BAB
I
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
gadai (Rahn) dan sandak (ba’I al-wafa’)
·
Gadai (rahn)
Menurut
bahasa, gadai/ ar-rahn (الرهن)
berarti al-stubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula
yang menjelaskan bahwa rahn (الرهن)
adalah terkurung atau terjerat.
Menurut
istilah syara’, yang dimaksut dengan rahn adalah:
1. Akad yang objeknya menahan harga
terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan
sempurna darinya.
2. Menjadikan suatu benda berharga
dalam pandangan syara’ sebagai jaminan hutang selama ada dua kemungkinan, untuk
mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.
3. Gadai adalah suatu barang yang
dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam hutang-piutang.
4. Gadai ialah menjadikan suatu benda
bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang, dengan adanya
benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.
·
Sandak (ba’I al-wafa’)
Sandak adalah istilah yang ada didalam bahasa sasak, yang
dalam bahasa arab dikenal dengan istilah Bai’al Wafa. Secara etimologi,
al’ba’i berarti jual beli, dan al-wafa’ berarti pelunasan/penutupan
utang. Ba’i al-wafa’ adalah salah satu bentuk akad (transaksi) yang
muncul di Asia Tenggara (Bukhari dan Balkh) pada pertengahan abad ke-5 Hijrah
dan merambat ke Timur Tengah.
Secara terminologi Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Ba’i
al wafa’ atau jual beli dengan hak membeli kembali dalah jual beli yang
dilangsungkan dengan syarat bahwa barang dijual trsebut dapat dibeli kembali
oleh penjual apabila tenggang waktu yang disepakati telah tiba.
Menurut Dr. Nasrun Haroen dan Mustafa
Ahmad az-Zarqa yaitu tokoh fiqih dari Suriah, mendefenisikan bai’ al-wafa’
dengan “ jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan syarat
bahwa barang yang dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila
tenggang waktu yang ditentukan telah tiba.
Bai’ al-wafa’ tidak sama dengan rahn (jaminan utang),
karena rahn dalam islam hanya merupakan jaminan utang, sementara barang yang
dijadikan jaminan tidak dapat dimanfa’atkan oleh pemberi utang. Apabila pemberi
utang memanfa’atkan barang jaminan tersebut, maka hasil yang dimakannya atau dimanfa’atkannya
itu termasuk dalam kategori riba. Hal ini sejalan pula dengan sebuah hadist
Rasulullah SAW :”Setiap utang yang dibarengi dengan pemanfaatan (untuk pemberi
utang ) adalah riba.” (HR.al-Bukhari)
B. Rukun dan syarat sandak
dan gadai
Gadai atau pinjaman
dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain yaitu:
a) Akad dan ijab Kabul
b) Aqid, yaitu orang yang menggadaikan
(rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat yang berakad adalah
ahli tasyarruf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah
adalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dam mumyyis,
tetapi tidak disyaratkan harus baligh.
c) Barang yang dijadikan jaminan (borg),
syarat pada benda uyang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tiddak rusak
sebelum janji utang harus dibayar. Rosul bersabda: “Setiap barang yang boleh
diperjual belikan boleh dijadikan barang gadai”
d) Ada hutang, disyaratkan keadaan
hutang telah tetap. Menurut ulam Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:
Dapat diperjual belikan, Bermanfaat, Jelas, Milik rahin, Bisa diserahkan, Tidak
bersatu dengan harta lain, Dipegang oleh rahin dan Harta yang tetap atau dapat
dipindahkan.
Menurut Sayyid Sabiq bahwa gadai itu
baru dianggap sah apabila memenuhi empat syarat, yaitu:
·
Orangnya sudah dewasa.
·
Berpikiran sehat.
·
Barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad
gadai dan barang gadaian itu dapat diserahkan/diserahkan kepada
penggadai.
·
Barang atau benda yang dapat dijadikan jaminan itu dapat
berupa emas, berlian dan benda bergerak lainnya dan dapat pula surat-surat
berharga ( surat tanah atau surat rumah).
Menurut Jumhur Ulama, rukun sandak ada 4 yaitu:
1.
Adanya orang-orang yang berakad (al-muta’aqidain)
2.
Sighat (ijab dan qabul)
3.
Barang yang dibeli (maabi’)
4.
Nilai tukar pengganti (tsaman)
C.
Hukum dan dasar hokum sandak dan gadai
v Dasar
hokum gadai
Gadai/rahn
ialah perjanjian(akad) pinjam meminjam barang dengan menyerahkan barang sebagai
tanggungan hutang.perjanjian gadai itu di benarkan oleh islam, berdasarkan Q.S al baqarah ayat : 283
·
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا
فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ …. (البقرة : ۲۸۳)
“Apabila
kamu dalam perjalanan dan bermuamalah tidak secar tunai, sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis hendaklah ada barang yang di pegang” (Q.S. 2: 283)
Assunnah
·
عن عائسة ر.ع. ان رسول الله ص.م. أشتر ى من يهودي طعاما ورهنه
درعا من حديد
·
.
(روه البخارى والمسلم)
“Dari
Siti Ai’sah r.a. bahwa rasulullah saw bersabda: pernah membeli makanan dengan
baju besi”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dari
ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa gadai hukumnya boleh,baik baik bagi
orang yang perjalanan atau tinggal di rumah.
Ada dua
hal yang menjadi pembahasan hokum gadai(rahn):
1. Hukum gadai yang shahih akad gadai
yang syarat syaratnya terpenuhi.
2. Hukum gadai yang ghair shahih akad
yang syarat syaratnya tidak terpenuhi.
Dampak gadai (rahn)
Apabila
akad gadai telah sempurna dengan di serahkannya barang yang di gadaikan kepada murtahin,maka
timbullah hukum hukum sebagai berkut.
a. Adanya Hubungan Antara Utang dengan
Borg
b. Hak untuk menahan borg
c. Menjaga borg
d. Pembiayaan atas borg.
v Dasar hokum sandak
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, dan Abdurrahaman Ashabuni, dalam
sejarahanya, ba’i al-wafa’ baru medapat justifikasi para ulama’ fiqih setelah
berjalan beberapa lama. Maksudnya, bentuk jual beli ini telah berlangsung
beberapa lama dan ba’i al-wafa’ telah menjadi urf (adat kebiasaan) masyarakat
Bukhara dan Bakhl, baru kemudian para ulama fiqih, dalam hal ini ulama’ Hanafi
melegalisasi jual beli ini.
Muhammad Abu Zahrah, tokoh fiqh Mesir, mengatakan bahwa dilihat dari segi
sosio-histori, kemunculan bai’ al-wafa’ ditengah-tengah masyarakat
Bukhara dan Balkh pada pertengahan abad ke-5 H adalah disebabkan oleh para
pemilik modal tidak mau lagi memberi utang kepada orang-orang yang memerlukan.,
jika mereka tidak mendapatkan imbalan apapun. Hal ini membuat kesulitan bagi
masyarakat yang memerlukan. Keadaan ini membawa mereka untuk menciptakan sebuah
akad tersendiri, sehingga keperluan masyarakat terpenuhi dan keinginan
orang-orang kaya pun terayomi. Jalan keluar yang mereka ciptakan itu adalah bai’
al-wafa’ . dengan cara ini, demikian az-Zarqa’, disatu pihak masyarakat
lemah terpenuhi sementara pada saat yang sama mereka terhindar dari praktek
ribawi.
Jalan pikiran ulama Hanafiayah
dalam memberikan justifikasi terhadap bai’ al-wafa’ adalah didasarkan
pada istihsan urfty (menilai suatu permasalahan yang berlaku umum dan
berjalan baik di tengah masyarakat).
Akan tetapi para ulama fiqh
lainnya tidak boleh melegalisasi bentuk jual beli ini. Alasan mereka adalah:
1.
Dalam suatu akad jual beli tidak dibenarkan adanya
tenggang waktu, karena, jual beli adalah akad yang mengakibatkan perpindahan
hak milik secara sempurna dari penjual kepada pembeli.
2.
Dalam jual beli tidak boleh ada syarat bahwa barang yang
dijual itu harus dikembalikan oleh pembeli kepada penjual semula, apabila ia
telah siapmengembalikan uang seharga jual semula.
3.
Bentuk jual beli ini tidak pernah ada pada zaman
Rasulullah SAW. maupun di zaman Sahabat.
4.
Jual beli ini merupakan hilah perbuatan yang pada
dasarnya disyariatkan, dilaksanakan secara sengaja untuk membatalkan hukum
syara’ lainnya yang lebih penting) yang tidak sejalan dengan yang dimaksud
syara’ pensyariatan jual beli.
Begitu juga
dalam hukum positif Indonesia bay al-wafa’ telah diatur, dalam Komplikasi Hukum
Ekonomi Syariah pasal 112 s/d 115.
Pasal 112
1.
Dalam jual beli yang bergantung pada hak penebusan,
penjual dapat uang seharga barang yang dujual dan menuntut barangnya
dikembalikan.
2.
Pembeli sebagaimana diatur dalam ayat (1) berkewajiban
mengembalikan barang dan menuntut uangnya kembali seharga barang itu.
Pasal 113
Barang dalam jual beli yang bergantung pada hak penebusan, tidak boleh
dijual kepada pihak lain, baik oleh penjual maupun oleh pembeli, kecuali ada
kesepakatan diantara para pihak.
Pasal 114
1.
Kerugian barang dalam jual beli dengan hak penebusan
adalah tanggung jawab pihak yang menguasainnya.
2.
Penjual dalam jual beli dengan hak penebusan berhak untuk
membeli kembali atau tidak terhadap barang yang telah rusak.
Pasal 115
Hak membeli kembali dalam ba’i al-wafa’ dapat diwariskan.
Sedangkam yang menjadi dasar hukum itu adalah:
Jual beli hukum asalnya jaiz atau mubah (boleh) berdasarkan dalil dari
Al-Quran, hadits dan ijma’ para ulama:
1.
Al-Quran surat Al-Nisa’ (4:29)
2.
Al-Quran surat Al-Baqarah (2:275)
3.
Hadits
D. Perbedaan dan persamaan sandak
dan rahn
Perbedaan mendasar antara bai’ al-wafa’ dan rahn
(gadai) adalah:
1.
Dalam akad rahn pembeli tidak sepenuhnya memilki barang
yang dibeli (karena harus dikembalikan kepada penjual), sedangakan dalam ba’i
al- wafa’ barang itu sepenuhnya menjadi pemilik pembeli selama tenggang waktu
yang disepakati.
2.
Dalam ar-rahn, jika harta yang digadaikan (al-marhun)
rusak selama ditangan pembeli, maka kerusakan itu menjadi tanggung jawab
pemegang barang, sedagkan dalam ba’i
al-wafa’ apabila kerusakan itu bersifat total baru menjadi tanggung jawab
pembeli, tetapi apabila kerusakannya tidak parah, maka hal itu tidak merusak
akad.
3.
Dalam ar-rahn segala biaya yang diperlukan untuk
pemeliharaan barang menjadi tanggung jawab pemilik barang, sedangkan dalam ba’i
al-wafa’ biaya pemeliharaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli, karena
barang itu telah menjadi pemiliknya selama tenggang waktu yang telah
disepakati.
4.
Kedua belah pihak tidak boleh memindahtangankan barang
itu ke pihak ketiga.
Ketika uang sejumlah pembelian semula dikembalikan penjual kepada pembeli
setelah tenggang waktu jatuh tempo, pembeli wajib memberikan barang itu kepada
penjual.
Adapaun persamaan antara keduanya adalah sbb:
1.
Kedua belah pihak tidak dapat memindahtangankan barang
tersebut ke pihak ketiga
2.
Ketika uang sejumlah pembelian semula dikembalikan
penjual kepada pembeli setelah tanggang waktu jatuh tempo, pembeli wajib
memberikan barang tersebut kepada penjual.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gadai/rahn ialah perjanjian(akad) pinjam meminjam barang
dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan hutang. Gadai atau pinjaman dengan
jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain yaitu:
1. Akad dan ijab Kabul
2. Aqid
3. Barang yang dijadikan jaminan (borg)
4. Ada hutang
Sandak adalah istilah yang ada didalam bahasa sasak, yang
dalam bahasa arab dikenal dengan istilah Bai’al Wafa. Secara etimologi,
al’ba’i berarti jual beli, dan al-wafa’ berarti pelunasan/penutupan
utang. Ba’i al-wafa’ adalah salah satu bentuk akad (transaksi) yang
muncul di Asia Tenggara (Bukhari dan Balkh) pada pertengahan abad ke-5 Hijrah
dan merambat ke Timur Tengah.
Menurut Jumhur Ulama, rukun sandak ada 4 yaitu:
1. Adanya
orang-orang yang berakad (al-muta’aqidain)
2. Sighat (ijab
dan qabul)
3. Barang yang
dibeli (maabi’)
4. Nilai tukar
pengganti (tsaman)