A. Pengertian ilmu dalam Islam
Ilmu secara umum adalah
apa yang kamu tahu, tapi sesungguhnya ini bukanlah definisi, melainkan suatu
tautology sekedar berkata bahwa ilmu adalah ilmu, dan sama sekali tidak
menyatakan apapun[1]. Dengan demikian, beberapa Ulama Filosofi
mendefinisikan ilmu sebagai berikut:
1.
Imam Al-Rāghib
Al-`Aṣfahānī seorang pakar filologi mendefinisikan ilmu dengan :
" العلم إدراك الشئ بحقيقته "[2]
Artinya: Ilmu adalah persepsi suatu
hal dalam hakikatnya.
Dalam definisi ini, Yang mana sekedar menilik
sifat (misalnya bentuk, ukuran, dan sifat-sifat lainnya) suatu hal tidak merupakan
dari ilmu. Maka dari itu suatu pandangan filosofis mengatakan tiap zat terdiri
atas essence dan accidents. Essence adalah sesuatu yang
darinya akan tetap satu dan sama sebelum, semasa, setelah perubahan, dengan
begitu di sebut sebagai hakikat. Maka, ilmu adalah segala hal yang menyangkut
hakikat yang tidak berubah. [3]
2.
Menurut
Imam Al-Ghazāli mengartikan ilmu, sebagai tahu sesuatu. Berarti mengenali
sesuatu itu sebagai adanya, atau bisa disebut juga dengan:
"
معرفة
الشئ على ما هو به "[4]
Artinya: “Pengenalan sesuatu atas
dirinya”
Definisinya di sini, untuk menyatakan tiga hal yang harus di uraikan.
a)
Menyatakan
bahwa ilmu adalah pengenalan, imam Al-ghazāli tampak menekankan fakta
bahwa ilmu merupakan masalah per-orangan.
b)
Tidak
seperti istilah `Idrāk yang tidak hanya menyertakan suatu gerakan nalar
atau perubahan dari satu keadaan kepada keadaan yang lainnya, tapi juga
menyertakan bahwa ilmu datang sebagaimana adanya.
c)
Mengiaskan kepada fakta bahwa ilmu selalu
merupakan semacam penemuan diri.
Oleh karena itu, dalam pandangan imam
al-gazhali, kita tidak dapat mengklaim memiliki ilmu sesuatu keculi jika kita
tahu sesuatu itu apa adanya. Karena sesungguhnya, sesuatu itu tampak tidak
sebagaimana hakikatnya.[5]
3.
Definisi selanjutnya dikemukakan oleh seorang
ahli logika, yang bernama `Athīr Al-Dīn Al-`Abhari. Baginya ilmu
adalah “menghampirnya gambar suatu benda dalam pikiran”. Definisi ini
menunjukkan bahwa untuk mengetahui sesuatu pemikiran tentangnya, harus memiliki
gambaran yang mana sesuatu itu tergambarkan dalam benak. Dengan kata lain,
mengetahui adalah melakukan konseptualisasi. Yang mana ilmu adalah representasi
mental atau konsepsi suatu hal yang diketahui, maka dari itu menyebabkan
terjadinya pembedaan modern antara "ilmu
konseptual” dan “ ilmu proporsional”.[6]
4.
Al-Sharīf
Al-Jurjāni mendefinisikan ilmu sebagai
‘tibanya makna dalam jiwa’ sekaligus ‘tibanya jiwa pada makna’. Satu
hal yang menjadi jelas dalam definisi ini bahwa ilmu adalah tentang makna.
Benda, fakta, atau peristiwa apapun, bisa diketahui oleh seseorang jika ia
bermakna baginya. Semakin kita tahu tentang sesuatu maka semakin bermakna
sesuatu itu bagi kita.[7]
Maka dari pengertian yang
sudah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu adalah sejumlah makna,
keyakinan, informasi, fakta, pemahaman, dan gambaran di bidang yang berbeda. Sebagaimana
yang sudah terletak dalam diri manusia dari penghasilan yang sudah di coba
berkali-kali untuk memahami apa yang terjadi di sekitarnya.[8]
B.
Urgensi Epistemologi Islam
Epistemologi, didefinisikan sebagai cabang ilmu filsafat yang membahas ilmu
pengetahuan secara menyeluruh dan mendasar. Secara ringkas, epistemologi
disebut juga sebagai “Theory of knowledge”. Oleh karena itu
epistemologi berbicara tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana manusia bisa
meraih ilmu. Sedangakan ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang sangat mendasar
dalam kehidupan manusia. Islam, khususnya agama yang sangat menghargai ilmu
pengetahuan. Al-qur`ān adalah kitab yang
begitu besar perhatiannya terhadap aktivitas pemikiran dan keilmuan. Karena
itulah, tradisi ilmu dalam Islam sejak awal sudah bersifat “Tauhidiy”,
tidak sekuler, antara unsur dunia dan unsur akhirat; antara ilmu dunia dan ilmu
akhirat. Semua ilmu itu bermuara pada satu tujuan, yaitu untuk mengenal (Ma’rifah)
kepada Allah swt.
Al-qur`ān memuat banyak sekali ayat-ayat yang
mendorong kaum muslimin untuk senantiasa meningkatkan keilmuannya. Karena
itulah, Allah mengecam keras orang-orang yang tidak menggunakan segala
potensinya untuk berpikir dan meraih ilmu. Karena begitu pentingnya kedudukan
ilmu maka “rusaknya ilmu dan ulama” juga menjadi faktor terjadinya kerusakan
suatu masyarakat.[9]
C. Tujuan dan Sumber Ilmu dalam Islam
Dalam Islam, tujuan utama dari ilmu adalah
untuk mengenal Allah swt. Dan meraih kebahagiaan (sa’ādah), sebab ilmu
mengkaji tentang “ayat-ayat” (tanda-tanda) – baik ayat kauni atau qauli,
Maka dari itu, untuk menjalankan misinya sebagai ciptaan Allah swt. Manusia
diwajibkan memiliki ilmu untuk menopang kehidupanynya di dunia, sebagai sarana
untuk ibadah. Ibadah kepada-Nya merupakan tujuan pokok kehidupan manusia yang
mana seluruh aktivitas keilmuan apapun jenisnya di arahkan untuk aktivitas
tersebut.[10]
Sumber ilmu yang primer dalam Islam adalah
wahyu yang di terima oleh nabi yang berasal dari Allah swt. Sebagai sumber dari
segala sesuatu. Pengertian wahyu secara etimologi adalah apa yang di sampaikan Allah
swt. kepada para malaikat-Nya berupa suatu perintah untuk dikerjakan. Sedangkan
arti wahyu secara terminologi adalah “kalam Allah swt yang diturunkan kepada
seorang nabi” .[11]
Selanjutnya, penjelasan mengenai sumber ilmu
dalam Islam yaitu bersumber dari Al-qur`ān dan Sunnah dapat juga mengafirmasi
sumber ilmu lainnya, yaitu akal, hati, serta indra-indra yang terdapat dalam
diri manusia. Maka dari itu, di bawah ini akan di jelaskan sumber-sumber ilmu
dalam islam.[12]
1.
Al-qur`ān.
Al-qur`ān merupakan wahyu Allah yang diturunkan
kepada Rasulullah Muhammad saw. Oleh karena itu, Al-qur`ān menempati urutan
pertama dalam sumber ilmu Islam. Al-qur`ān Sebagai sumber ilmu di jelaskan
melalui ayat-ayat yang menyatakan bahwa Al-qur`ān merupakan petunjuk bagi
manusia dan alam semesta, di antarnya dalam surah al-takwir ayat 27:
" إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ
لِلْعَالَمِينَ " [13]
Artinya: “Al-qur`ān itu tiada lain hanyalah
peringatan bagi semesta alam.” (Al-Takwir: 27)
2.
Hadits.
Al-qur`ān dan hadits adalah Pedoman hidup,
sumber hukum, ilmu dan ajaran islam, serta merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Al-qur`ān Merupakan Sumber primer Yang banyak
memuat pokok-pokok ajaran Islam, sedangkan hadits merupakan penjelas (Bayān)
bagi keumuman isi Al-qur`ān. Selain itu ilmu hadits menguji manusia untuk
kejujuran dan ketetapan dalam meriwayatkan teks.[14]
3.
Akal dan Hati.
Sumber ilmu selain wahyu dan hadits dalam islam
adalah akal dan hati. Orang yang berakal adalah orang yang mengekang dirinya
dan menolak keinginan hawa nafsunya[15].
Akal mempunyai beberapa pengertian yang berbeda, yaitu:
a)
Daya
pikir (untuk mengerti dan sebagainya).
b)
Daya,
Upaya, cara melakukan sesuatu.
c)
Tipu daya, muslihat.
d)
Kemampuan
melihat cara-cara memahami lingkungan[16].
Sedangkan kalbu memiliki pengertian sebagai
sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala
perasaan bathin dan tempat menyimpan pengertian-pengertian (perasaan-perasaan).
4.
Indra.
Al-qur`ān mengajak manusia untuk menggunakan
indra dan akal dalam pengalaman manusia, baik yang bersifat fisik ataupun
metafisik Karena keduanya saling menyempurnakan. Allah swt menyeru manusia untuk menggunakan
nikmat indra dan akal secara simultan. Oleh karenanya, orang-orang yang
mengabaikan indra dan kalbunya, maka akan tersesat dan jauh dari kebenaran.
Begitu juga dengan hati Karena keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya dan merupakan satu kesatuan dalam menerima ilmu.
D. Hubungan Ilmu dengan Filsafat Pendidikan Islam.
Al-qur`ān mengajak dan
mengajarkan kepada seluruh umat manusia untuk berfikir, menggunakan akal sesuai
dengan fungsinya guna mencapai pengetahuan yang benar. Selain itu manusia berkewajiban mencari ilmu pengetahuan sebagai
modal hidup dan kehidupannya. Oleh karena itu, setiap kali orang muslim
menggunakan akalnya (berijtihad) dalam penyelidikan dan pembahasan
sesuatu yang akan menghasilkan peningkatan kemajuan dan kebaikan di nilai
sebagai ibadah kepada Allah swt. Nilai ilmu dalam Islam adalah ilmu yang bisa
mengangkat derajat manusia dihadapan Allah swt.
Dengan kebebasan berfikir, berperasaan, dan bertindak, yang telah
diberikan Allah swt kepada manusia, mereka harus mempertanggungjawabkan segala
perbuatannya dihadapan Allah swt. Manusia diciptakan-Nya dengan dilengkapi bekal
dan sarana hidup dalam kehidupannya. Yaitu kesadaran, sebagai alat untuk
menanggulangi segala kebutuhan hidupnya yang bersifat materi dan rohani.
Manusia diberi kemampuan
dan kesanggupan untuk menilai sesuatu keputusan dalam bertindak berdasarkan
ilmu yang diperolehnya dari hasil pengguanaan akal pikiran, perasaan, dan
kesadarannya. Maka dari itu, ilmu mempunyai fungsi
sebagai berikut.
1.
Mengetahui
kebenaran.
2.
Menjelaskan
ajaran atau aqidah Islam.
3.
Menanggulangi
alam unutuk meningkatkan kesejahteraan umat manuisa.
4.
Meningkatkan
kebudayaan dan peradaban Islam.
Ilmu menurut Islam harus rasional, yaitu sesuai
dengan akal dan dapat ditinjau oleh kekuatan akal pikiran manusia. Dengan
demikian masih ada ilmu yang belum dapat ditinjau oleh pikiran.[17]
E. Daftar Pustaka
`Aṣfahānī (al), mufradāt `alfāẓ Al-qurān. Damskus, Dār
Al-qalam, 1992.
Departmen Pendidikan dan Kebudayan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Cetakan ke-3. Jakarta: Gema Insan, 2007.
Dr. H. Hmadani Ihsan dan Dr. H. A. Fuad Ihsan, Filsfat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka setia, 2007.
Ghazāli (al), `Iḥyā` ‘ Ulūm Al-dīn. Bayrūt: Dār Al-fikr,
1999.
Ḥasan `Ibrāhīm,`Abd Al-‘āl, Muqaddimah fi
falsafah al –tarbiyah al-`islāmiyah. Riyad : Dār ‘Alam
Al-kutub,1985.
Husaini, Adian. Filsafat Ilmu Perespektif Barat dan
Islam. Jakarta: Gema Insani, 2013.
Qaṭan (al ), Mannā’, Studi Ilmu-ilmu qru`ān. Cetakan ke-6
Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001.
Sayyid Muhammad Az-Zabalawi, Pendidikan Remaja: Antara Islam dan
Ilmu Jiwa. Jakarta: Gema Insan, 2007.
Shaybānī (al), ‘Umar Muhammad Al-Tumī, Falsafah Al-Tarbiyah Al-Islamiyah. Libya: Dar Al-‘Arabiah Al-Kitab.
Wan Muhammad Wan daud, Konsep Pengetahuan dalam islam. Bandung:
pustaka, 1997.
[1] Dr.
Adian Husaini, Filsafat Ilmu Perespektif
Barat dan Islam ( Jakarta: Gema Insani, 2013 ), 72.
[2] Al-`Aṣfahānī, mufradāt `alfāẓ Al-qurān
,( Damskus, Dār Al-qalam,1992),5:80.
[3]Dr. Adian
Husaini, Ibid.75.
[4]
Imam Al-Ghazāli, `Iḥyā` ‘ Ulūm Al-dīn, ( Bayrūt: Dār Al-fikr,
1999),1:33.
[5]Dr. Adian Husaini, ibid76.
[6]
Ibid.76-77.
[7]
Ibid.77-78.
[8] `Abd
Al-‘āl, Ḥasan `Ibrāhīm, Muqaddimah fi falsafah al –tarbiyah al-`islāmiyah ( Riyad
: Dār ‘Alam Al-kutub,1985 ),118.
[9] Adian Husaini,
Ibid, 27.
[10] Dr. Adian
Husaini, ibid, 32.
[11]
Mannā’ Al-qaṭan, Studi Ilmu-ilmu qru`ān, Cetakan ke-6 (Jakarta: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2001), 37-38.
[12]Dr. Adian Husaini, Filsafat Ilmu Perespektif
Barat dan Islam (Jakarta: Gema Insani, 2013), 93.
[13] Al-quran,
30:27
[14] Wan
Muhammad Wan daud, Konsep Pengetahuan dalam islam, (Bandung: pustaka, 1997), 56.
[15] Sayyid Muhammad
Az-Zabalawi, Pendidikan Remaja: Antara Islam dan Ilmu Jiwa, (Jakarta: Gema
Insan, 2007), 64.
[16]
Department Pendidikan dan Kebudayan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan
ke-3, (Jakarta: Gema Insan, 2007), 14.
[17] Dr.
H. Hmadani Ihsan dan Dr. H. A. Fuad Ihsan, Filsfat Pendidikan Islam, ( Bandung
: Pustaka setia, 2007),34-36.