Makalah Ushul Fiqh (Pengertian dan Rukun Ijma')


PENGERTIAN DAN RUKUN-RUKUN IJMA



Pengertian Ijma’



Ijma' menurut istilah ahli ushul ialah persepaketan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu mesa sepeninggel Rasululullah saw. terhedep suetu hukum syar'i mengenai suatu peristiwa.



Sebagai realisasi dari ta'rif tersebut ialah apabila terjadi suatu peristiwa yang memerlukan adanya ketentuan hukum, kemudian setelah peristiwa itu dikemukakan kepada para Mujtahid dari kaum muslimin, mereka lalu mengambil persepakatan terhadap hukum peristiwa tersebut, maka persepakatan mereka itulah disebut ijma'. Putusan ijma' ini merupakan suatu dalil syar'i terhadap masalah itu.



Persepakatan mereka itu terjadi setelah wafatnya Rasulullah saw, sebab pada masa beliau masih hidup, beliau sendirilah satu-satunya tempat meminta untuk menetapkan hukum suatu peristiwa. Oleh karena itu pada saat beliau masih hidup tidak mungkin terjadi adanya perlawanan hukum terhadap suatu masalah dan tidak pula terjadi adanya hukum suatu peristiwa hasil dari persepakatan, karena persepakatan itu sendiri mengingatkan akan adanya beberapa orang untuk bermusyawarah. Pada hakikatnya mereka tidak perlu bermusyawarah, cukuplah kiranya apabila mereka menanyakan saja kepada Rasulullah saw.



Rukun-Rukun Ijma'



Oleh karena ijma' itu adalah persesuaian pendapat para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa terhadap hukum suatu peristiwa, maka ijma' itu tidak akan terealisir sekiranya tidak memenuhi 4 macam rukun berikut ini.



1.   Pada masa terjadinya peristiwa itu harus ada beberapa orang mujtahid. Sebab istilah persepatatan pendapat itu tidak akan bdrwujud sekiranya tidak ada beberapa macam pendapat yang masing-masing pendapat itu bersesuaian dengan pendapat yang lain. Jikalau dalam masa terjadinya peristiwa itu tidak ada seorang mujtahid sama sekali, atau ada tetapi hanya seorang saja, maka tidaklah terjadi suatu ijma' yang dibenarkan oleh Syara'. Oleh karena itu pada waktu Rasulullah saw. masih hidup ijma' itu tidak akan terjadi, karena beliau sajalah satu-satunya mujtahid pada waktu itu.



2.  Seluruh mujtahid kaum muslimin menyetujui hukum syara' yang telah mereka putuskan itu dengan tidak memandang negara, kebangsaan dan golongan mereka. Kalau peristiwa yang dimusyawarahkan itu hanya disepakati oleh mujtahid dari satu negara saja, misalnya mujtahid dari Mesir, atau Saudi Arabia, atau Pakistan atau Indonesia saja, maka hasil putusan tersebut bukanlah ijma'. Ijma' harus merupakan persepakatan dari seluruh mujtahid alam Islami pada saat peristiwa itu terjadi.



3.  Persepakatan itu hendaknya dilahirkan oleh masing-masing dari mereka secara tegas terhadap peristiwa itu, baik lewat perkataan maupun perbuatan, seperti mempraktekkannya dalam pengadilan walaupun pada permulaannya baru merupa- kan pernyataan perseorangan kemudian pernyataan itu disambut oleh orang banyak, maupun merupakan pernyataan bersama melalui satu muktamar.



4.  Persepalatan itu haruslah merupakan persepakataq yang bulat dili seluruh mujtahid. Jadi, kalau persepakatan itu hanya dai kebanyakan mujtahid saja sedang sebagian mujtahid yang lain menentangnya, maka bukanlah merupakan ijma' yang dapat dijadikan hujjah syar'iyah.



Apabila rukun-rukun ijma' tersebut telah terpenuhi, maka hukum hasil dari ijma' itu merupakan undang-undang syara' yang wajib ditaati dan para mujtahid berikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa yang telah disepakati itu tempat berijtihad baru. Sebab hukumnya sudah tetap atas dasar bahwa ijma' itu telah menjadi hukum syara'yang qath'i, hingga tidak dapat ditukar atau dihapus dengan ijtihad yang lain.


Related Posts