Sejak zaman prasejarah penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar handal yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antar pulau Indonesia dengan daerah di daratan Asia Tenggara.Wilayah barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil yang dijual disana menarik para pedagang dan menjadi lintasan penting antara Cina dan India.[1]
Masuknya
Islam ke daerah-daerah di Indonesia tidak dalam waktu bersamaan.Pada abad ke-7
sampai ke-10 kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya sampai ke Malaka dan
Kedah.Hingga sampai akhir abad ke-12 perekonomian Sriwijaya mulai
melemah.Keadaan seperti ini dimanfaatkan Malaka untuk melepaskan diri dari
Sriwijaya hingga beberapa abad kemudian Islam masuk ke berbagai wilayah
Nusantara, dan pada abad ke-11 Islam sudah masuk di pulau Jawa.
Pada
abad 15 para saudagar muslim telah mencapai kemajuan pesat dalam usaha bisnis
dan dakwah hingga mereka memiliki jaringan di kota-kota bisnis di sepanjang
pantai Utara. Komunitas ini dipelopori oleh Walisongo yang membangun masjid
pertama di tanah Jawa. Masjid Demak yang menjadi pusat agama yang mempunyai
peran besar dalam menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa.Walisongo berasal dari
keturunan syeikh ahmad bin isa muhajir dari hadramaut. Beliau dikenal sebagai
tempat pelarian bagi para keturunan nabi dari arab saudi dan daerah arab lain
yang tidak menganut syiah.[2]
Penyebaran agama Islam
di Jawa terjadi pada waktu kerajaan Majapahit runtuh disusul dengan
berdirinya kerajaan Demak. Era tersebut merupakan masa peralihan kehidupan
agama, politik, dan seni budaya.Di kalangan penganut agama Islam tingkat atas
ada sekelompok tokoh pemuka agama dengan sebutan Wali.Zaman itu pun dikenal
sebagai zaman “kewalen”. Para wali itu dalam tradisi Jawa dikenal
sebagai “Walisanga”, yang merupakan lanjutan konsep pantheon dewa Hindhu yang
jumlahnya juga Sembilan orang. Adapun Sembilan orang wali yang
dikelompokkan sebagai pemangku kekuasaan pemerintah yaitu Maulana Malik
Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Muria,
Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati.[3]
A. Sejarah Tentang
Walisongo
Walisongo
secara sederhana artinya sembilan orang yang telah mencapai tingkat “Wali”,
suatu derajat tingkat tinggi yang mampu mengawal babahan hawa
sanga (mengawal sembilan lubang dalam diri manusia), sehingga memiliki
peringkat wali.[4] Para
wali tidak hidup secara bersamaan. Namun satu sama lain memiliki keterkaitan
yang sangat erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.[5]Ahli-ahli
sejarah tampaknya sependapat bahwa penyebaran Islam di Jawa adalah para
Walisongo. Mereka tidak
hanya berkuasa dalam lapangan keagamaan, tetapi juga dalam hal pemerintahan dan
politik. Bahkan, seringkali seorang raja seakan-akan baru sah sebagai raja
kalau sudah diakui dan diberkahi oleh
Walisongo.
Islam
telah tersebar di pulau Jawa, paling tidak sejak Malik Ibrahim dan Maulana
Ishak yang bergelar Syaikh Awal Al-Islam diutus sebagai juru dakwah oleh Raja
Samudera, Sultan Zainal Abidin Bahiyah Syah (1349-1406) ke Gresik. Dalam
percaturan politik, Islam mulai memosisikan diri ketika melemahnya kekuasaan
Majapahit yang memberi peluang kepada penguasa Islam di pesisir untuk membangun
pusat-pusat kekuasaan yang independen. Di bawah pimpinan Sunan Ampel, Walisongo
bersepakat untuk mengangkat Raden Patah sebagai raja pertama kerajaan Islam
Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa.
Di
samping kekuatan politik Islam yang memberi kontribusi besar terhadap
perkembangannya, Islam juga hidup di masyarakat dapat memberi dorongan kepada
penguasa non-muslim untuk memeluknya. Agama Islam di
Jawa pada masa kerajaan Islam telah menjadi agama rakyat.[6]
Adapun
penjelasan tokoh-tokoh Walisongo adalah sebagai berikut:
1. Sunan Gresik (Syekh Maulana
Malik Ibrahim)
Syekh
Maulana Malik Ibrahim berasal dari Turki, dia adalah seorang ahli tata negara
yang ulung. Syekh Maulana Malik Ibrahim datang ke pulau Jawa pada tahun 1404 M.
Jauh sebelum beliau datang, islam sudah ada walaupun sedikit, ini dibuktikan
dengan adanya makam Fatimah binti Maimun yang nisannya bertuliskan tahun 1082.[7]
Dikalangan
rakyat jelata Sunan Gresik atau sering dipanggil Kakek Bantal sangat terkenal
terutama di kalangan kasta rendah yang selalu ditindas oleh kasta yang lebih
tinggi. Sunan Gresik menjelaskan bahwa dalam Islam kedudukan semua orang adalah
sama sederajat hanya orang yang beriman dan bertaqwa tinggi kedudukannya disisi
Allah. Dia mendirikan pesantren yang merupakan perguruan islam, tempat mendidik
dan menggenbleng para santri sebagai calon mubaligh.
Di
Gresik, beliau juga memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat gresik
semakin meningkat. Beliau memiliki gagasan mengalirkan air dari gunung untuk
mengairi sawah dan ladang. Syekh Maulana Malik Ibrahim seorang walisongo
yang dianggap sebagai ayah dari walisongo. Beliau wafat di gresik pada tahun
882 H atau 1419 M.[8]
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Raden Rahmat adalah putra Syekh
Maulana Malik Ibrahim dari istrinya bernama Dewi Candrawulan.
Beliau memulai aktivitasnya dengan mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat
dengan Surabaya. Di antara pemuda yang dididik itu tercatat antara lain Raden
Paku (Sunan Giri), Raden Fatah (Sultan pertama Kesultanan Islam Bintoro,
Demak), Raden Makdum Ibrahim (putra Sunan Ampel sendiri dan dikenal sebagai
Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), dan Maulana Ishak.
Menurut Babad
Diponegoro, Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana
Manjapahit, bahkan istrinya pun berasal dari kalangan istana Raden Fatah, putra
Prabu Brawijaya, Raja Majapahit, menjadi murid Ampel. Sunan Ampel tercatat
sebagai perancang Kerajaan Islam di pulau Jawa. Dialah yang mengangkat Raden
Fatah sebagai sultan pertama Demak. Disamping itu, Sunan Ampel juga ikut
mendirikan Masjid Agung Demak pada tahun 1479 bersama wali-wali lain.
Pada
awal islamisasi Pulau Jawa, Sunan Ampel menginginkan agar masyarakat menganut
keyakinan yang murni. Ia tidak setuju bahwa kebiasaan masyarakat seperti
kenduri, selamatan, sesaji dan sebagainya tetap hidup dalam sistem
sosio-kultural masyarakat yang telah memeluk agama Islam. Namun wali-wali yang
lain berpendapat bahwa untuk sementara semua kebiasaan tersebut harus dibiarkan
karena masyarakat sulit meninggalkannya secara serentak. Akhirnya, Sunan Ampel
menghargainya. Hal tersebut terlihat dari persetujuannya ketika
Sunan Kalijaga dalam usahanya menarik penganut Hindu dan Budha, mengusulkan agar
adat istiadat Jawa itulah yang diberi warna Islam. Beliau wafat pada tahun 1478
dimakamkan disebelah masjid Ampel.[9]
3. Sunan Bonang (Raden Makdum
Ibrahim)
Nama
aslinya adalah Raden Makdum Ibrahim. Beliau Putra Sunan Ampel. Sunan Bonang
terkenal sebagai ahli ilmu kalam dan tauhid.Beliau dianggap sebagai pencipta
gending pertama dalam rangka mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa
Timur. Setelah belajar di Pasai, Aceh, Sunan Bonang kembali ke Tuban, Jawa
Timur, untuk mendirikan pondok pesantren. Santri-santri yang menjadi muridnya
berdatangan dari berbagai daerah.
Sunan
Bonang dan para wali lainnya dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan
diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang
serta musik gamelan. Mereka memanfaatkan pertunjukan tradisional itu sebagai
media dakwah Islam, dengan menyisipkan napas Islam ke dalamnya. Syair lagu
gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah
SWT. dan tidak menyekutukannya. Setiap bait lagu diselingi dengan syahadatain
(ucapan dua kalimat syahadat); gamelan yang mengirinya kini dikenal dengan
istilah sekaten, yang berasal dari syahadatain. Sunan Bonang sendiri
menciptakan lagu yang dikenal dengan tembang Durma, sejenis macapat yang
melukiskan suasana tegang, bengis, dan penuh amarah. Sunan Bonang wafat di
pulau Bawean pada tahun 1525 M.[10]
4. Sunan Giri (Raden Paku)
Sunan
Giri merupakan putra dari Maulana Ishak dan ibunya bernama Dewi Sekardadu putra
Menak Samboja. Kebesaran Sunan Giri terlihat antara lain sebagai anggota dewan
Walisongo. Nama Sunana Giri tidak bisa dilepaskan dari proses pendirian
kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak. Ia adalah wali yang secara aktif ikut
merencanakan berdirinya negara itu serta terlibat dalam penyerangan ke
Majapahit sebagai penasihat militer.[11]
Sunan
Giri atau Raden Paku dikenal sangat dermawan, yaitu dengan membagikan barang
dagangan kepada rakyat Banjar yang sedang dilanda musibah. Beliau pernah
bertafakkur di goa sunyi selama 40 hari 40 malam untuk bermunajat kepada Allah.
Usai bertafakkur ia teringat pada pesan ayahnya sewaktu belajar di Pasai untuk
mencari daerah yang tanahnya mirip dengan yang dibawahi dari negeri Pasai
melalui desa Margonoto sampailah Raden Paku di daerah perbatasan yang hawanya
sejuk, lalu dia mendirikan pondok pesantren yang dinamakan Pesantren Giri.
Tidak berselang lama hanya daam waktu tiga tahun pesantren tersebut terkenaldi
seluruh Nusantara. Sunan Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam baik
di Jawa atau nusantara baik dilakukannya sendiri waktu muda melalui berdagang
tau bersama muridnya. Beliau juga menciptakan tembang-tembang dolanan anak
kecil yang bernafas Islami, seperti jemuran, cublak suweng dan lain-lain.[12]
5. Sunan Drajat (Raden Qasim)
Sunan Drajat adalah anak bungsu Sunan Ampel dengan Dewi
Condrowati atau yang sering disebut sebagai Nyi Ageng Manila. Beliau lahir
pada tahun 1450. Nama lain dari Sunan Drajat yang terkenal adalah Raden
Qasim. Di desa Jelak, Raden Qasim mendirikan surau dan pesantren.Banyak orang
yang datang untuk berguru agama Islam kepadanya sehingga Jelak semakin ramai
dan berkembang menjadi kampung besar. Oleh karena itu nama Jelak kemudian
dirubah menjadi Banjaranyar. Beliau memperkenalkan Islam melalui konsep
dakwah bil-hikam, dengan cara-cara bijak dan tanpa
memaksa. Dalam penyampaiannya beliau menempuh lima cara. Pertama lewat
pengajian secara langsung dimasjid atau di langgar.Kedua melalui pendidikan di
pesantren.Ketiga memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan masalah. Keempat
melalui kesenian tradisional dan yang kelima menyampaikan ajaran agama melalui
ritual adat tradisional sepanjang tidak bertentangan dengan agama islam.
Sunan
Drajat juga berdakwah dengan menggunakan kesenian Jawa yang pada waktu itu
sudah mendarah daging dikalangan masyarakat.Salah satu tembang ciptaan beliau
adalah tembang Mijil. Sunan Drajat juga terkenal
dengan ajaran yang mengatakan paring teken marang kang kalunyon lan
wuto, paring pangan marang kang kaliren, paring sandhang marang kang
kudanan (memberi tongkat kepada orang buta, memberi makan kepada
orang yang kelaparan, memberi pakaian kepada yang tidak punya pakaian dan
memberi payung kepada orang yang kehujanan). Ini memang inti ajaran sosial di
dalam Islam yang akan tetap relevan sampai kapanpun.
Pada
masa akhir Majapahit terjadi krisis sosial, ekonomi, politik.Sunan Drajat
menjadi juru bicara yang membela rakyat tertindas.Beliau mengecam tindakan elit
politik yang waktu itu hanya mengejar kekuasaan demi kenikmatan pribadi. Dalam
bidang sastra budaya beliau menciptakan:
1) Berpartisipasi dalam
pembangunan masjid Demak
2) Membantu Raden Patah
3) Tembang Pangkur.[13]
6. Sunan Kalijaga (Raden Sahid)
Nama
aslinya adalah Raden Sahid, beliau putra Raden Sahur putra Temanggung Wilatika
Adipati Tuban. Raden Sahid sebenarnya anak muda yang patuh dan kuat kepada
agama dan orang tua, tapi tidak bisa menerima keadaan sekelilingnya yang
terjadi banyak ketimpangan, hingga dia mencari makanan dari gudang kadipaten
dan dibagikan kpeada rakyatnya. Tapi ketahuan ayahnya, hingga dihukum yaitu tangannya
dicampuk 100 kali sampai banyak darahnya dan diusir.
Setelah
diusir selain mengembara, ia bertemu orang berjubah putih, dia adalah Sunan
Bonang. Lalau Raden Sahid diangkat menjadi murid, lalu disuruh menunggui
tongkatnya di depan kali sampai berbulan-bulan sampai seluruh tubuhnya
berlumut. Maka Raden Sahid disebut Sunan Kalijaga.
Sunan
kalijaga menggunakan kesenian dalam rangka penyebaran Islam, antara lain dengan
wayang, sastra dan berbagai kesenian lainnya. Pendekatan jalur kesenian
dilakukan oleh para penyebar Islam seperti Walisongo untuk menarik perhatian di
kalangan mereka, sehingga dengan tanpa terasa mereka telah tertarik pada
ajaran-ajaran Islam sekalipun, karena pada awalnya mereka tertarik dikarenakan
media kesenian itu. Misalnya, Sunan Kalijaga adalah tokoh seniman wayang. Ia
itdak pernah meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat
syahadat. Sebagian wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana,
tetapi di dalam cerita itu disispkan ajaran agama dan nama-nama pahlawan Islam.[14]
7. Sunan Kudus (Ja’far Sadiq)
Sunan
Kudus menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya. Beliau memiliki
keahlian khusus dalam bidang agama, terutama dalam ilmu fikih, tauhid, hadits,
tafsir serta logika. Karena itulah di antara walisongo hanya ia yang mendapat
julukan wali al-‘ilm (wali yang luas ilmunya), dank arena
keluasan ilmunya ia didatangi oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di
Nusantara.
Ada
cerita yang mengatakan bahwa Sunan Kudus pernah belajar di Baitul Maqdis,
Palestina, dan pernah berjasa memberantas penyakit yang menelan banyak korban
di Palestina. Atas jasanya itu, oleh pemerintah Palestiana ia diberi ijazah
wilayah (daerah kekuasaan) di Palestina, namun Sunan Kudus mengharapkan hadiah
tersebut dipindahkan ke Pulau Jawa, dan oleh Amir (penguasa setempat)
permintaan itu dikabulkan. Sekembalinya ke Jawa ia mendirikan masjid di daerah
Loran tahun 1549, masjid itu diberi nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar (Masjid
Menara Kudus) dan daerah sekitanya diganti dengan nama Kudus, diambil dari nama
sebuah kota di Palestina, al-Quds. Dalam melaksanakan dakwah dengan pendekatan
kultural, Sunan Kudus menciptakan berbagai cerita keagamaan. Yang paling
terkenal adalah Gending Makumambang dan Mijil.[15]
Cara-cara berdakwah Sunan Kudus adalah sebagai
berikut:
a. Strategi pendekatan
kepada masa dengan jalan
1. Membiarkan adat istiadat lama yang sulit diubah
2. Menghindarkan konfrontasi secara langsung dalam
menyiarkan agama islam
3. Tut Wuri Handayani
4. Bagian adat istiadat yang tidak sesuai dengan
mudah diubah langsung diubah.
b. Merangkul masyarakat Hindu seperti larangan
menyembelih sapi karena dalam agama Hindu sapi adalah binatang suci dan
keramat.
c. Merangkul masyarakat
Budha
Setelah
masjid, terus Sunan Kudus mendirikan padasan tempat wudlu denga pancuran yang
berjumlah delapan, diatas pancuran diberi arca kepala Kebo Gumarang diatasnya
hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha “ Jalan berlipat delapan atau asta
sunghika marga”.
d. Selamatan Mitoni
Biasanya
sebelum acara selamatan diadakan membacakan sejarah Nabi.
Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 M dan
dimakamkan di Kudus. Di pintu makan Kanjeng Sunan Kudus terukir kalimat asmaul
husna yang berangka tahun 1296 H atau 1878 M.[16]
8. Sunan
Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria adalah putera pertama Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh
binti Maulana Ishak. Nama asli beliau adalah Raden Umar Said, sedang nama
kecilnya adalah Raden Prawoto. Dalam berdakwah, Sunan Muria meniru cara yang
telah dilakukan dengan sukses oleh ayahandanya, yaitu menggunakan alat musik
Jawa (gamelan). Sasaran yang digarap oleh Sunan Muria adalah masyarakat yang
bertempat tinggal di pedesaan, jauh dari pusat pemerintahan maupun kota. Oleh
karena itu, Sunan Muria membangun pesantren di lereng gunung Muria, dan karena
itulah gelar Sunan Muria diberikan oleh masyarakat.[17]
Beliau
adalah putra dari Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar
Said, dalam berdakwah ia seperti ayahnya yaitu menggunakan cara halus, ibarat
menganbil ikan tidak sampai keruh airnya. Muria dalam menyebarkan agama Islam.
Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan dan rakyat jelata. Beliau
adalah satu-satunya wali yang mempertahankan kesenian gamelan dan wayang
sebagai alat dakwah dan beliau pulalah yang menciptakan tembang Sinom dan
kinanthi. Beliau banyak mengisi tradisi Jawa dengan nuansa Islami seperti
nelung dino, mitung dino, ngatus dino dan sebagainya.
Lewat
tembang-tembang yang diciptakannya, sunan Muria mengajak umatnya untuk
mengamalkan ajaran Islam. Karena itulan sunan Muria lebih senang berdakwah pada
rakyat jelata daripada kaum bangsawan. Cara dakwah inilah yang menyebabkan suna
Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwak tapa ngeli yaitu
menghanyutkan diri dalam masyarakat.[18]
9. Sunan
Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah, beliau lahir di Makkah.
Banyak versi yang menceritakan tentang keberadaan Sunan Gunungjati ini, tetapi
cerita yang termasyhur adalah menikahnya Sunan Gunungjati dengan seorang puteri
Cina bernama Ong Tien, yang kemudian namanya diganti dengan Nyai Ratu Rara
Semanding.
Sunan
Gunung Jati memang mempunyai hubungan baik dengan kaisar Cina. Dalam rangka
menjalin hubungan baik tersebut, pada tahun 1479 beliau berkunjung ke Cina dan
bertemu dengan kaisar Hong Gie, serta berkenalan dengan sekretaris kerajaan
bernama Ma Huan, Jendral Ceng Ho, dan Fei Hsin. Ketiga tokoh itu telah memeluk
agama Islam.Disini Sunan Gunungjati membuka praktek pengobatan,dan banyak
masyarakat Cina yang berobat kepadanya.Kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya
oleh beliau untuk berdakwah.
Setelah
selesai menuntut ilmu pada tahun 1470 dia berangkat ketanah Jawa untuk
mengamalkan ilmunya. Disana beliau bersama ibunya
disambut gembira oleh pangeran Cakra Buana.
Syarifah Mudain minta agar diizinkan tinggal dipasumbangan Gunung
Jati dan disana mereka membangun pesantren untuk meneruskan usahanya Syeh Datuk
Latif gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena itu Syarif
Hidayatullah dipanggil sunan gunung Jati. Lalu ia dinikahkan dengan putri Cakra
Buana Nyi Pakung Wati kemudian ia diangkat menjadi pangeran Cakra Buana yaitu pada
tahun 1479 dengan diangkatnya ia sebagai pangeran dakwah islam dilakukannya
melalui diplomasi dengan kerajaan lain.
Setelah
Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah Kerajaan Islam yang bebas dari
kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi kerajaan yang
belum menganut agama Islam. Dari Cirebon, ia mengembangkan agama Islam ke
daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh),
Sunda Kelapa, dan Banten.
Sunan
Gunungjati membangun masjid pada tahun 1480 yang diberi nama Masjid Agung Sang
Ciptarasa. Pembangunan
masjid ini mendapat bantuan penuh dari Sultan Demak dan Walisongo. Bahkan juga
diceritakan bahwa Sunan Kalijogo ikut menyumbangkan sebuah tiang tatal. Masjid
ini juga sering dijadikan pusat pertemuan Walisongo untuk membicarakan
masalah-masalah yang dihadapi pada saat itu.[19]
B. Peran Walisongo
dalam Penyebaran dan Perkembangan Islam di Indonesia
Sejarah
walisongo berkaitan dengan penyebaran Dakwah Islamiyah di Tanah Jawa. Sukses
gemilang perjuangan para Wali ini tercatat dengan tinta emas.Dengan didukung
penuh oleh kesultanan Demak Bintoro, agama Islam kemudian dianut oleh sebagian
besar manyarakat Jawa, mulai dari perkotaan, pedesaan, dan pegunungan.Islam
benar-benar menjadi agama yang mengakar.[20]
Para wali ini
mendirikan masjid, baik sebagai tempat ibadah maupun sebagai tempat mengajarkan
agama. Konon, mengajarkan agama di serambi masjid ini, merupakan lembaga
pendidikan tertua di Jawa yang sifatnya lebih demokratis. Pada masa awal
perkembangan Islam, sistem seperti ini disebut ”gurukula”, yaitu seorang
guru menyampaikan ajarannya kepada beberapa murid yang duduk di depannya,
sifatnya tidak masal bahkan rahasia seperti yang dilakukan oleh Syekh Siti
Jenar. Selain prinsip-prinsip keimanan dalam Islam, ibadah, masalah moral juga
diajarkan ilmu-ilmu kanuragan, kekebalan, dan bela diri.
Sebenarnya
Walisongo adalah nama suatu dewan da’wah atau dewan mubaligh. Apabila ada salah
seorang wali tersebut pergi atau wafat maka akan segera diganti oleh walilainnya. Era
Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara
untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam
di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan.
Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa,
juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara
langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding
yang lain.[21]
Kesembilan
wali ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam penyebaran agama Islam di
pulau Jawa pada abad ke-15. Adapun peranan walisongo dalam penyebaran agama
Islam antara lain:
1.
Sebagai pelopor penyebarluasan agama Islam kepada masyarakat yang belum banyak mengenal ajaran Islam di
daerahnya masing-masing.
2. Sebagai
para pejuang yang gigih dalam membela dan mengembangkan agama Islam di masa
hidupnya.
3. Sebagai
orang-orang yang ahli di bidang agama Islam.
4. Sebagai
orang yang dekat dengan Allah SWT karena terus-menerus beribadah kepada-Nya,
sehingga memiliki kemampuan yang lebih.
5. Sebagai
pemimpin agama Islam di daerah penyebarannya masing-masing, yang mempunyai
jumlah pengikut cukup banyak di kalangan masyarakat Islam.
6. Sebagai
guru agama Islam yang gigih mengajarkan agama Islam kepada para muridnya.
7. Sebagai
kiai yang menguasai ajaran agama Islam dengan cukup luas.
8. Sebagai
tokoh masyarakat Islam yang disegani pada masa hidupnya.
Berkat
kepeloporan dan perjuangan wali sembilan itulah, maka agama Islam menyebar ke
seluruh pulau Jawa bahkan sampai ke seluruh daerah di Nusantara.[22]
Kesimpulan
Setelah
walisongo datang ke Jawa, Islam menjadi semakin diminati sebagai agama
masyarakat sekitar.Seperti contohnya yaitu ajaran yang di ajarkan oleh Sunan
Gresik bahwa dalam Islam tidak mengenal kasta. Ini menunjukkan bahwa semua
manusia itu sama derajatnya dimata manusia, hanya saja akan berbeda derajat
tersebut dihadapan Allah bagi orang-orang yang beriman dan paling bertaqwa.
Dengan statement seperti itu, ternyata masyarakat sekitar yang pada awalnya
menduduki kasta Sudra, akhirnnya memilih Islam sebagai agama mereka yang tidak
mengenal pengkastaan.Kemudian Sunan Kalijogo dengan kekhasannya dalam
mendakwahkan Islam melalui kesenian wayang yang digemari masyarakat pada waktu
itu, ternyata juga mengundang minat masyarakat untuk memasuki agama Islam
sebagai agama ketauhidan yang mengenal Allah sebagai Tuhan mereka. Dan otomatis
masyarakat dengan sendirinya meninggalkan ajaran animisme dan dinamisme oleh
nenek moyang mereka. Dan masih banyak lagi peran Sunan-sunan yang dengan
trik-triknya mendakwahkan Islam di Jawa melalui pesantren, pembangunan masjid,
tembang Jawa, gamelan, serta hal-hal lain yang mengundang minat
masyarakat pada waktu itu sehingga Islam meluas di Jawa sampai dewasa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Dupriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban
Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Ibrahim, Tatang, Sejarah
Kebudayaan Islam, Madrasah Tsanawiyah Untuk Kelas IX Semester 1 dan 2, Bandung:
CV ARMICO, 2009.
Munir,
Samsul, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010.
PaeEni,
Mukhlis, Sejarah Kebudayaan Indonesia (Religi dan Filsafat),
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.
“Peranan
Walisongo dalam penyebaran agama islam di Indonesia”, http://id.shvoong.com/humanities/history/2183822-peranan-walisongo
dalampenyebaran agama/#ixzz2Qgi7upKQ, (diakses pada 30 Mei 2014).
Qurtuby, Sumanto Al, Arus
Cina-Islam-Jawa, Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003.
Saifullah, Sejarah
dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010.
Simon, Hasanu, Misteri Syekh
Siti Jenar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Sofwan, Ridin,
dkk, Islamisasi Islam di Jawa Walisongo, Penyebar Islam di Jawa,
Menurut Penuturan Babad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Sutrisno,
Budiono Hadi, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa, Yogyakarta:
GRAHA Pustaka, 2009.
Su’ud,
Abu, Islamologi (Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat
Manusia),Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003.
Syukur,
Fatah, Sejarah Peradaban Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra,
2010.
Yatim,
Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Grafindo Persada,
1994.
[1]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
Grafindo Persada, 1994), h. 191.
[2]Mukhlis PaeEni, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Religi
dan Filsafat), ( Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 76.
[3] Tatang
Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah Tsanawiyah Untuk Kelas IX
Semester 1 dan 2, (Bandung,: CV ARMICO, 2009), h. 25-26.
[4]Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), h. 21- 22.
[5]Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah
Jawa, (Yogyakarta: GRAHA Pustaka, 2009), h. 16.
[6] Dedi
Dupriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008),
h. 196-197.
[7]Abu Su’ud, Islamologi (Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam
Peradaban Umat Manusia),(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), h.
125.
[8]Abu Su’ud, Islamologi (Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam
Peradaban Umat Manusi) , (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), h. 194.
[9]Ibid, h.195.
[10]Fatah syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang : PT. Pustaka
Rizki Putra, 2010), h. 196.
[11]Ridin Sofwan, dkk, Islamisasi Islam di Jawa Walisongo, Penyebar
Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), h. 65.
[12]Fatah syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang : PT. Pustaka
Rizki Putra, 2010), h. 198.
[13] Hasanu
Simon, Misteri Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), h. 232-234.
[14]Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah,
2010), h. 308.
[15]Tatang
Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah Tsanawiyah Untuk Kelas IX
Semester 1 dan 2, (Bandung,: CV ARMICO, 2009)h. 33.
[16]Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah
Jawa, (Yogyakarta: GRAHA Pustaka, 2009), h. 130.
[17] Sumanto Al
Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya
Press, 2003), h. 258.
[18]Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah
Jawa, (Yogyakarta: GRAHA Pustaka, 2009), h. 137-138.
[19]Sumanto Al
Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta:
Inspeal Ahimsakarya Press, 2003), h. 252.
[20] Budiono Hadi
Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa,.. h.
5
[21] Mukhlis PaEni,
Sejarah Kebudayaan Indonesia (Sistem
Sosial), (Jakarta
: PT. RajaGrafindo Persada, 2009), h. 128-129.
[22]“Peranan Walisongo dalam penyebaran agama islam”, http://id.shvoong.com/humanities/history/2183822-peranan-walisongo-dalam-penyebaran agama/#ixzz2Qgi7upKQ,
(diakses pada 30 Mei 2014).