Hakikat Filsafat Pendidikan Islam

A. Pengertian Filsafat, Pendidikan dan Islam

 

Filsafat sebenarnya berasal dari kata atau bahasa Yunani philoshophia. Dari kata philoshopia ini kemudian banyak diperoleh pengertian-pengertian filsafat, baik dari segi pengertiannya secara harfiah atau etimologi maupun dari segi kandungannya.  Ada pula yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa arab, yaitu falsafah, yang artinya alhikmah. Kata filsfat dalam bahasa inggris yaitu philosophy, kembali meninjau pengertian filsafat dalam bahasa yunani yang berasal dari kata philoshopia. Philos artinya cinta, sedangkan Sophia, artinya kebijaksanaan.

Dengan demikian, filsafat dapat diartikan “cinta kebijaksanaan atau al-hikmah.” Orang yang mencintai atau mencari kebijaksanaan atau kebenaran disebut dengan filsuf. Filsuf selalu belajar dan mencari kebenaran dan kebijaksanaan tanpa mengenal batas. Mencari kebenaran dengan

Beberapa definisi filsafat diatas dapat diambil kesimpulan umum, filsafat merupakan proses pencarian kebenaran dengan cara menelusuri hakikat dan sumber kebenaran secara sistematis, logis, kritis, rasional dan spekulatif. Alat yang digunakan untuk mencari kebenaran adalah akal yang merupakan sumber utama dalam berpikir. Dengan demikian, kebenaran filosofis adalah kebenaran berpikir yang rasional, logis, sistematis, kritis, radikal dan universal. [1]

Pendidikan dari segi bahasa berasal dari kata didik, dan diberi awalan men, menjadi mendidik, yaitu kata kerja yang artinya memelihara dan member latihan (ajaran). Pendidikan sebagai kata benda, berarti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. [2]

Istilah pendidikan disebut juga dengan istilah at-tarbiyah, at-ta’lim, dan at-ta’dib. Kata at-tarbiyah sebangun dengan kata ar-rabb, rabbayani, nurabbi, ribbiyyun, dan rabban. Fahrur Rozi berpendapat bahwa ar-rabb merupakan fenom yang seakar dengan at-tarbiyah, yang berarti at-tanmiyah, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Ibnu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurtubi mengartikan ar-rabb dengan makna pemilik, yang maha memperbaiki, yang maha pengatur, yang maha menambah, yang maha menunaikan. [3]

Kata Islam secara etimologi memiliki pengertian diantaranya dia berasal dari kata (أسلم يسلم) dengan pengertian tunduk dan pemurnian ibadah kepada Allah. (mu’jaamul wasiith) hal 446.Islam secara terminologi mengandung pengertian penyerahan diri kepada Allah dengan bertauhid, dan patuh kepadaNya dengan menjalankan keta’atan dan berlepas diri dari kesyirikan dan ahlinya.

Setelah mengetahui pengertian dari tiga kata diatas, pemakalah mengambil kesimpulan:

 

1.    Filsafat merupakan proses berpikir secara radikal, sistematis.logis dan rasional terhadap seluruh bidang kehidupan/ seluruh alam dengan menggunakan akal sebagai sumber utama.

2.    Filsafat pendidikan Islam merupakan bagian dari ilmu filsafat yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran yang terdapat dalam ajaran agama Islam.

 

Dengan kata lain, filsafat pendidikan Islam merupakan kajian filosofis berbagai masalah pendidikan yang berlandaskan ajaran Islam. Kajian filosofis yang digunakan filsafat pendidikan Islam mengandung arti bahwa filsafat pendidikan Islam merupakan kajian yang sangat mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran atau inti pendidikan Islam. Dengan demikian filsafat pendidikan Islam senantiasa mengkaji filsafat pendidikan yang berlandaskan norma Islam.

Terdapat beberapa karakteristik yang dimiliki pendidikan Islam yaitu:

 

1.    Pendidikan Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik berupa fisik, mental, akidah, akhlaq, emosional, estetika maupun sosial.

2.    Pendidikan Islam dilaksanakan secara terus-menerus dan kontinyu tanpa batas waktu, mulai proses pembentukan janin dalam rahim sang ibu sampai meninggal dunia.

3.    Pendidikan islam dimulai dengan mempelajari sesuatu yang paling penting, mempelajari apa-apa yang diwajibkan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada hambaNya, seperti sholat lima waktu, puasa ramadhan, berbakti kepada kedua orang tua dal lain sebagainya.

4.    Pendidikan dalam Islam bukan hanya sekedar bertujuan mengumpulkan maklumat atau memperbanyak pengetahuan serta menambah gelar akademik, tujuan yang paling penting adalah mengamalkan ilmu yang telah dipelajari serta mengajarkannya kepada yang lain.

B. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam

 

Mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematis, logis dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuan Agama Islam saja, melainkan menuntut kepada kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan . Sebagai hasil buah pikiran bernuansa Islam, filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumberkan atau melandaskan ajaran agama Islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam, serta mengapa manusia harus dibina menjadi hamba Allah yang berkepribadian demikian. Sarana dan upaya apa sajakah yang dapat mengantarkan pencapaian cita-cita demikian dan sebagainya.

 Menurut Muzayyin Arifin, ruang lingkup filsafat pendidikan Islam adalah masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah pendidik/ guru, alat pendidikan  (kurikulum, metode, dan evaluasi pendidikan) dan lingkungan pendidikan.

Secara umum ruang lingkup pembahasan filsafat pendidikan Islam ini adalah pemikiran yang serba mendalam, mendasar, sistematis, terpadu, menyeluruh, dan universal mengenai konsep-konsep yang berkaitan dengan pendidikan atas dasar ajaran Islam.

 

C. Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam

 

Omar Muhammad al-taomy al-saibny mengemukakan tiga manfaat dari mempelajari filsafat pendidikan Islam tersebut sebagai berikut:          

1.    Filsafat pendidikan itu dapat menolong para perancang pendidikan dan orang-orang yang melaksanakannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran yang matang terhadap sistem pendidikan.

 

2.    Filsafat pendidikan dapat menjadi asas atau pondasi yang terbaik untuk penilaian (evaluasi) pendidikan, dalam arti yang menyeluruh. Penilaian pendidikan itu dianggap persoalan yang perlu bagi setiap sistem pengajaran yang baik.

 

3.    Filsafat pendidikan islam akan menolong dalam memberikan pendalaman pikiran yang berhubungan dengan faktor-faktor spiritual,kebudayaan,sosial,ekonomi, dan politik dinegara kita.

 

Fungsi pendidikan lebih konkrit lagi dijelaskan oleh Ahmad D. Marimba. Menurutnya bahwa filsafat pendidikan islam dapat menjadi pegangan pelaksanaan pendidikan yang menghasilkan generasi-generasi baru yang berkepribadian muslim.

Muzayyin Arifin menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam itu seharusnya bertugas dalam 3 dimensi, yaitu:

1.    Memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada proses pelaksanaan       pendidikan yang berdasarkan islam.

2.    Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan pendidikan tersebut

3.    Melakukan evaluasi terhadap metode yang digunakan dalam proses pendidikan tersebut.

 

D. Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam

 

Filsafat pendidikan Islam sudah dipastikan memiliki metode pengembangan dan pengkajiannya yang khas, karena metode inilah sesungguhnya yang memberikan petunjuk operasional dan teknis dalam mengembangkan suatu ilmu.

Metode pengembangan filsafat pendidikan islam ini.Sebagai suatu sumber, pengembangan suatu ilmu biasanya memerlukan empat hal sebagai berikut:

Pertama:    bahan-bahan yang akan digunakan untuk pengembangan filsafat pendidikan.

Kedua:       metode pencarian bahan

Ketiga:       metode pembahasan

Keempat:   pendekatan

 

Itulah langkah pokok yang dapat digunakan untuk mengkaji dan mengembangkan filsafat islam. Jika seseorang misalnya ingin meneliti masalah pendidikan islam, dan hasil penenlitiannya itu ingin di bukukan. Dalam referensi yang lain disebutkan, dalam menyelesaikan problema pendidikan yang dihadapi umat islam, dapat menggunakan metode-metode antara lain :

 

1.    Metode spekulatif dan kontemplatif yang merupakan metode utma dalam setiap cabang filsafat. Dalam sistem filsafat islam disebut tafakkur. Tafakkur atau yang kita kenal dengan berpikir secara mendalam untuk mendapatkan inti dari objek yang dipikirkan.

2.    Pendekatan  normatif. Norma berarti nilai. Pendekatan ii dimaksudkan mencari aturan-aturan dalam kehidupan nyata, atau yang sering kita kenal dengan pendekatan syar’iyyah.

3.    Analisa konsep yang disebut juga dengan analisa bahasa. Konsep yang dimaksud aalah pengertian yang ditangkap seseorang terhadap suatu obyek. Dalam istilah filsafat islam, menta’wilkan ayat-ayat Al-Qur’an merupakan praktek nyata dari pendekatan analisa konsep.

4.    Pendekatan Historis. Historis artinya sejarah, yaitu mengambil pelajaran dari peristiwa dan kejadian masa lalu. Peristiwa searah berguna untuk memberikan petunjuk dalam membina masa depan. Tidak sedikit ayat-ayat AlQur;an atau hadith-hadith Nabi Shallahu ’alaihi wa sallam yang menganjurkan untuk mengambil pelajaran dari sejarah.

5.    Pendekatan ilmiah terhadap masalah aktual, kontemporer atau yang kita kenal dengan istilah (نازلة) . Pendekatan ini menuntut umat islam untuk berpikir secara rasional, karena usaha untuk mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi tidak mungkin terlaksana kalau umat islam dalam hal ini praktisi pendidikan tidak memahami permasalahan-permasalahan aktual yang dihadapinya.

6.    Dalam sistem filsafat Islam secara umum, berkembang pendekatan yang bersifat terpadu, yaitu menggabungkan sumber naqli dan ’aqli. Sebagaimana akal yang sehat tidak akan bertentangan dengan naqli yang shohih.[4]

E.  Filsafat Pendidikan Islam Kontemporer

 

Lahirnya pemikiran Islam kontemporer di dunia Islam tidak terlepas dari terjadinya persentuhan budaya berfikir kaum intelektual muslim dengan tradisi keilmuan Barat atau Eropa. Islam kontemporer maksudnya adalah penafsiran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadith dengan perkembangan pemikiran oleh kaum intelektual muslim dalam membaca perubahan zaman. Pemikiran Islam kontemporer maksudnya adalah pemikiran Islam yang berkembang pada masa modern (abad 19 masehi) hingga sekarang.

Ciri khas pemikirannya adalah bersifat agresif yang berkembang dengan metode pemikiran baru dalam menafsirkan Al-Qur’an dan peradaban Islam. Akan tetapi, pertanyaan yang menggugah para intelektual Islam adalah “di manakah pemikiran Islam kontemporer?” Sebagai upaya untuk mengembalikan suasana kebebasan berfikir, Muhammad arkoun mengangkat tradisi keilmuan klasik Imam Ghazali dan Ibnu Rush yang mencerminkan puncak kegemilangan dialog pemikiran yang konstruktif.[5]

Gema Islam kontemporer semakin meluas. Namun secara umum gema tersebut masih dalam kerangka tarik-menarik dengan pemikirann klasik. Karena keterkaitan para intelektual Islam sangat kuat dengan masa keemasan para pendahulunya, mereka membuka lembaran masa lalu, untuk menggali inspirasi. Masa lalu adalah pemicu para intelektual muslim kontemporer untuk melakukan reaktualisasi, rekonstruksi dan dekonstruksi.

Murad wahbah menyatakan, bahwa Ibnu Rushd, filsuf Muslim kelahiran Maroko adalah pintu gerbang pencerahan di Eropa. Bahkan sampai saat ini tidak ada karya secemerlang Ibnu Rushd dalam kategori komentar terhadap buku-buku Aristoteles, sehingga ia dijuluki dengan al-sya>rih al-‘adham (komentator agung). Maka dari itu, di akhir abad 20-an para intelektual Islam baik di wilayah Timur maupun wilayah barat, mulai mengangkat khazanah rasionalitas Ibnu Rushd dalam rangka membumitanahkan pencerahan pemikiran Islam.

Aliran filsafat pendidikan kontemporer yaitu progresivisme, rekonstruksionisme, futurisme, dan humanisme. Garis demarkasi yang membatasi penyebutan tradisional dengan kontemporer tidak hanya berpijak pada waktu semata, melainkan, pada kekhasan aliran tersebut. Ditilik dari sejarah kemunculannya, justru progresivisme muncul lebih awal di Amerika Serikat daripada esensialisme.

Asumsi pendukung esensialisme adalah bahwa progresivisme telah menimbulkan ketidakstabilan pelaksanaan pendidikan dan kurang memerhatikan nilai-nilai, norma, serta pewarisan budaya. Dari mana sumber munculnya progresivisme sebagai falsafah pendidikan yang tergolong modern-kontemporer? Akar falsafah pendidikan kontemporer bisa dilacak dari basis filosofisnya, pragmatisme.

 

1.    Progresivisme

Aliran progressivisme ini adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang berkembang dengan pesat pada permulaan abad ke-20 dan sangat berpengaruh dalam pembaharuan pendidikan. Progressivisme dalam pandangannya selalu berhubungan dengan pengertian “the liberal road to culture” yakni liberal yang fleksibel (lentur dan tidak kaku, toleran dan bersikap terbuka, serta ingin mengetahui dan menyelediki demi pengembangan pengalaman. Progressivisme juga disebut sebagai naturalisme yang mempunyai pandangan bahwa kenyataan yang sebenarnya adalah alam semesta ini (bukan kenyataan spiritua dan supernatural).

Pendidikan progressivisme selalu menekankan akan tumbuh dan berkembangnya pemikiran dan sikap mental, baik dalam pemecahan masalah maupun kepercayaan kepada diri sendiri bagi peserta didik. Progres atau kemajuan menimbulkan perubahan dan perubahan menghasilkan pembaharuan. Kemajuan nampak apabila tujuan telah tercapai. Dan nilai dari suatu tujuan tertentu itu dapat menjadi alat jika ingin dipakai untuk mencapai tujuan lain. Misalnya faedah kesehatan yang baik akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.

 

2.    Rekonstruksionisme

Rekonstruksionisme sering kali diartikan sebagai rekonstruksi sosial yang merupakan perkembangan dari gerakan filsafat pendidikan progresivisme. Umumnya rekonstruksionisme menganggap bahwa progresivisme belum cukup jauh berusaha memperbaiki masyarakat. Mereka percaya progresivisme hanya memerhatikan problem masyarakat pada saat itu saja, padahal yang diperlukan pada abad kemajuan teknologi yang pesat adalah rekonstruksi masyarakat dan penciptaan tatanan dunia baru secara menyeluruh.

Rekonstruksionisme timbul sebagai akibat dari pengamatan tokoh-tokoh pendidik terhadap Amerika khususnya, dan masyarakat Barat umumnya, yang menjelang tahun tiga puluhan, menjadi kurang menentu. Keadaan masyarakat tidak sepadan dengan harapan ideal seperti timbulnya kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan. Untuk mengembalikan kepada keadaan semula hendaknya pendidikan dapat berperan sebagai instrumen rekonstruksi masyarakat. Artinya, bahwa tujuan pendidikan, kurikulum, metode, peranan guru dan peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan hendaknya searah dengan situasi dan kebutuhan masyarakat. Peserta didik dalam sekolah yang bercorak rekonstruksionisme ini diarahkan supaya mampu beradaptasi dan berinteraksi dengan masyarakat di mana ia tinggal. Maka, orientasi pendidikannya adalah masyarakat.[6]

Imam barnadib mengartikan rekonstruksionisme sebagai filsafat pendidikan yang menghendaki agar anak didik dapat dibangkitkan kemampuannya untuk secara rekonstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Kaitannya dengan pendidikan, rekonstruksionisme menghendaki tujuan pendidikan untuk meningkatkan kesadaran siswa mengenal problematika sosial, politik, dan ekonomi yang dihadapi oleh manusia secara global, dan untuk membina mereka, membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan dasar agar bisa menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Kurikulum dan metode pendidikan bermuatan materi sosial, politik, dan ekonomi yang sedang dihadapi oleh masyarakat.

Rekonstruksionisme memiliki dua perspektif, masa kini yang banyak mengandung progresivisme dan masa depan yang bersifat futuristik. Itulah sebabnya futurisme dalam pendidikan sering dianggap sebagai perkembangan dan bagian tak terpisahkan dari rekonstruksionisme.[7]

 

3.    Futurisme

Menurut Jhon Dewey, filosof pendidikan pragmatisme, fungsi mata pelajaran dalam pendidikan adalah untuk menjaga agar proses pendidikan tetap hidup, dan menjaganya dengan cara yang dapat menimbulkan kemudahan dalam menghadapi kehidupan masa depan.

Masa kini bukanlah sekedar sesuatu yang muncul setelah masa lalu secara tiba-tiba, melainkan sedikit atau banyak dipengaruhi olehnya. Masa kini adalah kelanjutan dari kehidupan yang ditinggalkan pada masa sebelumnya. Mengkaji produk masa lalu tidak akan membantu memahami masa kini, sebab masa kini bukanlah ditimbulkan dari produk, melainkan dipengaruhi oleh kehidupan yang menghasilkan produk. Pengetahuan mengenai masa lalu beserta warisannya amat berarti saat memasuki masa kini, bukan sebaliknya.[8]

Kesalahan dalam memahami dan melestarikan materi pendidikan pada masa lalu merupakan pemotongan terhadap hubungan yang vital antara masa kini dan  masa lampau, akibatnya cenderung menjadikan masa lalu sebagai rival bagi masa kini, dan masa kini sedikit banyak merupakan imitasi masa lampau.

     Selanjutnya, dikatakan bahwa masa lalu adalah masa lalu sebagaimana adanya, karena pada masa tersebut tidak memiliki karakteristik yang dimiliki masa kini. Keadaan yang sedang berkembang pada masa kini meliputi dan/atau dipengaruhi oleh masa lalu dengan syarat menggunakan masa lalu untuk mengarahkan perkembangan/pergerakan masa kini.

Masa lalu merupakan sumber imajinasi yang berharga, ia menambah dimensi baru dalam kehidupan masa kini dengan syarat bahwa hal itu dipandang sebagai masa lalu yang memengaruhi masa kini, bukan sesuatu yang lain dan dunia yang tak berhubungan satu sama lain. Prinsip yang memperkecil peranan masa kini bagi kehidupan dan terjadinya perkembangan, merupakan perkara yang selalu ada, secara alami tampak seperti masa lampau karena tujuannya masa depan yang terbentuk adalah masih jauh dan kosong.

     Menurut Dewey, dengan uraian diatas, menganggap bahwa masa lalu, disamping tidak memiliki relevansi jika ditinjau dari segi substansinya, tetap berkaitan dan mempunyai mata rantai yang tak terpisahkan dengan kehidupan masa kini dan mendatang. Kaitan itu bukan terletak pada produk, melainkan kehidupan yang menghasilkan produk itu sendiri. Jelas bahwa peranan waktu bagi pembentukan masa depan amat penting

Dalam kaitannya dengan prospek pendidikan di masa depan, Dewey menyebutkan:

Education may be conceived either retrospectively or prospectively. That it to say it, may be treated as process of accommodating of the Future to the past, or as an utilization of the past for a resource in A developing the future. The former finds its standars and pattern in what has gone before”.

4.    Humanisme

Fokus perhatian humanisme adalah manusia (human). Aspek ini ada dalam pendidikan, walaupun aliran pemikiran kependidikan memiliki perbedaan persepsi dalam memandang aspek manusianya, tetapi objeknya tetap sama yaitu manusia.

Tendensi pemikiran edukatif Dewey dalam kaitan ini lebih mengarah pada sosio-antroposentris. Artinya, humanisme itu merupakan refleksi timbal balik antara kepentingan individu dengan masyarakat. Karenanya pendidikan harus diselenggarakan dengan memusatkan perhatian pada keduanya. Kemudian mengingat masyarakat itu selalu berkembang dan berubah, nilai-nilai yang dianggap baik dan buruk bagi individu juga mengalami perkembangan dan perubahan. Bila nilai-nilai, tendensi dan implus tadi dipandang baik oleh masyarakat, maka nilai-nilai, tendensi dan implus tadi dipandang sebagai sifat-sifat manusia yang baik. [9]

Dewey mengatakan bahwa setiap tendens dan impuls yang ada pada manusia tidaklah mempunyai suatu arti apa-apa, jadi tidaklah berakibat baik ataupun buruk terhadap masyarakat. Tendens dan impuls baru mempunyai arti bila ia memberikan akibat yang dipengaruhi atau dipaksakan oleh faktor-faktor luar, yaitu faktor-faktor dari kebudayaan.

Bila akibat antara tendens dengan faktor-faktor luar dianggap baik oleh masyarakat, maka tendens dipandang sebagai sifat-sifat manusia yang baik. Bila akibat itu dianggap merugikan masyarakat, maka tendens tadi dianggap sebagai suatu sifat manusia yang buruk. Oleh karena itu, ukuran baik dan buruk, adalah hasil perbuatan manusia dan masyarakat, hal ini mengacu pada sosio-antroposentris. 

 

 

 


 

 

F.  Daftar Pustaka

Assegaf, Abd. Rachman. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011)

Hakim, Lukman. “Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia: Membaca masa depan gerakan Islam di Indoensia). Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 2010.

Isma’il, Fu’ad Farid & Abdul Hamid Mutawali. Cara Mudah Belajar Filsafat. (Jogjakarta: Bhineka, 2012)

Salahudin, Anas. Filsafat pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2011.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988)

Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam: filosof dan Filsafatnya. (Jakarta: Rajagrafindo, 2012)

Zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1995.

 



[1] Anas Shalahdin, filsafat pendidikan.  Hal: 12

[2] Ibid. Hal:18

[3] Ibid. Hal:19

[4] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara 1995 ), 131-134

[5] Lukman Hakim, “Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia: Membaca masa depan gerakan Islam di Indoensia (Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 2010).

[6] Abd. Rachman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta: Rajagrafindo Persada) 206.

[7] Ibid., 209.

[8] Ibid., 210.

[9] Tendensi: Kecenderungan. Impuls: Rangsangan atau gerak hati yang timbul dengan tiba-tiba untuk melakukan sesuatu tanpa pertimbangan (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Related Posts