Pemikiran dan Dakwah Kultur KH. Ahmad Dahlan Sebagai Refleksi Gerakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

PEMIKIRAN DAN GERAKAN DAKWAH KULTUR KH. A. DAHLAN SEBAGAI REFLEKSI KEMBALI TERHADAP GERAKAN IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH


 


 
 

Disusun oleh:

 

Azid Zainuri

PC IMM SURABAYA

 

 

 

 

 DARUL ARQAM MADYA

PIMPINAN CABANG IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH BULAKSUMUR-KARANGMALANG

KABUPATEN SLEMAN

2015

 

 

A.        PENDAHULUAN

Secara umum Muhammadiyah adalah gerakan keagamaan dan kemasyarakatan. Hal ini sebagaimana paradigma KH. A. Dahlan dalam mendirikan Muhammadiya, pemikiran beliau adalah mengembalikan nilai-nilai keislaman yang sebenar-benarnya yaitu bersumber dari Al-quran dan As-sunah[1].

Dakwah KH. A. Dahlan dikala itu dikarenakan munculnya sifat TBC (tahayul, Bit’ah dan Kurafat) yang mereja lelah. Dengan dakwah beliau dan para santrinya sifat ini kemudian berkurang. Namun seiring zaman, manusia kembali memiliki sifat TBC dengan versi yang berbeda. Di era globalisasi dan teknologi sekarang inilah virus kesesatan yang tersembunyi kembali melanda dunia kususnya islam.

Banyak sekali para remaja sekarang sikap karakter mereka kacau balau dan tidak terarah, padahal dalam pendidikan nasional telah dicetuskan 18 karakter[2] bangsa yang semestinya sudah diberikan di sekolah atau setiap kurikulum yang ada di satuan pendidikan. Namun para remaja, tidak mengerti akan karakter yang baik dan buruk. Hal ini dikarenakan alat teknologi lebih canggi, misalnya dalam media sosial seperti facebook, twitter, bbm kebanyakan sebagai ajang share informasi negatif bagi kalangan tertentu sehingga menjadikan respon yang negatif pula bagi para remaja, dan dengan media sosial ini para remaja lebih tidak memiliki sikap sosial secara konkrit. Selain itu internet juga merupakan salah satu dampak negatif dari kecanggihan teknologi disebagian besar remaja.

Dengan mengimbangi adanya kerusakan moral ini, perlu adanya refleksi pemikiran dan dakwah kultur KH. A. Dahlan, sehingga para mubaligh dakwah dan pendidik yang ada di muhammadiyah khususnya dan para mubaligh dan pendidik yang ada di Indonesia umumnya lebih memiliki bekal dan cara yang efesien dalam memberantas sifat karakter remaja yang bersifat negatif.

 

B.        PEMBAHASAN

1.      Riwayat Hidup KH. KH. A. Dahlan

K.H. KH. A. Dahlan dilahirkan di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 dan meninggal pada tanggal 23 Februari 1923.[3] Beliau adalah pendiri Muhammadiyah. Beliau adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. K.H. Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogjakarta pada masa itu. Ibu dari K.H. KH. A. Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. K.H. KH. A. Dahlan meninggal dunia di Yogyakarta, tanggal 23 Februari 1923. Beliau juga dikenal sebagai seorang Pahlawan Nasional Indonesia.

Nama kecil K.H. KH. A. Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Walisongo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (KH. A. Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.

Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Makkah selama lima tahun. Pada periode ini, KH. A. Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi KH. A. Dahlan. Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Makkah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.

Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai KH. A. Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. KH. A. Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Disamping itu KH. KH. A. Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. KH. A. Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta. Beliau dimakamkan di KarangKajen, Yogyakarta.

2.      Pemikiran KH. KH. A. Dahlan

Secara formal KH. KH. A. Dahlan dapat dikatakan tidak pernah memperoleh pendidikan namun diperoleh secara otodidak. Ketika menjelang dewasa, belau kemudian belajar berbagai ilmu agama seperti ilmu fiqih, ilmu nahwu, ilmu falaq, dan ilmu hadits[4], dari berbagai ilmu yang dipelajarinya menjadikan tumbuhnya sifat KH. A. Dahlan yang arif dan tajam pemikirannya serta memiliki pandangan yang jauh ke depan.

Dari berbagai kajian ilmu agama yang dipelajari KH. A. Dahlan membuat pemikiran beliau bertambah, adapun pokok-pokok pemikiran beliau adalah:

Pertama, dalam bidang aqidah, pandangan beliau sejalan dengan pandangan dan pemikiran ulama’ salaf. Kedua, menurut beliau bahwa beragama itu adalah beramal; artinya berkarya dan berbuat sesuatu, melakukan tindakan sesuai dengan isi pedoman al-Qur’an dan as-Sunnah. Orang yang beragama ialah oaring menghadapkan jiwanya dan hidupnya kepada Allah yang dibuktikan dengan tindakan dan perbuatan seperti rela berkorban baik harta benda miliknya dan dirinya., serta bekerja dalam kehidupannya untuk Allah. Ketiga, dasar pokok hukum islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika keduanya tidak ditemukan kaidah hukum yang eksplisit maka ditentukan berdasarkan kepada penalaran dengan mempergunakan berpikir logis serta ijma’ dan qiyas. Keempat, terdapat jalan untuk memahami al-Qur’an yaitu: memahami artinya, memahami maksudnya, selalu bertanya kepada diri sendiri, apakah larangan dan perintah agama yang telah diketahui sudah ditinggal dan perintah agamanya telah dikerjakan, serta tidak mencari ayat lain sebelum isi sebelumnya dikerjakan. Kelima, beliau menyatakan bahwa tindakan nyata adalah wujud kongkrit dari penterjemahan al-Qur’an yang dilandasi dengan kemampuan akal pikiran (ilmu logika). Keenam, beliau memiliki pedoman hidup  untuk selalu menanamkan gerak hati untuk selalu maju dengan landasan moral dan keikhlasan dalam beramal. Ketujuh, selalu melek ilmu pengetahuan yang selalu berkembang sesuai zamannya.[5]

Adapun menurut R.H Hadijid, ada terdapat tujuh kerangka pemikiran KH. A. Dahlan:

a)      Ulama’ adalah orang yang berilmu dan hatinya hidup, serta mengembangkan ilmunya dengan ikhlas karena  keikhlasan dilukiskan sebagai seseorang yang mengerti hakikat hidup.

b)     Untuk mencari kebenaran, oerang tidak boleh merasa benar sendiri. Oleh karena itu orang tersebut harus berani berdialog dan diskusi dengan semua pihak walaupun dengan  orang atau golongan yang bertentangan dan berbeda pendapat.

c)      Bersedia merubah pemikiran dengan sikap terbuka. Orang yang bersikap terbuka tidak akan mengikatkan diri kepada tradisi dan rutinitas.

d)     Dalam mencapai hidup, manusia harus bekerjasama dan dengan mempergunakan akal.

e)      Cara mengambil keputusan yang benar harus dilakukan dengan kesediaan mendengarkan segala pendapat, berdiskusi dan membandingkan serta menimbang baru kemudian memutuskan sesuai akal fikiran.

f)       Berani mengorbankan harta benda dan milik untuk membela dan menegakkan kebenaran.

g)      Mempelajari teori-teori pengetahuan dan keterampilan melalui proses bertingkat.[6]

3.      Dakwah Kultur KH. KH. A. Dahlan

Dakwah kultural adalah aktivitas dakwah yang menekankan pendekatan Islam kultural. Islam kultural adalah salah satu pendekatan yang berusaha meninjau kembali kaitan doktrin yang formal antara Islam dan politk atau Islam dan Negara.[7]  Dakwah kultural hadir untuk mengukuhkan kearifan-kearifan lokal yang ada pada suatu pola budaya tertentu dengan cara memisahkannya dari unsur-unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai. Dakwah kultural tidak menganggap power politik sebagai satu-satunya alat perjuangan dakwah. Dakwah kultural menjelaskan, bahwa dakwah itu sejatinya adalah membawa masyarakat agar mengenal kebaikan universal, kebaikan yang diakui oleh semua manusia tanpa mengenal batas ruang dan waktu.[8]

Dalam dakwah kultur KH. A. Dahlan sebagaimana beliau terlibat aktif dalam sistem kekuasaan Kerajaan Jawa sebagai pejabat keagamaan, bukan pedagang, dan prestasi duniawi bukan tujuan final, melainkan mediasi prestasi sesudah mati. Reformasi sosial budaya gerakan ini terus berlangsung hampir tanpa contoh dalam sejarah dan pemikiran pembaru Islam di berbagai belahan dunia. KH. A. Dahlan bisa dipastikan tidak pernah membaca karya Max Weber yang belum pernah berkunjung ke negeri ini. Jika terdapat kesesuaian gagasan dan kerja sosial keagamaan Dahlan dengan tesis Weber dan tradisi Calvinis, mungkin lebih sebagai ”insiden sosiologis” sunnatullah atau hukum alam.

Gagasan dasar Dahlan terletak pada kesejajaran kebenaran tafsir Al Quran, akal suci, temuan iptek, dan pengalaman universal kemanusiaan. Belajar filsafat baginya adalah kunci pengembangan kemampuan akal suci, selain belajar pada pengalaman beragam bangsa dan pemeluk agama. Dari sini diperoleh pengetahuan tentang bagaimana mencapai tujuan penerapan ajaran Islam, yaitu penyelamatan kehidupan umat manusia di dunia berdasarkan cinta kasih. Sikap K.H. A. Dahlan dipraktekkan dalam misi dahwahnya untuk mengubah arah kiblat masjid-masjid Yogyakarta termasuk Masjid Kerathon yang dinilainya tidak tepat, dan kaena itu perlu diubah arahnya.

KH. A. Dahlan tidak serta merta menyuruh mengubah arah kiblat secara sepihak. Sebagai pembaru, ia lebih menekankan adanya dialog untuk meyakinkan sasaran dahwahnya, atau orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Karena menurut KH. A. Dahlan dialog merupakan alat atau sarana untuk mencapai kebenaran.

Haji Majid, seorang murid K.H. KH. A. Dahlan menuliskan pengalamannya dalam risalah singkat Falsafah Ajaran K.H. KH. A. Dahlan. Setidaknya ada tujuh dakwah kutur KH. A. Dahlan yaitu:

Pertama; Mengutip perkataan al-Ghazali, K.H. KH. A. Dahlan mengatakan bahwa manusia itu semuanya mati (perasaannya) kecuali para ulama yaitu orang-orang yang berilmu. Dan ulama itu senantiasa dalam kebingungan kecuali mereka yang beramal. Dan yang beramal pun semuanya dalam kekhawatiran kecuali mereka yang ikhlas dan bersih.

Kedua; Kebanyakan mereka di antara manusia berwatak angkuh dan takabur. Mereka mengambil keputusan sendiri-sendiri. K.H. KH. A. Dahlan heran kenapa pemimpin agama dan yang tidak beragama selalu hanya beranggap, mengambil keputusan sendiri tanpa mengadakan pertemuan antara mereka, tidak mau bertukar pikiran memperbincangkan mana yang benar dan mana yang salah. Hanya anggapan-anggapan saja, disepakatkan dengan istrinya, disepakatkan dengan muridnya, disepakatkan dengan teman-temannya sendiri. Tentu saja akan dibenarkan. Tetapi marilah mengadakan permusyawaratan dengan golongan lain di luar golongan masing-masing untuk membicarakan manakah yang sesungguhnya yang benar dan manakah sesungguhnya yang salah.

Ketiga; Manusia kalau mengerjakan pekerjaan apapun, sekali, dua kali, berulang-ulang, maka kemudian menjadi biasa. Kalau sudah menjadi kesenangan yang dicintai. Kebiasaan yang dicintai itu sukar untuk dirubah. Sudah menjadi tabiat bahwa kebanyakan manusia membela adat kebiasaan yang telah diterima, baik dari sudut i’tiqat, perasaan kehendak maupun amal perbuatan. Kalau ada yang akan merubah sanggup membela dengan mengorbankan jiwa raga. Demikian itu karena anggapannya bahwa apa yang dimilikinya adalah benar.

Keempat; Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus sama-sama menggunakan akal pikirannya untuk memikirkan bagaimana sebenarnya hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia. Manusia harus mempergunakan pikirannya untuk mengoreksi soal i‘tikad dan kepercayaannya, tujuan hidup dan tingkah lakunya, mencari kebenaran yang sejati.

Kelima; Setelah manusia mendengarkan pelajaran-pelajaran fatwa yang bermacam-macam membaca beberapa tumpuk buku dan sudah memperbincangkan, memikirkan, menimbang, membanding-banding ke sana ke mari, barulah mereka dapat memperoleh keputusan, memperoleh barang benar yang sesungguhnya. Dengan akal pikirannya sendiri dapat mengetahui dan menetapkan, inilah perbuatan yang benar. Sekarang kebiasaan manusia tidak berani memegang teguh pendirian dan perbuatan yang benar karena khawatir, kalau barang yang benar, akan terpisah dan apa-apa yang sudah menjadi kesenangannya, khawatir akan terpisah dengan teman-temannya.

Keenam; Kebanyakan para pemimpin belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah.

Ketujuh; Ilmu terdiri atas pengetahuan teori dan amal (praktek). Dalam mempelajari kedua ilmu itu supaya dengan cara bertingkat. Kalau setingkat saja belum bisa mengerjakan maka tidak perlu ditambah.

Bagi KH. A. Dahlan, ajaran Islam tidak akan membumi dan dijadikan pandangan hidup pemeluknya, kecuali dipraktikkan. Betapapun bagusnya suatu program, menurut Dahlan, jika tidak dipraktikkan, tak bakal bisa mencapai tujuan bersama. Karena itu, KH. A. Dahlan tak terlalu banyak mengelaborasi ayat-ayat Al-Qur’an, tapi ia lebih banyak mempraktekkannya dalam amal nyata.

Tafsirnya KH. A. Dahlan atas surat Ali ’Imran Ayat 104, basis teologis organisasi modern sebagai instrumen ritus dan pemecahan problem kehidupan manusia, tidak dtemukan dalam tafsir klasik.

Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali Imran; 104).[10]

Demikian pula tafsir surat Al-Ma’un sebagai referensi aksi pemberdayaan kaum tertindas atas pertimbangan pragmatis dan humanis, seperti aksi pemberdayaan kaum perempuan di ruang publik.

Artinya : Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat ria. dan enggan (menolong dengan) barang berguna.

Kecenderungan ideologisasi tafsir Salafi di atas bisa dilihat dari tumpang tindih ajaran Islam otentik dan ajaran Islam sebagai tasfir tersebut. Keyakinan kebenaran mutlak dan kesempurnaan ajaran Islam kemudian diterapkan pada tafsir Salafi yang dikukuhkan melalui hierarki kekudusan sejarah yang menempatkan generasi sahabat lebih kudus dan lebih benar dari generasi tabi’in (pascasahabat) dan seterusnya.

4.      Refleksi Perkembangan Pemikiran dan Dakwah Kultur KH. A. Dahlan kepada IMM

Pada hakikatnya IMM adalah sebuah gerakan Mahasiswa bersimbol ortom Muhammadiyah, dengan symbol tersebut dapat kita lihat pergerakan IMM seharusnya memiliki embrio yang sama dengan pergerakan Muhammadiyah. Sebagaimana kita ketahui dari sejarah Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan sudah memberikan sebuah manifestasi surat al-ma’un sebagai landasan bahwa kita sebagai umat islam harus paham akan lingkungan social sekitar untuk itu sebagai ortom Muhammadiyah IMM mengembangkan potensi intelektual, religuitas, dan humanitas[9].

Diera globalisasi yang semakin berkembang, pergerakan mahasiswa semakin rendah akan nilai perjuangan. Mereka kebanyakan hanya terfokus sebagai “kupu-kupu” dan intelektual mereka hanya dalam ranah kognitif. Hal ini menjadikan sebuah degradasi intelektual dan kepedulian mahasiswa semakin rapuh. Padahal hakekat seorang mahasiswa perlu adanya sebuah intelektual dengan upaya membaca – menulis – berdiskusi, serta sebagai agen of change yang mana mahasiswa merupakan sebagai salah satu aspirasi rakyat ke pemerintahan.

Untuk itu gerakan mahasiswa diera globalisasi perlu adanya sebuah proses transformasi melalui karakter[10] dan moral sebagai mahasiswa yang peduli akan keadaan lingkungan sekitar, rakyat, bangsa dan Negara. Dalam hal ini kita sebagai kader IMM setidaknya memiliki kesadaran kritis yang terpadu dengan kesadaran profetik dan memiliki daya intelektul social profetik sebagai hasil manifestasi surat Ali Imran: 110.

dalam hal ini dapat dijabarkan gerakan mahasiswa yang progresif melaui etika profetik paradigma Kuntowijoyo menjadi 3 pokok gerakan.

Pertama, mahasiswa sebagai gerakan humanisasi. Dalam bahasa agama, konsep humanisasi sudah lama kita kenal dengan sebutan hablun min al-nas. Paradigma tersebut, Kuntowijoyo dalam pemikirannya telah mengkorelasikan dengan sebuah penggalan ayat 110 surat ali Imran amar ma’ruf. Mengenai penafsirannya, asal makna kata tersebut adalah sebuah anjuran untuk menegakkan kebajikan, hal ini direkontruksi dalam menifesto untuk menegakkan dimensi dan potensi positif manusia kepada petunjuk ilahi (nur) dalam rangka mencapai keadaan fitrah.

Humanisasi sebelumnya dalam kanca paradigma barat telah muncul diera renaissance dengan tujuan utama untuk memulihkan martabat manusia. Lahirnya humanisme barat akibat pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja yang bersifat dogmatis pada abad pertengahan. Pada waktu itu dunia barat sedang terkukung oleh paham keagamaan yang seolah-olah membelenggu manusia sehingga manusia tidak memiliki daya untuk mencapai kesadaran diri, kemerdekaan, kebebasan, dan kedaulatan atas diri dan alam. Untuk menjauhkan dari dogma-dogma kaum gereja, manusia mulai sadar akan dirinya sebagai antroposentris sehingga muncul ilmu pengetahuan dan peradaban modern sebagai manifesto pembebasan atas keterpurukan pada abad pertengahan. Akan tetapi damapak adanya sebuah antroposentris, mengakibatkan manusia mengalami degradasi moral dan keterasingan dari dirinya sendiri dan lupa pada hakikatnya. Diera ini justru muncul adanya sebuah perbudakan kembali melalui system kapitalis.

Melihat kenyataan seperti ini, Kuntowijoyo mengusulkan humanisasi teosentris sebagai ganti dari humanisasi antroposentris untuk mengangkat kembali martabat manusia. Berangkat dari konsep iman dan amal soleh dipandang dapat menghindarkan terjadinya dehumanisasi. Iman adalah konsep teosentris dengan tuhan sebagai pusat pengabdian, sementara amal adalah konsep humanisasi dengan dimaksudkan sebagai aksi kemanusiaan yang mana kedua ini saling berkaitan atau berhubungan yang tidak dapat dipisahkan.

Berdasarkan pandangan diatas, maka humanisasi teosentris adalah sebuah ajaran iman dan amal yang dimanifestasikan secara trasendensi dan tidak secara rasional sebagaimana dalam nilai-nilai antroposentris. Hal ini diperlukan karena masyarakat sedang berada dalam tiga keadaan akut, yaitu dehumanisasi karena aksi manusia tergantikan dengan alat teknologi, agresifitas kolektif karena ketidakadilan social yang menyebabkan kekumuhan, kemiskinan, dan pengangguran pada kaum mutadhafin, dan loneliness terjadi karena individuasi oleh kelas menengah keatas.

Kedua, mahasiswa sebagai gerakan liberasi. konsep dimanifestasikan dari kata nahi munkar yang berarti melarang atau mencegah segala tindak kejahatan yang merusak. Kata tersebut dapat dikorelasikan kedalam bahasa ilmu sebagai bentuk pembebasan – mencegah –  dari kebodohan, kemiskinan, ataupun penindasan.

Sebetulnya kata tersebut berasal dari unsur kata teologi pembebasan yang lahir dari tradisi pemikiran Katolik di Amerika Latin pada tahun 1960-an sebagai kekuatan moral dan social untuk melakukan praksisi liberatif dan emansipatoris. Adapun liberasi yang dimaksud Kuntowijoyodalam ilmu social profetik adalah konteks ilmu yang didasari nilia-nilai luhur trasendental yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman, kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu.

Fenomena kemiskinan yang lahir dari ketimpangan ekonomi adalah bagian penting dari proyek liberasi. Selanjutnya Kuntowijoyo menjabarkan empat sasaran liberasi yaitu: system pengetahuan, system social, system ekonomi, dan system politik yang membelenggu manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia. Sasaran liberasi dari system pengetahuan adalah berupa usaha – usaha untuk membebaskan orang dari belenggu system pengetahuan yang materealistik dari dominasi structural. Selanjutnya liberasi dari system social membebaskan keterpurukan dalam industrial kembali pada agraris dengan melihat nilai-nilai pada sebuah obyek penelitian, komunitas. Adapun system ekonomi dilakukan untuk memperbaiki kesenjangan dan kemiskinan dengan nilai-nilai keadilan. Sedangkan liberasi system politik tertuju pada pembebasan dari otoriterianisme, kediktatoran dan neofeodalisme.

Ketiga, mahasiswa memiliki sikap trasendental. Unsur yang ketiga merupakan unsur terpenting dan dasar dari unsur lain yang tidak dapat dipisahkan. Dalam bahasa agama, trasendental dapat diartikan hablu min Allah. Unsur ini merupakan manifestasi dari kata tu’minuna bi Allah yaitu sebuah bentuk ketahuidan. Trasendensi memberikan arah dan tujuan dalam unsur humanisasi dan liberasi. Sebagai contoh, liberasi dalam konteks kemiskinan dapat dilakukan dengan cara menghancurkan para penguasa dari system kapitalis menuju system ekonomi yang berkeadilan.

Dalam memaknai trasendensi lebih dalam lagi Roger menjabarkan dengan tiga perspektif: pertama, mengakui ketergantungan manusia kepada penciptanya – mengatasi naluri-naluri manusia seperti keserakahan dan nafsu berkuasa –, kedua, mengakui kontinuitas dan ukuran bersama antara tuhan dan manusia. Ketiga, mengakui keunggulan norma-norma mutlak yang melampaui akal manusia. Dengan demikian trasendensi merupakan perwujudan tidak hanya pada hubungan kerohanian antara manusia dan tuhannya, melainkan juga keterkaitan dengan hubungan social.

C.        PENUTUP

Sebagai gerakan dakwah islam, muhammadiyah merupakan bentuk trnsformasi dari pemikiran KH. A. Dahlan, yaitu:

a)      Ulama’ adalah orang yang berilmu dan hatinya hidup, serta mengembangkan ilmunya dengan ikhlas karena  keikhlasan dilukiskan sebagai seseorang yang mengerti hakikat hidup.

b)     Untuk mencari kebenaran, oerang tidak boleh merasa benar sendiri. Oleh karena itu orang tersebut harus berani berdialog dan diskusi dengan semua pihak walaupun dengan  orang atau golongan yang bertentangan dan berbeda pendapat.

c)      Bersedia merubah pemikiran dengan sikap terbuka. Orang yang bersikap terbuka tidak akan mengikatkan diri kepada tradisi dan rutinitas.

d)     Dalam mencapai hidup, manusia harus bekerjasama dan dengan mempergunakan akal.

e)      Cara mengambil keputusan yang benar harus dilakukan dengan kesediaan mendengarkan segala pendapat, berdiskusi dan membandingkan serta menimbang baru kemudian memutuskan sesuai akal fikiran.

f)       Berani mengorbankan harta benda dan milik untuk membela dan menegakkan kebenaran.

Dari hal ini dapat direfleksikan dengan kader IMM agar memiliki potensi intelektual, religuitas, dan humanitas. Dengan inilah kader IMM dapat berkembang sesuai zamannya.

 

Daftar Pustaka

Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran KH. A. Dahlan dan Muhammadiyah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990).

Komisariat Al-Farabi IMM UINSA, Mengenal Prinsip Gerakan IMM, (Surabaya, 2014) diadobsi dari buku kelahiran yang dipersoalkan oleh Farid Fathoni.

Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).

Retno Listyanti, Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif, & Kreatif, (Jakarta: Esensi, 2012).

Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2009).

Tadkirotun Musfiroh, “ Pengembangan Karakter Anak Melalui Pendidikan Karakter” dalam Tinjauan Berbgagai Aspek Character Building: Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter? ( Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008).

Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Muhammadiyah Sejarah Pemikiran dan Amal Usaha, (Malang: Pusat Dokumentasi dan Publikasi UMM, 1990).

Wikipedia, Ensiklopedia Bebas, kata kunci: http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Dahlan

 


[1] Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Muhammadiyah Sejarah Pemikiran dan Amal Usaha, (Malang: Pusat Dokumentasi dan Publikasi UMM, 1990), h.3

[2] Retno Listyanti, Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif, & Kreatif, (Jakarta: Esensi, 2012), h.5-8

[3] Wikipedia, Ensiklopedia Bebas, kata kunci: http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Dahlan

[4] Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran KH. A. Dahlan dan Muhammadiyah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), h.6

[5] Ibid, h.8-9

[6] Ibid, h.11-12

[7] Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 34

[8] Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 166

[9] Komisariat Al-Farabi IMM UINSA, Mengenal Prinsip Gerakan IMM, (Surabaya, 2014) diadobsi dari buku kelahiran yang dipersoalkan oleh Farid Fathoni.

[10] karakter berarti kualitas mental atau moral, nama atau reputasinya. Menurut Tadkirotun Musfiroh karakter mengacu kepada serangkaian sikap (Attitude), Perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan ketrampilan (skillls). Makna karakter sendiri sebenarnya berasal dari Yunani yang berarti to mark (menandai) dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan tingkah laku - Tadkirotun Musfiroh, “ Pengembangan Karakter Anak Melalui Pendidikan Karakter” dalam Tinjauan Berbgagai Aspek Character Building: Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter? ( Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), h.28

Related Posts

There is no other posts in this category.