A. Ranah kajian Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat pendidikan Islam sebagaimana pendapat al-Syaibani yang dikutip
oleh Ahmad Syar’i menjelaskan bahwa filsafat pendidikan Islam adalah
prinsip-prinsip dan berbagai kepercayaan yang berasal dari ajaran Islam atau
minimal sesuai dengan jiwa Islam yang mendukung dan memiliki kepentingan
pelaksanaan dan bimbingan dalam bidang pendidikan.
Dalam filsafat Islam juga akan mengkaji tiga pijakan yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
1. Ontologi
Filsafat pendidikan Islam bertitik tolak pada manusia dan alam (the creature of God). Sebagai pencipta, Tuhan telah mengatur alam ciptaan-Nya. Pendidikan berpijak dari human sebagai dasar perkembangan dalam pendidikan. Seluruh aktivitas hidup dan kehidupan manusia adalah transformasi pendidikan.
Yang menjadi dasar kajian filsafat pendidikan Islam di sini adalah sebagaimana yang tercantum dalam wahyu mengenai pencipta, ciptaan-Nya, hubungan antara ciptaan dan pencipta, hubungan antara sesama ciptaan-Nya dan utusan yang menyampaikan risalah (rasul).
2.
Epistemologi
Landasan ini merupakan dasar ajaran Islam yaitu al-Quran dan al-Hadits. Dari kedua sumber itulah muncul pemikiran-pemikiran terkait masalah-masalah keislaman dalam berbagai aspeknya termasuk filsafat pendidikan. Apa yang tercantum dalam al-Quran dan al-Hadits merupakan dasar dari filsafat pendidikan Islam. Hal ini pada dasarnya selaras dengan hasil pemikiran para filosof Barat, karena akal sehat tidak akan bertentangan dengan wahyu. Jika terjadi ketidakcocokan berarti itu bukan karena kesalahan wahyu itu, namun itu adalah hasil pikiran yang belum mampu menjangkau apa yang dimaksudkan oleh landasan tersebut.
3. Aksiologi
Yang tidak kalah pentingnya adalah kandungan nilainya dalam bidang pendidikan. Ada tiga hal yang menjadi nilai dari filsafat pendidikan Islam yaitu:
a) Keyakinan bahwa akhlak termasuk makna yang
terpenting dalam hidup, akhlak di sini tidak hanya sebatas hubungan antara
manusia, namun lebih luas lagi sampai kepada hubungan manusia dengan segala
yang ada, bahkan antara hamba dan Tuhan.
b) Meyakini bahwa akhlak adalah sikap atau kebiasaan
yang terdapat dalam jiwa manusia yang merupakan sumber perbuatan-perbuatan yang
lahir secara mudah.
c) Keyakinan bahwa akhlak islami yang berdasar syari’at yang ditunjukkan oleh berbagai teks keagamaan serta diaktualkan oleh para ulama merupakan akhlak yang mulia.
Bertolak dari tiga kajian di atas, setidaknya kita telah memiliki pandangan dan arah yang akan dilakukan oleh filsafat pendidikan Islam tersebut.
Aliran-aliran Filsafat Pendidikan Islam
Terdapat tiga aliran utama dalam pemikiran filosofis pendidikan Islam, yaitu: (1) Aliran Agamis-Konservatif, (2) Aliran Religius-Rasional, dan (3) Aliran Pragmatis-Instrumental. Penjabaran tentang ketiga aliran tersebut dapat dilihat berikut ini.
1.
Aliran Konservatif (al Muha>fidz})
Aliran ini cenderung bersikap murni keagamaan yang mencakup ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang dan akan membawa manfaat kelak di
Akhirat. Para pelajar harus
mengawali belajarnya dengan mengkaji Al Qur’an dan Ulumul Qur’an, lalu
dilanjutkan belajar hadi>th, Ulumul Hadi>th, Us}ul Fiqh,
Nah}wu, dan S}araf.
Para ulama yang termasuk dalam kategori aliran pemikiran pendidikan ini
adalah Al-Ghazali, Zarnuji, Nasiruddin Al-Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu
Al-Haitami, dan Abdul Hasan Ali bin Muhammad bin Khalaf (al-Qabisi).
Al-Thusi – sebagaimana dikutip Muhammad
Jawwad Ridha-menganalogikan jeinis ilmu yang pertama dengan makanan pokok,
sedangkan jenis ilmu yang kedua dianalogikan dengan obat yang hanya dimakan
sewaktu terpaksa. Selain dua jenis ilmu tersebut, ada pula ilmu yang hukum
mempelajari termasuk fad}i>lah (keutamaan, anjuran), seperti
mempelajari tentang deatilnya ilmu hitung dan ilmu kedokteran. Terkait dengan
ini, maka ilmu dapat dipilah menjadi ilmu terpuji dan ilmu yang tercela.
Al-Ghazali membagi ilmu-ilmu adat dan ilmu-ilmu komplementer, termasuk di dalam filsafat, menjadi empat bidang. Pertama, ilmu ukur dan ilmu hitung. Disiplin ilmu ini boleh dipelajari dan dilarang apabila membahayakan bagi yang mempelajarinya karena dapat mengantarkan pada ilmu tercela. Kedua, ilmu mantiq (logika), yaitu ilmu yang berkaitan dengan dalil (argumentasi) dan syarat-syaratnya. Ketiga, ilmu ketuhanan (teologi), yaitu ilmu yang berisi tentang kajian eksistensi Tuhan. Keempat, ilmu kealaman. Sebagian ilmu ini dianggap bertentangan dengan syara’, agama, dan kebenaran. Sebagian lainnya mengkaji tentang anatomi tubuh, rincian organ-organ, perubahannya.
2.
Aliran Religius-Rasional (al-Di>niy al-Aqlany)
Menurut Ridha, aliran ini tidak jauh berbeda dengan aliran
pemikiran tradisionalis-tekstualis (Naqliyyun). Aliran pemikiran pendidikan ini mengakui bahwa semua ilmu dan sastra yang tidak mengantarkan
pemiliknya menuju kehidupan akhirat, dan tidak memberikan makna sebagai bekal
di sana, maka ilmu demikian hanya akan menjadi bumerang bagi
si pemilik kelak di akhirat.
Ikhwan al-Shafa adalah salah satu penganut aliran ini. Batasan ilmu menurut Ikhwan al-Shafa adalah gambaran
tentang sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Lawan
dari ilmu adalah kebodohan, yaitu tiadanya gambaran yang diketahui pada
jiwanya. Belajar dan mengajar tiada lain adalah mengaktualisasikan hal-hal potensial, melahirkan hal-hal yang terpendam dalam jiwa.
Selain Ikhwan al Shafa, yang termasuk aliran ini antara lain al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawih. Pergumulan intensif kelompok Ikhwan al-Shafa dengan pemikiran filsafat Yunani telah memberikan landasan bagi aliran pendidikannya, yaitu bahwa pangkal segala sesuatu yang terkait dengan jiwa beserta semua potensinya, serupa dengan apa yang diutarakan oleh kecenderungan Gnostik.
3.
Aliran Pragmatis (al-Dharai’iy)
Tokoh utama
aliran ini adalah Ibnu Khladun. Pemikiran Ibnu Khaldun lebih banya bersifat pragmatis dan lebih berorientasi
pada dataran aplikatif-praktis.
Aliran ini merupakan wacana baru dalam pemikiran pendidikan Islam. Apabila kalangan konservatif mempersempit ruang lingkupsekuler di hadapan rasionalitas Islam dan mengaitkannya secara kaku dengan pemikiran atau warisan salaf, sedangkan kalangan Rasionalis dalam sistem pendidikan (program kurikuler) berpikiran idealistik sehingga memasukkan semua disiplin keilmuan yang dianggap substantif bernilai, maka Ibnu Khaldun mengakomodir ragam jenis keilmuan yang nyata terkait dengan kebutuhan langsung manusia, baik berupa kebutuhan spiritual-ruhaniah maupun kebutuhan material-jasmaniah.
B. Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam
Pemikiran filosofis pendidikan Islam dapat kita lihat dari pola pemikiran Islam yang berkembang di dunia saat ini, terutama dalam menjawab berbagai tantangan dan perubahan yang selalu terjadi dan akan terjadi pada era modernitas. Ada empat model pemikiran keislamaman menurut Abdullah (1996) yang dikutip oleh Muhaimin, yaitu 1. Model Tekstualis Salafi; 2. Model Tradisionalis Madzhabi; 3. Model Modernis; dan 4. Model Neo-Modernis.
1. Tekstualis Salafi
Aliran ini berusaha untuk memahami ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dan melepaskan diri dari atau kurang memperhatikan konteks dinamika pergumulan masyarakat muslim yang mengitarinya baik pada era klasik ataupun modern. Masyarakat yang diidam-idamkan adalah masyarakat salaf di era nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya. Landasan pemikiran aliran ini hanya ada dua yaitu al-Quran dan al-Sunnah dan tanpa menggunakan pendekatan keilmuan yang lain. Dalam menjawab berbagai tantangan zaman, aliran ini hanya menggunakan al-Quran dan al-Sunnah. Ini menunjukkan bahwa aliran ini lebih bersikap regresif dan konservatif.
Jika kita lihat kepada pemikiran filsafat
pendidikan, ada dua tipe yang lebih dekat dengan aliran tekstualis salafi, yaitu
aliran pendidikan yang termasuk dalam kategori tradisional (perennialism dan
essentialism). Perennialism menghendaki kembalinya kepada jiwa yang
menguasai abad pertengahan, sedangkan tekstualis salafi menghendaki agar
kembali ke masyarakat salaf (era Nabi dan sahabat). Namun intinya, kedua aliran
ini sama-sama regresif. Adapaun essentialism menghendaki
pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki
kedudukannya dalam kebudayaan, dan nilai-nilai ini sampai kepada manusia
tentunya telah teruji oleh waktu. Tektualis Salafi menjunjung tinggi
nilai-nilai salaf dan perlu dilestarikan keberadaannya, karena masyarakat salaf
dipandang sebagai masyarakat yang ideal.
Dalam konteks pemikiran filsafat pendidikan
Islam, aliran ini menyajikan kajian tentang
pendidikan secara manquly, yakni memahami atau
menafsirkan nas-nas tentang pendidikan dengan nas yang lain, atau dengan
mengambil pendapat sahabat. Aliran ini berusaha membangun konsep pendidikan
Islam melalui kajian tekstual-lughawi atau berdasarkan kaidah-kaidah
bahasa Arab dalam memahami al-Quran, hadits Nabi, dan perkataan sahabat, serta
memperhatikan praktik pendidikan pada era salaf, untuk selanjutnya berusaha
mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai tersebut hingga saat ini. Dalam
bangunan pemikiran filsafat pendidikan Islam, model ini dapat dikategorikan
sebagai tipologi perenial-tekstualis salafi dan sekaligus esensial-tekstualis
salafi. Untuk menyederhanakan model ini, maka dapat kita sebut dengan
istilah perenial-esensial salafi.
Aliran ini dapat kita lihat sebagaimana yang kita ketahui dari sejarah bahwa ada golongan-golongan yang hanya menggunakan al-Quran secara tekstual semata tanpa melihat konteks. Padahal dalam pendidikan harus dilihat terlebih dahulu apa yang dibutuhkan anak didik dan masyarakat secara umum.
2. Tradisionalis Madzhabi
Aliran ini berupaya
memahami ajaran dan nilai mendasar yang terkandung dalam al-Quran dan al-Sunnah
melalui bantuan khazanah pemikiran Islam klasik, namun
tidak begitu memperhatikan keadaan sosio-historis masyarakat setempat di mana
ia hidup di dalamnya. Hasil pemikiran para ulama terdahulu dipandang sudah
pasti tanpa melihat sisi historisnya. Masyarakat ideal bagi aliran ini adalah
masyarakat muslim era klasik, di mana menganggap bahwa semua persoalan agama
telah dikupas tuntas oleh para ulama terdahulu. Mereka bertumpu kepada ijtihad
dalam menyelesaikan persoalan-persoalan tentang ketuhanan, kemanusiaan, dan
kemasyarakatan. Kitab kuning menjadi rujukan pokok aliran ini.
Aliran ini menonjolkan
akan wataknya yang tradisional dan madzhabi. Tradisional
ditunjukkan dalam bentuk sikap, cara berpikir, dan bertindak yang selalu
berpegang teguh pada nilai, norma, dan adat kebiasaan yang telah turun temurun
dan tidak mudah terpengaruh oleh situasi sosio historis dengan berubahnya
masyarakat dan zaman. Watak madzhabi dari aliran ini diwujudkan dalam
kecenderungannya mengikuti aliran, pemahaman, atau doktrin yang dianggap sudah
relatif mapan pada masa sebelumnya.[14]
Dengan ketradisionalan
dan kemadzhabannya, aliran ini dalam pengembangan pemikiran filsafat pendidikan
Islam lebih menekankan pada pemberian penjelasan dari materi-materi pemikiran
para pendahulunya tanpa adanya perubahan substansi pemikiran pendahulunya.
Pendidikan Islam dengan model ini berupaya mempertahankan dan mewariskan nilai,
tradisi, dan budaya serta praktik sistem pendidikan terdahulu dari satu
generasi ke generasi berikutnya tanpa mempertimbangkan konteks perkembangan
zaman yang dihadapinya. Melihat wataknya yang sedemikian itu, aliran ini juga
lebih dekat dengan perennialism dan essensialism, karena wataknya
yang masih regresif dan konservatif. Aliran ini disebut tipologi
perenial-esensial madzhabi.
Aliran
ini membangun konsep pendidikan Islam melalui kajian terhadap khazanah
pemikiran Islam terdahulu, baik dalam hal tujuan pendidikan, kurikulum, hubungan guru murid, metode
pendidikan, sampai kepada lingkungan pendidikan yang dirumuskan.
Berbeda dengan aliran yang pertama, aliran ini lebih menghargai hasil yang telah diciptakan oleh pendahulunya. Karena aliran ini masih menganggap dan menggunakan sistem pendidikan yang digunakan oleh masa sebelumnya dan hal itu dirasa baik. Namun di sini masih ada sikap tertutup dari aliran ini yang tidak menerima hal-hal yang baru, dan menurut hemat penulis, sikap ini yang kurang bijak karena apapun di dunia ini selalu berubah.
3. Modernis
Aliran modernis
berupaya memahami ajaran dan nilai dasar yang terkandung dalam al-Quran dan
al-Sunnah dengan melihat kepada kondisi dan tantangan sosio-historis dan
kultural yang dihadapi masyarakat muslim kontemporer, tanpa mempertimbangkan
muatan-muatan khazanah intelektual muslim era klasik. Aliran ini lebih
cenderung untuk selalu maju memasuki teknologi modern. Aliran ini ingin
memahami al-Quran secara langsung dan melompat ke dunia modern.
Aliran ini lebih
cenderung seperti aliran progressivism dalam aliran filsafat pendidikan, hal
ini tercermin dari wataknya yang ingin bebas dari bayang-bayang masa lalu dan
modifikatif. Dengan wataknya yang demikian, aliran ini tidak berkepentingan
untuk merujuk kepada pemikiran-pemikiran terdahulu karena yang dahulu hanya
cocok untuk masa lalu.
Dalam konteks pemikiran
filsafat pendidikan Islam, sikap bebas dan modifikatif ini tidak berarti
kebebasan mutlak tanpa adanya keterikatan. Pendidikan Islam yang modernis
memiliki sikap keterbukaan dan dinamis menuju ke arah yang lebih maju. Untuk
mencapai kemajuan tersebut diperlukan keterbukaan untuk membaca teori orang
lain, melalui transformasi, akomodasi, dan bahkan adopsi pemikiran dan
temuan ilmu pengetahuan serta teknologi dalam rangka memajukan sistem pendidikan
Islam.
Praktik seperti ini banyak kita temukan pada era ini terutama di lembaga pendidikan Islam modern. Dalam pendidikannya telah banyak menggunakan peralatan-peralatan modern dan juga menggunakan metode-metode yang berasal dari luar, namun hal ini tidak membuatnya kehilangan tujuan utama dari pendidikan Islam tersebut.
4. Neo-Modernis
Aliran pemikiran ini
berupaya untuk memahami ajaran dan nilai dasar yang bersumber dari al-Quran dan
al-Sunnah dengan mengikutsertakan dan mempertimbangkan khazanah intelektual muslim
klasik serta mencermati kesulitan dan kemudahan yang ditawarkan dunia modern.
Jadi aliran ini selalu mempertimbangkan al-Quran, al-Sunnah, khazanah klasik,
dan pendekatan-pendekatan keilmuan era modern. Maka dari situlah terkenal
ungkapan “memelihara hal-hal yang baik yang telah ada sambil mengembangkan
nilai-nilai baru yang lebih baik.”
Berdasarkan
prinsip-prinsip yang dipakai dan melihat akhir dari jargon di atas menunjukkan
adanya sikap dinamis dan progresif serta rekonstruktif walaupun tidak bersifat
radikal. Karean itulah, di dalam konteks pemikiran filsafat pendidikan Islam
aliran ini dapat dikategorkan sebagai tipologi perenial-esentialis
kontekstual-falsifikatif.
Aliran ini dipandang sebagai aliran pembaruan yang mencoba mengintegrasikan secara menyeluruh antara dasar-dasar Islam, khazanah keislaman klasik, dan hal-hal yang baru dan baik. Ini merupakan upaya yang luar biasa dalam pengembangan pendidikan agama Islam yang selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman.
C. Implikasi Filsafat Pendidikan Islam Terhadap Pengembangan Kurikulum
Aliran-aliran dalam pemikiran filsafat pendidikan Islam di atas tentu memiliki implikasi terhadap pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam. Di bawah ini akan dijelaskan sedikit mengenai implikasi tersebut mulai dari tipologi perenial-esensialis salafi, tipologi perenial-esensialis madzhabi, tipologi modernis, tipologi perenial-esensialis kontekstual-falsifikatif, dan tipologi rekonstruksi sosial berlandaskan tauhid.
1. Perenial-Esensialis
Salafi
Tipologi ini
menonjolkan wawasan kependidikan era salaf (era kenabian dan sahabat).
Pendidikan diorientasikan kepada penemuan dan internalisasi kebenaran masa lalu
yang dilakukan oleh anak didik, menjelaskan dan menyebarkan warisan salaf melalui
inti pengetahuan yang terakumulasi dan telah berlaku sepanjang masa dan penting
untuk diketahui semua orang.
Pengembangan kurikulum
ditekankan pada doktrin agama, kitab-kitab besar, kembali kepada hal-hal yang
mendasar, serta mata pelajaran kognitif yang ada pada era salaf. Dalam
kurikulum pendidikan agama Islam bidang akidah dan ibadah khusus (shalat,
puasa, zakat, haji, nikah, dan lain-lain), atau membaca al-Quran yang
dimaksudkan untuk melestarikan dan mempertahankan, serta menyebarkan akidah dan
amaliah ubudiyah yang benar sesuai dengan yang dilakukan para salaf.
Metode pembelajaran yang dilakukan melalui ceramah dan dialog, diskusi, dan pemberian tugas-tugas. Manajemen kelas diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur. Evaluasi menggunakan ujian-ujian objektif terstandarisasi, dan tes kompetensi barbasis amaliah. Guru memliki otoritas tinggi yang paham akan kebijakan dan kebenaran masa lalu dan tentunya ahli dalam bidangnya.
2. Perenial-Esensialis Madhhabi
Tipologi ini
menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan memiliki
kecenderuangan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin serta pemahaman
pemikiran-pemikiran masa lampau yang dianggap sudah mapan. Pendidikan Islam berfungsi
melestarikan dan mengembangkannya melalui upaya pemberian penjelasan dan
catatan-catatan dan kurang ada keberanian untuk mengganti substansi materi
pemikiran pendahulunya. Di sini pendidikan Islam lebih dijadikan sebagai upaya
untuk mempertahankan dan mewariskan nilai, tradisi, dan budaya dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Pendidikan berorientasi pada upaya murid untuk menemukan dan menginternalisasi kebenaran-kebenaran sebagai hasil interpretasi ulama pada masa klasik. Menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran, nilai-nilai, dan pemikiran para pendahulu yang dianggap mapan secara turun temurun. Pengembangan kurikulum ditekankan pada doktrin-doktrin dan nilai agama yang tertuang dalam karya ulama tedahulu mengenai hal-hal yang esensial serta mata pelajaran kognitif yang ada pada masa klasik. Sama seperti aliran sebelumnya namun aliran ini hanya memberikan penjelasan atas pemikiran pendahulunya dan dianggap menyeleweng jika tidak sesuai dengan pendapat pendahulunya. Metode yang digunakan adalah ceramah, dialog, perdebatan dengan tolok ukur pandangan imam madzhab, dan pemberian tugas. Manajemen dan lain sebagainya sama dengan aliran sebelumnya.
3. Modernis
Tipologi pendidikan
Islam aliran ini bersifat bebas, modifikatif, progresif, dan dinamis dalam
menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan dari lingkungannya, sehingga
pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melakukan rekonstruksi pengalaman yang
terus menerus. Pendidikan agama Islam diorientasikan pada upaya memberikan
keterampilan dan alat-alat kepada anak didik yang bisa digunakan untuk
berinteraksi dengan lingkungannya yang selalu berubah demi menyesuaikan diri
dengan perubahan-perubahan yang terjadi yang dilandasi dengan nilai-nilai
universal.
Pengembangan kurikulum ditekankan pada penggalian problematika yang dihadapi oleh peserta didik, untuk selanjutnya dilatih dan diajarkan untuk memecahkan masalah tersebut perspektif ajaran dan nilai-nilai agama Islam. Metode yang digunakan adalah cooverative learning, metode proyek, dan metode ilmiah. Manajemen kelas lebih diarahkan pada pemberian kesempatan kepada peserta didik untuk berpartisipasi dan aktif dalam pembelajaran. Evaluasi lebih banyak menggunakan evaluasi formatif. Peranan guru di sini sebagai fasilitator dan pengatur pembelajaran.
4. Perenial-Esensialis
Kontekstual-Falsifikatif
Aliran ini mengambil
jalan tengah antara kebali ke masa lalu dengan jalan melakukan kontekstualisasi
serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan kependidikan Islam masa
sekarang dengan berbagai perubahan yang ada.
Tujuan pendidikan agama
Islam berorientasi pada penemuan dan internalisasi kebenaran masa lalu pada
masa klasik, menyebarkan warisan ajaran, dan nilai salaf yang dianggap mapan,
dan pemberian keterampilan kepada anak didik untuk menghadapi segala bentuk
perubahan. Untuk lebih jelas, tujuan aliran ini adalah melestarikan nilai ilahiyyah dan insaniyah sekaligus menumbuhkembangkannya dalam konteks perkembangan iptek dan
perubahan sosio kultural.
Pengembangan kurikulum
ditekankan pada pelestarian doktrin-doktrin, nilai-nilai agama sebagaimana
tertuang dalam kitab terdahulu yang bersifat esensial. Di lain itu juga
ditekankan pada penggalian problematika yang ada di masyarakat dan
dialami oleh anak didik, kemudian dilatih untuk menyelesaikannya sesuai dengan
nilai universal.
Metode yang digunakan dalam hal-hal yang bersifat doktrin adalah ceramah dan dialog, diskusi atau perdebatan, dan pemberian tugas. Manajemen kelas lebih kepada pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman, sesuai tatanan, dan teratur dalam menjalankan tugas. Evaluasi bersifat objektif dan terstandarisasi, atau tes essay, tes diagnostik, dan tes kompetensi berbasis amaliah. Guru berperan sebagai figur yang memiliki otoritas tinggi dan ahli dalam bidangnya.
5. Rekonstruksi Sosial
Berlandaskan Tauhid
Model ini cocok untuk
diterapkan pada masyarakat yang berkeinginan dan potensial untuk maju, dan pada
masyarakat yang warganya bersifat individualis. Menurut tipologi ini,
pendidikan agama Islam bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan kesadaran
peserta didik akan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia, yang
merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemeluk agama Islam untuk memecahkan
masalah da’wah bi al-hal, baik yang terkait
dengan masalah sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya, serta mengajarkan
keterampilan untuk memecahkan semua problem tersebut agar dapat berpartisipasi
dalam melakukan perbaikan dan amr ma’ruf nahi munkar, sehingga dapat
terwujud suatu tatanan masyarakat baru yang lebih baik.
Dalam
hal ini, peserta didik dibekali kemampuan untuk mengidentifikasi
masalah-masalah yang berkembang di masyarakat untuk selanjutnya dijadikan
sebagai tema proyek kajian, melek berpikir kritis, strategi dan teknik
berhubungan dengan masyarakat, bekerja secaka kelompok, toleran, dan cara kerja
untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan pengembangan masyarakat menuju
tatanan yang lebih baik.
Kurikulum memusatkan pada masalah-masalah sosial dan budaya yang dihadapi masyarakat, dan diharapkan anak didik dapat menyelesaikan masalah tersebut melalui konsep dan pengetahuan yang telah dimiliki. Manajemen dalam pembelajaran ini tidak terlalu terikat pada kelas, tetapi lebih banyak di luar kelas, tidak membedakan jenis kelamin dan ras, serta membangun masyarakat. Interaksi guru dan murid lebih bersifat dinamis, kritis, progresif, terbuka, bahkan bersikap proaktif, dan antisipatif, tetapi juga mengembangkan nilai-nilai kooperatif fan kolaboratif, toleran, serta komitmen pada hak dan kewajiban asasi manusia. Evaluasi pembelajaran pendidikan agama Islam menekankan pada evaluasi formatif, dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang lebih maju, serta memiliki kemampuan untuk membangun masyarakat yang lebih baik dengan memerankan ilmu dalam memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.
D. Daftar Pustaka
Djumransjah, M. Filsafat Pendidikan, Malang: Bayumedia
Publishing, 2006
Gandhi, Teguh Wangsa. Madzhab-Madzhab Filsafat
Pendidikan, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013
Haris, Abdul dan Kivah Aha Putra. Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta: Amzah, 2012
Maksum Ali. Pengantar Filsafat, Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012
Maunah, Binti.
Landasan Pendidikan. Yogyakarta: TERAS,
2009
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam Jakarta; PT Grafindo Persada, 2005
Muhmidayeli. Filsafat
Pendidikan. Bandung: PT Refika Aditama,
2011
Syar’i, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2005
[1] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan
Islam, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2005), 123
[2] Ibid,. 124.
[3] Op.cit,. 125.
[4] Prof. Dr. H. Abd. Haris, M.Ag. dan Kivah Aha Putra, S.PdI, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), 120-131.
[5] Muhammad Jawwad Ridha, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam
(Perspektif Sosiologis-filosofis), 74.
[6] Ibid,. 75.
[7] Op.cit,. 76.
[8] Ilmu tentang kealaman yang oleh al-Ghazali dianggap bertentangan dengan
ajaran agama adalah teori asal-usul alam semesta yang menganggap bahwa alam
semesta merupakan sesuatu yang qadi>m. Keberadaan alam semesta bukan
diciptakan dari nol (tidak ada menjadi ada), tetapi dari sesuatu yang sudah ada
(creatio lex divina). Teori ini sebagaiman yang dikemukakan oleh al
Farabi, Ibnu Sina. Teori ini ditentang oleh al-Ghazali, karena dia meyakini
bahwa alam semesta merupakan sesuatu yang baru, artinya diciptakan oleh allah
dari tidak ada menjadi ada (creation ex nihilo). Lihat al-Ghazali di Ihya’
Ulumuddin.
[9] Muhammad Jawwad Ridha, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam
(Perspektif Sosiologis-filosofis), 78.
[10] Menurut Philip K. Hitti, Gnostik adalah kepercayaan aliran
pengetahuan di Yunani dimana seseorang penuntut ilmu bisa mencapai pengetahuan
dengan adanya kilasan cahaya batin. Philip Hitti, Tarikh al Arab, (Beirut:
Tp., 1961); Ibid., 79.
[11] Muhammad Jawwad Ridha, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam
(Perspektif Sosiologis-filosofis), 104.
[12] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam. (Jakarta; PT Grafindo Persada, 2005), 88.
[13] Ibid,. 89.