BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Sebagaimana tercantum
dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, Negara Indonesia didirikan dengan
tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pengejawantahan dari amanat
Undang Undang Dasar 1945 tersebut, khususnya yang berkaitan dengan frase
“memajukan kesejahteraan umum,” pada hakikatnya merupakan tugas semua elemen
bangsa, yakni rakyat di segala lapisan di bawah arahan pemerintah. Tidak
terlalu salah jika, mengacu pada definisi tujuan pendirian negara yang mulia
tersebut, kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia harus dicapai dengan
menerapkan prinsip “dari, oleh, dan untuk rakyat.”
Konsep tersebut telah
jauh-jauh hari dipikirkan oleh Bung Hatta (wakil presiden pertama Negara
Kesatuan Republik Indonesia). Beliau, bahkan jauh sebelum Schumacher (yang
terkenal dengan bukunya SmallisBeautiful, dan Amartya Sen) pemenang Nobel 1998
Bidang Ekonomi, berpendapat bahwa ekonomi kerakyatan merupakan bentuk
perekonomian yang paling tepat bagi bangsa Indonesia (Nugroho, 1997). Orientasi
utama dari ekonomi kerakyatan adalah rakyat banyak, bukan sebagian atau
sekelompok kecil orang. Pandangan tersebut lahir, menurut Baswir (2006), jauh
sebelum Indonesia merdeka. Bung Hatta melalui artikelnya yang berjudul “Ekonomi
Rakyat” yang diterbitkan dalam harian Daulat Rakyat (20 November 1933), mengekspresikan
kegundahannya melihat kondisi ekonomi rakyat Indonesia di bawah penindasan
pemerintah Hindia Belanda. Dapat dikatakan bahwa “kegundahan” hati Bung Hatta
atas kondisi ekonomi rakyat Indonesia yang waktu itu masih berada di bawah
penjajahan Belanda, merupakan cikal bakal dari lahirnya, katakanlah demikian,
konsep ekonomi kerakyatan.
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran
ekonomi kerakyatan dalam konteks pembangunan ekonomi Indonesia?
2. Bagaimana kebijakan
public dalam penanggulangan penyakit TBC?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ekonomi
Kerakyatan dalam Konteks Pembangunan Ekonomi Indonesia
Dilemma-dilema dalam konteks
pembangunan ekonomi Indonesia sering muncul, baik dalam perencanaan pembangunan tingkat pusat maupun tingkat daerah.
Berlarut- larutnya masalah pembahasan mengenai alokasi anggaran pendidikan
untuk sebesar 20%, baik dari APBN maupun
APBD merupakan salah satu bukti
adanya dilemma tersebut. Selama ini pendidikan dan kesehatan yang merupakan dua pilar penentu mutu modal manusia.
Bukti lain adanya dilemma tersebut
adalah rendahnya alokasi anggaran
pembangunan daerah yang pro-rakyat
miskin. Anggran pro-rakyat miskin merupakan anggaran yang memihak orang miskin ketika proses anggaran dan
prencanaan sampai pelaksanaan dirancang untuk memenuhi kebutuhan rakyat miskin.
Keberpihakan ini tercermindalam kebijakan program serta proyek-proyek yang disusun dan dilaksanakan. Dengan
demikian anggaran pro-rakyat miskin adalah kebijakan anggaran yang dampaknya
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin sehingga hak-hak dasarnya
dapat dipenuhi melalui program-program yang dirancang dalam kebijakan anggaran.
Pemerintah telah melaksanakan
program penanggulangan kemiskinan sejak tahun 1969-an melalui strategi
pemenuhan kebutuhan pokok rakyat yang
tertuang dalam pembangunan Nasional Berencana Delapan Tahun (penasbede). Namun,
program tersebut terhenti ditengah jalan akibat krisis politik tahun 1965.
Sejak tahun 1970-an pemerintah kembali menggulirkan kembali program penanggulangan kemiskinan melalui Rencana Pembangunan Lima
Tahun (repalita).
Program-program penanggulangan
kemiskinan yang pernah dilaksanakan antara lain P4K (proyek peningkatan
pendapatan petani dan nelayan kecil), KUBE (kelompok usaha bersama),TPSP-KUD (
tempat pelayanan simpan pinjam koperasi unit desa) dan lain sebagainya.
Meskipun demikian, pemberdayaan
social ekonomi masyarakat di negara kita selama lebih tiga decade terakhir ini
mengalami hambatan besar mengingat peran negara yang sangat dominan. Selain
itu, upaya pemberdayaan masyarakat juga tidak merata keseluruh
segmen-segmennya. Perempuan merupakan segmen masyarakat terbesar dilihat dari
kuantitasnya justru yang paling tertinggal upaya pemberdayaan nya dan merupakan
kelompok masyarakat yang mengalami diskriminasi, baik dalam ranah domestic
maupun public. .
Masalah kemiskinan juga menyangkut
dimensi gender. Laki-laki dan perempuan mempunyai peranan dan tanggung jawab
berbeda dalam rumah tangga dan
masyarakat sehingga kemiskinan yang
dialami juga berbeda. Laki-laki dan
perempuan mempunyai akses , control dan prioritas yang berbeda dalam pemenuhan
hak-hak ekonomi, social, dan politik.
Permasalahan yang terjadi salami ini adalah rendahnya partisipasi dan terbatasnya
akses perempuan untuk berpartisipasi
dalam pengembalian keputusan, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Masalah
mendasar lainnya adalah kesenjangan
partisipasi politik kaum perempuan yang
bersumber dari ketimpangan struktur social dan budaya masyarakat. Hal ini
tercermin dari terbatasnya akses
sebagian besar perempuan terhadap
layanan kesehatan yang baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan keterlibatan
dalam kegiatan public yang luas.
Selain itu, masalah ketidak adilan
gender ditunjukkan oleh rendahnya
kualitas hidup dan peran perempuan, tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Berkaitan dengan
itu, upaya untuk melakukan pemberdayaan perempuan dan menghapus segala jenis
ketidakadilan terhadap perempuan menjadi
sangat penting. Upaya-upaya tersebut harus dilakukan oleh segenap elemen
masyarakat dan disemua lini kehidupan. Salah satu upaya strategis yang mendesak
untuk dilakukan adalah bagaimana
merancang kebijakan-kebijakan public yang berdampak luas terhadap
kehidupan perempuan. Upaya ini dimulai
dari membangun kesadaran gender dikalangan para pihak yang memiliki kewenangan
mengambil keputusan dan membuat berbagai kebijakan public. Secara konkret,
upaya tersebut dilakukan terhadap para
aparatur pemerintah yang terlibat dalam perencanaan pembangunan. Tujuan yang
ingin dicapai dari upaya ini adalah terciptanya perencanaan pembangunan yang berperspektif
gender sehingga dengan demikian
bentuk-bantuk ketidak adilan terhadap perempuan dapat dieliminasi.
Karena kemiskinan merupakan masalah
yang bersifat multidimensional, penanggulangan masalah ini secara teoritis harus menggunakan pendekatan
yang komprehensip dan melibatkan banyak pihak. Masyarakat miskin sebagai
masyarakat yang harus diberdayakan.
B.
Contoh
Kasus: Dimensi Sosio_Ekonomi Kebijakan Publik dalam Penanggulangan Penyakit TBC
Pelayanan public merupakan bentuk imbal balik pemerintah atas sejumlah
pengorbanan masyarakat. Pelayanan public juga adalah wujud komitmen pemerintah untuk memenuhi kesejahteraan social warga.
Oleh karena itu, evaluasi terhadap pelayanan public harus dilakukan oleh masyarakat yang secara
langsung merasakannya. Dalam bidang kesehatan, terdapat dua mandate
konstitusi yang menjadi acuan dalam
melaksanakan pelayanan public. Kedua
mandate tersebut adalah pasal 28 ayat h dan pasal 34 ayat 3.
Namun demikian, berbagai kewajiban
negara terhadap rakyatnya tersebut masih sulit
terpenuhi. Masih terdapat sejumlah masalah yang mengakibatkan terkendalanya pemenuhan
hak tersebut. Sebagaimana negara-negara yang sedang berkembang lainnya,
Indonesia memiliki ciri utama, yaitu standar hidup rendah. Salah satu
indikatornya adalah status kesehatan. Secara lebih spesifik, indicator tersebut
terlihat dari beberapa fakta antara
lain:
a. Penyakit
menular belum turun seperti TBC (Tuberculosis), diare, polio, campak, demam
berdarah dan lain-lain.
b. Penyakit
degenerative (kronis) seperti jantung, kanker darah tinggi dan lain-lain
c. Penyakit-penyakit
global bermunculan seperti HIV/ AIDS, NAPZA,SARS,flu burung dan
lain-lain.
Beberapa permasalahan kesehatan
tersebut tidak terlepas dari berbagai faktor, baik yang bersifat internal
kesehatan maupun eksternal kesehatan. Faktor internal kesehatan antara lain:
a. Terbatasnya
sumber daya kesehatan terutama
dipuskesmas tidak sebanding dengan beratnya beban (tugas pokok).
b. Alokasi
dana untuk upaya promotif dan preventif sangat tidak mencukupi dan sangat
tidak seimbang dengan alokasi dana.
c. Sikap
dan motivasi petugas kesehatan secara
umum masih relative rendah.
d. Sebaran
tenaga yang tidak seimbnag jenis dan
jumlah antara kota dan desa.
Sementara itu, faktor eksternal kesehatan adalah:
1. Geografis
Indonesia merupakan negara kepulauan
yang memiliki sekitar 17.000 pulau. Sebagian wilayahnya berupa pegunungan, yang
kesemuanya ini menjadi penghambat akses masyarakat untuk memproleh pelayanan
kesehatan.
2. Demografis
Jumlah penduduk Indonesia yang saat
ini mencapai sekitar 219 juta jiwa merupakan nomor terbesar keempat di dunia.
Masalah demografis lain adalah
persebaran yang tidak merata.
3. Krisis
ekonomi yang berkepanjangan
Menyebabkan meningkatnya jumlah orang miskin dan pengangguran. Hal ini
berakibat anggaran untuk kesehatan
menjadi terbatas.
4. Konflik
social yang terjadi diberbagai daerah.
5. Efek
globalisasi.
6. Bencana.seperti
tsunami, gempa, banjir, topan, kekeringan, kecelakaan transportasi,dan
7. Terorisme
Penanggulangan penyakit TBC
merupakan upaya untuk menjamin setiap warna negara yang ada dalam wilayah
administrasi hidup sehat terbebas dari ancaman terkena penyakit TBC, yang
merupakan salah satu penyakit menular sangat
berbahaya.
Dalam konteks yang lebih luas,
penanggulangan penyakit TBC yang
dilakukan oleh suatu negara merupakan
upaya mengurangi beban global. Perlu
diketahui bahwa saat ini TBC telah ditetapkan oleh WHO sebagai global
emergency, yang menuntut peran setiap pemerintah untuk ikut menanggulanginya.
Selain itu, upaya penanggulan penyakit TBC juga merupakan bentuk konsekuensi
dari beberapa kesepakatan (konvensi) internasional yang telah ditandatangani oleh pemerintah.
Oleh karena itu kebijakan penanggulangan TBC mengacu pada beberapa mandat
produk hukum, baik yang bersekala internasional maupun nasional.
1.
Dimensi
Ekonomi
Analisis ekonomi dibidang kesehatan (ekonomi klinis) dalam tahun-tahun
ini semakin berkembang. Ekonomi klinis merupkan cara analisis yang dapat
membantu klinisi atau dokter, sebagi pengambil keputusan dalam memilih cara
terbaik untuk untuk pasien yang dihadapinya. Terdapat tiga tipe analisis
ekonomi kesehatan, yaitu analisis identifikasi biaya (cost identification
analysis), analisis hasil guna (cost effectivenessanalysis), dan analisis daya
guna (cost benefit analysis).
Dalam perkembangannya, strategi penanggulangan TBC
yang dilakukan oleh banyak negara saat ini adalah strategi DOTS (directly
observed treatment short-course). Tahun 1993, Bank Dunia menyatakan bahwa DOTS
merupakan satu strategi kesehatan yang paling efektif secara ekonomis.
Sementara itu, oleh WHO, stratedi DOTS ditetapkan sebagai strategi yang paling
ampuh untuk mengurangi TBC. Melaui DOTS,
pada dasarnya biaya untuk pengobatan selama enam bulan adalah sekitar 11US
dolar per pasien. Kelebihan penanggulangan TBC dengan DOTS adalah bahwa pasien
tidak perlu dirawat dirumah sakit sehingga mereka dapat bekerja dan kerugian
ekonomis akibat kehilangan jam kerja
dapat ditekan. Bagi pemerintah system penanggulangan penyakit TBC dengan DOTS
ini akan memberikan keuntungan secara ekonomis.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, sebagian besar
kerugian akibat sakit tersebut dtanggung secara langsung oleh masyarakat
dikarenakan jaminan pemerintah juga masih sangat terbatas.
2.Dimensi
Sosial Budaya
Kesehatan merupakan indicator langsung kesejahteraan
social. Kesehatan seseorang ataupun penyakit diderita seseorang bisa secara
langsung membawa dampak pada masyarakat luas.pertama, kalau penyakit tersebut
menular, ia bisa menyebar kepada orang lain. Walaupun penyakit tersebut tidak
menular, penanggulangannya memerlukan biaya yang menjadi beban masyarakat,
lebih-lebih dalam system asuransi
ataupun dalam system yang ditopang oleh subsidi. Keadaan ini menyebabkan
kebijaksanaan pembangunan kesehatan senantiasa menekankan alokasi optimum
sumber daya sehingga memberikan social benefit setinggi mungkin dari sumber
daya yang terbatas. Dalam kenyataannya, hal ini masih sulit dilakukan oleh para
perencana pembangunan kesehatan.
Tujuan upaya kesehatan adalah meningkatkan derajat
kesehatan, bukan mencari untung dalam ukuran moneter. Oleh sebab itu, pemanfaatan sumber daya dalam produksi,
distribusi, dan mengatur konsumsi pelayanan kesehatan, selalu mempertimbangkan
social optimum dan bukan profit maximization. Konsekuensinya, bukan konsumsi
maksimal yang dikejar dalam pemasaran komoditas
pelayanan kesehatan, melainkan konsumsi optimal dalam arti masyarakat
menggunakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhannya. Lebih lanjut dari
kaidah ini berkembang nilai bahwa kompetisi dalam industry kesehatan adalah
tidak etis. Dalam kenyataannya, terjadi upaya mencari untung dalam penyediaan
pelayanan kesehatan akibat belum tegasnya aturan main dan mekanisme control.
Penyakit TBC merupakan salah satu penyakit yang tidak
terlepas dari aspek social budaya, terutama perilaku masyarakat. Timbulnya
penyakit TBC dan penyebarannya tidak terlepas dari kurang melembaganya pola
hidup bersih dan sehat dikalangan masyarakat. Kondisi rumah yang kurang
ventilasi dan sinar matahari, senantiasa yang tidak/kurang memenuhi standar kesehatan, kebiasan merokok,
dan kurangnya asupan makanan bergizi merupakan faktor-faktor yang memperbesar
risiko seorang terkena penyakit TBC. Fakta terbaru bahkan menyebutkan bahwa
orang yang terkena HIV memiliki risiko 50 kali lipat untuk tertular TBC. Hal
ini berarti perilaku seksual yang tidak sehat juga memperbesar risiko seorang
untuk terjangkit kuman TBC. Sementara itu, kebiasaan-kebiasaan seperti tidak
menutup mulut ketika batuk, membuang dahak disembarang tempat, dan menggunakan
alat makan secara bergantian dengan anggota keluarga/orang lain merupakan
faktor yang mempercepat penularan penyakit yang disebabkan oleh kuman ini.
Perilaku yang tidak sehat ini bermula dari rendahnya
tingkat pengetahuan masyarakat tentang
penyakit TBC, baik mengenai jenis penyakit, gejala, cara penularan, maupun cara
pengobatannya. Praktik kebiasaan hidup di masyarakat bahkan terkadang
dipengaruhi oleh mitos yang tidak ada dasar kebenarannya. Mitos yang selama ini
berkembang ditengah masyarakat, misalnya jika seorang batuk yang disertai
darah, hal itu berarti orang tersebut terkena guna-guna. Bagi orang yang
mempercayai mitos seperti ini, pengobatan yang dilakukan adalah pergi ke
dukun”orang pintar”, paranormal, dan semacamnya.
Selain itu, kemiskinan juga merupakan salah satu akar
masalah bagi timbulnya penyakit TBC ini. Fakta menun jukkan bahwa sebagian
besar orang yang terkena penyakit ini berasal dari keluarga miskin. Oleh karena
kemiskinan, seseorang sulit memiliki rumah sehat, memiliki sanitasi yang
memadai, serta mengosumsi makanan bergizi sehingga daya tahan tubuhnya tidak
cukup kuat untuk menahan serangan penyakit. Dalam proses penyembuhan penyakit,
kondisi kemiskinan seseorang juga sering menjadi kendala. Obat anti TBC pada
dasarnya akan lebih efektif apabila disertai konsumsi makanan bergizi.
Persyaratan ini sulit dipenuhi oleh orang yang berada dalam lingkaran
kemiskinan.
Berdasarkan uraian diatas, penanggulangan penyakit TBC
sangat berkaitan dengan aspek-aspek social budaya masyarakat. Dalam kaitannya
dengan penanggulangan penyakit TBC, menjadi penting untuk merumuskan beberapa
hal sebagai berikut:
1. Aspek-aspek
social budaya dan perilaku social apa saja yang dapat menunjang upaya penanggulangan
penyakit TBC.
2. Aspek-aspek
social budaya dan perilaku social apa
saja yang mungkin menjadi kendala dalam upaya penanggulangan penyakit TBC.
3. Bentuk-bentuk
rekayasa social apa saja yang dapat dilakukan dalam kaitannya dengan upaya
penanggulangan penyakit TBC.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dilemma-dilema
dalam konteks pembangunan ekonomi Indonesia sering muncul, baik dalam
perencanaan pembangunan tingkat pusat
maupun tingkat daerah. Berlarut- larutnya masalah pembahasan mengenai alokasi
anggaran pendidikan untuk sebesar 20%, baik dari APBN maupun APBD merupakan salah satu bukti adanya dilemma tersebut. Selama ini
pendidikan dan kesehatan yang merupakan
dua pilar penentu mutu modal manusia.
Namun
demikian, berbagai kewajiban negara terhadap rakyatnya tersebut masih
sulit terpenuhi. Masih terdapat sejumlah
masalah yang mengakibatkan terkendalanya
pemenuhan hak tersebut. Sebagaimana negara-negara yang sedang berkembang
lainnya, Indonesia memiliki ciri utama, yaitu standar hidup rendah. Salah satu
indikatornya adalah status kesehatan.
DAFTAR
PUSTAKA
Haryanto Sindung.2011.Sosiologi Ekonomi;jogjakarta