BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
gadai (Rahn) dan sandak (ba’I al-wafa’)
·
Gadai (rahn)
Menurut bahasa, gadai/ ar-rahn (الرهن) berarti al-stubut
dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn
(الرهن)
adalah terkurung atau terjerat.
Menurut istilah syara’, yang
dimaksut dengan rahn adalah:
1. Akad yang objeknya menahan harga
terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan
sempurna darinya.
2. Menjadikan suatu benda berharga
dalam pandangan syara’ sebagai jaminan hutang selama ada dua kemungkinan, untuk
mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.
3. Gadai adalah suatu barang yang
dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam hutang-piutang.
4. Gadai ialah menjadikan suatu benda
bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang, dengan adanya
benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.
·
Sandak (ba’I
al-wafa’)
Sandak adalah istilah yang ada didalam bahasa sasak, yang dalam bahasa arab
dikenal dengan istilah Bai’al Wafa. Secara etimologi, al’ba’i berarti
jual beli, dan al-wafa’ berarti pelunasan/penutupan utang. Ba’i
al-wafa’ adalah salah satu bentuk akad (transaksi) yang muncul di Asia
Tenggara (Bukhari dan Balkh) pada pertengahan abad ke-5 Hijrah dan merambat ke
Timur Tengah.
Secara terminologi Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah, Ba’i al wafa’ atau jual beli dengan hak membeli kembali dalah
jual beli yang dilangsungkan dengan syarat bahwa barang dijual trsebut dapat
dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang waktu yang disepakati telah tiba.
Menurut Dr. Nasrun Haroen dan Mustafa Ahmad az-Zarqa yaitu tokoh fiqih dari Suriah, mendefenisikan
bai’ al-wafa’ dengan “ jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi
dengan syarat bahwa barang yang dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh
penjual apabila tenggang waktu yang ditentukan telah tiba.
Bai’ al-wafa’ tidak sama dengan rahn
(jaminan utang), karena rahn dalam islam hanya merupakan jaminan utang,
sementara barang yang dijadikan jaminan tidak dapat dimanfa’atkan oleh pemberi
utang. Apabila pemberi utang memanfa’atkan barang jaminan tersebut, maka hasil
yang dimakannya atau dimanfa’atkannya itu termasuk dalam kategori riba. Hal ini
sejalan pula dengan sebuah hadist Rasulullah SAW :”Setiap utang yang dibarengi
dengan pemanfaatan (untuk pemberi utang ) adalah riba.” (HR.al-Bukhari)
B.
Rukun dan syarat sandak dan gadai
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu
benda memiliki beberapa rukun, antara lain yaitu:
a)
Akad dan ijab Kabul
b) Aqid, yaitu orang yang menggadaikan
(rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat yang berakad adalah
ahli tasyarruf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah
adalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dam mumyyis,
tetapi tidak disyaratkan harus baligh.
c) Barang
yang dijadikan jaminan (borg),
syarat pada benda uyang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tiddak rusak
sebelum janji utang harus dibayar. Rosul bersabda: “Setiap barang yang boleh
diperjual belikan boleh dijadikan barang gadai”
d) Ada
hutang, disyaratkan keadaan hutang telah
tetap. Menurut ulam Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain: Dapat diperjual
belikan, Bermanfaat, Jelas, Milik rahin, Bisa diserahkan, Tidak bersatu dengan
harta lain, Dipegang oleh rahin dan Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
Menurut Sayyid Sabiq bahwa gadai itu baru dianggap sah
apabila memenuhi empat syarat, yaitu:
·
Orangnya sudah
dewasa.
·
Berpikiran sehat.
·
Barang yang akan
digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan barang gadaian itu
dapat diserahkan/diserahkan kepada penggadai.
·
Barang atau benda
yang dapat dijadikan jaminan
itu dapat berupa emas, berlian dan benda bergerak lainnya dan dapat pula
surat-surat berharga ( surat tanah atau surat rumah).
Menurut Jumhur
Ulama, rukun sandak ada 4 yaitu:
1. Adanya orang-orang
yang berakad (al-muta’aqidain)
2. Sighat (ijab dan
qabul)
3. Barang yang dibeli
(maabi’)
4.
Nilai tukar pengganti (tsaman)
C.
Hukum dan dasar hokum sandak dan gadai
v Dasar hokum gadai
Gadai/rahn
ialah perjanjian(akad) pinjam meminjam barang dengan menyerahkan barang sebagai
tanggungan hutang.perjanjian gadai itu di benarkan oleh islam, berdasarkan Q.S al baqarah ayat : 283
·
وَإِنْ
كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ …. (البقرة
: ۲۸۳)
“Apabila kamu dalam perjalanan dan bermuamalah
tidak secar tunai, sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis hendaklah ada
barang yang di pegang” (Q.S. 2: 283)
Assunnah
·
عن
عائسة ر.ع. ان رسول الله ص.م. أشتر ى من يهودي طعاما ورهنه درعا من حديد
·
. (روه البخارى والمسلم)
“Dari Siti Ai’sah r.a. bahwa rasulullah saw
bersabda: pernah membeli makanan dengan baju besi”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dari ayat
dan hadits di atas, jelaslah bahwa gadai hukumnya boleh,baik baik bagi orang
yang perjalanan atau tinggal di rumah.
Ada
dua hal yang menjadi pembahasan hokum gadai(rahn):
1.
Hukum gadai yang
shahih akad gadai yang syarat syaratnya terpenuhi.
2. Hukum
gadai yang ghair shahih akad yang syarat syaratnya tidak terpenuhi.
Dampak gadai (rahn)
Apabila
akad gadai telah sempurna dengan di serahkannya barang yang di gadaikan kepada
murtahin,maka timbullah hukum hukum sebagai berkut.
a.
Adanya Hubungan
Antara Utang dengan Borg
b.
Hak untuk menahan
borg
c.
Menjaga borg
d.
Pembiayaan atas borg.
v Dasar
hokum sandak
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, dan Abdurrahaman
Ashabuni, dalam sejarahanya, ba’i al-wafa’ baru medapat justifikasi para ulama’
fiqih setelah berjalan beberapa lama. Maksudnya, bentuk jual beli ini telah
berlangsung beberapa lama dan ba’i al-wafa’ telah menjadi urf (adat kebiasaan)
masyarakat Bukhara dan Bakhl, baru kemudian para ulama fiqih, dalam hal ini
ulama’ Hanafi melegalisasi jual beli ini.
Muhammad Abu Zahrah, tokoh fiqh Mesir, mengatakan bahwa
dilihat dari segi sosio-histori, kemunculan bai’ al-wafa’ ditengah-tengah
masyarakat Bukhara dan Balkh pada pertengahan abad ke-5 H adalah disebabkan oleh para
pemilik modal tidak mau lagi memberi utang kepada orang-orang yang memerlukan.,
jika mereka tidak mendapatkan imbalan apapun. Hal ini membuat kesulitan bagi
masyarakat yang memerlukan. Keadaan ini membawa mereka untuk menciptakan sebuah
akad tersendiri, sehingga keperluan masyarakat terpenuhi dan keinginan
orang-orang kaya pun terayomi. Jalan keluar yang mereka ciptakan itu adalah bai’
al-wafa’ . dengan cara ini, demikian az-Zarqa’, disatu pihak
masyarakat lemah terpenuhi sementara pada saat yang sama mereka terhindar dari
praktek ribawi.
Jalan pikiran ulama Hanafiayah
dalam memberikan justifikasi terhadap bai’ al-wafa’ adalah didasarkan
pada istihsan urfty (menilai suatu permasalahan yang berlaku umum dan
berjalan baik di tengah masyarakat).
Akan tetapi para ulama fiqh
lainnya tidak boleh melegalisasi bentuk jual beli ini. Alasan mereka adalah:
1.
Dalam suatu
akad jual beli tidak dibenarkan adanya tenggang waktu, karena, jual beli adalah
akad yang mengakibatkan perpindahan hak milik secara sempurna dari penjual
kepada pembeli.
2.
Dalam jual beli
tidak boleh ada syarat bahwa barang yang dijual itu harus dikembalikan oleh
pembeli kepada penjual semula, apabila ia telah siapmengembalikan uang seharga
jual semula.
3.
Bentuk jual
beli ini tidak pernah ada pada zaman Rasulullah SAW. maupun di zaman Sahabat.
4.
Jual beli ini
merupakan hilah perbuatan yang pada dasarnya disyariatkan, dilaksanakan
secara sengaja untuk membatalkan hukum syara’ lainnya yang lebih penting) yang
tidak sejalan dengan yang dimaksud syara’ pensyariatan jual beli.
Begitu juga
dalam hukum positif Indonesia bay al-wafa’ telah diatur, dalam Komplikasi Hukum
Ekonomi Syariah pasal 112 s/d 115.
Pasal 112
1.
Dalam jual beli
yang bergantung pada hak penebusan, penjual dapat uang seharga barang yang
dujual dan menuntut barangnya dikembalikan.
2.
Pembeli
sebagaimana diatur dalam ayat (1) berkewajiban mengembalikan barang dan
menuntut uangnya kembali seharga barang itu.
Pasal 113
Barang dalam jual beli yang bergantung pada hak
penebusan, tidak boleh dijual kepada pihak lain, baik oleh penjual maupun oleh
pembeli, kecuali ada kesepakatan diantara para pihak.
Pasal 114
1.
Kerugian barang
dalam jual beli dengan hak penebusan adalah tanggung jawab pihak yang
menguasainnya.
2.
Penjual dalam
jual beli dengan hak penebusan berhak untuk membeli kembali atau tidak terhadap
barang yang telah rusak.
Pasal 115
Hak membeli kembali dalam ba’i al-wafa’ dapat diwariskan.
Sedangkam yang menjadi dasar hukum itu adalah:
Jual beli hukum asalnya jaiz atau mubah (boleh)
berdasarkan dalil dari Al-Quran, hadits dan ijma’ para ulama:
1.
Al-Quran surat
Al-Nisa’ (4:29)
2.
Al-Quran surat
Al-Baqarah (2:275)
3.
Hadits
D. Perbedaan dan persamaan sandak dan rahn
Perbedaan mendasar antara bai’ al-wafa’ dan rahn (gadai) adalah:
1. Dalam akad rahn
pembeli tidak sepenuhnya memilki barang yang dibeli (karena harus dikembalikan
kepada penjual), sedangakan dalam ba’i al- wafa’ barang itu sepenuhnya menjadi
pemilik pembeli selama tenggang waktu yang disepakati.
2. Dalam ar-rahn,
jika harta yang digadaikan (al-marhun) rusak selama ditangan pembeli, maka
kerusakan itu menjadi tanggung jawab pemegang barang, sedagkan dalam ba’i al-wafa’ apabila kerusakan itu bersifat
total baru menjadi tanggung jawab pembeli, tetapi apabila kerusakannya tidak
parah, maka hal itu tidak merusak akad.
3. Dalam ar-rahn
segala biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan barang menjadi tanggung jawab
pemilik barang, sedangkan dalam ba’i al-wafa’ biaya pemeliharaan sepenuhnya
menjadi tanggung jawab pembeli, karena barang itu telah menjadi pemiliknya
selama tenggang waktu yang telah disepakati.
4.
Kedua belah pihak tidak boleh memindahtangankan barang
itu ke pihak ketiga.
Ketika uang sejumlah pembelian semula dikembalikan
penjual kepada pembeli setelah tenggang waktu jatuh tempo, pembeli wajib
memberikan barang itu kepada penjual.
Adapaun persamaan antara keduanya adalah sbb:
1. Kedua belah pihak
tidak dapat memindahtangankan barang tersebut ke pihak ketiga
2. Ketika uang
sejumlah pembelian semula dikembalikan penjual kepada pembeli setelah tanggang
waktu jatuh tempo, pembeli wajib memberikan barang tersebut kepada penjual.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gadai/rahn
ialah perjanjian(akad) pinjam meminjam barang dengan menyerahkan barang sebagai
tanggungan hutang. Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki
beberapa rukun, antara lain yaitu:
1. Akad dan ijab Kabul
2. Aqid
3. Barang yang dijadikan jaminan (borg)
4. Ada hutang
Sandak adalah istilah yang ada didalam
bahasa sasak, yang dalam bahasa arab dikenal dengan istilah Bai’al Wafa. Secara
etimologi, al’ba’i berarti jual beli, dan al-wafa’ berarti
pelunasan/penutupan utang. Ba’i al-wafa’ adalah salah satu bentuk akad
(transaksi) yang muncul di Asia Tenggara (Bukhari dan Balkh) pada pertengahan
abad ke-5 Hijrah dan merambat ke Timur Tengah.
Menurut Jumhur Ulama, rukun sandak ada 4 yaitu:
1. Adanya orang-orang yang berakad (al-muta’aqidain)
2. Sighat (ijab dan qabul)
3. Barang yang dibeli (maabi’)
4. Nilai tukar pengganti (tsaman)