BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Riba secara etimologi bermakna ziyadah (tambahan). Secara liguistik, riba
mempunyai arti tumbuh dan membesar. Seluruh fuqaha sepakat bahwasannya hukum
riba itu adalah haram berdasarkan keterangan yang telah dijelaskan dalam
Al-Qur’an dan al-Hadis. Pernyataan tentang keharaman riba yang terdapat dalam
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275, 276, 278, dan 279. Yang artinya:
Orang orang yang memakan (memungut)
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan
syaitan lantaran ganguan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu
disebabkan mereka berkata: sesungguhnya jual beli itu sama dngan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba......
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian riba dan sejarah riba?
2. Apa hukum riba dan jenis-jenis riba?
3. Apa saja hal-hal yang
dapat menimbulkan riba dan dampak praktek riba?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Riba Dan Sejarah Riba.
2. Untuk mengetahui hukum dan jenis-jenis riba
3. Untuk Mengetahui hal-hal yang menimbulkan riba dan dampak praktek riba.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Riba Dan Sejarah Riba
1. Pengertian Riba
Riba secara etimologi bermakna ziyadah (tambahan). Secara liguistik, riba
mempunyai arti tumbuh dan membesar. Adapun secara terminologi, terdapat eberapa
definisi riba dari para ulama, diantaranya sebagai berikut::
a. Imam Sarakhsi dari Mazab hanafi mendefinisikan riba sebagai tabahan yang
disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (padanan) yang dibenarkan
oleh syariat atas penambahan tersebut.
b. Iam nawawi mendefinisikan riba sebagai penambahan atas harta pokok karena
adanya unsur waktu.
2. Sejarah Riba
Jauh sebelum Islam datang, riba telah dikenal di kalangan ilmuan dan pelaku
ekonom, bahkan pendapat negatif telah pula ditemukan. Daam bentuk sederhana,
riba adalah kegiatan ekonomi yang mengambil bentuk pembungaan uang.
Palato, seorang filsuf Yunani (427 – 327 SM), termasuk orang yag mengutuk
pembungaan uang. Dalam literatur Barat, riba disebut unsury atau interest.
Sikap yang sama ditunjukaan oleh Salon peletak dasar Undang – Undang Athena.
Yang uga dikenal sebagai seorang yang bjak pada waktu itu.
Bukan hanya Islam yang mengutuk praktik riba, agama Yahudi dan Nasrani juga
mengutuk pembungaan uang. Bahkan, kalangan anggota masyarakat Jahiliyah pun ada
yang memandang riba sebagitindakan tercela.
Riba juga dipraktikkan orang dibeberapa kota Arab pada masa Jahiliyah. Oleh
karena itu, disebut juga riba jahiliyah. Formulasi riba jahiliyah adalah
transaksi pinjam, meminjam dengan satu perjanjian, peminjam bersedia
mengembalikan jumlah pinjaman pada waktu yang telah disepakati berikut
tambahan. Pada saat jatuh tempo, pemberi pinjaman (kreditur) meminta jumlah
pinjaman yang belum diberikan kepada peminjam (debitur). Jika debitur belum
sanggup membayar, kreditur memberikan tenggang waktu dengan syarat debitur
membayar sejumlah tambahan atas pinjaman pokok. Selanjutnya, dijelaskan oleh Ar
– Razzy, apabila permintaan ini diterima, kreditur bersedia memberikan tenggang
waktu. Tambahan tersebut bisa mencapai tiga bahkan empat kali lipat.
Objek riba tidak hanya uang, tetapi bisa juga berupa hewan ternak. Ath –
Thabari menuturkan bahwa riba pada masa jahiliah yang berlaku untuk ternak
adalah dengan melipat gandakan umur hewan ternak. Jika unta yang dipinjam
berumur satu tahun, pada tahun kedua, jika tidak sanggup membayar utang, unta
yang harus dibayar menjadi berumur dua tahun (bintu labun).
Berdasarkan riwayat –riwayat tentang praktik riba tersebut, dapat dicatat
beberapa hal. Riba berkaitan dengan ketidaksanggupan peminjam mengembalikan
untungnya pada waktu yang telah disepakati. Kemudian, muncul kesepakatan
berikutnya berua penundaan pembayaran utang dengan catatan, peminjam memberikan
tambahan atas jumlah pinjaman ketika pelunasan. Kespakatan ini disebabkan
keadaan memaksa.
Utang pada umumnya dilakukan oleh orang – orang berharta pada bank untuk
mengembangkan usaha mereka, sedangkan orang miskin nyaris tidak berhubungan
dengan bank karena untuk mendapatkan kredit dari bank diperlukan jaminan,
sedangkan mereka tidak memiliki sesuatu yang dijadikan jaminan. Kasus ini
khususnya terjadi di Indonesi. Pada masa jahiliah tidak ada lembaga keuangan yang
menyalurkan jasa dengan cara kredit, seperti yang dilaksanakan oleh perbankkan
sehingga orang yang memerluakn dana hanya berhubungan dengan perseorangan,
sedangkan sekarang pinjaman tidak hanya dilakukan oleh perseorangan, tetapi
juga lembaga. Karena jasanya besar, bank sebagai lembaga penyalur dana saat ini
menjadi aktor utama penggerak roda ekonomi suatu bangsa.
B. Hukum Riba dan Jenis-jenis
Riba
1. Hukum riba
Seluruh fuqaha sepakat
bahwasannya hukum riba adalah haram berdasarkan keterangan yang sangat jelas dalam
al – Qur’an dan al – Hadis.
Pernyataan al – Qur’an
tentang larangan riba terdapat pada surat al – Baqarah ayat 275, 276, 278, dan
279. Yang Artinya:
Orang – orang yang memakan
(memungut) riba tiak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kerasukan syaitan lantaran gangan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian
itu disebabkan mereka berkata; sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.....(al – Baqarah: 275).
Surat al – Baqarah ayat
275 di atas mengencam keras pemungutan riba dan mereka diserupakan dengan orang
yang kerasukan Setan. Selanjutnya ayat ini membantah kesamaan antara riba dan
jual beli dengan menegaskan Allah menghalalkan jual – beli dan mengharamkan
riba.
Larangan riba dipertegas
kembali pada ayat 278, pada surat yang sama, dengan perintah meninggalkan
seluruh sisa – sisa riba, dan dipertegas kembali pada ayat 279 yang artinya: jika
kamu tidak meninggalkan sisa – sisa riba maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya
akan memerangi kamu. Jika kamu bertaubat maka bagimu adalah pokok bartamu.
Tidak ada di antara kamu orang yang menganiaya dan tidak ada yang teraniaya.
Mengapa praktek riba
dikecam dengan keras dan kemudian diharamkan? Ayat 276 memberikan jawaban yang
merupakan kalimat kunci hikmah pengharaman riba, yakin Allah bermaksud
menghapuskan tradisi riba dan menumbuhkan tradisi shadaqah. Sedang illat
pengharaman riba agaknya dinyatakan dalam ayat 279, la tadzlimuna wala tudzlamun. Maksudnya,
dengan menghentikn riba engkau tidak berbuat dzulum (menganiaya) kepada
pihak lain sehingga tidak seorangpun di antara kamu yang teraniaya. Jadi
tampaklah bahwasannya illat pengharaman dalam surat al – Baqarah adala dzulum
(eksploatasi: menindas, memeras, dan menganiaya).
Pernyataan Hadis Nabi
mengenai keharaman riba antara lain :
لَعَنَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّباَ وَمُوْكِلَهُ
وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah
saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua
orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua sama”. (HR Muslim).
كُلُّ قَرْضٍ
جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَرِبًا
“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi).
عَنْ سَمَرَةِ بْنِ جُنْدُبٍ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّىاللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهى عَنْ بَيْعِ الَحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْئَةً
“Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)”
“Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)”
الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا
بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا
“Emas dengan emas, setimbang dan
semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal; barang siapa yang menambah
atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah riba”. (HR Muslim dari Abu Hurairah).
2. Jenis-jenis riba
Ø
Jenis Riba jual beli (Riba Al-Buyu’)
Fuqaha’ mazhab hanafiyah, Malikiyah, dan
Hanabilah embagi riba menjadi dua macam: riba an-nasi’ah dan riba al-fadal.
Sedangkan fuqaha Syafi’iyah membaginya menjadi menjadi tiga macam:riba
al-nasi’ah, riba al-fadhl, riba al-yad. Dalam pandangan jumhur madzahib riba
al-yad ini termasuk dalam kategori riba al-nasi’ah.
1. Pengertian riba al-Nasi’ah
Riba al-Nasi’ah menurut Wahbah al-Zuhaily adalah “penambahan harga atas
barang kontan lantaran penundaan waktu pembayaran atau penambhan ‘ain (barang
kontan) atas dain (barang hutang)” terhadap barang berbeda jenis yang ditimbang
atau di takar atau terhadap barang sejenis yang di takar atau ditimbang”.
Menurut Abdur Rahman al-Zajairay riba al-nasi’ah adalah riba atau tambahan
(yang dipungut) sebagi imbangan atas penundaan pembayaran.
2. Pengertian riba al-fadhl
Riba al-fadhl adalah Penambahan pada salah satu dari benda yang
dipertukarkan dalam jual beli benda ribawi yang sejenis, bukan karena faktor
penundaan pembayran.
Para fuqaha sepakat bahwasanya riba al-fadhl hanya berlaku pada harta benda
ribawi. Mereka juga sepakat terhadap tujuh macam harta benda sebagi harta bena
ribawi karena dinyatakan secara tegas dalam nash Hadis. Ketujuh harta benda
tersebut adalah,: emas, perak, burr (jenis gandum), syair (jenis gandum),
kurma, zabib, anggur kering, dan garam.
Menurut fuqaha Dhahiriyah harta ribawi terbatas pada tujuh macam harta
benda tersebut diatas. Mazhab Abu Hanafiyah dan Hanbilah memperluas konsep
harta benda ribawi pada setiap harta benda yang dapat dihitung melalui satuan
timabngan atau takaran. Mazhab Syafi’iyah memperluas harta ribawi pada setiap
mata uang (an-naqd) dan makanan (al-ma’thum) meskipun tidak lazim dihitung
melalui satuan timbangan atau takaran. Yang dimaksud dengan makanan menurut
mazhab Syafi’iyah adalah segala sesuatu yang lazim dimakan manusia, termasuk
buah-buahan dan sayur mayur. Sedangkan mazhab Malikiyah memperlaus konsep harta
benda ribawi pada setiap jenis mata uang dan sifat al-iqtiat (jenis makanan
yang menguatkan badan) dan al-iddibar (jenis makanan yang dapat disimpan lama).
Menurut mazhab Malikiyah sayur mayur dan buah-buahan basah tidak termasuk harta
benda ribawi karena tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama. Fuqaha Masahib
juga berselisih pandangan mengenai persamaan jenis. Menurut Fuqaha’ mazhab
Hanfiyah persamaan jenis meliputi tiga hal. Pertama, persamaan asal, seperti
beras dan tepung beras adalah sejenis, sedangkan tepung beras dengan tepung terigu
adalah berbeda jenis. Demikian juga macam – macam gandum seperti al-Burr,
al-Syair, al-khinthah masing – masing adalah berbeda jenis dengan lainny.
Kedua, persamaan fungsi dan kegunaannya, misalnya daging gibas dan daging
kambing adalah sejenis, sedangkan wool yang terbuat dari kulit gibas dan kuit
kambing adalh berbeda jenis. Ketiga, tidak menandung unsur produktivitas kerja
manusia, misalnya gandum dan roti yang terbuat dari gandum adalah berbeda
jenis.
Menurut Fuqaha Malikiyah persamaan jenis diketahui berdasarkan dua
keriteria. Pertama, persamaan atau kedekatan fungsinya, misalnya al-syair dan
al-qham adalah sejenis. Kedua, persamaan asal sekalipun berbeda fungsi, atau
sebaliknya terdapat persamaan fungsi sekalipun berbeda asal. Seperti minyak
yang terbuat dari bahan yang berbeda termasuk sejenis, namun jika masing-masing
minyak tersebut mempunyai fungsi yang berbeda maka termasuk jenis yang berbeda.
Menurut fuqaha Syafi’iyah dan Hanabilah apakah dua makanan (ma’thum) atau
lebih adalah sejenis yang bergantung pada kesatuan nama yang mengandung
persamaan essensi sekalipun keduanya mempunyai kegunaan ataupun sifat yang
berbeda. Misalnya al-qomh (gandum) sekalipun jenisnya bermacam-macam, seperti
al-sa’ir, al-burr, al-qhinthah dan lain-lain, namun semua itu dalah satu jenis
yang tertentu, yakni gandum. Berbeda dengan biji-bijian (al-hubb) yang jenisnya
bermacam-macam seperti kacang tanah, kacang kedelai, jagung, padi dan
lain-lain, masing-masing adalah berbeda jenis karena masing “biji-bijian”
merupakan nama yang sangat umum dan tidak mengandung makna khusus. Demikian
juga minyak goreng (al-zait) adalah satu jenis nama, sekalipun berasal dai
bahan yang bebeda.
Setap harta benda ribawi tidak syah diperjual belikan dengan jenisnya
sendiri kecuali secara kontan (yadan bi yadin) dan setimbang (sawaan bi
sawain). Jual beli antar harta benda ribawi secara kontan dan tidak setimbang
termasul riba al-fadh. Jika jual beli tersebut dilakukan secara tidak kontan
menurut jumhur tergolong riba al-nasi’ah sedangkan menurut syafi’iyah tergolong
riba al-yad.
3. Riba Fudul
Penukaran dua barang sejenis dalam jumlah yang
tidak sama. Contoh : menukar 2 gram emas dengan 2,5 gram emas yang sama.
4. Riba Yad
Riba yang dilakukan dalam transaksi jual beli
yang belum diserah terimakan namun oleh si pembeli sudah dijual lagi kepada
orang lain. Contoh : si A menjual motor kepada si B tetapi si B belum
menerima motor tersebut, tetapi si B sudah menjual motor tersebut kepada
si C.
Ø
Jenis Riba utang piutang (Riba Ad-Duyun)
1.
Riba Qardi
Riba dalam bentuk hutang piutang atau pinjaman
dengan syarat ada tambahan atau keuntungan bagi yang memberi pinjaman. Contoh :
si A memberikan pinjaman uang Rp 10.000 kepada si B dengan syarat si B harus
mengembalikan sebesar Rp 11.000.
2.
Riba Jahiliyah
Riba ini terdapat pada
hutang yang dibayar melebihi dari pokoknya, hal ini dikarenakan si peminjam
tidak mampu membayarnya pada waktu yang telah ditetapkan adapun penambahan
hutang yang dibayarkan akan semakin bertambah besar bersamaan dengan semakin
mundurnya waktu pelunasan hutang. Sistem ini dikenal juga dengan istilah riba
muda’afah atau melipat gandakan uang. Contoh : si A meminjam uang dengan si B
sebesar RP 500.000 dengan tempo dua bulan. Saat waktunya tiba si B meminta uang
yang dipinjam, akan tetapi si A berkata dia belum dapat membayar uang yang
dipinjam dan meminta waktu tambahan satu bulan. Si B menyetujui dengan
memberikan syarat bahwa uang yang harus dibayar menjadi Rp 560.000. penambahan
jumlah tersebut merupakan riba Jahiliyah.
C. Hal-Hal
yang Menimbulkan Riba dan Dampak riba
1. Hal-hal
yang menyebabkan riba
Jika
seseorang menjual benda yang mungkin mendatangkan riba menurut jenisnya, maka
disyaratkan sama nilainya, sama ukurannya menurut syara’, dan sama-sama tunai
di majelis akad.
Berikut ini yang
termasuk riba pertukaran diantaranya:
a.
Seseorang menukar langsung uang kertas Rp 10.000,00 dengan uang recehan Rp
9.950,00. Uang Rp 50,00 tidak ada imbangannya atau tidak termasuk, maka uang
tersebut adalah riba.
b.
Seseorang meminjamkan uang sebanyak Rp 100.000,00 dengan syarat dikembalikan
ditambah 10% dari pokok pinjaman maka 10% dari pokok pinjaman adalah riba sebab
tidak ada imbangannya.
c.
Seseorang menukarkan seliter beras ketan dengan dua liter beras dolog, maka
pertukaran tersebut adalah riba sebab beras hanya ditukar dengan beras sejenis
dan tidak boleh dilebihkan salahsatunya. Jalan keluarnya adalah beras ketan
dijual terlebih dahulu dan uangnya digunakan untuk membeli beras dolog.
d.
Seseorang yang akan membangun rumah membeli batu bata, uangnya diserahkan
tanggal 5 Desember, sedangkan batu batanya diambil nanti ketika pembangunan
rumah dimulai, maka perbuatan tersebut adalah perbuatan riba sebab terlambat
salahsatunya dan berpisah sebelum serah terima barang.
e.
Seseorang yang menukarkan 5 gram mas 22 karat dengan 5 gram mas
12 karat termasuk riba walaupun sama ukurannya, tetapi berbeda nilai
(harganya) atau menukarkan 5 gram mas 22 karat dengan 10 gram mas 12 karat yang
harganya sama, juga termasuk riba sebab walaupun harganya sama ukurannya tidak
sama.[1]
Tidak
dibolehkan menjual emas dengan emas, perak dengan perak, baik masih terurai,
maupun sudah ditempa atau belum ditempa atau sudah menjadi perhiasan,
terkecuali seimbang benar, serupa benar dan tunai (kontan).[2]
2. Dampak Praktek Riba
Adapun dampak akibat praktek
dari riba itu sendiri diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Menyebabkan eksploatasi
(pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin, sehingga menjadiakan si kaya
semakin berjaya dan si miskin tambah sengsara
2. Dapat menyebabkan
kebangkrutan usaha bila tidak disalurkan pada kegiatan-kegiatan yang produktif,
karena kebanyakan modal yang dikuasai oleh the haves (pengelola)
justru disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif.
3. Menyebabkan kesenjangan
ekonomi, yang pada gilirannya bisa mengakibatkan kekacauansosial.
4. Bahaya buat
masyarakat dan agama.
5. Para Ahli
ekonomi berpendapat bahwa penyebab utama krisis ekonomi adalah bunga yang
dibayar sebagai penjiman modal atau dengan singkat bisa disebut riba.
6. Riba
dapat menimbulkan over produksi. Riba membuat daya beli sebagian besar
masyarakat lemah sehingga persedian jasa dan barang semakin tertimbun,
akibatnya perusahaan macet karena produksinya tidak laku, perusahaan mengurangi
tenaga kerja untuk menghindari kerugian yang lebih besar, dan mengakibatkan
adanya sekian jumlah pengangguran.
7. Lord keynes
pernah mengeluh dihadapan Majelis Tinggi (House of Lord) inggris
tentang bunga yang diambil oleh pemerintah A.S. Hal ini menunjukkan bahwa
negara besar pun seperti inggris terkena musibah dari bunga pinjaman Amerika,
bunga tersebut menurut fuqaha disebut riba. Dengan demikian, riba dapat
meretakkan hubungan, baik hubungan antara orang perorang maupun negara antar
negara, seperti Inggris dan Amerika.
8. Seringan-ringan
dosa riba yaitu seperti halnya kita berjima' dengan ibu kita sendiri(Ibn Majah
dan al-Hakim).
9. Mendapat laknat dan kelak
di yaumil qiyamah mereka pelaku riba, Allah dan Rasul-Nya akan memerangi
mereka, dibangkitkan dalam keadaan gila dan mereka kekal di dalam neraka.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari makalah ini bahwasannya riba itu
suatu perbuatan yang dilarang atau diharamkan oleh Allah SWT. Karna bisa
berdampak buruk bagi perekonomian umatnya. Riba itu terbagi menjadi dua, Riba
utang piutang dan riba jual beli. Adapun riba utang piutang diantaranya Qardi
dan jahiliyah, sedangkan riba jual beli diantarantya riba al-Nasi’ah, riba al-Fadhal,
riba al-Fudul dan riba yad.
DAFTAR PUSTAKA
Hendi Suhendi, Op,
Cit., hlm. 63-64.
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam,
(semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 341.
Dr. Siah Khosyi’ah,
M.Ag, Fiqh Muamalah Perbandingan, Pustaka Setia , Bandung, 2014
Drs. Ghufron A.
Mas’adi, M.Ag.,Fiqih Muamalah Kontekstual. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002.
[1] Hendi Suhendi, Op, Cit., hlm.
63-64.
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum
Fiqh Islam, (semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 341.