A. Pengertian Faktor
Faktor dapat
diartikan sebagai suatu kesatuan unsur-unsur yang saling
berinteraksi secara fungsional yang memproses masukan menjadi keluaran. Faktor
bisa pula diartikan sebagai seperangkat komponen yang berinteraksi satu sama
lain menuju ke suatu tujuan tertentu yang telah ditetapkan. Dengan demikian,
faktor atau sistem merupakan totalitas dari bagian-bagian yang saling
berkaitan.[1] Briggs mengatakan bahwa
sistem adalah rencana kerja yang terpadu dari semua komponen sistem yang dirancang
untuk memecahkan suatu masalah atau untuk memenuhi kebutuhan tertentu[2] sebagai contoh, sistem
pencernaan makanan pada manusia meliputi berbagai fungsi organ tubuh yang
saling bekerja dan mempengaruhi satu sama lain, semisal mulut, tenggorokan,
lambung, usus, anus, dan lain-lain. Apabila satu organ tubuh tersebut tidak
bekerja dengan baik maka akan mempengaruhi kerja organ yang lain.
Begitu pula halnya dengan sistem pendidikan. Sistem pendidikan memiliki
berbagai komponen yang saling mempengaruhi. Sutari Imam Barnadib membagi
unsur-unsur yang mempengaruhi pendidikan tersebut menjadi lima bagian, yaitu
tujuan, pendidik, anak didik, alat dan alam sekitar.[3] Namun pada makalah ini
disebutkan faktor yang lain, karena faktor-faktor lain sudah disebutkan pada makalah
sebelumnya.
B. Faktor Pendidik dalam Pendidikan Islam
Salah satu faktor penting dari
proses kependidikan Islam adalah pendidik. Di pundak pendidik terletak tanggung
jawab yang amat besar dalam upaya mengantarkan peserta didik ke arah tujuan
pendidikan yang dicita-citakan. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan cultural
transition yang bersifat dinamis ke arah suatu perubahan secara kontinu,
sebagai sarana vital bagi membangun kebudayaan dan peradaban umat manusia.
Pendidik dalam perspektif
pendidikan Islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap upaya
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan
sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya (baik sebagai khalifah
fi al-ardh maupun ‘abd) sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Oleh
karena itu, pendidik dalam konteks ini bukan hanya terbatas pada orang-orang
yang bertugas di sekolah tetapi semua orang yang terlibat dalam proses
pendidikan anak mulai sejak alam kandungan hingga ia dewasa, bahkan sampai ia
meninggal.
Tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawa hati manusia untuk taqarrub ila Allah. Para pendidik hendaknya mengarahkan peserta didik untuk mengenal Allah lebih dekat melalui seluruh ciptaan-Nya. Sementara dalam batasan lain, tugas pendidik dapat dijabarkan dalam beberapa pokok pikiran, yaitu:[4]
1.
Sebagai pengajar
(instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran, melaksanakan
program yang disusun, dan akhirnya dengan pelaksanaan penilaian setelah program
tersebut dilaksanakan.
2.
Sebagai pendidik
(edukator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan kepribadian
sempurna (insa>n ka>mil), seiring dengan tujuan
penciptaan-Nya.
3. Sebagai pemimpin (managerial) yang memimpin, mengendalikan diri (baik diri sendiri, peserta didik, maupun masyarakat), upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, dan partisipasi atas program yang dilakukan.
Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik adalah spiritual father atau
bapak rohani bagi murid. Pendidiklah yang memberi santapan jiwa dengan ilmu,
pendidikan akhlak dan membenarkannya, maka menghormati pendidik berarti
penghormatan terhadap anak-anak pula.[5]
Pendidikan merupakan kewajiban setiap Muslim. Di samping itu, Islam memberi motivasi
agar dalam melaksanakan tugas atau kewajiban tersebut mengarah kepada nilai
tambah yang positif, bukan negatif. Sebab tiap upaya demikian bernilai
alternatif, pahala atau dosa. Hadits Nabi SAW menyebutkan:[6]
من دعا إلى هدى
كان له من الأجر مثل اجور من تبعه لا ينقص ذالك من أجورهم شيئا و من دعا إلى ضلالة
كان عليه من الإثم مثل آثام من تبعه لا ينقص ذالك من آثامهم شيئا – (رواه البخارى)
“Barangsiapa mengajak kepada petunjuk (kebaikan), ia akan mendapat pahala semisal pahala orang yang mengikuti (petunjuknya) tadi tanpa berkurang sedikitpun pahalanya. Sebaliknya, barangsiapa mengajak kepada kesesatan (kejahatan), ia akan mendapat dosa semisal dosa orang yang mengikuti (kesesatannya tadi) tanpa berkurang sedikitpun dari dosanya”. (HR. Bukhori)
Itu sebabnya, pendidik menurut Islam bukanlah sekadar pembimbing melainkan juga sebagai figur teladan yang memiliki karakteristik baik, sedang hal itu belum tentu terdapat dalam diri pembimbing. Dengan begitu pendidik Muslim haruslah aktif dari dua arah; secara eksternal dengan jalan mengarahkan atau membimbing peserta didik, secara internal dengan jalan merealisasikan karakteristik akhlak mulia.
C. Faktor Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Dalam paradigma pendidikan
Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah
potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini, peserta didik
merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang
belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada
bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, memiliki
kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.[7]
Melalui paradigma di atas dijelaskan bahwa peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan. Potensi suatu kemampuan dasar yang dimilikinya tidak akan tumbuh dan berkembang secara optimal tanpa bimbingan pendidik. Berikut ada beberapa deskripsi tentang hakikat peserta didik dan implikasinya terhadap pendidikan Islam, yaitu:[8]
1.
Peserta didik bukan
merupakan miniatur orang dewasa akan tetapi memiliki dunianya sendiri. Hal ini
sangat penting untuk dipahami agar perlakuan terhadap mereka dalam proses
kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa.
2.
Peserta didik adalah
manusia yang memiliki diferensiasi periodisasi perkembangan dan pertumbuhan.
Pemahaman ini cukup perlu untuk diketahui agar aktivitas kependidikan Islam
disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya
dilalui oleh setiap peserta didik.
3.
Peserta didik adalah
manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang menyangkut kebutuhan jasmani maupun
rohani yang harus dipenuhi. Di antara kebutuhan tersebut adalah kebutuhan
biologis, kasih sayang, rasa aman, harga diri, realisasi diri, dan sebagainya.
Kesemuanya itu penting dipahami oleh pendidik agar tugas-tugas kependidikannya
dapat berjalan secara baik dan lancar.
4.
Peserta didik adalah
makhluk Allah yang memilki perbedaan individual (diferensiasi individual),
baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan di mana ia berada.
Pemahaman tentang diferensiasi individual peserta didik sangat penting
untuk dipahami oleh seorang pendidik. Hal ini disebabkan karena menyangkut
bagaimana pendekatan yang perlu dilakukan pendidik dalam menghadapi ragam sikap
dan perbedaan tersebut dalam suasana yang dinamis, tanpa harus mengorbankan
kepentingan salah satu pihak atau kelompok.
5.
Peserta didik merupakan
resultan dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki
daya fisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui
proses pendidikan. Sementara unsur rohaniah memiliki dua daya, yaitu daya akal
dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal, maka proses pendidikan hendaknya
diarahkan untuk mengasah daya intelektualisnya melalui ilmu-ilmu rasional.
Sedangkan untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak
dan ibadah.
6. Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis. Di sini tugas pendidik adalah membantu mengembangkan dan mengarahkan perkembangan tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan yang diinginkan, tanpa melepaskan tugas kemanusiaannya; baik secara vertikal maupun horizontal. Ibarat sebidang sawah, peserta didik adalah orang yang berhak bercocok tanam dan memanfaatkan sawahnya (potensi). Sementara pendidik (termasuk orang tua) hanya bertugas menyirami dan mengontrol tanaman agar tumbuh subur sebagaiman mestinya, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku.
D. Faktor Lingkungan dalam Pendidikan Islam
Yang dimaksud dengan
lingkungan (milieu) di sini adalah semua faktor yang mempengaruhi potensi dan
kecenderungan anak, semisal rumah (keluarga) di mana anak tersebut tinggal,
sekolah tempat ia belajar, lapangan tempat ia bermain, dan masyarakat di mana
ia hidup bergaul. Lingkungan di mana manusia itu hidup akan mengantarnya kepada
melihat sesuatu sedang lainnya tidak ia lihat, atau mendorongnya memiliki
keyakinan tertentu, sedang keyakinan lainnya tidak ia miliki. Dengan sarana
lingkungan inilah secara gradual tumbuh kokoh dalam jiwanya cara
tertentu yang mesti ia jalani berupa sopan santun, pergaulan, percakapan,
perbuatan beserta aturannya, tugasnya dan sebagainya. Lingkungan akan
mengkokohkan jiwanya, bagaimana berbincang-bincang dengannya dan bagaimana cara
mempraktekkan ilmunya sampai sukses.[9]
Berikut dijelaskan beberapa lingkungan yang berpengaruh besar dalam berjalannya suatu sistem kependidikan Islam:
1.
Faktor Lingkungan Keluarga
Islam mengajarkan bahwa pendidik pertama dan utama yang paling bertanggung
jawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik adalah kedua orang
tua. Islam memerintahkan kedua orang tua untuk mendidik diri dan keluarganya,
terutama anak-anaknya, agar mereka terhindar dari azab yang pedih. Firman
Allah:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ
وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ
مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.” (QS. Al-Tahri>m ayat 6)
Dalam implementasinya, orang tualah
sebagai penanggung jawab pendidikan di lingkungan keluarga
atau di rumah tangga; pendidik dan pengelola sekolah termasuk pemerintah
sebagai penanggung jawab pendidikan di lingkungan sekolah; tokoh masyarakat dan
selainnya sebagai penanggung jawab pendidikan di lingkungan masyarakat.
Pendidikan dalam lingkungan rumah tangga, disebut dengan jalur pendidikan informal. Lingkungan rumah tangga atau lingkungan keluarga, memberikan peranan yang sangat berarti dalam proses pembentukan kepribadian muslim sejak dini. Sebab di lingkungan inilah seseorang menerima sejumlah nilai dan norma yang ditanamkan sejak masa kecilnya.
2.
Faktor Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran. Sekolah mempunyai aturan-aturan khusus, tata tertib tertentu yang dibuat untuk tujuan kehidupan,
yaitu mengarahkan masyarakat kepada segala seuatu yang baik. Sebagian dari
tujuannya adalah merealisasikan prinsip umum dan pemikiran mulia, yaitu
mendidik tiap anak dengan pendidikan yang sejati sehingga menjadikannya sebagai
anggota yang bermanfaat bagi masyarakat, dengan cara memberinya petunjuk secara
sistematis dan pengajaran yang kontinu.[10]
Peranan sekolah tidak sekedar mengembangkan pengajaran membaca, menulis dan
berhitung, tetapi berperan untuk mempersiapkan individu terhadap sesuatu yang
dibutuhkan masyarakat di mana ia hidup, dan kehidupan sempurna yang harus
dikerjakan oleh pihak sekolah agar sampai pada tujuan tersebut; serta
mengarahkannya pada perbuatan yang baik baginya agar ia berjalan sampai tuujuan
dengan sukses.[11]
Sekolah umumnya dianggap sebagai mikrokosmos dari masyarakat secara
keseluruhan. Di sini siswa dapat mempelajari berbagai problematika dan isu-isu
yang dihadapi oleh komunitas secara keseluruhan. Sekolah menjadi laboratorium
tempat belajar yang hidup, sebuah upaya model demokrasi.
Baik sekolah, masjid, perpustakaan, kuttab, toko buku, rumah ulama atau lainnya dianggap oleh Islam -dan ini telah terbukti dalam lintasan sejarah Islam- sebagai lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan Islam, menurut Hasan Langgulung, bukanlah lembaga beku, tetapi fleksibel, yakni berkembang menurut kehendak waktu dan tempat.[12] Sebagai agent of change, sekolah diharapkan bisa mengadakan pembaruan (reformasi) dan perubahan ke arah perbaikan (rekonstruksi), baik berjangka panjang maupun pendek, sosial maupun individual, dan karena sekolah merupakan bagian dari masyarakat.
3.
Faktor Lingkungan
Masyarakat
Berkaitan dengan lingkungan (masyarakat) ini, al-Abrasyi menyebutkan bahwa
lingkungan sosial (masyarakat) itu memiliki pengaruh besar bagi perkembangan
pendidikan. Tidaklah sulit bagi manusia untuk merasakan atau bersinggungan
dengan pengaruh tersebut pada diri manusia yang terlihat dari luar dan adat
sosial.[13]
Pada aspek sekolah dan masyarakat ini al-Abrasyi menyebutkan hubungan antara
madrasah dengan sekolah ini dengan ungkapannya:[14]
المدرسة مجتمع صغير di mana keduanya berarti:
sekolah merupakan masyarakat dalam bentuk kecil.
Kondisi sosial mestilah kooperatif dan demokratis. Posisi semacam ini
merupakan perkembangan alam yang menganggap bahwa sekolah sebagai mikrokosmos
dari masyarakat yang lebih luas, dan bahwa pendidikan itu sendiri adalah
kehidupan, bukan persiapan untuk hidup. Sekolah melakukan kompetisi secara
tidak alami. Dalam dunia kerja, apabila seseorang menghadapi suatu persoalan,
biasanya ia diperkenankan meminta bantuan dari teman kerjanya. Di sekolah,
anak-anak dilarang pindah, bicara, atau bahkan dilarang mencoba membantu
temannya menyelesaikan persoalan. Titik tekan sekolah tradisional terletak pada
perhatian yang tidak semestinya terhadap kompetisi yang tidak sehat secara
sosial, dan tidak efisien menurut
pendidikan.
Interaksi sosial terbentuk dari sekelompok individu, karena ketergantungan
lingkungan terhadap individu, masa eksistensi dan potensi dinamikanya dipengaruhi
oleh individu pula. Sehubungan dengan ini, Mahmud Ahmad al-Sayyid menyatakan
bahwa individu adalah bagian dari masyarakat, tidak exist dengan
sendirinya. Individu hidup dalam masyarakat, untuk masyarakat, dan dengan
masyarakat, sebagaimana halnya masyarakat tidak exist kecuali dengan
adanya komponen individu. Masyarakat itu ibarat tubuh, agar tubuh tersebut
hidup, harus menumbuhkan seluruh anggotanya, dan menunaikan tugasnya secara
tepat dan teratur.[15]
E. Faktor Materi dalam Pendidikan Islam
Materi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang menjadi
bahan untuk diujikan, dipikirkan, dibicarakan, dikarangkan, dll. Sedangkan
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Istilah materi pendidikan berarti mengorganisir bidang ilmu pengetahuan yang
membentuk basis aktivias lembaga pendidikan, bidang-bidang ilmu pengetahuan ini
satu dengan lainnya dipisah-pisah namun merupakan satu kesatuan terpadu. Materi
pendidikan harus mengacu pada tujuan, bukan sebaliknya tujuan mengarah kepada
suatu materi, oleh karenanya materi pendidikan tidak boleh berdiri sendiri
sendiri terlepas dari kontrrol tujuannya.[16]
Terkait materi-materi dalam pendidikan
islam, H. M. Arifin seorang tokoh pendidikan islam terkemuka di Indonesia
berpendapat tentang pengertian materi, dengan perkataannya “pada hakikatnya,
materi yaitu bahan-bahan pelajaran yang disajikan dalam proses pendidikan, dan
dalam suatu sistem institusional pendidikan.” selanjutnya beliau menyunting
pendapat para pakar pendidikan islam mengenai materi dan ilmu dalam pendidikan
sebagai berikut :
Pemilihan materi di samping harus
sesuai dengan tujuan, dituntut pula agar sesuai dengan subjek didik yang
dipelajarinya. Materi yang akan
diberikan harus dapat disesuaikan dengan kemampuan peserta didik, menarik
perhatian, minat, umur, bakat, jenis kelamin, latar belakang, dan pengalaman.
Materi juga perlu diorganisasikan menurut urutannya dengan memperhatikan
keseimbangan dari yang sederhana kepada yang kompleks, dari yang konkret menuju
yang abstrak, sehingga dapat menuntun para pelajar secara runtun atau sistematis,
sehingga melahirkan kurikulum.
Dalam sistem pendidikan sekolah, materi telah diramu dalam kurikulum yang akan disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Materi ini meliputi materi inti maupun muatan lokal. Materi ini bersifat nasional yang mengandung misi pengendalian dan persatuan bangsa. Sedangkan muatan lokal misinya adalah mengembangkan kebhinnekaan kekayaan budaya sesuai dengan kondisi lingkungan. Dengan demikian jiwa dan semangat Bhinneka Tunggal Ika dapat dikembangkan.
F. Faktor Alat atau Media dalam Pendidikan Islam
Pengertian alat
pendidikan ialah segala sesuatu yang dipergunakan dalam usaha untuk mencapai tujuan dari
pendidikan. Dengan demikian yang dimaksud dengan
alat pendidikan agama ialah; Segala sesuatu yang dipakai dalam mencapai tujuan
pendidikan agama. Ada yang
berpendapat bahwa Faktor alat dan metode adalah
meliputi materi pendidikan dan
metode pendidikan.[17]
Dari beberapa literatur, tidak terdapat perbedaan pengertian
antara alat dan media pendidikan, Zakiah Daradjat menyebutkan pengertian alat
pendidikan sama dengan media pendidikan sebagai sarana pendidikan. Term
alat berarti barang sesuatu yang dipakai untuk mencapai suatu maksud. Sedangkan
media berasal dari bahasa latin dan bentuk jamak dari medium yang secara
hafifah berarti perantara atau pengantar. Dalam hal ini batasan makna media
pendidikan dirumuskan pada beberapa batasan. Diantaranya, Gegne menyebutkan
bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat
merangsang peserta didik untuk belajar.
Sementara Brigs mendefinisikan media sebagai salah satu
bentuk alat fisik yang dapat menyajikan pesan yang dapat merangsang siswa untuk
belajar. Dari dua definisi mengacu pada penggunaan alat yang berupa benda untuk
membantu proses penyampaian pesan. Selanjutnya yang dimaksud dengan alat
atau media pendidikan Islam disini adalah jalan atau cara yang dapat ditempuh
unuk menyampaikan
bahan atau materi pendidikan Islam kepada anak didik agar terwujud keperibadian
muslim
Alat pendidikan Islam yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mencpai tujuan pendidikan Islam, dengan demikian maka alat ini mencangkup apa saja yang dapat digunakan dan mempunyai peranan penting sebab alat atau media dapat digunakan untuk menuntun atau membumbing anak dalam masa pertumbuhannya agar kelak menjadi kepribadian muslim yang diridhai oleh Allah.[18]
1.
Jenis alat
media
Adapun Sutari Imam Barnadib mengemukakan bahwa alat pendidikan ialah tindakan atau perbutan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat pendidikan ternyata mencangkup pengertian yang luas. Yang termasuk didalamnya berupa benda, seperti kelas, perlengkapan belajar dan yang sejenisnya. Alat ini disebut juga dengan alat peraga. Sedangkan yang merupakan alat bukan benda ialah dapat berupa situasi pergaulan bimbingan perintah, ganjaran teguran, anjuran serta tugas ancaman maupun hukuman. Media pendidikan atau alat pendidikan yang bersifat non materi memiliki sifat yang abstrak dan hanya dapat diwujudkan melalui perbuatan dan tingkah laku seorang pendidik terhadap anak didiknya. Diantara media dan sumber belajar yang termasuk kedalam katagori ini adalah : keteladanan, perintah,tingkah laku, ganjaran dan hukuman.
a)
Keteladanan
Pada umumnya manusia memerlukan figure (sosok) identidikasi yang dapat membimbing manusia kearah kebenaran untuk memenuhi keinginan tersebut, untuk itu Allah mengutus Muhammad menjadi tauladan bagi manusia dan wajib diikuti oleh umatnya. Untuk menjadi sosok yang ditauladani, Allah menmerintahkan manusia termasuk pendidik selaku khalifah fial-ard} mengerjakan perintah Allah dan Rasul sebelum mengajarkannya kepada ornag yang akan dipimpin.
b)
Perintah dan
larangan
Seorang Muslim diberi oleh Allah tugas dan tanggung jawab melaksanakan peserta didikan “amar ma’ruf nahi munkar”. Amar ma’ruf nahi munkar merupakan alat atau media dalam pendidikan. Perintah adalah suatu keharusan untuk berbuat atau melaksanakan sesuatu. Suatu perintah akan mudah ditaati oleh peserta didik jika pendidik sendiri menaati peraturan-peraturan, atau apa yang dilakukan sipendidik sudah dimiliki atau menjadi pedoman pula bagi hidup si pendidik. Sementara larangan dikeluarkan apabila si peserta didik melakukan sesuatu yang tidak baik atau membahayakan dirinya.larangan sebenarnya sama dengan perintah. Kalau perintah merupakan suatu keharusan untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat, maka larangan adalah keharusan untuk tidak melakukan sesuatu yang merugikan.
c)
Ganjaran
Maksud ganjaran dalam konteks ini adalah memberikan sesuatu yang menyenangkan (penghargaan) dan dijadikan sebuah hadiah bagi peserta didik yang berprestasi, baik dalam belajar maupun sikap prilaku. Pendidik dalam pendidikan Islam yang tidak memberikan ganjaran kepada peserta didik yang telah memperoleh prestasi sebagai hasila belajar, maka dapat diartikan secara implsit bahwa pendidik belum memanfaatkan alat pengajaran seoptimalnya.
d)
Hukuman
Selain ganjaran, hukuman juga merupakan alat atau media pendidikan. Dalam Islam hukuman disebut dengan iqab. Abdurahman al-Nahkawi menyebutkan bahwa tahrib yang berarti ancaman atau intimidasi melalui hukuman karena melakukan sesuatu yang dilarang. Sejak dahulu, hukuman dianggap sebagai alat atau media yang istimewa kedudukannya, sehingga hukuman itu diterapkan tidak hanya dibidang pengadilan raja, tetapi juga diterapkan pada semua bidang, termasuk bidang pendidikan.[19]
2.
Fungsi Alat
Media
Abu Bakar Muhammad berpendapat bahwa kegunan alat atau media pendidikan itu adalah:
a)
Mampu
mengatasi kesulitan-kesulitan dan memperjelasmateri pelajaran yang sulit
b)
Mampu
mempermudah pemahaman dan menjadikan pelajaran lebih hidup
c)
Merangsang
anak untuk bekerja dan menggerakan naluri kecintaan, melatih belajar dan
menimbulkan kemauan keras untuk mempelajari sesuatu.
d)
Membantu
pembentukan kebiasaan, melahirkan pendapat memperhatikan dan memikirkan suatu
pelajaran.
e) Menimbulkan kekuatan perhatian (ingatan), mempertajam indra memperhalus perasaan dan cepat belajar.[20]
3. Macam-macam
media
Alat-alat pendidikan agama dapat dikelompokkan menjadi 3 dengan uraian atau klasifikasi sebagai berikut:
a)
Alat
pengajaran agama: Yang dibedakan menjadi tiga ;
1)
Alat
pengajaran Klasikal, Seperti Papan Tulis, kapur dan lain-lain.
2)
Alat
Pengajaran Individual. Seperti alat tulis, buku pelajaran dan lain-lain.
3)
Alat Peraga.
b)
Alat pendidikan
langsung: termasuk alat pendidikan yang langsung juga adalah menggunakan emosi dan dramatisasi dalam menerangkan
masalah agama. Karena agama lebih menyangkut perasaan.
c) Alat-alat pendidikan tidak langsung: Alat yang bersifat kuratif. Agar dengan demikian anak-anak menyadari perbuatannya yang salah dan berusaha untuk memperbaikinya.
4. Pengaruh
Alat atau Media Dalam Pendidikan
Dalam pendidikan Islam, alat atau media jelas diperlukan. Sebab, alat atau media pengajaran mempunyai peran yang besar dan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikanyang diinginkan. Terdapat pendapat beberapa para ahli pendidikan mengenai manfaat atau kegunaan dari alat atau media dalam pendidikan. Yusuf Hadi Miraso dkk, menyatakan bahwa alat atau media berupa benda dalam pendidikan memiliki nilai-nilai praktis edukatif yang meliputi:
a) Membuat konsep
abstrak menjadi konkret
b) Membawa objek yang
sukar didapat dalam lingkunagan belajar siswa
c) menampilakan objek
yang terlalu besar
d) Menampilkan objek
yang diamati dengan mata telanjang
e) Mengamati gerakan
yangterlalu cepat
f) Memungkunkan keseragaman
pengamtan dan presepsi bagi pengalaman belajar siswa
g) Membangkitkan motivasi
belajar
h) Menyajikan informasi belajar yang konsisten dan dapat diulangmaupun disimpan. Sedangkan alat berupa non-benda, karena sifatnya abstrak maka ia berperan dalam pemahaman nilai dan penilaian akhlak.
G. Faktor Kurikulum dalam Pendidikan Islam
Pada umumnya penyusunan kurikulum
dibuat berdasarkan pengalaman pribadi dan sosial siswa. Pelajaran yang
diberikan sering kali berhubungan dengan ilmu sosial agar dapat digunakan untuk
menyelesaikan persoalan berupa pengalaman dan rencana siswa. Namun karena
penyelesaian persoalan itu melibatkan kemampuan komunikasi, proses matematis,
dan pembahasan ilmiah, maka kurikulumnya dirancang secara interdisipliner
dengan alam sekitar. Buku dipandang sebagai alat untuk membantu proses belajar,
bukan sebagai sumber utama ilmu pengetahuan.[21]
Dalam pandangan al-Abras}i, penyusunan kurikulum itu hendaknya berpegang pada beberapa prinsip, yaitu :[22]
1.
Pertimbangan pada adanya
pengaruh mata pelajaran itu dalam pendidikan jiwa serta kesempurnaan jiwa.
2.
Adanya pengaruh suatu
pelajaran dalam menjalani cara hidup yang mulia, sempurna, seperti pengaruh
ilmu akhlak, hadis, fikih atau yang lainnya.
3.
Perlunya menuntut ilmu
karena ilmu itu sendiri.
4.
Mempelajari ilmu
pengetahuan karena ilmu itu dianggap yang terlezat bagi manusia.
5.
Prinsip pendidikan
kejuruan, teknik, dan industrialiasasi buat mencari penghidupan.
6. Mempelajari beberapa mata pelajaran adalah alat dan pembuka jalan unuk mempelajari ilmu-ilmu lain.
Dengan demikian kurikulum pendidikan Islam meliputi kepentingan duniawi (point 3 sampai 6) dan kepentingan uh}rawi (spiritual) (poin 1 dan 2)
Kurikulum dalam pandangan Islam dikembangkan kearah tauhid atau iman kepada Allah SWT. Hamid al-Hasan Bilgrami dan Syed ‘Ali Asyraf menerangkan bahwa inti dari sarana pengembangan kurikulum dilihat dari sudut pandang Islami adalah kebenaran yang fundamental dan yang tidak dapat diubah, yaitu prinsip tauhid.[23]
H. Faktor Metode dalam Pendidikan Islam
Pendidikan
merupakan usaha membimbing dan
membina serta bertanggung jawab untuk mengembangkan intelektual pribadi anak
didik ke arah kedewasaan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Maka pendidikan Islam adalah sebuah proses dalam membentuk manusia-manusia
muslim yang mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk mwujudkan dan
merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai Khalifah Allah SWT. baik kepada
Tuhannya, sesama manusia, dan sesama makhluk lainnya. Pendidikan yang dimaksud
selalu berdasarkan kepada ajaran al Qur'an dan Al Hadits. Oleh karena itu, yang
dimaksud dengan metodologi pendidikan Islam adalah cara yang dapat ditempuh
dalam memudahkan pencapaian tujuan pendidikan Islam.[24]
Tugas utama
metode pendidikan adalah mengadakan aplikasi prinsip-prinsip psikologis dan
paedagosis sebagai kaegiatan antar hubungan pendidikan yang terealisasi melalui
penyampaian keterangan dan pengetahuan agar siswa mengetahui, memahami,
menghayati, dan meyakini materi yang diberikan, serta meningkatkan keterampilan
olah pikir.[25]
Pada dasarnya metode pendidikan islam sangat efektif dalam membina kepribadian anak didik dan memotivasi mereka sehingga aplikasi metode ini memungkinkan puluhan ribu kaum mukminin dapat membuka hati manusia untuk menerima petunjuk ilahi dan konsep-konsep pendepan Islam. Selain itu, metode pendidikan Islam akan mampu menempatkan manusia diatas luasnya permukan bumi dan dalam masa yang tidak demikian kepada penghuni bumi lainnya[26].
Metode yang menonjol dan dianggap penting adalah:
1.
Metode Dialog Qur’ani
dan Nabawi
Adalah pendidikan dengan cara berdiskusi sebagaimana yang digunakan oleh al Qur’an dan hadits-hadits nabi. Metode ini, disebut pula metode khiwar yang meliputi dialog khitabi dan ta’abbudi (bertanya dan lalu menjawab) dialog deskriftif dan dialog naratif (menggambarkan dan lalu mencermati), dialog argumentatif (berdiskusi lalu mengemukakan alasan), dan dialog nabawi (menanamkan rasa percaya diri, lalu beriman). Untuk yang terkhir ini, dialog Nabawi sering dipraktekkan oleh sahabat ketika mereka bertanya sesuatu kepada Rasulullah. Dialog qur’ani merupakan jembatan yang dapat menghubungkan pemikiran seseoarang dengan orang lain sehingga mempunyai dampak terhadap jiwa peserta didik.
2.
Metode
Kisah Qur’ani dan Nabawi
Metode kisah
disebut juga metode cerita yakni cara mendidik dengan mengandalkan bahasa, baik lisan maupun tertulis
dengan menyampaikan pesan dari sumber pokok sejarah Islam, yakin al-Qur’an dan
Hadits.
Dalam al-Qur’an dijumpai banyak kisah, terutama yang berkenaan dengan misi kerasulan dan umat masa lampau.muhammad Qutb berpendapat bahwa kisah-kisah yang ada dalam al-Qur’an dikategorikan kedalam tiga bagian : Pertama, kisah yang menunjukkan tempat, tokoh dan gambaran peristiwa. Kedua, kisah yang menunjukkan peristiwa dan keadaan tertentu tanpa menyebut nama dan tempat kejadian. Ketiga, kisah dalam bentuk dialog yang terkadang taidak disebutkan pelakunya dan diman tempat kejadiannya.
3.
Metode Perumpamaan
Metode ini, disebut pula metode “amsal” yakni cara mendidik dengan memberikan perumpamaan, sehingga mudah memahami suatu konsep. perumpamaan yang diungkapkan Al-qur’an memiliki tujuan psikologi edukatif, yang ditunjukkan oleh kedalaman makna dan ketinggian maksudnya. Dampak edukatif dari perumpamaan al-Qur’an dan Nabawi diantaranya:
a) Memberikan
kemudahan dalam memahami suatu konsep yang abstrak, ini terjadi karena
perumpamaan itu mengambil benda sebagai contoh konkrit dalam al-Qur’an.
b) Mempengaruhi
emosi yang sejalan dengan konsep yang diumpamakan dan untuk mengembangkan aneka
perasaan ketuhanan.
c) Membina
akal untuk terbiasa berfikir secara valid pada analogis melalui penyebutan
premis-premis.
d) Mampu mencipatan motivasi yang menggerakkan aspek emosi dan mental manusia.
4.
Metode
keteladanan
Metode
ini, disebut juga metode meniru yakni suatu metode pendidikan dan pengajaran
dengan cara pendidik memberikan contoh teladan yang baik kepada anak didik.
Dalam Al-qur’an, kata teladan diproyeksikan dengan katauswah yang
kemudian diberikan sifat dibelakangnya seperti sifat hasanahyang
berarti teladan yang baik. Metode keteladanan adalah suatu metode pendidikan
dan pengajaran dengan cara pendidik memberikan contoh teladanan yang baik
kepada anak didik agar ditiru dan dilaksanakan. Dengan demikian metode keteladanan
ini bertujuan untuk menciptakan akhlak al-mahmudah kepada peserta
didik.
Acuan dasar dalam berakhlak al-mahmudah adalah Rosulullah dan para Nabi lainnya yang merupakan suri tauladan bagi umatnya.seorang pendidik dalam berinteraksi dengan anak didiknya akan menimbulkan respon tertentu baik positif maupun negatif, seorang pendidik sama sekali tidak boleh bersikap otoriter, terlebih memaksa anak didik dengan cara-cara yang merusak fitrahnya. Nilai edukatif keteladanan daam dunia pendidikan adalah metode influitif yang paling meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk moral spriritual dan sosial anak didik. Keteladanan itu ada dua macam:
a)
Sengaja
berbuat untuk secara sadar ditiru oleh si terdidik.
b) Berperilaku sesuaidengan nilai dan norma yang akan ditanamkan pada terdidik, sehingga tanpa sengaja menjadi teladan bagi terdidik
5. Metode
Ibrah
dan Mau’izhah
Metode ini disebut juga metode “nasehat” yakni suatu metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik memberi motivasi. Metode Ibrah atau mau’z}ah (nasehat) sangat efektif dalam pembentukan mana anak didik terhadap hakekat sesuatu, serta memotivasinya untuk bersikap luhur, berakhlak mulia dan membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam. Menurut al-Qur’an, metode nasehat hanya diberikan kepada mereka yang melanggar peraturan dalam arti ketika suatu kebenaran telah sampai kepadanya, mereka seolah-olah tidak mau tau kebenaran tersebut terlebih melaksanakannnya. Pernyataan ini menunjukkan adanya dasar psikologis yang kuat, karena orang pada umumnya kurang senang dinasehati, terlebih jika ditunjukkan kepada pribadi tertentu.
6.
Metode targhib
dan tarhib
Metode ini, disebut pula metode “ancaman” dan atau “intimidasi” yakni suatu metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik memberikan hukuman atas kesalahan yang dilakukan peserta didik. Istilah targhib dan tarhib dalam al-Qur’an dan al-Sunnah berarti ancaman atau intimidasi melalui hukuman yang disebabkan oleh suatu dosa kepada Allah dan Rasulnya. jadi, iya juga dapat diartikan sebagai ancaman Allah melalui penonjolan salah satu sifat keagungan dan kekuatan illahiyah agar mereka (peserta didik) teringat untuk tidak melakukan kesalahan.
Ada beberapa kelebihan yang palinh berkenaan dengan metode targhib dan tarhib ini antara lain:
a)
Taghib dan
tarhib bertumpu pada pemberian kepuasan dan argumentasi.
b)
Targhib dan
tarhip disertai gambaran keindahan surgaynag menakjubkan atau pembebasan azab
neraka.
c)
Targhib dan
tarhib islami bertumpu pada pengobatan emosa dan pembinaan efeksi ketuhanan.
d)
Targhib dan
tarhib bertumpu pada pengontrolan emosi dan keseimbangan antara keduanya
I. Daftar Pustaka
______________, Al-Qur’a>n Al- Kari>m
Al-Abrasyi, Muhammad ‘Athiyyah. Al-Tarbiyah Al-Islamiyyah wa Fala>sifatuha>. Lebanon : Da>r al-Fikr, 1969.
Al-Ghazali, Al-Imam. Ih}ya’ Ulu>m al-Di>n. Singapura : Sulaiman
Mar’a, tt.
Al-Rasyidin & Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat
: PT. Ciputat Press, 2002.
Al-Sayyid, Mahmud Ahmad. Mu’jizat al-Islam al-Tarbawiyah.
Kuwait : Da>r al-Buhu>s al-Ilmiyah, 1978.
Al-Syaibany, Omar Mohammad al-Thoumy. Falsafah Pendidikan Islam.
Jakarta : Bulan Bintang, 1979.
Arifin, Muhammad. Filsafat Pendidikan islam. Jakarta : Bina Aksara,
1897.
Imam Barnadib, Sutari. Pengantar Ilmu Pendidikan
Sistematis, Yogyakarta : Andi offset, 1987.
Langgulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan. Jakarta : Pustaka al-Husna,
1988.
Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung :
Al-Ma’arif, 1989.
Muslim, Al-Imam. S}ahi>h Muslim, Jilid II. Bandung : Dah}la>n, tt.
Nurdin, Muhammad. Kiat
Menjadi Guru Profesional. Jakarta: Ar-Ruzz, Media Group, 2008.
Saleh, Abdurrahman Abdullah. Teori-Teori
Pendidikan berdasarkan Al-Qur’an. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994.
Sindhunata, Menggagas
Paradigma Baru Pendidikan. Yogyakarta: Kansius, 2007.
Syalabi, Ahmad. Ta>rikh al-Tarbiyah
al-Islamiyah. Kairo : al-Kasyaf, 1954.
[1] Assegaf, Abd. Rahman. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Rajawali
Pers, 2011).109.
[2] Karti, Soeharto, dkk, Teknologi Pembelajaran (Surabaya: SIC,
1995).6.
[3] Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis,
(Yogyakarta : Andi offset, 1987).35.
[4] Al-Rasyidin & Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,
(Ciputat : PT. Ciputat Press, 2002), h. 44.
[5] Omar Mohammad al-Thoumy al-Syaibany, Falsafah
Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), h. 136.
[6] Al-Imam Muslim, S}ahi>h Muslim, Jilid II,
(Bandung : Dah}la>n, tt), h. 466.
[7] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,
(Bandung : Al-Ma’arif, 1989), h. 37.
[8] Al-Rasyidin, Filsafat. Ibid, 48-50.
[9] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan, (Jakarta :
Pustaka al-Husna, 1988), h. 26-27.
[10] Muhammad ‘Athiyyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah
Al-Islamiyyah wa Fala>sifatuha>, (Lebanon : Da>r al-Fikr, 1969), h. 90.
[11] Ibid., h. 90-91
[12] Ibid., h. 111.
[13] Ibid., h. 27.
[14] Muhammad ‘Athiyyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah
Al-Islamiyyah wa Fala>sifatuha>, (Lebanon : Da>r al-Fikr, 1969), h. 100.
[15] Mahmud Ahmad al-Sayyid, Mu’jizat al-Islam
al-Tarbawiyah, (Kuwait : Da>r al-Buhu>s al-Ilmiyah, 1978), h. 146.
[16] Saleh, Abdurrahman Abdullah. Teori-Teori Pendidikan berdasarkan
Al-Qur’an. (PT Rineka Cipta, Jakarta, 1994). 159.
[17] Daradjat, Zakiah Dr dkk, Metodologi
Pengajaran Agama Islam, (Bumi Angkasa, Jakarta, 2001). 91.
[18] Ramayulis, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2008).2.
[19] Ibid. 27
[20] Uhbiyati,
Nur. Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 1996). 123.
[21] Arthur K. Ellis, Introduction To The Foundation Of
Education, (New Jersey: Eaglewood Clift Prentice Hall. 1986). 119-120.
[22] Al-Abra>shi, Muhammad ‘At}iyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam.
Terjemah: Prof. H. Bustami A. Gani dan Johar Bahri dari : al-Tarbiyali
al-Islamiyah, Jakarta : Bulan Bintang, 1990.
[23] Hamid Hasan Bilgrami & Sayid ‘Ali Ashraf, Konsep
Universitas Islam (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1989). 84.
[24] Armai, arif. Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta
: Ciputat Press, 2001). 41.
[25] Mujib, Abdullah, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta : Fajar Inter
Pratama Uffset, 2008). 16.
[26] Al-nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah, Dan Masyarakat. (Jakarta : Gema Insani, 1995). 204.