, transaksi sewa (ijarah) identik dengan jual beli, tetapi dalam sewa (ijarah) pemilikan dibatasi dengan waktu. Secara istilah syariah, menurut ulama flkih, antara lain disebutkan oleh Aljazairi, sewa (ijarah) dalam akad terhadap manfaat untuk masa tertentu dengan harga tertentu. Menurut Sabiq, sewa adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.



Sewa (ijarah) dalam hukum Islam diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut, Allah S.W.T. berfirman  Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka umtuk menyempitkan (hati) mereka dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upanya dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. (QS. Ath-Thalaq [65]: 6)



Rasulullah saw. bersabda “Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Tiga orang dimana Aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat, orang yang memberi dengan-Ku kemudian mengkhianatiaya, orang yang menjual orang mereka kemudian memakan hasil penjualannya, dan orang yang menyewa pekerja kemudian pekerja bekerja baik untuknya namun ia tidak memberikan upahnya’”. (HR. Bukhari)



Sewa (ijarah) menjadi batal dengan kerusakan pada sesuatu yang disewakan, misalnya rumah yang disewakan roboh, atau kematian hewan yang disewakan, namun penyewa harus membayar uang sewa selama ini memanfaatkan sesuatu yang disewanya sebelum rusak



Barangsiapa menyewa sesuatu dan mendapatkannya cacat di dalamnya, ia berhak membatalkan sewa jika ia tidak mengetahui cacat itu sebelumnya dan tidak merelakannya.



Anotasi Buku “Fiqh Muamalah”, Pengarang: Prof. DR. Rachmat Syafe’i, M.A., Penerbit: CV Pustaka Setia, Bandung, 2006.



Menurut etimologi ijarah adalah menjual manfaat, ada yang menterjemahan ijarah sebagai jual beli jasa, yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menterjemahkan sewa menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang.



Jumhur ulama fiqh berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya, bukan bendanya.



Jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan firman Allah S.W.T. “Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah mereka upahnya” (QS. Thalaq: 6)



Adapun rukun ijarah yakni ‘Aqid, Shighat akad, Ujrah, dan Manfaat. Sedangkan syarat ijarah meliputi Syarat Al-Inqad (terjadinya akad), Syarat An-Nafadz (syarat pelaksanaan akad), Syarat Sah, dan Syarat Lazim.



Anotasi Pribadi



Ijarah merupakan suatu akad yang dimana pihak pertama selaku pemilik barang/jasa sedangkan pihak kedua selaku penyewa barang/jasa, yang dimana nantinya pihak kedua akan melakukan akad sewa terhadap barang/jasa yang dimiliki oleh pihak pertama disertai pembayaran upah atas barang/jasa yang akan disewa nantinya oleh pihak kedua.



Dasar hukum ijarah berdasarkan firman Allah S.W.T. dalam surah At-Thalaq Ayat 6 yang berbunyi “Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah mereka upahnya”. Berdasarkan ayat tersebut, jumhur ulama sepakat bahwa ijarah hukumnya boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan syariat islam.



Adapun rukun ijarah yakni Mu’jir dan Musta’jir, Shighat, Ujrah, Barang yang akan disewakan. Akad ijarah berakhir apabila terjadi cacat pada barang sewaan, rusaknya barang sewaan yang terjadi sebelum ada ditangan penyewa (sebelumnya kerusakan yang ada tidak diberitahukan oleh pihak pemilik).

Makalah Ushul Fiqh (Pengertian dan Rukun Ijma')


PENGERTIAN DAN RUKUN-RUKUN IJMA



Pengertian Ijma’



Ijma' menurut istilah ahli ushul ialah persepaketan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu mesa sepeninggel Rasululullah saw. terhedep suetu hukum syar'i mengenai suatu peristiwa.



Sebagai realisasi dari ta'rif tersebut ialah apabila terjadi suatu peristiwa yang memerlukan adanya ketentuan hukum, kemudian setelah peristiwa itu dikemukakan kepada para Mujtahid dari kaum muslimin, mereka lalu mengambil persepakatan terhadap hukum peristiwa tersebut, maka persepakatan mereka itulah disebut ijma'. Putusan ijma' ini merupakan suatu dalil syar'i terhadap masalah itu.



Persepakatan mereka itu terjadi setelah wafatnya Rasulullah saw, sebab pada masa beliau masih hidup, beliau sendirilah satu-satunya tempat meminta untuk menetapkan hukum suatu peristiwa. Oleh karena itu pada saat beliau masih hidup tidak mungkin terjadi adanya perlawanan hukum terhadap suatu masalah dan tidak pula terjadi adanya hukum suatu peristiwa hasil dari persepakatan, karena persepakatan itu sendiri mengingatkan akan adanya beberapa orang untuk bermusyawarah. Pada hakikatnya mereka tidak perlu bermusyawarah, cukuplah kiranya apabila mereka menanyakan saja kepada Rasulullah saw.



Rukun-Rukun Ijma'



Oleh karena ijma' itu adalah persesuaian pendapat para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa terhadap hukum suatu peristiwa, maka ijma' itu tidak akan terealisir sekiranya tidak memenuhi 4 macam rukun berikut ini.



1.   Pada masa terjadinya peristiwa itu harus ada beberapa orang mujtahid. Sebab istilah persepatatan pendapat itu tidak akan bdrwujud sekiranya tidak ada beberapa macam pendapat yang masing-masing pendapat itu bersesuaian dengan pendapat yang lain. Jikalau dalam masa terjadinya peristiwa itu tidak ada seorang mujtahid sama sekali, atau ada tetapi hanya seorang saja, maka tidaklah terjadi suatu ijma' yang dibenarkan oleh Syara'. Oleh karena itu pada waktu Rasulullah saw. masih hidup ijma' itu tidak akan terjadi, karena beliau sajalah satu-satunya mujtahid pada waktu itu.



2.  Seluruh mujtahid kaum muslimin menyetujui hukum syara' yang telah mereka putuskan itu dengan tidak memandang negara, kebangsaan dan golongan mereka. Kalau peristiwa yang dimusyawarahkan itu hanya disepakati oleh mujtahid dari satu negara saja, misalnya mujtahid dari Mesir, atau Saudi Arabia, atau Pakistan atau Indonesia saja, maka hasil putusan tersebut bukanlah ijma'. Ijma' harus merupakan persepakatan dari seluruh mujtahid alam Islami pada saat peristiwa itu terjadi.



3.  Persepakatan itu hendaknya dilahirkan oleh masing-masing dari mereka secara tegas terhadap peristiwa itu, baik lewat perkataan maupun perbuatan, seperti mempraktekkannya dalam pengadilan walaupun pada permulaannya baru merupa- kan pernyataan perseorangan kemudian pernyataan itu disambut oleh orang banyak, maupun merupakan pernyataan bersama melalui satu muktamar.



4.  Persepalatan itu haruslah merupakan persepakataq yang bulat dili seluruh mujtahid. Jadi, kalau persepakatan itu hanya dai kebanyakan mujtahid saja sedang sebagian mujtahid yang lain menentangnya, maka bukanlah merupakan ijma' yang dapat dijadikan hujjah syar'iyah.



Apabila rukun-rukun ijma' tersebut telah terpenuhi, maka hukum hasil dari ijma' itu merupakan undang-undang syara' yang wajib ditaati dan para mujtahid berikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa yang telah disepakati itu tempat berijtihad baru. Sebab hukumnya sudah tetap atas dasar bahwa ijma' itu telah menjadi hukum syara'yang qath'i, hingga tidak dapat ditukar atau dihapus dengan ijtihad yang lain.


Makalah Ushul Fiqh (Kedudukan Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam)


LATAR BELAKANG



Dasar hukum islam adalah al-qur’an dan sunah. Sunah merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-qur’an. Hadis secara bahasa mempunyai 3 arti; pertama berarti baru (jadid), kedua berarti dekat (qarib), dan ketiga berarti berita (khabar). Adapun pengertian hadis menurut ahli hadis adalah semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, dan sifat.  Kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam adalah sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Penegas terhadap ayat-ayat al-Qur’an, menentukan hokum baru yang tidak ada pada al-Qur’an dan menghapus ketentuan hukum dalam al-Qur’an.



RUMUSAN MASALAH



1.   Apa kedudukan hadist sebagai sumber hukum islam?

2.  Apa saja dalil-dalil kehujahan hadis?

3.  Apakah fungsi hadis terhadap al-qur’an?



TUJUAN



Tujuan kami membuat makalah ini untuk mengetaui lebih dalam tentang hadis sebagai sumber hukum islam, apa saja dalil kehujahan hadis dan fungsi hadis terhadap al-qur’an. Semoga bisa bermanfaat.



HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM



Sumber hukum islam ada dua, yaitu Al-Qur’an dan al-hadist. Kedudukan hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Seluruh umat islam baik yang naql maupun yang ahli aql telah sepakat bahwa hadis merupakan sumber dasar hukum islam, dan disepakati tentang diwajibkannya untuk mengikuti hadis sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-Qur’an.



Dalam kaitannya dengan ini, Muhammad Ajjaj Al-Khatib mengatakan: “Al-Qur’an dan As-Sunah (Al-Hadis) merupakan dua sumber hukum syariat islam yang tepat, sehingga umat islam tidak mungkin mampu memahami syatiat islam tanpa kembali kepada kedua sumber hukum islam tersebut. Mujtahid dan orang alim pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari keduanya.” 



AL-QUR’AN QATH’I



Alqur'an yang diturunkan secara mutawatir, dari segi turunnya berkualitas qath'i(pasti benar) akan tetapi, hukum-hukum yang dikandung Alqur'an ada kalanyabersifat qath'I dan ada kalanya bersifat  zdanni (relatif benar). Ayat yang bersifat qath'i adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipamahi makna lain darinya. Ayat-ayat seperti ini, misalnya ;ayat-ayat waris, hudud , kaffarat.



Adapun ayat-ayat yang mengandung hukum zhanni adalah lafal-lafal yang dalam Al-qur'an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk dita'wilkan. Misalnya lafal قر Ùˆ Ø¡ , musytarak  (mengandung pengertian ganda) yaitu qara / lafal yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 228.



Kata quru di atas merupakan lafal musytarak yang mengandung dua  makna, yaitu suci dan haidl. Oleh sebab itu, apabila kata quru di artikan dengan suci, sebagaimana yang dianut ulamaSyafiiyyah ' adalah boleh / benar. Dan jika diartikan dengan haidl juga boleh (benar)sebagaimana yang dianut ulama Hanafiyah.



Dalil disebut Qath’i (pasti) apabila memenuhi dua persyaratan :



1.   Qath’i wurudnya (sumbernya) yaitu : Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir

2.  Qath’i dhalalah-nya (petunjuk lafazhnya) yaitu : muhkam (tidak ada kemungkinan multi penafsiran) dan sharih (jelas).



Bila suatu dalil dari Ayat Al-Qur’an dan atau Hadits telah memenuhi semua syarat dalil qath’i diatas maka menjadi dalil qath’i yang sempurna, maka hukumnya harus diterima bulat-bulat, tanpa reserve. Tidak boleh ada ijtihad lagi dan tidak boleh diotak-atik, tidak boleh ditambah-dikurangi.



Kebanyakan masalah Ushul dalilnya adalah qath’i, sedangkan kebanyakan masalah furu’ dalilnya tidak qath’i. Tetapi ada juga masalah furu’ yang dalilnya qoth’i sehingga semua ulama menyepakatinya dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal tersebut, contohnya :



1.   Hukum haram bagi daging babi, bangkai, darah yang mengalir, khamr (arak) dan riba.

2.  Hukum rajam bagi pezina mukhson (sudah pernah menikah), dera 100 kali bagi pezina ghoiru mukhson (belum pernah menikah).

3.  Hukum Qisash (balas bunuh) bagi pembunuhan yang disengaja.

4.  Hukum potong tangan bagi pencuri.

5.  Hukum dera 80 kali bagi orang yang mendakwakan tuduhan dusta.

6.  Hukum potong tangan, kaki dan disalip bagi pelaku kerusuhan dan tindakan anarkis. (perampok, penjarah, pelaku huru-hara, pemberontak, dsb).



HADIS SEBAGAI BAYAN



Hadis sebagai bayan, yaitu bayan taqrir, bayan tafsir, bayan naskhi dan bayan tasyri’i. adapun penjelasannya sebagai berikut:



Bayan Taqrir



Yaitu posisi hadis sebagai penguat (taqrir) atau memperkuat keterangan al-qur’an (ta’ki). Seperti yang dijelaskan pada hadis berikut : “Dari Ibn Umar ra.: Rasulullah saw bersabda: Islam didirikan atas lima perkara: menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adAlah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa, haji dan puasa ramadhan”.



Bayan Tafsir



Yaitu hadis sebagai penjelas (tafsir) terhadap al-qur’an dan fungsi inilah yang terbanyak. Ada 3 macam yaitu :



1.   Tafshil al mujmal, Yaitu hadis yang memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat al-qur’an. Seperti dalam hadis nabi yang diriwayatkan bukhari misalnya : “Shalatlah sebagaimana engkau melihat shalatku”. (H.R. Muslim)

2.  Takhshish al-amm, Yaitu hadis yang mengkhususkan ayat-ayat al-qur’an yang umum. Seperti yang terkandung dalam surat an-nisa’ : 14 “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (bagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sam dengan bagian dua anak perempuan”.

3.  Taqyid al-muthlaq, Yaitu hadis yang membatasi kemutlakan al-qur’an. Misalnya firman allah dalam Q.S Al-maidah : 38 “Pencuri lelaki  dan perempuan, potonglah tangan-tangan mereka”. Sedangkan dalam sabda nabi berbunyi sebgai berikut: Artinya: “Rasulullah saw didatangi seorang yang membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan.



Bayan Naskhi



Yaitu hadis menghapus hukum yang diterangkan dalam al-qur’an. Para ulama mengartikan bayan an-nasakh ini melalui pendekatan bahasa, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam men-takrif-kannya. Hal ini terjadi pada kalangan ulama mutaakhirin dengan ulama mutaqadimin. Menurut ulama mutaqadimin, yang disebut bayannaskhi ini adalahdalil syara’( yang dapat menghapus ketentuan yang telah ada), karena datangnya kemudian.



Dari pengertian di atas jelaslah bahwa ketentuan yang dating kemudian dapat menghapuskan ketentuan yang terdahulu. Demikianlah menurut ulama yang menganggap adanya fungsi bayan naskhi. Imam Hanafi membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadis-hadis yang mutawatir dan masyur, sedangkan terhadap hadis ahad dia menolaknya.



Seperti kewajiban wasiat yang diterangkan dalam surat al-baqarah : 180 “Diwajibkan atas kamu, apabila diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara maruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. Ayat tersebut dinasakh dengan hadis nabi: “ Sesungguhnya Allah memberikan hak kepada setiap yang mempunyai hak dan tidak ada wasiat itu wajib bagi waris”. (HR. An-Nasa’i)



Bayan Tasyri’i



Yaitu hadis menciptakan hokum syari’at yang belum ijelaskan dalam al-qur’an. Para ulama berbeda pendapat tentang fungsi sunnah sebagai dalil pada sesuwatu hal yang tidak dijelaskan pada al-qur’an. Misalnya, keharaman jual beli dengan berbagai cabangnya menerangkan yang tersirat dalam Surah an-Nisa’: 29 “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”.



DALIL KEHUJAHAN HADIS



Sebenarnya hanya dengan petunjuk logika (dalil aql) sudah cukup untuk menetapkan kehujjahan hadis dalam tasyri’I islam. Betapa tidak, ketika ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an pada umumnya bersifat global tanpa disertai petunjuk teknis pelaksanaanya, merupakannkonsekuensi logis bila kemudian sunnah Rasulullah saw dijadikan sebagai rujukan, sebab kepada beliau pula manusia yang paling paham tentang apa yang dikehendaki al-Qur’an.



Meski penjelasan mengenai hal ini sudah sangat jelas dan pasti, namun akan kami kemukakan beberapa argument yang menetapkan, agar semakin hilang keraguan yang mengurangi bobot kehujjahan hadis. Antara lain:



Dalil Iman



Salah satu dasar keimanan adalah iman kepada utusan-utusan Allah swt. Adalah sebuah kelaziman bahwa iman kepada nabi Muhammad saw berarti kewajiban meneriman segala apa yang berasal dari beliau dalam urusan agama. Allah swt berfirman: Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk".(Al-A’raaf: 158)



Keberadaan Rasulullah saw sebagai seorang yang terpercaya (al-amin) dan tidak menyampaikan sesuatu dalam urusan agama terkecuali seperti apa yang telah diwahyukan kepadanya, disamping setiap nabi adalah ma’sum (terjaga dari salah/ dosa), menuntut kita untuk selalu berpegang teguh atas sunnah danberhujjah kepadanya.



Dalil Al-Qur’an



Banyak dalil al-qur’an yang perintah patut kepada rasul dan mengikuti sunahnya. Perintah patuh kepada rasul berarti perintah mengikuti sunah sebagai hujah. Antara lain:



1.   Konsekuensi iman kepada allah adalah taat kepada-Nya. Sebagai mana perintah allah dalam Surat Ali Imran : 179 “Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar”.

2.  Perintah iman kepada rasul beserta iman kepada allah. Sebagai mana perintah allah dalam Surat An-Nisa : 136 “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Alllah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya”.

3.  Kewajiban taat pada rasul karena menyambut peerintah allah. Sebagai mana perintah allah dalam Surat An-Nisa’ : 64 “Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul, meelainkan untuk ditaati seizing Allah”.

4.  Perintah taat kepada rasul bersama perintah taat kepada allah. Sebagai mana perintah allah dalam Surat Ali Imran : 32 “Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.

5.  Perintah taat kepada rasul secara kusus. Sebagai mana perintah allah dalam Surat Al-Hasyr : 7 “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.



Dalil Hadis



Hadis yang dijadikan sebagai dalil kehujahan sunah banyak sekali,di antaranya sebagaimana sabda nabi: “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh pada keduanya yaitu kitab Allah dan Sunnahku.



Orang yang tidak berpegang teguh pada pedoman al-qu’an dan sunah berarti sesat. Kehujahan sunah sebagai konsekuensi ke ma’shuman nabi dari sifat bohong dari segala apa yang beliau sampaikan baik berupa perkataan,perbuatan dan keteteapannya. Kebenaran al-quran sebagai mu’jizat disampaikan oleh sunah. Demikian juga pemahaman al-qur’an juga dijelaskan oleh sunah dalam praktek kehidupan beliau.



Ijma’ Para Ulama



Para ulama’ sepakat bahwa sunah sebagai salah satu hujah dalam hokum islam setelah al-qur’an. Dapat disimpulkan bahwa :



1.   Para ulama sepakat bahwa sunah sebagai hujah

2.  Kehujahan sunah adakalanya sebagi pejelas terhadap al-qur’an

3.  Kehujahan sunah berdasarkan dalil-dalil yang pasti

4.  Sunah yang dijadikan hujah yang telah memenui persaratan shahih



FUNGSI HADIS DAN SUNNAH TERHADAP AL-QUR’AN



Fungsi hadis terhadap al-qur’an adalah untuk menjelaskan makna kandungan al-qur’an yang sangat dalam dan global. Allah menjelaskan dalam firmannya Q.S An-Nahl : 44 “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.



Fungsi Sunnah Sebagai Penjelas Terhadap Al-Qur’an.



Sebagaimana firman allah dalam Q.S. Al-An’am : 38, “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab”.



Sunah berfungsi sebagai penjelas atau tambahan terhadap al-Qur’an. Tentunya pihak penjelas diberikan peringkat kedua setelah pihak yang dijelaskan. Teks al-Qur’an sebagai pokok asal, sedang sunnah sebagai penjelas(tafsir) yang dibangun karenanya.



Pada dasarnya, al-Qur’an memuat ketentusn hukum yang bersifat umum. Karena itu, hadist dijadikan sebagai pemerinci terhadap al-Qur’an, supaya hukum yang ada didalamnya dapat dijalankan.terlebih pada ketentuan-ketentuan hokum yang bersifat amaliah (perbuatan), perinciannya tidak tercantum dalam al-Qur’an, baik yang bersifat ibadah maupun muamalah.



Hadis dalam fungsi ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:



a.    Menjelaskan ayat-ayat mujmal.

Misalnya perintah solat, membayar zakat, menunaikan haji atau yang lainnya. Dalam al-Qur’an penjelasannya masih masih global tanpa ada detail keterangan mengenai batas waktu solat atau jumlah rekaatnya, juga tidak dipaparkan cara-cara pelaksanaan haji.

b.    Membatasi lafadz yang masih muthlaq dari ayat-ayat al-Qur’an

Artinya Al-Qur’an keterangannya secara mutlak, kemudian ditakhshis dengan hadis yang khusus. Misalnya firman Allah dalam surah Al-Maidah: 38 “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

c.    Mengkhususkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum

Misalnya ayat-ayat tentang waris dalam surah An-Nisa: 11 “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan”

d.    Menjelaskan makna lafadz yang masih kabur

Seperti firman Allah swt yang menerangkan batas waktu diperbolehkannya makan dan minum ketika bulan puasa: “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”. (Al-Baqarah: 187)



Hadis Berfungsi Sebagai Penegas Bagi Al-Qur’an



Hadis dijadikan penegas bagi ketentuan hokum yang telah ada di dalam al-Qur’an. Jadi, fungsi hadis hanya memeperkuat hokum yang telah ada.



Hadis Sebagai Ketentuan Hukum Baru



Hadis bisa menentukan hukum secara mandiri yang tidak ada isyaratnya di dalam al-Qur’an. Biasanya hadis seperti ini muncul ketika ada masalah hokum di kalangan para sahabat dan tidak ditemukan dalam al-Qur’an.


Contoh Formulir Pendataan Alumni




FORMULIR PENDATAAN ALUMNI



1
Nama

2
NIM

4
Jurusan

3
Tempat/Tgl. Lahir

5
Alamat Asal (tuliskan Jalan/RT RW)



6
Alamat sekarang

7
HP / Telephon

8
E-Mail

9
Nama Bapak

10
Asal SLTA

11
Tahun Masuk UIN

12
Dosen Wali Studi

13
Judul Skripsi





14
Program/Rencana Setelah Lulus


15
Harapan pada Lembaga





Pas Foto

3 x 4
 

Mataram, ....... .................................... 201...

Mahasiswa,









.............................................................

NIM.




Catatan   :        Harapkan mengisi formulir ini dengan lengkap.

Featured Post

Tinjauan Tentang Siklamat

Tinjauan Tentang Siklamat Siklamat memiliki nama dagang yang dikenal sebagai assugrin, sucarly, sugar twin, atau weight watchers. Siklamat...