Intelektual Sosial Profetik Paradigma
Kuntowijoyo Sebagai Salah Satu Gerakan Pembebasan (Perspektif Q.S Ali
Imran:110)
كُنتُمۡ خَيۡرَ
أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ
وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡكِتَٰبِ لَكَانَ خَيۡرٗا
لَّهُمۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَكۡثَرُهُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ١١٠
110. kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik.
Dalam kajian ayat diatas kuntowijoyo
mengaplikasikan dasar intelektual social profetik melalui 3 unsur etika menuju
profetik yaitu adanya sebuah humanisasi, liberasi, dan trasendensi.
Dalam bahasa agama, konsep humanisasi[1]
sudah lama kita kenal dengan sebutan hablun min al-nas. Paradigma
tersebut, Kuntowijoyo dalam pemikirannya telah mengkorelasikan dengan sebuah
penggalan ayat 110 surat ali Imran amar ma’ruf. Mengenai penafsirannya,
asal makna kata tersebut adalah sebuah anjuran untuk menegakkan kebajikan, hal
ini direkontruksi dalam menifesto untuk menegakkan dimensi dan potensi positif
manusia kepada petunjuk ilahi (nur) dalam rangka mencapai keadaan fitrah.[2]
Humanisasi sebelumnya dalam kanca paradigma
barat telah muncul diera renaissance dengan tujuan utama untuk
memulihkan martabat manusia. Lahirnya humanisme barat akibat pemberontakan
terhadap kekuasaan Gereja yang bersifat dogmatis pada abad pertengahan. Pada
waktu itu dunia barat sedang terkukung oleh paham keagamaan yang seolah-olah
membelenggu manusia sehingga manusia tidak memiliki daya untuk mencapai
kesadaran diri, kemerdekaan, kebebasan, dan kedaulatan atas diri dan alam.
Untuk menjauhkan dari dogma-dogma kaum gereja, manusia mulai sadar akan dirinya
sebagai antroposentris sehingga muncul ilmu pengetahuan dan peradaban
modern sebagai manifesto pembebasan atas keterpurukan pada abad pertengahan. Akan tetapi damapak
adanya sebuah antroposentris[3],
mengakibatkan manusia mengalami degradasi moral dan keterasingan dari dirinya
sendiri dan lupa pada hakikatnya. Diera ini justru muncul adanya sebuah
perbudakan kembali melalui system kapitalis.
Melihat kenyataan seperti ini,
Kuntowijoyo mengusulkan humanisasi teosentris sebagai ganti dari humanisasi
antroposentris untuk mengangkat kembali martabat manusia. Berangkat dari
konsep iman dan amal soleh dipandang dapat menghindarkan terjadinya dehumanisasi[4].
Iman adalah konsep teosentris dengan tuhan sebagai pusat pengabdian, sementara amal
adalah konsep humanisasi dengan dimaksudkan sebagai aksi kemanusiaan yang mana
kedua ini saling berkaitan atau berhubungan yang tidak dapat dipisahkan.
Berdasarkan pandangan diatas, maka humanisasi
teosentris adalah sebuah ajaran iman dan amal yang dimanifestasikan secara
trasendensi dan tidak secara rasional sebagaimana dalam nilai-nilai antroposentris.
Hal ini diperlukan karena masyarakat sedang berada dalam tiga keadaan akut,
yaitu dehumanisasi karena aksi manusia tergantikan dengan alat teknologi,
agresifitas kolektif karena ketidakadilan social yang menyebabkan kekumuhan,
kemiskinan, dan pengangguran pada kaum mutadhafin, dan loneliness[5]
terjadi karena individuasi oleh kelas menengah keatas.
Adapun konsep liberasi dimanifestasikan
dari kata nahi munkar yang berarti melarang atau mencegah segala tindak
kejahatan yang merusak. Kata tersebut dapat dikorelasikan kedalam bahasa ilmu
sebagai bentuk pembebasan – mencegah –
dari kebodohan, kemiskinan, ataupun penindasan.
Sebetulnya kata tersebut berasal dari unsur
kata teologi pembebasan yang lahir dari tradisi pemikiran Katolik di Amerika
Latin pada tahun 1960-an sebagai kekuatan moral dan social untuk melakukan
praksisi liberatif dan emansipatoris. Adapun liberasi yang dimaksud
Kuntowijoyodalam ilmu social profetik adalah konteks ilmu yang didasari
nilia-nilai luhur trasendental yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan
manusia dari kekejaman, kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur
yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu.
Fenomena kemiskinan yang lahir dari
ketimpangan ekonomi adalah bagian penting dari proyek liberasi. Selanjutnya
Kuntowijoyo menjabarkan empat sasaran liberasi yaitu: system pengetahuan,
system social, system ekonomi, dan system politik yang membelenggu manusia sehingga
tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia.
Sasaran liberasi dari system pengetahuan adalah berupa usaha – usaha untuk
membebaskan orang dari belenggu system pengetahuan yang materealistik dari
dominasi structural. Selanjutnya liberasi dari system social membebaskan
keterpurukan dalam industrial[6] kembali
pada agraris dengan melihat nilai-nilai pada sebuah obyek penelitian,
komunitas. Adapun system ekonomi dilakukan untuk memperbaiki kesenjangan dan
kemiskinan dengan nilai-nilai keadilan. Sedangkan liberasi system politik
tertuju pada pembebasan dari otoriterianisme[7],
kediktatoran dan neofeodalisme[8].
Unsur yang ketiga merupakan unsur
terpenting dan dasar dari unsur lain yang tidak dapat dipisahkan, yaitu
trasendensi dengan bahsa agama adalah hablu min Allah. Unsur ini
merupakan manifestasi dari kata tu’minuna bi Allah yaitu sebuah bentuk
ketahuidan. Trasendensi memberikan arah dan tujuan dalam unsur humanisasi dan
liberasi. Sebagai contoh, liberasi dalam konteks kemiskinan dapat dilakukan
dengan cara menghancurkan para penguasa dari system kapitalis menuju system
ekonomi yang berkeadilan.
Dalam memaknai trasendensi lebih dalam
lagi Roger menjabarkan dengan tiga perspektif: pertama, mengakui
ketergantungan manusia kepada penciptanya – mengatasi naluri-naluri manusia
seperti keserakahan dan nafsu berkuasa –, kedua, mengakui kontinuitas
dan ukuran bersama antara tuhan dan manusia. Ketiga, mengakui keunggulan
norma-norma mutlak yang melampaui akal manusia. Dengan demikian trasendensi
merupakan perwujudan tidak hanya pada hubungan kerohanian antara manusia dan
tuhannya, melainkan juga keterkaitan dengan hubungan social.
[1] Humanisasi adalah memanusiakan manusia untuk menghilangkan sifat
kebendaan, ketergantungan, kekerasan, dan kebencian dari manusia menuju
transformatif.
[2] Fitrah adalah keadaan dimana manusia mendapatkan posisinya sebagai
makhluk yang mulia sebagai kodrat kemanusiaannya
[3] Berpusat pada manusia itu sendiri, manusi berkuasa akan alam semesta.
[4] Terjatuhnya martabat kemanusiaan pada tempat yang tidak semestinya
(tidak sesuai fitrah)
[5] Sifat individualisme.
[6] System ini berwujud pada pengkelompokkan social, pendidikan, dan
kepemimpinan
[7] Kekuasaan tunggal
[8] Penguasa wilayah, karakteristik masyarakat dengan corak sifat
kebangsawanan