TGKH. ZAINUDDIN ABDUL MADJID
TGKH. Zainuddin Abdul Madjid dilahirkan di Kampung Bermi
Pancor Lombok Timur pada tanggal 17 Rabi’ul Awal 1315 H, nama kecil beliau
adalah Muhammad Syaggaf dan berganti nama menjadi Haji Muhammad Zainuddin
setelah menunaikan ibadah haji. Yang mengganti nama beliau adalah ayah beliau
sendiri, yaitu Tuan Guru Haji Abdul Majid. Nama itu diambil dari nama seorang
ulama’ besar, guru di Masjidil Haram, yang akhlak dan kepribadiannya sangat
menarik hati sang ayah, yaitu Syeikh Muhammad Zainuddin Serawak.
Penamaan Muhammad Saggaf memiliki cerita yang cukup unik.
Tiga hari menjelang kelahirannya, ayahnya didatangi oleh dua orang wali yang
berasal dari Hadlramaut dan Maghrabi. Kedua wali tersebut secara kebetulan
mempunyai nama yang sama, yakni Saqqaf. Keduanya berpesan kepada Tuan Guru Kyai
Haji Abdul Majid, jika mempunyai anak, agar diberi nama Saqqaf, seperti nama
mereka berdua.
Kata Saqqaf dalam bahasa arab berarti membuat atap atau
mengatapi. Kata ini kemudian di Indonesiakan menjaddi Saggaf dan di karenakan
berada di daerah Lombok Nusa Tenggar Barat yang masih kental dengan budaya
daerahnya sehingga nama tersebut di dialekkan kedalam bahasa daerah yang biasa
disebut bahasa sasak menjadi Segep, dan pada masa kecilnya pun beliau kerap
dipanggil dengan panggilan Gep.
Disamping itu, terdapat keunikan lain seputar
kelahirannya, yaitu adanya cerita gembira yang dibawa oleh seorang wali,
bernama Syeikh Ahmad Rifa’i yang juga berasal dari Maghrabi. Ia menemui Tuan
Guru Haji Abdul Majid menjelang kelahiran putranya. Syekh Ahmad Rifa’i berkata
kepada Tuan Guru Haji Abdul Majid “Akan segera lahir dari istrimu seorang anak
laki-laki yang akan menjadi ulama’ besar”.
Dengan adanya keunikan-keunikan yang terjadi menjelang
kelahiran putranya yang kemudian dimamakan Muhammad Saggaf, Tuan Guru Haji
Abdul Majid dan istrinya merasa senang dan gembira karena kelahiran puteranya
disambut dan dinantikan oleh para ulama dan para wali-wali Allah. Beliau adalah
anak bungsu yang lahir dari perkawinan antara Tuan Guru Haji Abdul Majid dengan
seorang wanita shalihah yang berasal dari desa Kelayu Lombok Timur, yang
bernama Inaq Syam dan lebih dikenal dengan nama Hajjah Halimatus Sya’diyah.
Beliau memiliki saudara kandung sebanyak lima orang,
diantaranya yaitu: Siti Syarbini, Siti Cilah,Hajjah Saudah, Haji Muhammad
Shabur dan Hajjah Masyithah. Sejak kecil beliau terkenal sangat jujur dan
cerdas. Kerena itu, tidak mengherankan kalau ayah bundanya memberikan perhatian
khusus dan meumpahkan kecintaan serta kasih sayang demikian besar kepada
beliau.
Ketiaka beliau melawat ke tanah suci Makkah Al Mukarramah
untuk melanjutkan studi, ayah bundanya ikut mengantar ke tannah suci.
Ayahandanyalah yang mencarikan beliau guru, tempat beliau pertama kali belajar
di Masjidil Haram, bahkan ibundanya, Hajjah Halimatus Sya’diyah ikut mukim di
tanah suci mengasuh dan mendampingi beliau sampai ibundanya yang tercinta itu
berpulang ke rahmatullah tiga setengah tahun kemudian dan dimakamkan di
Mu’allaMakkah.
Nama Muhammad Saggaf masih disandangnya sampai ia
berangkat ke tanah suci Makkah untuk melaksanakan ibadah haji bersama ayahnya.
Setelah menunaikan ibadah haji, nama Muhammad Saggaf diganti menjadi Haji
Muhammad Zainuddin oleh ayahnya sendiri sebagaimana yang tertera pada paragfaf
di atas dan sejak saat itu nama beliau berubah menjadi Haji Muhammad Zainuddin.
Tentang silsilah keturunan beliau yang lengkap tidak
dapat dikemukakan secara utuh dikarenakan dokumen dan catatan silsilah
keturunan beliau ikut terbakar ketika rumah orang tua beliau mengalami
kebakaran. Namun yang jelas beliau terlahir dari keturunan keluarga yang
terpandang dan garis keturunan terpandang pula yaitu keturunan Selaparang.
Selaparang adalah nama Kerajaan Islam yang pernah
berkuasa di Pulau Lombok.TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid selama hayatnya
telah menikah sebanyak tujuh kali. Dari ketujuh perempuan yang pernah
dinikahinya itu, ada yang mendapinginya sampai wafat, ada yang wafat terlebih
dahulu semasih ia hidup dana da yang diceraikannya setelah beberapa bulan
menikah.
Disamping itu, ketujuh perempuan yang telah dinikahinya
itu, berasal dari berbagai pelosok daerah di Lombok, dan dari berbagai latar
belakang. Ada yang berasal dari keluarga biasa, ada pula yang berlatar belakang
bangsawan, seperti istrinya yang bernama Hajjah Baiq Siti Zahriyah Makhtar,
berasal dari desa Tanjung, Kecamatan Selong. Adapun nama-nama perempuan yang
pernah dinikahi oleh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, adalah:
Chasanah
Hajjah Siti
Fatmah
Hajjah Raihan
Hajjah Siti
Jauhariyah
Hajjah Siti
Rahmatullah
Hajjah Baiq
Siti Zuhriyah Mukhtar
Hajjah Adniyah.
TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid Sulit sekali
memperoleh keturunan, sehingga beliau pernah dianggap mandul padahal beliau
sendiri sangat mengiginkan keturunan yang akan melanjutkan perjuangan beliau
untuk mengembangkan dan menegakkan ajaran-ajaran Islam. Dan pada akhirnya
beliau dianugrahkan dua orang anak dari istri yang berbeda yaitu:
Hajjah Siti
Rauhun daru Ummi Jauhariyah
Hajjah Siti Raihanun dari Ummi Rahmatullah
Karena dengan hanya memiliki dua orang anak tersebut
beliau kerap dipanggil dengan sebutan Abu Rauhun wa Raihanun.
Pendidikan Perjalanan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid
dalam menuntut ilmu pengetahuan diawali dengan pendidikan yang di lakukan di
dalam lingkungan keluarga, yakni dengan belajar mengaji yaitu membaca Al-Qur’an
dan berbagai ilmu agama lainnya, yang diajarkan langsung oleh ayahnya, Tuan
Guru Haji Abdul Majid. Pendidikan yang diberikan oleh ayahnya tersebut dimulai
semenjak beliau berusia 5 tahun dan kemudian memasuki pendidikan formal
semenjak berusia 9 tahun. Sekolah formal yang beliau mesuki adalah sekolah umum
yang pada saat itu disebut dengan Sekolah Rakyat Negara (Sekolah Gubernemen) di
Selong Lombok Timur. Di sekolah tersebut beliau belajar selama 4 tahun hingga
tahun 1919 M.
Setelah menamatkan pendidikan formalnya pada Sekolah
Rakyat Negara pada tahun 1919 M, ia kemudian diserahkan oleh ayahnya untuk
belajar ilmu pengetahuan agama yang lelbih luas lagi pada beberapa kyai local
saat itu, antara lain Tuan Guru Haji Syarafuddin dan Tuan Guru Haji Muhammad
Sa’id dari Pancor serta Tuan Guru Haji Abdullah bin Amaq Dulaji dari Kelayu
Lombok Timur. Dari beberapa kyai local ini, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin
selain mempelajari ilmu-ilmu agama dengan menggunakan kitab-kitab Arab Melayu,
juga secara khusus mempelajari ilmu-ilmu gramatika bahasa Arab, seperti ilmu
Nahwu dan Syarf.
Pola pengajaran yang dilakukan oleh kyai-kyai lokal ini
masih bersifat klasik. Yaitu masih menggunakan system halaqoh, yang dalam
pembelajarannya murid-murid duduk bersila dan sang guru memberi pengajaran
dengan membacakan kitab yang dipelajari kemudian para murid masing-masing
mebacanya saling bergantian satu persatu.
Pada saat ini system pengajaran seperti ini sering
digunakan pada pondok pesantren yang berbasis salafi. Berhubung pada saat itu
sangat janrang ditemukan system pengajaran yang bersifat klasikal atau
menggunakan kelas-kelas sehingga para murid duduk di atas bangku dan sang guru
mengajarkan menggunakan papan tulis sebagai media pengajaran. Apalagi pada saat
itu berbedadengan zaman yang dialami saat ini, yaitu pada saat itu apabila
seorang murid ingin mempelajari suatu ilmu apalagi ilmu agama mesti ke rumah
sang guru untuk meminta kepada guru tersebut untuk mengajarinya tentang ilmu
pengetahuan yang ia miliki.
Namun pada saat ini sangatlah berbeda apabila seorang
murid ingin menuntut ilmu, meka hanya tinggal meminta pada orang tuannya untuk
memasukkannya pada pondok pesantren dan kemudian mendalami tentang ilmu agama
dan berbagai macamnya didalamnya.
Bagi Tuan Guru Haji Syarafuddin, Muhammad Saggaf
merupakan murid yang istimewa. Keistimewaan tersebut mendorong gurunya untuk
membebaskannya dari membanntu gurunya bekerja di sawah. Pada saat itu
murid-murid yang mengaji dirumah seorang tuan guru tidak dipungut bayaran.
Sebagai gantinya, mereka diharuskan berkerja disawah tuan guru tersebut.
Berbeda dengan Muhammad Saggaf, karena keinginan kuat
ayahnya agar ia menjadi murid yang pandai, ayahnya sanggup dengan membayar
dengan 200 ikat padi setahun (sekitar 2 ton padi/gabah), sebagai ganti
kewajiban bekerja disawah. Maksud ayahnya dengan kesediaan ini adalah agar
anaknya tidak terganggu aktivitas belajarnya, sehingga ia berkonsentrasi pada
pelajarannya.
Menjelang musim haji pada saat itu sekitar tahun 1923 M,
Muhammad Saggaf yang pada saat itu tengah berusia 15 tahun, berangkat ke Tanah
Suci Makkah untuk melanjutkan studinya, memperdalam berbagai macam disiplin
ilmu pengetahuan islam dengan di antar langsung oleh kedua orang tuanya bersama
tiga orang adiknya, yaitu: H. Muhammad Fishal, H. Ahmad Rifa’I, dan seorang
kemenakannya. Bahkan pada saat itu salah seorang gurunya ikut serta dalam
rombangan itu, yaitu Tuan Guru Haji Syarafuddin dan beberapa anggota keluarga
dekat lainnya. Beliau belajar di Tanah Suci Makkah selama 12 tahu.Di kota suci
Makkah Al-Mukarramah beliau mula-mula belajar di masjidil Haram, ayahnya pun
sangat selektif dalam mencarikan dan menentukan seorang guru yang akan mengajar
dan mendidik putra kesayangannya itu. Ayahandanya meyakini bahwa seorang guru
adalah sumber ilmu dan kebenaran serta menjadi contoh dan panutan bagi muridnya
dalam segala aspek kehidupan baik dalam pola berfikir dan berperilaku, sehingga
ilmu dan didikan yang diperoleh sang murid berguna dan bermanfaat bagi
kehidupan baik di dunia dan di akhirat.
Berhari-hari bahkan berbulan-bulan ayahnya sibuk
mencarikannya seorang guru yang tepat dan cocok untuk mengajari dan mendidik
anaknya. Kemudian bertemulah ayahnya dengan seorang syeikh yang belakangan dikenal
dengan Syeikh Marzuki. Dari cara dan metode yang digunakan dalam mengajar Tuan
Guru Haji Abdul Majid merasa cocok jika syeikh tersebut menjadi guru bagi
anaknya.
Syaikh Marzuki adalah seorang keturunan Arab kelahiran
palembang. Ia sudah lama tinggal di Makkah dan mengajar mengaji di Masjidil
Haram. Ia fasih berbahasa Indonesia dan Arab. Kebanyakan muridnya berasal dari
Indonesia. Ada yang berasal dari Palembang, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah,
Jawa Timur maupun Lombok.
Salah seorang murid Syeik Marzuki yang berasal dari
Lombok bernama H. Abdul Kadir dari desa Mamben Lombok Timur. H. Abdul Kadir
sudah setahun lebih belajar di Makkah pada waktu itu.
Namun pada akhirnya TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid,
merasakan ke tidakcocokan terhadap Syeikh Marzuki karena merasa tidak banyak
mengalami perkembangan yang berarti dalam menuntut ilmu. Karena pada saat itu
sang guru mengajarkan kitab gundul yang tidak memiliki baris sedangkan beliau
masih murid baru dan dapat dikatakan masih awam dalam mempelajari kitab-kitab
gundul yang tidak memiliki baris tersebut, sehigga beliau berfikiran ingin
memulai pelajarannya dari awal agar mampu membaca dan memahami makna yang
terkandung dalam kitab gundul tersebut.
Setelah ayahnya pulang ke Lombok beliau langsung berhenti
balajar mengaji pada Syeikh Marzuki. Dua tahun setelah terjadinya huru hara di
Makkah karena perang saudara antara faksi Wahabi dengan kekuasaan Syarif
Hussein, stabilitas keamanan relative terkendali.
Pada saat itu Muhammad Zainuddin berkenalan dengan seorang
yang bernama Haji Mawardi yang berasal dari Jakarta. Dari perkenalan itu beliau
diajak untuk ikut belajar di sebuah madrasah legendaries di Tanah Suci, yakni
Madrasah al-Shaulatiyah yang pada saat itu di pimpin oleh Syeikh Salim
Rahmatullah putra Syeikh Rahmatullah, pendiri Madrasah al-Shaulatiyah.
Madrasah ini adalah madrasah pertama sebagai permulaan
sejarah baru dalam dunia pendidikan di Saudy Arabia. Gaungnya telah menggema ke
seluruh dunia dan telah banyak mencetak ulama’-ulama’ besar dunia. Di Madrasah
al-Shaulatiyah inilah beliau belajar berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam
dengan sangat rajin dan tekun di bawah bimbingan ulama’-ulama’ terkemuka kota
Suci Makkah waktu itu. Pada hari pertama beliau masuk di Madrasah
al-Shaulatiyah Makkah beliau bertemu dengan Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath
yang nantinya akan menjadi gurunya yang hubungannya paling dekat.
Di sana juga ia bertemu Syeikh Sayyid Muhsin al-Musawa,
diantara temannya sewaktu belajar syair pada Syeikh Sayyid Amin al-Kutbi, yang
ternyata juga sebagai salah seorang guru di madrasah ini.
Sudah menjadi tradisi di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah
bahwa setiap murid baru yang masuk harus mengikuti tes untuk menentukan kelas
yang tepat dan cocok untuk murid baru tersebut. Demikian juga halnya dengan
Muhammad Zainuddin, beliau juga diuji terlehih dahulu. Dan secara kebetulan
beliau diuji langsung oleh murid al-Shaulatiyah sendiri yaitu Syeikh Salim
Rahmatullah bersama dengan Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath. Dan pada akhirnya
Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath menentukan masukdi kelas III. Padahal beliau
belum terlalu menguasai ilmu nahwu-syaraf yang diajarkan di kelas II. Mendengar
keputusan tersebut, kemudian beliau meminta untuk diperkenankan masuk di kelas
II, dengan alasan iingin mendalami mata pelajjaran nahwu-sharaf.
Walaupunpada awalnya Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath
bersikeras dengan keputusannya, namun argumentasi yang dikemukakan oleh
Muhammad Zainuddin membuatnya berfikir kembali. Kemudian Syeh Hasan pun
mengabulkan permohonannya, dan resmilah beliau diterima di kelas II.
Di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah Muhammad Zainuddin
mulai tekun belajar. Ia ingin membuktikan kemampuannya menguasai ilmu dengan
baik. Di malam dan sore hari beliau belajar kepada beberapa guru yang lain.
Dirumah juga beliau manghabiskan waktunya untuk belajar. Salah satu bentuk
ketekunannya dalam belajar adalah besarnya porsi waktu yang disediakan untuk
membaca kitab-kitab mulai dari setelah shalat tahajjud sampai waktu shalat
subuh tiba.
Pernah suatu ketika beliau tertidur pada saat membaca
kitab. Padahal di hadapannya terdapat sebuah lampu minyak sebagai alat penerang
beliau dalam membaca. Tanpa beliau sadari surban beliau terlalap api dari lampu
minyat tersebut dan terbakar. Mencium bau benda terbakar ibunya pun terbangun.
Sementra beliau masih tertidur dengan lelapnaya, kemudian ibunya pun berteriak
membangunkannya. Beliaupun terkejut dan terbangun.Kebiasaan beliau membaca dan
belajar dalam waktu yang cukup lama menyebabkan mata beliau mengalami gangguan.
Meskipun demikian beliau masih tetap mampu mempertahankan kebiasaan membaca dan
belajarnya tersebut sampai waktu yang cukup lama.
Ketekunannya dalam belajar membuahkan hasil. Beberapa
orang gurunya mengakui bahwa beliau tergolong murid yang cerdas. Syeikh Salim
Rahmatullah sebagai kepala Madrasah al-Shaulatiyah selalu mempercayakan beliau
untuk menghadapi Penilik Madrasah pemerintah Saudi yang sering kali datang ke
madrasah itu.
Pemilik madrasah itu meenganut faham Wahabi. Dan
beliaulah satu-satunya murid Madrasah al-Shaulatiyah yang dianggap menguasai
faham Wahabi. Pertanyaan penilik itu biasanya menyangkut soal-soal hokum ziarah
kubur, tawasul kepada anbiya’ dan auliya’, bernazar menyembelih kambing berbulu
hitam atau putih dan sebagainya. Dan beliau selalu berhasil menjawab pertanyaan
penilik itu dengan memuaskan.
Prestasi akademiknya sangat membanggakan. Ia berhasil
meraih peringkat pertama dan juara umum. Di samping itu, dengan kecerdasan yang
luar biasa, ia berhasil menyelesaikan studinya dalam kurun waktu 6 tahun.
Padahal waktu belajar normal adalah 9 tahun, yaitu mulai dari kelas I sampai
dengan kelas IX. Dari kelas II, ia langsung ke kelas IV. Tahun berikutnya ke
kelas VI, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya secara berturut-turut naik
ke kelas VII,VIII dan IX.
Gaya kepemimpinan Selain sebagai pejuang kemerdekaan TGKH
Muhammad Zainuddin Abdul Majid dikenal sebagai ulama kharismatik yang
mencurahkan pemikiran dan perjuangannya untuk kepentingan umat. Rasa hormatnya
kepada guru dan kepada orang yang telah berjasa pada dirinya selalu diwujudkan
dengan mengabdikan nama-nama gurunya pada lembaga-lembaga yang dibangunnya.
Dalam penampilannya sehari-hari TGKH Muhammad Zainuddin
Abdul Majid Tidak merasakan bahwa dirinya sebagai ulama besar. Apalagi jika
dibesar-besarkan oleh murid dan masyarakat, dengan tegas melarangnya. Alasannya
apabila ada ulama besar berarti ada pula ulama kecil. Hal ini dapat menimbulkan
kesenjangan antara orang yang dianggap besar dengan orang yang dianggap kecil.
Kesenjangan tersebut dapat menghambat komunikasi antara atasan dengan bawahan
dan antara kyai dengan santri. Karena itu, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid
tidak pernah mempersulit semua santri dan masyarakat yang hendak bertemu.
Sikap low profile tersebut membuat sikap sang kyai ini selalu
dekat dengan semua santri, murid dan warga tanpa mengurangi kewibawaan dan
kharismanya. Keluhan dan kesulitan santri dan muridnya selalu diperhatikan,
didengar, dan dicarikan solusinya.
Sebagai pendidik TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid
mendambakan munculnya generasi baru yang memiliki potensi yang besar untuk
menyambung estapet perjuangan beliau dalam mengembangkan organisasi Nahdlatul
Wathan. Harapan tersebut sangat besar dan sering sekali disampaikan dalam
berbagai kesempatan agar murid dan para santrinya memiliki ilmu pengetahuan
lebih tinggi dari dirinya, sepuluh, seratus, bahkan seribu kali lipat dari ilmu
yang beliau miliki.TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid merasa saying kepada
semua santri, murid, dan para Pembina pesantren yang mempunyai keikhlasan dalam
melanjutkan perjuangan Nahdlatul Wathan. Beliau sering mengatakan bahwa
sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisiku ialah yang paling banyak
bermanfaat untuk perjuangan nahdlatul Wathan. Sedang yang paling jahat diantara
kamu disisiku ialah yang paling banyak merugikan perjuangan Nahdlatul Wathan.
Beliau sering mengatakan:”Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Semoga Allah tetap mencurahkan keselamatan kepadamu, rahmt,
keberkatan, ampunan, dan ridha-Nya. Wahai anak-anakku yang setia dan
murid-muridku yang cerdik, sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisiku ialah yang
paling banyak bermanfaat untuk perjuangan Nahdlatul Wathan dan sejahat-jahat
kamu di sisiku ialah yang paling banyak merugikan perjuangan Nahdlatul Wathan”.
Karena itu, kuatkanlah kesabaranmu, tetaplah bersikap
siaga, berjuanglah di jalan Nahdlatul Wathan untuk mempertinggi citra agama dan
Negara, siscaya kamu dengan kekuasaan Allah SWT, tergolong pejuang agama, orang
shaleh dan mukhlish baik pada waktu sendirian maupun pada waktu bersama orang
lain. Semoga Allah membukakan pintu rahmat untuk kami dan kamu sekalian dan
semoga Ia menganugrahkan kami, kamu sekalian, dan para simpatisan Nahdlatul
Wathan kebahikan-kebajikan dan nikmat tambahan yang tiada taranya.
Adapun dalam setiap gerak dan langkah beliau selalu
mencerminkan keteladanan yang baik dan memberi keyakinan terhadap kesucian
perjuangan beliau melalui Nahdlatul Wathan sebagai contoh nyata yang patut
diteladani oleh para murid-muridnya. Sering kali beliau memberikan apresiasinya
terhadap para santri dan para muridnya yang menunjukkan perkembangan positif
dalam perjuangan Nahdlatul Wathan, baik melalui sikap, maupun ucapan beliau.
Beliau selalu mendo’akan untuk para murid dan santrinya agar menjadi orang yang
taat pada Allah dan Rasul-Nya, berbuat baik pada kedua orang tua serta hormat
terhadap guru. Beliau selalu menekankan agar setiap anak senantiasa selalu
berbakti terhadap kedua orang tuanya.
Sebagai pemimpin umat, beliau bersikap tegas, sportif dan
konsekwen terhadap apa yang diputuskan. Prinsip musyawarah dalam pengambilan
keputusan tetap dijunjung tinggi. Tetapi terhadap hal-hal yang prinsipil, perlu
dilakukan kajian mendalam dengan mencari dalil-dalil naqli dan ‘aqli setelah
mempertimbangkan untung dan ruginya serta aspek maslahat dan mafsadatnya,
barulah diambil keputusan yang meyakinkan.
Dalam melaksanakan misi dan tugas organisasi, selain
memberikan bimbingan,TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid juga menganjurkan agar
murid-murid dan santri-santrinya bersifat ikhlas, istiqomah, anamah,
syaja’ah(keberanian) dan rela berkorban untuk kepentingan umat. Sebaliknya,
Beliau membenci santri dan muridnya yang bersifat pesimis, apatis, pengecut,
cari muka, dan ingkar janji.
Guru yang Mengajarkan beliu Al-Qur’an dan Kitab Melayu di
Lombok
1) T.G.H. Abdul
Majid;
2) T.G.H.
Syarafuddin Pancor Lombok Timur;
3) T.G.H. Abdullah bin Amak Dujali Kelayu Lombok Timur;
Guru di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah:
Maulana Wa
Murabbina Abu Barakat al-‘Allamah al-Ushuli al-Mudadditsbal-Shufi al-Syeikh
Hasan Muhammad al-Mahsyat al-Maliki;
Al-‘Allamah
al-Syaikh Umar Bajunaid al-Syafi’I;
Al-‘Allamah
al-Syaikh Muhammad Syaid al-Yamani al-Syafi’I;
Al-‘Allamah
al-Kabir Mutaffanin Sibawaihi Zanamihi al-Syaikh Ali al-Maliki;
Al-‘Allamah
al-Syeikh Marzuqi al-Palimbani;
Al-‘Allamah
al-Syaikh Abu Bakar al-Falimbani;
Al-‘Allamah
al-Syeikh Hasan Jambi al-Syafi’i;
Al-‘Allamah
al-Syeikh Abdul Qadir al-Mandili al-Syafi’i;
Al-‘Allamah
al-Syeikh Muhtar Betawi al-Syafi’i;
Al-‘Allamah al-Syeikh
Abdullah al-Bukhari al-Syafi’i;
Al-‘Allamah
al-Muhadditsin al-Kabir al-Syeikh Umar Hamdan al-Mihrasi al-Maliki;
Al-‘Allamah
al-Muhadditsin al-Syaikh Abdus Sattar al-Syiddiqi Abdul Wahab al-Kutbi
al-Maliki;
Al-‘Allamah
al-Kabir al-Syeikh Abdul Qodir al-Syibli al-Hanafi;
Al-‘Allamah
al-Adib al-Syeikh Muhammad Amin al-Kutbi al-Hanafi;
Al-‘Allamah
al-Syaikh Muhsin al-Musahwa al-Syafi’i;
Al-‘Allamah
al-Falaqi Maulana al-Syaikh Khalifah al-Maliki;
Al-‘Allamah
al-Jalil al-Syaikh Jamal al-Maliki;
Al-‘Allamah
al-Syeikh al-Shalih Muhammad Shalih al-Kalantani al-Syafi’i;
Al-‘Allim
al-‘Allamah al-Syafi’i Maulana Syaikh Mukhtar al-Makhdum Al Hanafi;
Al-‘Allamah
al-Syeikh Salim Cianjur al-Syafi’i;
Al-‘Allamah
al-Syeikh Syaikh al-Syayid Ahmad Dahlan Shadaqi al-Syafi’i;
Al-‘Allamah
Mu’arrikh al-Syeikh Salim Rahmatullah al-Maliki;
Al-‘Allamah
al-Syeikh Abdul Gani al-Maliki;
Al-‘Allamah
al-Syeikh al-Syayid Muhammad Arabi al-Tubani al-Jazairi al-Maliki;
Al-‘Allamah
al-Syeikh Umar al-Faruq al-Maliki;
Al-‘Allamah
al-Syeikh al-Wa’id al-Syaikh Abdullah al-Faris;
Al-‘Allamah al-Syeikh Malla Musa
Jika di klasifikasikan guru-gurunya berdasarkan latar
belakang mazhab yang berbeda, maka akan terlihat katagorisasi mazhab sebagai
berikut: a.11 orang bermazhab Syafi’;b.6 orang bermazhab Hanafi;
dan c.11 orang bermazhab Maliki.
Merdasarkan kategorisasi mazhab diatas terlihat jelas
bahwa semua guru-guru beliau masih berada dalam satu landasan teologis yang
sama, yakni faham Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah.
Dengan kata lain, bahwa tidak ada seorang pun gurunya
yang menganut faham teologis yang berbeda, seperti Mu’tazillah, Syi’ah ataupun
Wahabi.
Pemikiran dan karya-karyanya Konsep pendidikan yang
diajarkan adalah bahwa pendidikan tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan
(kognitif), tetapi juga pemupukan moral, melatih dan mempertinggi nilai-nilai
kemanusiaan. Karena pendidikan adalah kewajiban manusia untuk mengabdi kepada
Allah SWT. Dalam hal ini, usaha yang ia pikirkan dan praktikkan adalah
pengembangan pendidikan Islam melalui pesantren. Yakni, berusaha mengembangkan
pesantren dengan menerima beberapa pemikiran alternatif yang dapat dijadikan
sebagai masukan/kontribusi bagi pengembangan pesantren sejalan dengan perubahan
zaman. Karena itu, menurut TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, pesantren mesti
merubah orientasinya dengan tidak sekadar berorientasi pada pencarian ilmu
agama, tetapi juga ilmu-ilmu yang lain.Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin
Abdul Majid, selain tergolong ulama yang berbobot dalam bidang keilmuan, beliau
juga termasuk penulis dan pengarang yang produktif. Bakat dan kemampuannya
tersebut tumbuh dan berkembang semenjak beliau belajar di Madrasah
al-Shaulatiyah Makkah. Akan tetapi karena kepadatan dan banyaknya acara
kegiatan keagamaan dalam masyarakat yang harus di isai oleh beliau, sehingga
peluang dan kesempatan beliau untuk mengarang dan memperbanyak tulisannya
hampir tidak pernah ada. Itulah sebabnya pada beberapa kesempatan beliau
mengungkapkan keadaan seperti ini kepada muridnya, bila mana beliau teringat
pada kawan seperjuangan di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah yang juga telah
tergolong ulama’ besar dan pengarang terkenal seperti Maulana Syeikh Zakaria
Abdullah Bila, Maulana Syeikh Yasin Padang dan lain-lain. Mereka sekarang ini
memiliki karya-karya besar dalam bidang tulis menulis dan karang-mengkarang.
Dalam hal ini TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid tidak
pernah berkecil hati, walaupun kawan seperguruannya menonjol dalam bidang
tersebut. Beliau menyadari akan hal ini, karena situasi dan kondisi kehidupan
ummat dan masyarakat yang dihadapi sangat jauh berbeda, yaitu masyarakat Makkah
di satu pihak dan masyarakat Indonesia di lain pihak. Beliau pernah
mengatakan:“Seandainya aku mempunyai waktu dan kesempatan yang cukup untuk
menulis danmengarang, niscaya aku akan mampu menghasilkan karangan dan
tulisan-tulisan yang lebih banyak, seperti yang dimiliki Syeikh Zakaria
Abdullah Bila, Syeikh Yasin Padang, Syeikh Ismail dan ulama’-ulama lain tamatan
Madrasah al-Shaulatiyah Makkah”.
Dikarenakan sebagian besar dan seluruh waktu dan
kehidupan beliau di manfaatkan dan dipergunakan untuk mengajar dan terus
mengajar dan berdakwah keliling untuk membina umat dalam upaya menanamkan Iman
dan Taqwa, sehingga dengan kegiatannya yang padat dan terusberkesinambungan
sehingga membuat beliau tidak memiliki cukup banyak waktu untuk menulis dan
mengarang. Dan bahkanbeliau tidak pernah putus semangat untukmenghabiskan
waktunya berjuang demi kepentingan umat, sebagaimana ucapan dan ikrar beliau
sendiri “Aku wakafkan diriku untuk ummat”.
Sekalipun dalam keadaan yang sangat sibuk seperti itu,
beliau masih menyempatkan dirinya untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya
tersebut. Bagi beliau mengarang dan tulis menulis bukanlah suatu tugas dan
pekerjaan yang sulit, karena hal ini merupakan kemampuan dasar yang di
anugrahkan Allah SWT kepada beliau, bakat dan kemampuannya inilah yang terus
dibawa sehingga tumbuh dan berkembang semenjak beliau bersekolah di Madrasah
al-Shaulatiyah Makkah, sehingga tidak mengherankan apabila beliau mendapatkan
banyak pujian dari guru-guru beliau. Diantara karya tulis dan karangan-karangan
beliau adalah:
a. Dalam Bahasa Arab
1) Risalah
Tauhid dalam bentuk soal jawab (Ilmu Tauhid)
2) Sullamul
Hija Syarah Safinatun Naja (Ilmu Fiqh)
3) Nahdlatul
Zainiyah dalam bentuk nadzam (Ilmu Faraidl)
4) At Tuhfatul
Ampenaniyah Syarah Nahdlatuz Zainiyah (Ilmu Faraidl)
5) Al Fawakihul
Ampenaniyah dalam bentuksoal jawab (Ilmu Faraidl)
6) Mi’rajush
Shiibyan Ila Sama’i Ilmi Bayan(Ilmu Balaghah)
7) An Nafahat
‘Alat Taqriratis Saniyah (Ilmu Mushtalah Hadits)
8) Nailul Anfal
(Ilmu Tajwid)
9) Nizib
Nahdlatul Wathan (Da’a dan Wirid)
10) Hizib
Nahdlatul Banat (Do’a dan Wirid kaum wanita)
11) Shalawat
Nahdlatain (Shalawat Iftitah dan Khatimah)
12) Thariqat
Hizib Nahdlatul Wathan (WiridHarian)
13) Ikhtisar
Hizib Nahdlatul Wathan (Wirid Harian)
14) Shalawat
Nahdlatul Wathan (Shalawat Iftita)
15) Shalawat
Miftahi Babi Rahmatillah (Wirid dan Do’a)
16) Shalawat
Mab’utsi Rahmatan Lil ‘Alamin (Wirid dan Do’a)
17) Dan lain-lainnya.
b. Dalam Bahasa Indonesia dan Sasak
1). Batu Nompal
(Ilmu Tajwid)
2). Anak
Nunggal Taqrirat Batu Ngompal (Ilmu Tajwid)
3). Wasiat Renungan Masa I dan II (Nasihat dan petunjuk
perjuangan untuk warga Nahdlatul wathan)
c. Nasyid/Lahu Perjuangan dan Dakwah dalam Bahasa Arab,
Indonesia dan Sasak
1). Ta’sis NWDI
(Anti ya Pancor biladi)
2). Imamunasy
Syafi’i
3). Ya Fata
Sasak
4). Ahlan bi
wafdizzairin
5). Tanawwarr
6). Mars
Nahdlatul Wathani
7). Bersatulah
Haluan
8). Nahdlatain
9). Pau gama’
10). Dan lain-lain.
Dengan banyaknya karya yang telah beliau terbitkan
mencerminkan ketinggian ilmu yang dimilikinya, sehingga oleh guru-gurunya TGKH
Muhammad Zainuddin Abdul Majid mendapat pujian dan kepercayaan yang besar. Di
antaranya, ia pernah diberi kesempatan untuk memberikan kata pengantar dari
gurunya Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Mahsyat.
Dalam kata pengantar yang beliau tulis untuk kitab
Baqi’ah al-Mustarsyidin karya Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Mahsyat sambil
mengutip hadist Nabi Saw mengatakan: “Janganlah kamu mempelajari ilmu
syariat dari seseorang kecuali dari orang yang baik riwayat hidupnya dan
hatinya dan kamu sekalian telah menyelidiki atas keamanahannya”.
Dari Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Mahsyat inilah,
beliau pernah mendapatkan risalah/ijazah dengan seluruh isi kitabnya,
“al-Irsyad bi al-Dzikr ba’da Ma’alim al-Ijazah wa al-Asnaf”. Dari sinilah,
beliau menukil sebagian ucapan gurunya tentang kehidupan pribadinya yang
mantap, tetapi tetap menganggap dirinya adalah orang yang hina dan fakir dalam
pengetahuan agama.
Syaikh Muhammad al-Mahsyat pernah memberikan sanjungan
kepada TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid. Berikut kutipannya: “Demi Allah
saya kagum kepada Zainuddin, kagum pada kelebihannya atas orang lain pada
kebesaran yang tinggi dan kecerdsannya yang tiada tertandingi, jasanya bersih
ibarat permata menunjukkan kebersihan ayah bundanya dan karya-karya tulisnya
indah lagi menawan penaka bunga-bungaan yang tumbuh di lereng pegunungan. Di
lapangan ilmu ia dirikan ma’had, tetap dibanjiri thullab dab thalibat menuntut
ilmu dan menggali kitab. Ia kobarkan semangat generasi muda menggapai mustawa
dengan karyanya Mi’raj al-Sibyan ila Sama’i ‘Ilm al-Bayan. Semoga Alah
memanjangkan usianya dan dengan perantarannya ia memajukan ilmu pengetahuan
agama di Ampanan bumi Selaparang. Terkirimlah salam penghormatan harum semerbak
bagaikan kasturi dari tanah Suci menuju “Rinjani” (Syaikh Muhammad
Zainuddin Aabdul Majid dalam Mi’raj al-Sibyan ila Sama’i ‘Ilm al-Bayan).
Dengan demikian, TGKH Muhammad Zainuddin Adbul Majid
selain dikenal sebagai ulama yang memiliki kepedulaian yang tinggi terhadap
dunia pendidikan Islam, ia juga mampu menuliskan pikiran-pikirannya untuk
memberikan warisan yang paling berharga bagi penerus-penerusnya.
Kiprah sosial-keagamaan Melihat kondisi masyarakat Lombok
pada saat itu yang masih terbelenggu oleh kebodohan dan keterbelakangan, TGKH
Muhammad Zainuddin Abdul Majid merasa tertantang untuk membenahi masyarakatnya
yang masih dalam jajahan Belanda, Jepang, Hindu Bali (Anak Agung Karangasem) melalui
pencerdasan agama. Kepulangannya dari Mekah pada tahun 1934 ketika terjadi
peperangan antara Raja Syarif Husein dengan Raja Abdul Azizbin Abdurrahman
sehingga ia kembali ke Lombok untuk membuka pengajian pemula untuk masyarakat
dengan system halaqah.
Pondok Pesantren yang didirikan diberi nama Pondok
Pesantren Nahdlatul Wathan(membela tanah air) sesuai dengan obsesinya untuk
membela tanah air dari kaum penjajah. Dengan berbekal ilmu yang dimiliki,
beliau mampu tampil sebagai seorang ulama yang mempunyai kompetensi besar dalam
membentuk kader ulama. jenjang pendidikan yang khusus untuk mencetak kader
ulama diberi nama Ma’had Darul Qur’an Wal Hadits.
Sebagai seorang Mujahid, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul
Majid berupaya melakukan inovasi untuk meningkatkan pengetahuan agama
masyarakat. Itu sebabnya, beliau membuat rintisan dengan memperkenalkan system
madrasah dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran agama di NTB, membuka
lembaga pendidikan khusus bagi wanita, mengadakan Syafatul Qubra, meciptakan hizib
tarekat Nahdaltul Wathan, membuka sekolah umum di samping sekolah agama,
menyususn nazham berbahasa Arab bercampur bahasa Indonesia.
Berikut ini kiprah sosial-keagamaan TGKH Muhammad
Zainuddin Abdul Majid:
Pada tahun 1943
mendirikan Pesantren Al-Mujahidin
Pada tahun 1937
mendirikan Madrasah NWDI
Pada tahun 1943
mendirikan Madrasah NBDI
Pada tahun 1945
pelopor kemerdekaan RI untuk daerah Lombok
Pada tahun 1946
Pelopor PenggempuranNica di Selong Lombok Timur
Pada tahun
1947/1948 menjadi Amirul Hajji dari negara Indonesia Timur
Pada tahun
1948/1949 Anggota delegasi Negara Indonesia Timur ke Saudi Arabia
Pada tahun 1950
Konsultan NU Sunda Kecil
Pada tahun 1952
Ketua badan penasehat Masyumi Daerah Lombok
Pada tahun 1953
Mendirikan organisasiNahdlatul Wathan
Pada tahun 1953
Ketua Umum PBNW pertama
Pada tahun 1953
Merestui terbentuknnya NU dan PSII di Lombok
Pada tahun 1954
Merestui terbentuknya PERTI Cabang Lombok
Pada tahun 1955
Anggota Konstituante RI hasil Pemilu I 1955
Pada tahun 1964
Menjadi peserta KIAA(Konferensi Islam Asia Afrika) di Bandung
Pada tahun 1964
Mendirikan Akademi Paedagogik NW
Pada tahun 1965
Mendirikan Ma’had Darul Qur’an Wal Hadist Al Majidiah Asy Syafi’iyah Nadlatul
Wathan
Pada tahun
1972/1982 Anggota MPR RIhasil Pemilu II dan III
Pada tahun
1971/1982 Penasehat Majelis Ulama’ Indonesia Pusat
Pada tahun 1974
Mendirikan Ma’had Lil Banat
Pada tahun 1975
Ketua Penasehat bidang Syara’ Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram
Pada tahun 1977
Menjadi Rektor Universitas Hamzan Wadi
Pada tahun 1977
Mendirikan Universitas Hamzan Wadi
Pada tahun 1977
Mendirikan Fakultas Tarbiyah Universitas Hamzan Wadi
Pada tahun 1978
Mendirikan STKIP Hamzan Wadi
Pada tahun 1978
Mendirikan Sekolah Ilmu Syari’ah Hamzan Wadi
Pada tahun 1982
Mendirikan Yayasan Pendidikan Hamzan Wadi
Pada tahun 1987
Mendirikan Universitas Nahdlatul Nathan di Mataram
Pada tahun 1987
Mendirikan Sekolah Ilmu Hukum Hamzan Wadi
Pada tahun 1990
Mendirikan Sekolah Ilmu Da’wah Hamzan Wadi
Pada tahun 1994
Mendirikan Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) putra putri
Pada tahun 1996
Mendirikan Institut Agama Islam Hamzan Wadi.