Guru
merupakan salah satu pemodal pendidikan bagi perkembangan pemikiran peserta
didik. Dalam UU No. 14 Tahun 2005 menjelaskan bahwa guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.[1]
Pengertian ini selaras dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dinyatakan, bahwa guru adalah : tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.[2]
Sebagai
seorang guru professional akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan
pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun
metode. Keahlian yang dimiliki oleh guru profesional adalah keahlian yang
diperoleh melalui suatu proses pendidikan dan pelatihan yang diprogramkan
secara khusus. Untuk itu keahlian tersebut mendapat pengakuan formal yang
dinyatakan dalam bentuk sertifikasi dan akreditasi. Dengan keahliannya itu
seorang guru mampu menunjukkan otonominya, baik secara pribadi maupun sebagai
pemangku profesinya.
Namun
realitas yang ada, guru di era teknlogi sekarang ini mengalami kemunduran akan
profesionalisme guru. Hal ini desebabkan beberapa factor antara lain: (1) masih
banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh karena banyak guru yang
bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada; (2)
belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara
maju; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru
tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di
perguruan tinggi.
Dari
pandangan demikian, maka diperlukannya sebuah upaya kebijakan-kebijakan tentang
guru dan dosen yaitu tentang etika profesi guru dan kode profesi guru. Etika
adalah sebuah system prinsip-prinsip kesusilaan atau moral dalam suatu profesi.[3]
Etika profesi hakikatnya merupakan suatu kriteria penting dalam rangka
profesionalisasi suatu profesi demikian juga dalam kode etik guru dan dosen.
Pada
hakekatnya kebijakan ini sudah tertuang dalam UU Guru dan Dosen, dalam UU ini
menentukan bahwa untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru
dan dosen dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan membentuk kode etik. Kode
etik berisi tentang norma dan etika yang mengkat perilaku guru dalam
pelaksanaan tugas keprofesionalannya.
A. Pengertian
Etika dan Profesi
Keguruan
Sebelum membahas makna etika
profesi, prlu merinci akan makna etika dan profesi. Kata etik (atau etika)
berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak
kesusilaan atau adat. Etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh
individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah
dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Dari paradigma ini dapat
dikaitkan bahwa etika adalah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan
atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat.[4]
Menurut para ahli definisi etika
adalah:
1.
O.P. Simorangkir : etika atau etik sebagai pandangan
manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
2.
Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika
adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari seg baik dan
buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
3. H.
Burhanudin Salam :
etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang
menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.[5]
Ada
dua macam etika yang harus dipahami dalam menentukan baik dan buruknya perilaku
manusia :
1. ETIKA DESKRIPTIF,
yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap
dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai
sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk
mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.
2. ETIKA NORMATIF, yaitu etika yang berusaha
menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh
manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi
penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan
diputuskan.[6]
Adapun
istilah profesi berasal dari bahasa Inggris yaitu Profession atau bahasa
Latin, Profecus, yang artinya mengakui, adanya pengakuan, menyatakan
mampu, atau ahli dalam melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan secara terminologi profesi
berarti suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya
yang ditekankan pada pekerjaan mental; yaitu adanya persyaratan pengetahuan
teoritis sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis, bukan pekerjaan
manual. Jadi suatu profesi harus memiliki tiga pilar pokok, yaitu pengetahuan,
keahlian, dan persiapan akademik.[7]
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah profesionalisasi ditemukan sebagai
berikut: Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian
(keterampilan, kejuruan dan sebagainya) tertentu.
Menurut
Dedi supriadi sebagaimana dikutip oleh Buchari Alma, memaknai profesi dengan
menunjuk kepada “Sesuatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian,
tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap profesi”. Lebih lanjut Dedi menyatakan
bahwa “Suatu profesi tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang tidak
dilatih dan disiapkan untuk itu”.[8]
Selanjutnya,
pengertian profesi menurut Dr. Sikun Pribadi adalah “ profesi itu pada
hakikatnya adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka, bahwa seseorang
akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa,
karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu.[9]
Dari
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa profesi adalah suatu kepandaian
khusus yang dimiliki oleh seseorang yang diperoleh melalui pendidikan karena
orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan tersebut.
Dalam
kanca pendidikan, jabatan guru dapat dikatakan sebuah profesi karena
menjadi seorang guru dituntut suatu keahlian tertentu (mengajar, mengelola
kelas, merancang pengajaran) dan dari pekerjaan ini seseorang dapat memiliki
nafkah bagi kehidupan selanjutnya. Untuk itu profesi guru pun mempunyai etika.
Etika
profesionalisme guru merupakan ilmu atau kode etik yang telah disepakati dalam
menjalankan profesi keguruan yang mengarah pada profesionalisme guru.
Profesionalisme guru harus didukung oleh kompetensi yang standar yang harus dikuasai
oleh para guru profesional. Kompetensi tersebut adalah pemilikan kemampuan atau
keahlian yang bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal, dan sertifikasi
keahlian haruslah dipandang perlu sebagai prasyarat untuk menjadi guru
profesional.[10]
Menurut UU NO. 14/2005 tentang Guru dan
Dosen, pasal 1 (1), guru ialah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah. Lalu, ayat (2), profesional
adalah pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang
memenuhi strandart mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan
profesi. Maka guru yang profesional adalah guru atau pendidik yang mampu
menjalankan tugas kependidikan dengan baik sesuai dengan strandart kompetensi
yang ada untuk keprofesionalan guru.[11]
Jadi
kesimpulanya Etika profesi keguruan adalah ketentuan-ketentuan moral atau
kesusilaan yang merupakan pedoman bagi guru yang melakukan tugas di bidang
keguruan.
B. Kode Etik Sebagai Penyeimbang Etika Profesi Keguruan
Dalam mengatur sebuah
ketentuan-ketentuan moral atau kesusilaan guru memerlukan adanya sebuah dasar
paradigma yang mendalam agar etika profesi keguruan dapat dilakukan dengan baik
dan merupakan suatu hal yang urgen. Dalam hal ini harus mengetahui prinsip
dasar etika sebelum menjabarkan pentingnya sebuah etika keguruan.
pengertian
kode etik guru adalah merupakan pedoman bersikap dan berperilaku yang
mengejewantah dalam bentuk nilai-nilai moral dan etika jabatan guru. Dengan
demikian, guru harus menyadari bahwa
jabatan mereka merupakan suatu profesi yang terhormat, terlindungi,
bermartabat, dan mulia. Di sinilah esensi bahwa guru harus mampu memahami,
menghayati, mengamalkan, dan menegakkan Kode Etik Guru dalam menjalankan
tugas-tugas profesional dan menjalani kehidupan di masyarakat.
Kode
etik guru sesungguhnya merupakan pedoman yang mengatur hubungan guru dengan
teman kerja, murid dan wali murid, pimpinan dan masyarakat serta dengan misi
tugasnya.[12]
Soetjipto dan Raflis Kosasi
sebagaimana dalam kutipan Sukardjo dan Ukim
Komarudin
menegaskan bahwa kode etik suatu profesi adalah norma-norma yang harus
diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya
dan dalam hidupnya di masyarakat. Norma norma tersebut berisi petunjuk petunjuk
bagi para anggota profesi tentang bagaimana mereka melaksanakan profesinya dan
larangan larangan yaitu ketentuan ketentuan tentang apa yang tidak boleh
diperbuat atau dilaksanakan oleh mereka, tidak saja dalam menjalankan tugas
profesi mereka, melainkan juga menyangkut tingkah laku anggota profesi pada
umumnya dalam pergaulannya sehari-hari dalam masyarakat.[13]
Etika profesi keguruan memiliki
prinsip-prinsip dasar etika antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Universalistik, artinya suatu
prinsip yang berpangkal tolak dari pandangan universal tentang hakikat manusia
dan hakikat pendidikan. Hakikat pendidikan itu adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi diriya untuk memiliki kekuatan spiritual,
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
2. Nasionalistik,
artinya etika keguruan yang nasionalistik bersumber dari pandangan hidup
nilai-nilai hidup bangsa Indonesia. Dalam hal ini maka Pancasila menjadi sumber
pedoman sekaligus tolak ukur bagi guru. Sesuai dengan nilai-nilai dalam
sila-sila Pancasila seutuhnya yaitu a) Ber ke-Tuhanan Yang Maha Esa. b)
Berperikemanusiaan yang adil dan beradab. c) Berjiwa persatuan. d) Berjiwa
demokratis. e) Berkeadilan sosial[14]
Dari
kedua prinsip inilah etika profesi guru perlu diperhatikan, agar menghasilkan
sebuh kode etik dalam profesi guru memiliki fungsi yang baik bagi kaum guru itu
sendiri. Pada dasarnya fungsi kode etik guru sebagai perlindungan dan pengembangan
bagi profesi.
Dalam
buku karangan Thomas Gardon dan Mudjito, mereka
menjelaskan bahwa paradigma fungsi etika profesi guru sebagai perlindungan dan
pengembangan bagi profesi selaras dengan berbagai pendapat beberapa pakar,
yaitu:
1. Gibson dan Michel (1945) yang lebih mementingkan pada kode
etik sebagai pedoman pelaksanaan tugas prosefional dan pedoman bagi masyarakat
sebagai seorang professional.
2.
Biggs dan
Blocher ( 1986)
mengemukakan tiga fungsi kode etik yaitu : 1. Melindungi suatu profesi dari campur
tangan pemerintah. (2). Mencegah terjadinya pertentangan internal dalam suatu
profesi. (3). Melindungi para praktisi dari kesalahan praktik suatu profesi.
3.
Oteng
Sutisna (1986)
bahwa pentingnya kode etik guru dengan teman kerjanya difungsikan sebagai penghubung
serta saling mendukung dalam bidang mensukseskan misi dalam mendidik peserta
didik.
4. Sutan Zahri dan Syahmiar Syahrun
(1992)
mengemukakan empat fungsi kode etik guru bagi guru itu sendiri, antara lain : a)
Agar guru terhindar dari penyimpangan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. b) Untuk
mengatur hubungan guru dengan murid, teman sekerja, masyarakat dan pemerintah. c)
Sebagai pegangan dan pedoman tingkah laku guru agar lebih bertanggung jawab
pada profesinya. d) Pemberi arah dan petunjuk yang benar kepada mereka yang
menggunakan profesinya dalam melaksanakan tugas.
Ketaatan
guru pada Kode Etik akan mendorong mereka berperilaku sesuai dengan norma- norma yang dibolehkan dan menghindari
norma-norma yang dilarang oleh etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi
atau asosiasi profesinya selama menjalankan tugas-tugas profesional dan
kehidupan sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Dengan demikian,
aktualisasi diri guru dalam melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran
secara profesional, bermartabat, dan beretika akan terwujud. Dengan demikian
akan terciptanya suasana yang harmonis dan semua anggota akan merasakan adanya
perlindungan dan rasa aman dalam melakukan tugas-tugasnya.[15]
Adapun
secara umum, kode etik ini diperlakukan dengan beberapa alasan, antara lain
seperti berikut ini:
1. Untuk
melindungi pekerjaan sesuai dengan ketentuan dan kebijakan yang telah
ditetapkan berdasarkan perundangan-undangan yang berlaku.
2.
Untuk mengontrol terjadinya
ketidakpuasan dan persengketaan dari para pelaksana, sehingga dapat menjaga dan
meningatkan stabilitas internal dan eksternal pekerjaan.
3.
Melindungi para praktisi di
masyarakat, terutama dalam hal adanya kasus-kasus penyimpangan tindakan.
4. Melindungi
anggota masyarakat dari praktek-praktek yang menyimpang dari ketentuan yang
berlaku.[16]
Di
dalam Pasal 28 undang-undang nomor 8 tahun 1974 menjelaskan tentang pentingnya
kode etik guru dengan jelas menyatakan
bahwa" pegawai negeri sipil memiliki kode etik sebagai pedoman sikap,
sikap tingkah laku dan perbuatan di dalam dan di luar kedinasan." Dalam
penjelasan undang undang. Tersebut dinyatakan Bahwa dengan adanya kode etik
ini, pegawai negeri sipil sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi
masyarakat mempunyai pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanan
tugasnya dan dalam pergaulan sehari hari. Selanjutnya dalam kode etik pegawai
negeri sipil itu digariskan pula prinsip-prinsip pokok tentang pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab pegawai negeri.[17]
C. Perkembangan
Kode Etik
Sebagai Pedoman Etika
Profesi Keguruan
Kode etik hanya dapat ditetapkan
oleh suatu organisasi profesi yang berlaku dan mengikat para anggota. Penetapan
kode etik lazim dilakukan pada suatu kongres organisasi profesi. Dengan
demikian, penetapan kode etik tidak boleh dilakukan oleh orang secara
perorangan, melainkan harus dilakukan oleh orang orang yang diutus untuk dan
atas nama anggota-anggota profesinya dari organisasi tersebut. Dengan demikian,
orang orang yang bukan anggota profesi tidak dapa dikenakan aturan yang ada
dalam kode etik tersebut. Bagi guru-guru di indonesia, PGRI merupakan wadah
bagi yang mempunyai jabatan profesi guru, sebagai perwujudan cita-cita
perjuangan bangsa. PGRI didirikan di Surakarta pada tanggal 25 november 1945.
Kode etik guru indonesia ditetapkan
dalam suatu kongres yang dihadiri oleh seluruh utusan cabang dan pengurus
daerah PGRI dari seluruh penjuru tanah air, pertama dalam kongres XIII di
Jakarta tahun 1973. Kode etik guru ini merupakan ketentuan yang mengikat semua
sikap dan perbuatan guru. Berikut akan di kemukakan kode etik guru Indonesia
sebagai hasil rumusan kongres PGRI XIII pada tanggal 21 sampai dengan 25
November 1973 di Jakarta, terdiri dari Sembilan butir yaitu:
1.
Guru berbakti membimbing siswa
seutuhnya, untuk membentuk manusia pembangunan yang berpancasila.
2.
Guru memiliki kejujuran professional
dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan siswa masing-masing.
3.
Guru mengadakan komunikasi terutama
dalam memperoleh informasi tentang siswa dalam memperoleh informasi tentang
siswa tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan.
4.
Guru membentuk suasana kehidupan
sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua siswa sebaik-baiknya demi
kepentingan siswa.
5.
Guru memelihara hubungan baik dengan
masyarakat di sekitar sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk
kepentingan pendidikan.
6.
Guru secara sendiri-sendiri atau
bersama-sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya.
7.
Guru membentuk dan memelihara
hubungan antara sesame guru, baik berdasarkan lingkungan kerja maupun di dalam
hubungan keseluruhan.
8.
Guru secara bersama-sama memelihara,
membina dan meningkatkan mutu organisasi guru professional sebagai sarana
pengabdiannya.
9.
Guru melaksanakan segala ketentuan
yang merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam pendidikan.
Kemudian dalam kongres PGRI XVI tahun 1989
juga dijakarta, kode etik guru indonesia telah disempurnakan, yaitu: Guru
indonesia menyadari, bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan
YME, bangsa dan negara, serta kemanusiaan pada umumnya. Guru indonesia yang
berjiwa pancasila dan setia pada undang undanh dasar 1945, turut bertanggung
jawab atas terwujudnya cita cita proklamasi kemerdekaan republik indonesia 17
agustus 1945.[18]
Kesembilan kode etik guru tersebut
dapat dideskripsikan sebagai berikut: point pertama, mengandung
pengertian bahwa perhatian utama seorang guru adalah peserta didik.
Perhatiannya itu semata-mata dicurahkan untuk membimbing peserta didik, yaitu
mengembangkan potensinya secara optimal dengan mengupayakan terciptanya
pembelajaran yang edukatif. Melalui proses inilah diharapkan peserta didik
menjelma sebagai manusia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. Manusia utuh yang
dimaksud adalah manusia yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan kebutuhan
rohaninya, bukan hanya sehat secara fisik, namun juga secara psikis. Manusia
yang berjiwa Pancasila artinya manusia yang dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara selalu mengindahkan dan mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Point kedua, mengandung makna bahwa guru hanya sanggup
menjalankan tugas profesi yang sesuai dengan kemampuannya. Ia tidak menunjukkan
sifat arogansi profesional. Manakala menghadapi masalah yang ia sendiri tidak
mampu mengatasinya, ia mengaku dengan jujur bahwa masalah itu di luar
kemampuannya, sambil terus berupaya meningkatkan kemampuan yang dimilikinya. Point
ketiga, menunjukkan pentingnya seorang guru mendapatkan informasi tentang
peserta didik selengkap mungkin. Informasi tentang kemampuannya, minat, bakat,
motivasi, kawan-kawannya dan informasi yang kira-kira berpengaruh pada
perkembangan peserta didik dan mempermudah guru dalam membimbing dan membina
peserta didik tersebut. Point keempat, mengisyaratkan pentingnya guru
menciptakan suasana sekolah yang aman, nyaman dan membuat peserta didik betah
belajar. Yang perlu dibangun antara lain iklim komunikasi yang demokratis,
hangat dan penuh rasa kekeluargaan, tetapi menjauhkan diri dari kolusi dan
nepotisme. Point kelima, mengangkat pentingnya peran serta orang tua
siswa dan masyarakat sekitarnya untuk andil dalam proses pendidikan di sekolah/
madrasah. Peran serta mereka akan terwujud jika terjalin hubungan baik antara
guru dengan peserta didik, dan ini harus diupayaan sekuat tenaga oleh seorang
guru. Point keenam, guru harus selalu
meningkatkan dan mengembangkan mutu serta martabat profesinya dan ini dapat
dilakukan secara pribadi ataupun kelompok. Point ketujuh, guru harus menjalin kerja sama yang
mutualisme dengan rekan seprofesi. Rasa senasib dan sepenanggungan, biasanya
mengikat para guru untuk bersatu dalam menyatukan visi dan misinya. Point
kedelapan, guru
bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana
dalam perjuangan dan pengabdiannya.”. Point kesembilan, Kode etik ini didasari oleh dua
asumsi, pertama karena guru sebagai aparatur negara (sepanjang mereka itu PNS),
kedua karena guru orang yang ahli dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu
sudah sewajarnya guru melaksanakan semua kebijaksanaan pemerintah dalam bidang
pendidikan, selagi sesuai dengan kemampuan guru itu dan tidak melecehkan harkat
dan martabat guru itu sendiri.[19]
D. Etika Profesi Keguruan Paradigma Pemikiran KH. Hasyim Asy’ariy
Dalam dunia Islam, etika seorang
pendidik dan peserta didik sudah banyak sekali dikemukakan oleh berbagai ulama’
salah satunya adalah KH. Hasyim Asy’ariy. Beliau telah menuliskan konsep etika
pendidikan yang sangat berguna bagi umat
Islam khususnya di Indonesia.
Dalam pemikirannya tentang etika
pendidikan, beliau membagi 3 aspek yaitu a) tugas dan tanggung jawab seorang
murid, b) tugas dan tanggung jawab seorang guru, dan c) etika terhadap kitab
sebagai literaturr. Dari ketiga aspek ini, dapat dijabarkan sebagai berikut:[20]
1.
Etika guru
dalam proses belajar mengajar
Dalam proses belajar mengajar, KH.
Hasyim Asy’ariy menganjurkan etika ini menjadi 10 kriteria yang harus dilakukan
seorang guru yaitu:
a.
Didahului dengan niat yang baik
untuk bertaqarrub
b.
Mensucikan dan membersihkan diri
dari hadas, serta memakai pakaian yang rapi dan wangi.
c.
Berdoa sebelum berangkat dan
senantiasa berdzikir kepada Allah, serta menjaga diri dari segala yang dapat
mengurangi kewibawaan dan menggunakan bahasa yang santun.
d.
Hendaknya tidak mengajar ketika
lapar, haus atau haus, waktu panas atau dingin (sakit keras) karena dapat
mempengaruhi psikologis peserta didik.
e.
Memberi salam kepada peserta didik
dan duduk berhadapan langsung kepada peserta didik.
f.
Mengawali pelajaran dengan membaca
ayat suci al-Qur’an dan berdo’a.
g.
Mendahulukan pelajaran yang paling
penting dan mulia.
h.
Menjaga kelas agar tidak ramai dan
mengakhirkan pelajaran ketika peserta didik bingung atas pelajaran yang
disampaikan, serta mengingatkan peserta didik yang menyimpang dari pembahasan
tanpa harus membuatnya malu.
i.
Memberikan jawaban kepada peserta
didik sesuai dengan ilmu yang dimiliki, dan tidak memberikan jawaban atas
pertanyaan peserta didik jika tidak mampu atau tidak mengetahui jawaban dari
pertanyaan peserta didik.
j.
Selalu memperhatikan peserta didik
serta hendaknya mengakhiri pelajaran atau penjelasan dengan kata “Wa Allah
A’lam” sebagai dizikir dan menyandarkan segala sesuatunya yang tahu hanya
Allah.
2.
Etika guru
terhadap murid atau anak didik
Mengenai pembahasan adab guru
menurut KH. Hasyim Asy’ariy, beliau memberikan 13 point acuan yaitu:
a.
Hendaklah seorang guru dalam
menjalankan profesinya adalah memberikan pengajaran dan pendidikan kepaada
peserta didik mempunyai niat dan tujuan yang luhur, yakni demi mencari ridho
Allah, mengamalkan ilmu pengetahuan, menghidupkan syari’at Islam, menjelaskan
sesuatu yang hak dan yang batil, mensejahterahkan kehidupan umat, serta demi
meraih pahala dan berkah ilmu pengetahuan.
b.
Hendaklah tidak menghalangi hak
peserta didik untuk menuntut ilmu.
c.
Mencintai peserta didik sebagaimana
mencintai dirinya sendiri, berusaha memenuhi kemaslahatan mereka, serta
memperlakukan mereka dengan baik sebagaiamana anaknya sendiri.
d.
Mendidik dan memberi pelajaran
kepada peserta didik dengan penjelasan yang mudah dipahami sesuai dengan
kemampuan mereka.
e.
Bersungguh-sungguh dalam memberikan
pengajaran dan pemahaman kepada peserta didik.
f.
Memaklumi keadaan peserta didik yang
nampak kelelahan dan terlambat karena rumah mereka sangat jauh dari sekolah.
g.
Hendaklah guru tidak memberikan
perlakuan khusus kepada salah satu peserta didik dihadapan peserta didik yang
lain, karena hal ini dapat menimbulkan kecemburuan diantara mereka.
h.
Memberikan kasih sayang dan perhatan
kepada peserta didik melalui mengenal kepribadian dan latar belakang mereka
serta selalu berdo’a untuk kebaikan mereka.
i.
Membiasakan diri sekaligus
memberikan contoh kepada peserta didik tentang cara bergaul yang baik, seperti
mengucapkan salam, berbicara dengan sopan, saling mencintai terhadap sesame,
tolong - menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.
j.
Berupaya membantu peserta didik
untuk meringankan masalah mereka baik dalam hal materi, posisi, dan sebagainya.
k.
Hendaknya sesalu bersikap tawadlu’
terhadap peserta didik, meskipun statusnya sebagai guru yang berhak dihormati
oleh peserta didik.
l.
Memperlakukan peserta didik dengan
baik, serperti memanggil dengan nama dan sebutan yang baik, menyambut kedatangan
mereka, dan sebagainya.
3.
Etika guru
terhadap kitab sebagai alat untuk belajar
Mengenai hal ini KH. Hasyim Asy’ariy memberikan 5 anjuran kepada guru terhadap
kitab sebagai salah satu alat dalam proses pembelajaran yaitu:
a.
Menganjurkan dan mengusahakan agar
memiliki buku pelajaran yang diajarkan.
b.
Merelakan dan mengizinkan bila ada
kawan meminjam buku pelajaran, dan bagi peminjam hendaklah menjaga dari buku
yang dipinjamnya.
c.
Meletakkan buku pada tempat yang
terhormat, dengan memperhitungkan keagungan kitab dan ketinggian keilmuan
penyusunnya.
d.
Memeriksa buku yang dipinjam.
e.
Bila menyalin buku pelajaran
syari’ah, hendaklah dalam keadaan suci kemudian diawali dengan basmalah.
Simpulan
1. Etika
profesi keguruan adalah ketentuan-ketentuan moral atau kesusilaan yang merupakan
pedoman bagi guru yang melakukan tugas di bidang keguruan. Adapun pengertian kode etik guru
adalah merupakan pedoman bersikap dan berperilaku yang mengejewantah dalam
bentuk nilai-nilai moral dan etika jabatan guru.
2. Adapun
secara umum, pentingnya etika/ kode etik profesi guru adalah: a) Untuk melindungi pekerjaan sesuai
dengan ketentuan dan kebijakan yang telah ditetapkan berdasarkan
perundangan-undangan yang berlaku. b) Untuk mengontrol terjadinya
ketidakpuasan dan persengketaan dari para pelaksana, sehingga dapat menjaga dan
meningatkan stabilitas internal dan eksternal pekerjaan. c) Melindungi para praktisi di
masyarakat, terutama dalam hal adanya kasus-kasus penyimpangan tindakan. d) Melindungi anggota masyarakat dari
praktek-praktek yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
3. Kode
etik guru indonesia ditetapkan dalam suatu kongres yang dihadiri oleh seluruh
utusan cabang dan pengurus daerah PGRI dari seluruh penjuru tanah air, pertama
dalam kongres XIII di Jakarta tahun 1973. Kemudian dalam kongres PGRI XVI
tahun 1989 juga dijakarta, kode etik guru indonesia telah disempurnakan, yaitu: Guru
indonesia menyadari, bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan
YME, bangsa dan negara, serta kemanusiaan pada umumnya. Guru indonesia yang
berjiwa pancasila dan setia pada undang undanh dasar 1945, turut bertanggung
jawab atas terwujudnya cita cita proklamasi kemerdekaan republik indonesia 17
agustus 1945.
4. Dalam
pemikirannya tentang etika pendidikan, beliau membagi 3 aspek yaitu a) tugas
dan tanggung jawab seorang murid, b) tugas dan tanggung jawab seorang guru, dan
c) etika terhadap kitab sebagai literaturr.
Daftar Pustaka
Aris Suherman dan Ondi Saondi. 2010.
Etika Profesi Keguruan. Bandung
: Refika Aditama.
Asy’ari, Hasyim. 1413 H. Adabul ‘Alim wa
al-Muta’allim. Jombang: Maktabah Turats al-Islami.
Buchari
alma, dkk. 2010. Guru
Profesional. Bandung:
Alfabeta.
Departemen Agama RI. 2006. Undang-undang
dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan .Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam.
Fachruddin
Saudagar dan Ali Idrus. 2011. Pengembangan
Profesionalitas Guru. Jakarta: Gaung
Persada.
Hamalik, Oemar. 2002. Pendidikan Guru
Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: Bumi Aksara.
Herawati, Susi. 2009. Etika dan Profesi Keguruan. Batusangkar: STAIN Press.
Imron,
Ali. 1996. Kebijakan Pendidikan di
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Ruswandi, Uus. 2010. Pengembangan Kepribadian Guru. T.p : CV. Insan Mandiri.
Salam, Burhanuddin. 1997. Etika Individual Pola Dasar Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.
Sukardjo
dan Ukim Komarudin. 2010. Landasan Pendidikan dan
Konsep Aplikasinya. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Surya, Mohamad. 2010. landasan pendidikan menjadi guru yang baik. Bogor: ghalia Indonesia.
Thomas
Gardon dan Mudjito. 1990. Guru yang Efektif. Jakarta:
CV Rajawali.
Trianto dan Titik Triwulan Tutik. 2006. Tinjauan Yuridis Hak Serta Kewajiban
Pendidik Menurut UU Guru dan Dosen. Jakarta: Prestasi Pustaka.
UU
No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Jakarta:
Sinar Grafika
http://manggamudaku.blogspot.com/2012/12/kode-etik-profesi-keguruan_5.html (diakses pada tanggal 10 Mei 2015)
[1] UU No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, (Jakarta: Sinar Grafika), pasal 1 ayat 1
[2] Departemen
Agama RI, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan ( Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan
Islam, 2006), pasal 39
ayat 1
[3] Trianto dan
Titik Triwulan Tutik, Tinjauan Yuridis Hak Serta Kewajiban Pendidik Menurut
UU Guru dan Dosen, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), h.165
[4] Burhanuddin Salam, Etika Individual Pola Dasar Filsafat,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h.3
[5] Susi
Herawati, Etika dan Profesi Keguruan, (Batusangkar: STAIN Press, 2009),
h.1
[6] Aris
Suherman dan Ondi Saondi, Etika Profesi
Keguruan (Bandung : Refika Aditama, 2010), h.90
[7] Susi
Herawati, Etika dan Profesi Keguruan,, h.4
[8] Buchari alma, dkk, Guru
Profesional (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 116-117.
[9] Oemar
Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2002), h.1
[10] Fachruddin Saudagar dan
Ali Idrus, Pengembangan
Profesionalitas Guru,
(Jakarta:
Gaung Persada, 2011), h.17
[11] UU No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, h.2
[12] Ali
Imron, Kebijakan Pendidikan di Indonesia,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 98
[13]Sukardjo
dan Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan
dan Konsep Aplikasinya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 112
[14] Trianto dan
Titik Triwulan Tutik, Tinjauan Yuridis Hak Serta Kewajiban Pendidik Menurut
UU Guru dan Dosen, h.166-167
[15]Thomas
Gardon dan Mudjito, Guru yang Efektif,
(Jakarta: CV Rajawali, 1990), h. 105
[16] Mohamad Surya, landasan
pendidikan menjadi guru yang baik, (Bogor: ghalia Indonesia, 2010) h.86
[17] Sukardjo dan Ukim
Komarudin, Landasan Pendidikan dan Konsep
Aplikasinya, h. 112
[18] Uus Ruswandi, Pengembangan Kepribadian Guru, (Penerbit : CV. Insan Mandiri, 2010) h.25
[19] http://manggamudaku.blogspot.com/2012/12/kode-etik-profesi-keguruan_5.html (diakses
pada tanggal 10 Mei 2015)
[20] Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim wa al-Muta’allim, (Jombang: Maktabah
Turats al-Islami, 1413 H), h.71-80