BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara mengenai manajemen investasi syariah, mungkin bagi
kita umat Islam di Indonesia masih terasa asing mendengar kata investasi
syariah. karena memang umat Islam di Indonesia sudah akrab dengan yang namanya
investasi tetapi secara umum yakni investasi konvensional. Sebab memang
investasi syariah ini baru dikenal oleh masyarakat di Indonesia pada tahun
2000-an dengan didirikannya Jakarta Islamic Index (Bursa Saham Syariah).
Berkenaan dengan hal tersebut diatas maka kami dalam hal ini
akan mencoba membahas mengenai Manajemen Investasi Syariah pada makalah kami
yang berikut ini. Yang dimana di dalamnya akan membahas mengenai pengertian dan
filosofis manajemen investasi, teori investasi,dan kosep manajemen investasi
syariah. Dan kami berharap dengan adanya makalah kami yang membahas mengenai
Manajemen Investasi Syariah maka rekan-rekan mahasiswa dan pembaca bisa lebih
memahami dan mendapat memberikan gambaran tentang investasi syari’ah
B.
Rumusan Masalah
1) Pengertian dan Landasan Filisofis
Investasi Syariah
2) Teori Investasi
3) Proses Manajemen Investasi Syariah
C.
Tujuan
Kami berharap dengan adanya makalah
ini yang membahas mengenai Manajemen Investasi Syariah diharapkan kepada
rekan-rekan mahasiswa dan pembaca bisa lebih memahami dan mendapat memberikan
gambaran tentang investasi syari’ah
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian dan Landasan Filisofis
Manajemen Investasi Syariah
a.
Pengertian Manajemen Investasi Syariah
Kata
manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno ménage-ment,
yang memiliki arti : seni melaksanakan dan mengatur.[1]
Sedangkan Investasi
pada hakikatnya merupakan penempatan sejumlah dana pada saat ini dengan harapan
untuk memperoleh keuntungan di masa mendatang.[2]
Manajemen Investasi adalah manajemen profesional yang mengelola beragam
sekuritas atau surat berharga seperti saham, obligasi, dan asset lainnya
seperti properti dengan tujuan untuk mencapai target investasi yang
menguntungkan bagi investor. Investor tersebut dapat berupa institusi (perusahaan
asuransi, dana pensiun, perusahaan, dll). Ataupun dapat juga merupakan investor
perorangan, dimana sarana yang digunakan biasanya berupa kontrak investasi atau
yang umumnya digunakan adalah kontrak investasi kolektif (KIK) seperti,
rekasadana.
Lingkup jasa pelayanan manajemen investasi adalah termasuk melakukan analisa
keuangan, pemilihan saham, implementasi perencanaan serta melekukan pemantauan
terhadap investasi. Di luar industri keuangan, terminologi “manajemen
investasi” merujuk pada investasi lainnya selain dari investasi di bidang
keuangan seperti misalnya proyek, merek, paten, dan banyak lainnya selain saham
dan obligasi. Ada yang mengartikan secara praktis tentang Manajemen investasi
sebagai suatu industri global yang sangat besar serta memegang peran penting
dalam pengelolaan triliunan dollar, euro, pound, dan yen.
Sedangkan
Manajemen syariah adalah seni dalam mengelola semua sumber daya yang
dimiliki dengan tambahan sumber daya dan metode syariah yang telah
diajarkan oleh nabi Muhammad SAW.
Jadi
secara utuh pemahaman manajemen investasi syariah dapat dirangkum pengertiannya
menjadi suatu kegiatan atau seni
mengelola modal atau sumber-sumber penghidupan ekonomi maupun sumber daya,
secara profesional untuk masa depan, baik di dunia maupun di akhirat sesuai
dengan syari’at dan prinsip-prinsip yang telah diajarkan oleh rasulullah SAW.[3]
Prinsip-prinsip yang diajarkan Rasulullah sebagaimana dimaksud merupakan asas
yang mendasari manajemen investasi syariah seperti perencanaan matang dalam
mengarungi kehidupan dunia adalah bekal (investasi) pada kehidupan yang abadi
di akhirat. Hal ini tersirat dan tersurat dalam al-Quran dan al-Hadis. Prinsip
ini penting dalam melakukan i’mal liduniaka ta’ishu abadan wa’mal
liakhiratika ta’ishu ghodan. (Berusaha keraslah untuk sukses di dunia, seakan-akan
kamu hidup di dunia selamanya dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan akan kamu
mati esok). Prinsip ini penting dalam melandasi pengertian manajemen investasi
syariah seperti di atas.
b.
Landasan Filosofi Manajemen Investasi Syariah
Dalam islam, semua kegiatan dan aktivitas manusia termasuk kegiatan investasi
tidak boleh melanggar aturan yang telah yang disyariatkan oleh agama. Meskipun
pada dasarnya semua perbuatan yang dilakukan manusia dalam bermuamalah boleh,
kecuali ada aturan yang melarangnya. Berbeda alam ibadah mahdah (teologis),
kegiatan apapun dilarang kecuali ada perintah untuk mengerjakannya, seperti
dilihat padagambar 2.5 dibawah ini
Hukum Asal
|
Ibadah
|
Muamalat
|
Semua
tidak boleh kecuali ada ketentuannya
|
Semuanya
boleh kecuali ada larangannya
|
Gambar.
2.5
Kegiatan
investasi yang merupakan bagian dari muamalah dianggap dapat diterima, kecuali
terdapat implikasi dari dalil al-Qur’an dan al-Hadis yang melarangnya secara
eksplisit maupun implisit. Karena itu, investasi tidak lepas dari landasan
normatif etika yang bersumber dan diilhami oleh ajaran islam yaitu al-Qur’an
dan hadis Rasulullah saw.
Dengan demikian ada dua hal pokok yang menjadi landasan dalam berinvestasi,
yaitu al-Qur’an dan al-Hadis, serta hukum-hukum yang bersumber dari keduanya.
Maka jelas bahwa investasi harus seiring dengan syariah yang menjadi panduan
dalam bertindak. Sesuai dengan filosofi islam yang sangat mendorong setiap
muslim berinvestasi, maka aktivitas investasi menjadi suatu kegiatan ekonomi
yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan.[4]
Memang investasi dilihat dari sudut pandang non-ekonomi dapat dinilai
dari adanya amal saleh yang telah dilakukan manusia sebagai bekal simpanannya
(investasi) untuk ber hitungan amal pada hari kiamat kelak. Dalam hal ini
investasi akhirat merupakan perintah Allah kepada seluruh manusia sebagai bekal
untuk hari perhitungan. Karena tidak ada seorang pun di alam semesta ini yang
dapat mengetahui apa yang akan terjadi pada esok hari, sehingga Allah
memerintahkan untuk melakukan investasi amal sebagai bekal dunia akhirat.
Dilihat dari sudut pandang ekonomi, investasi merupakan suatu komitmen untuk
mengorbankan dana dengan jumlah yang pasti pada saat sekarang ini untuk
mendapatkan keuntungan di masa depan. Namun demikian, investasi dari sudut
pandang ekonomi pun tidak boleh jauh dari kedua rambu-rambu di atas, yaitu
al-qur’an dan al-hadis. Jadi, islam sangat menganjurkan investasi baik dari
sudut non-ekonomi maupun sudut pandang ekononi. Sebab dalam islam ada perintah
yang menganjurkan umatnya untuk mengembangkan
harta kekayaan, bukan menumpuk kekayaan. Mengembangkan kekayaan berarti
memanfaatkan fadzilah Allah, sedangkan menumpuk-numpuk harta kekayaan merupakan
perbuatan yang sangat tidak dibenarkan.sebagaimana Ahmad al-Haritsi dalam
bukunya fiqh ekonomi Umar bin al-Khattab yang dikutip Mochammad Nadjib
(2008:35), menulis bahwa khalifah Umar pernah menyuruh kaum muslimin untuk
menggunakan modal mereka secara produktif, “siapa saja yang memiliki uang,
hendaklah ia menginvestaasikannya dan siapa saja yang memiliki tanah hendaklah
ia menanaminya”.[5]
Tuntunan khalifah Umar ini berlatar belakang bahwa pengembangan tanah dan
investasi produktif dari simpanan sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat muslim akan bahan-bahan pokok dan kenyamanan
hidup. Melakukan hal yang demikian jelas merupakan suatu amalan kebajikan
menurut filosofi islam.
Belajar dari khalifah Umar di atas, maka investasi dapat dilakukan pada dua
sektor, yakni sektor riil berupa tanah dan sektor keuangan berupa modal.
Investasi pada sektor riil dilakukan dengan membeli atau menyimpan benda-benda
riil yang diharapkan akan mempunyai nilai jual lebih tinggi di masa mendatang
seperti tanah, apalagi diproduktifkan, bangunan, emas, benda seni, atau
lainnya.
Sedangkan investasi esame keuangan (modal) dilakukan di pasar keuangan
(financial market), baik pasar uang (money market) yang memperdagangkan surat
berharga jangka pendek (deposito,SBI, surat utang, suku, dll). Atau pasar modal
(capital market) seperti memperdagangkan surat berharga jangka panjang (saham
dan obligasi/sukuk).
Namun demikian norma-norma ajaran agama tidak boleh dilanggar dalam nelakukan
semua aktivitas tersebut. Seperti tidak boleh mengandung esame riba, gharar,
maysir (tadlis), sesuatu yang haram, dan kebathilan serta ketidakadilan. Itulah
landasan atau nilai filosofis investasi syariah yang berdasarkan al-quran dan
al-hadis an-nabawi.
2.
Teori Investasi Syariah
Secara umum investasi berarti
penundaan konsumsi saat ini untuk konsumsi di masa yang akan datang. Dengan
pengertian bahwa investasi adalah menempatkan modal atau dana pada suatu asset
yang diharapkan akan memberikan hasil atau akan meningkatkan nilainya di masa
yang akan datang. Dari sini, investasi berarti diawali dengan mengorbankan
potensi konsumsi saat ini untuk mendapatkan peluang yang lebih baik atau besar
di masa yang akan datang.
Ia
hanya melihat bahwa pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada tenaga kerja dan
jumlah (stock) daripada kapital. Tanpa investasi maka tidak esamei pabrik/mesin
baru dan dengan demikian tidak ada ekspansi. Teori tentang investasi pada umumnya
hendak menjelaskan faktor-faktor (variabel) yang mempengaruhi investasi.
Beberapa esame yang diduga kuat pengaruhnya terhadap investasi ini antara lain
tingkat bunga, penyusutan, kebijaksanaan perpajakan, serta perkiraan
(expection) tentang penjualan serta kebijaksanaan ekonomi.
Dalam model keynessian II, misalnya dalam bentuk aljabar, fungsi investasi
ditunjukkan sebagai berikut:
I= f1(i)
i = tingkat bunga
Keynes
sendiri menamakan fungsi ini sebagai “the marginal eficiency of capital”
yang sering disebut MEC. Bentuk gambar 2.6 dari fungsi investasi sebagai
berikut :
20
16
i ……………………………………
12
8
Bunga
0 400 500
1200 1600 2000
2400 2800 300
3600
investasi
Gambar 2.6
Fungsi ini dapat dipandang semacam kurva
permintaan. Makin rendah i (bunga), makin besar jumlah pembelian barang modal
(investasi). Kalau rate of returne (MEC) dari investasi lebih dari tingkat
bunga, pengusaha akan meminjam uang dari “pasaran modal” dan membangun pabrik,
membeli alat-alat mesin dan sebagainya.
Dalam sistem Ekonomi Islam, khusus zakat, maka i (bunga pinjaman) ditetapkan
sama dengan nol, sehingga menurut ivestasi dapat dilihat makin ke kanan berarti
investasi didorong dengan cepat.
Namun menurut Sahri Muhammad, di balik
dihapuskannya bunga (riba) dalam bank zakat ini, kita lengkapi peralatan baru
yang kita kenal dengan zakat produksi dan atau infak produksi. Oleh karenanya
MEC masih harus dihitung dengan memperhatikan besarnya infak ini. Maka, modifikasi
rumus investasi Keynes dalam system zakat harus diubah menjadi:
I = f1 (i)
i = infak / zakat
Perhitungan besarnya infak ini tidak didasarkan pada jumlah pinjaman, tetapi
didasarkan pada perhitungan “kemampuan produksi”. Dengan demikian kata Sahri,
bank zakat memperkenalkan “segi baru” dalam perhitungan MEC. Dengan demikian
melalui kebijaksanaan infak dan zakat, maka beberapa kegunaan yang sekaligus
dapat dicapai, yaitu:
1) Mendorong investasi dan
produksi,
2) Mendorong lapangan kerja baru,
3) Meningkatkan daya beli mayoritas
rakyat,
4) Infak dapat dipakai sebagai alat
untuk mengendalikan inflasi, mengendalikan uang yang beredar dalam masyarakat,
5) Mencegah terjadinya sebagaimana yang
digambarkan oleh esame sebagai berikut: “bila MEC lebih kecil dari suku
bunganya maka modal tersebut tidak diinvestasikan”, sebab suku bunga dalam
esame zakat telah ditetapkan nol.[6]
Jadi rumusnya adalah:
I = f1 (i)
i = infak / zakat
Selain
kegunaan zakat sebagaimana tersebut di atas, zakat dapat pula memainkan
perannya sebagai stabilisator perekonomian. Menurut Irfan Syauqi dan Didin
Hafidhuddin, zakat berperan sebagai stabilisator dalam perekonomian enegara.
Artinya, pengelolaan zakat yang baik dapat memberikan dampak terhadap
stabilitas perekonomian.
Sebagaimana
kita ketahui bahwa kondisi perekonomian terkadang berada pada situasi booming
maupun pada situasi depresi. Kondisi yang fluktuatif seperti ini tentu membutuhkan
adanya suatu instrumen yang menjadi stabilisator, sehingga deviasi yang
ditimbulkannya dapat diminimalisasi. Hal ini dapat dilihat pada sebuah analisis
dengan asumsi bahwa rumus zakat dapat ditetapkan sebagai berikut:
YZ = 2,5 % × GNP
Dimana :
YZ = Pendapatan Zakat (secara nasional)
Angka
2,5% menunjukkan standar peersentase terkecil zakat dan merupakan persentase
yang dibeban kan pada mayoritas jenis dan bidang pekerjaan dewasa ini.
Berdasarkan rumus tersebut, maka besar kecilnya pendapatan zakat secara
nasional bervariasi, tergantung pada besar kecilnya nilai GNP. Apabila
perekonomian sedang mengalami booming, maka GNP-nya pun akan meningkat. Sebaliknya,
pada kondisi depresi, nilai GNP-pun akan mengalami penurunan.
Secara sederhana, Irfan dan Didin memberikan ilustrasi sederhana sebagai
berikut:
(i)
Booming → GNP ↑→ YZ ↑
(ii)
Depresi → GNP ↓ → YZ ↓
Bagaimana
zakat berfungsi sebagai stabilisator? Untuk mempermudah jawabannya, bisa kita
lihat contoh sederhana berikut ini:
Negara A berhasil mengumpulkan dana zakat sebanyak 20 trilyun rupiah pada saat
kondisi perekonomian sedang mengalami booming. Dana yang terkumpul tersebut
tidak seluruhnya didistribusikan. Katakanlah hanya 15 trilyun saja yang
disalurkan, sementara sisanya sebanyak 5 trilyun disimpan pada rekening
pemerintah. Hal ini dikarenakan jika pemerintah mendistribusikan seluruhnya,
maka permintaan agregat akan semakin meningkat. Peningkatan permintaan agregat
akan meningkatkan kondisi boming. Dengan menyimpan dana 5 trilyun ini maka kondisi perekonomian dapat
dikendalikan.
Sementara itu pada kondisi depresi, negara A hanya dapat mengumpulkan dana
zakat sebesar 10 trilyun rupiah. Sedangkan kebutuhan negara agar perekonomian
dapat relatif stabil adalah sebesar 15 trilyun rupiah. Untuk menutupi
kekurangan tersebut, maka pemerintah dapat mengeluarkan dana zakat yang
disimpan pada saat booming. Tujuannya agar daya beli masyarakat (permintaan
agregat) dapat meningkat. Dengan demikian, perekonomian pun akan kembali
stabil.
Hal
ini pun sejalan dengan kisah nabi yusuf AS ketika mengelola perekonomiaan mesir
yang mengalami kondisi booming dan deprasi secara berturut-turut. Pada kisah
tersebut digambarkan bagaimana pemerintah pada saat itu tidak membelanjakan
seluruh dananya pada saat kondisi perekonomian dalam keadaan baik. Ada
persentase tertentu yang disimpan. Ketika kemarau panjang datang menghadang dan
menimbulkan depresi ekonomi, pemerintah pun segera memanfaatkan dana simpanan
tersebut untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat (QS.
12:47-49). Secara sederhana, contoh di atas dapat diilustrasikan dengan grafik
berikut ini:
GNP
Booming
………………………………………
Depresi
Waktu
Gambar 2.7 Grafik zakat dan meminimalkan Deviasi Fluktasi
GNP
Bisa
dibayangkan bila instrumen lain, seperti infak dan shodaqoh pun dapat dikelola,
berdayaguna, dan dimanfaatkan. Tentu ketiganya: zakat, infak, dan shodaqoh
(ZIS) akan menjadikan sumber garapan yang sangat luar biasa dalam
menyejahterakan masyarakat. Karena itu, pemerintah seyogyanya ikut campur
tangan dalam pengelolaannya, setidaknya meskipun bukan secara keseluruhan namun
kebijakan dan kesungguhan pemerintah sebagaimana dalam memobilisasi pajak.
Demikian teori investasi dalam islam, dimana peran zakat, infak, dan shodaqoh
dapat mewujudkan stabilisasi perekonomian yang bebas dari dampak inflasi, serta
efek-efek negatif lainnya.
3.
Proses Manajemen Investasi
Syari’ah
Untuk mencapai tujuan investasi, investasi
membutuhkan suatu proses dalam pengambilan keputusan, sehingga keputusan
tersebut sudah mempertimbangkan ekspektrasi retrun yang di dapatkan dan juga
risiko yang aka di hadapi. Pada dasarnya ada beberapa tahapan terhadap dalam
pengambilan keputusan investasi syari’ah :
1) Melakukan
screening obyek investasi.
2) Menetukan
tujuan investasi.
3) Analisis
sekuritas.
4) Pembentukan
portofolio.
5) Melakukan
revisi portofolio.
6) Evaluasi
kinerja portofolio.[7]
Penjelasan tahapan tersebut sebagia berikut:
1.
Melakukan screening obyek investasi (portoflio
investasi).
Pada innvestasi syari’ah terdapat resiko bahwa intrumen
investasi yang di pilih tidak sesuai dengan syaria’ah, yaitu transaksi masih
pada derajat tertentu masih mengandung unsur transaksi gharar, maysir dan
riba. Intrumen investasi syari’ah
memiliki instrumen yang terbatas dalam melaksanakan teknik hedging atau lindung
nilai tukar. Intrumen terbatas ini dapat membuat pemilik dana terpapar risiko
yang lebih besar sibandingkan dengan transaksi hedging yang menggunakan
intrumen investasi non-syari’ah. Namun disisi lain risiko inverstasi syari’ah
yang selalu mensyaratkan adanya underlying asset (asset turunan) menyebabkan
intrumen investasi syari’ah lebih kecil risikonya dibandingkan dengan intrumen
investasi non-syariah.
2.
Menetukan tujuan investasi. Dalam tahapan ini, investor
menentukan tujuan investasidan kemampuan/kekayaannya yang dapat
diinvestasikannya. Dikarenakan ada hubungan positif resiko dan return, maka hal
yang tepat di bagi para investor untuk menyatakan tujuan investasinya tidak
hanya untuk memperoleh banyak keuntungan saja, tapi juga memahami bahwa ada
kemungkinan resiko yang berpotensi menyebabkan kerugian, jadi tujuan investasi
harus dinyatakan baik dalam keuntungan maupun resiko. Dalam Islam menyatakan
bahwa segala sesuatu perbuatan maupun amal tergantungpada niatnya.
3.
Analisis sekuritas.
Pada tahapan ini berarti melakukan analisis sekuritas
yang meliputi penilaian terhadap sekuritas atau surat hutang yang mudah
dicairkan ke dalam kas secara individual
atau beberapa kelompok sekuritas. Salah satu tujuan penilaian tersebut adalah
untuk mengidentifikasi sekuritas yang salah harga.
4.
Pembentukan portofolio.
Pada tahapan ini adalah membentuk portofolio yang
melibatkan identifikasi aset khusus mana akan diinvestasikan dan juga
menentukan seberapa besar investasi pada setiap aset tersebut. Disini masalah
selektivitas, penentuan waktu dan siversifikasi perlu menjadi perhatian
investor.
5.
Melakukan revisi portofolio.
Pada tahapan ini, berkenan dengan pengulangan secara
periodik dari tiga langkah sebelumnya. Sejalan dengan waktu, investor mungkin
mengubah tujuan investasinya yaitu membentuk portofolio baru dengan yang lebih
optimal. Motifasi lainnya sei sesuaikan dengan preferensi investor tentang
risiko dan retrun itu sendiri.
6.
Evaluasi kinerja portofolio.
Pada tahap ini investor melakukan penilaian terhadap
kinerja portofolio secara periodik dalam arti tidak hanya retrun yang di
perhatikan tetapi juga resiko yang di hadapi. Jadi, di perlukan ukuran yang
tepat tentang return dan risiko juga standar yang relevan.[8]
Pada hasil-hasil investasi yang di hasilkan dalam
beberapa periode terakhir volatilitas instrumen-instumen investasi yang serupa intrumen
investasi syari’ah dan non-syari’ah menunjukkan bahwa intrumen investasi
syari’ah relatif lebih stabil. Intrumen investasi syari’ah tersebut merupakan
saham yang memenuhi kriteria saham syari’ah, reksa dana syari’ah dan sukuk.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Manajemen
Investasi Syariah adalah suatu kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek
untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk
sekelompok nasabah sesuai dengan nilai-nilai dan kaidah-kadiah syariat Islam.
Di dalam melakukan muamalah dalam hal
investasi maka Islam telah mengatur bahwa ada beberapa hal-hal yang tidak
diperbolehkan yakni tidak mencari rizki pada hal yang haram, baik dari segi
zatnya maupun cara mendapatkannya, serta tidak menggunakannya untuk hal-hal
yang haram, tidak mendzalimi dan tidak didzalimi, keadilan pendistribusian
kemakmuran, transaksi dilakukan atas dasar ridha sama ridha, tidak ada unsur
riba, maysir (perjudian/spekulasi), dan gharar (ketidakjelasan/samar-samar).
Sehingga tercipta suatu iklim investasi yang saling menguntungkan antra satu
dengan yang lainnya
DAFTAR
PUSTAKA
Aziz
Abdul, 2010. Manajemen
Investasi Syariah, Bandung : Alfabeta.
Hlim
Abdul, 2005. Analisis Investasi, Jakarta
: Salemba Empat.
Muhammad, 2014, Manajemen Keuangan Syariah, Yogyakarta :
UUP STIM YKPN.
[1] Abdul Aziz. Manajemen Investasi Syariah, (Bandung
:Alfabeta,2010) hlm.19
[2] Muhammad. Manajemen
Keuangan Syari’ah. (Yogyakarta: UPP STIM YKPN. 2014) hlm. 436
[3] Abdul Aziz. Manajemen Investasi Syariah, (Bandung
:Alfabeta,2010) hlm.52