Pendahuluan
Pendidikan dan
politik terpisah merupakan sesuatu yang tidak bisa dibenarkan. Keduanya adalah unsur
penting dalam sistem sosial politik di setiap negara, baik negara maju maupun
negara berkembang. Keduanya saling bahu membahu dalam proses pembentukan
karakteristik masyarakat di suatu negara karena saling menunjang dan mengisi.
Lembaga dan proses pendidikan berperan penting
dalam membentuk perilaku politik masyarakat. Begitu juga sebaliknya,
lembaga dan proses politik membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan.
Pandangan adanya
hubungan antara keduanya membawa dampak yang bisa cenderung positif ataupun
sebaliknya. Asumsi bahwa hubungan yang tak terpisah antara keduanya memberi
celah bagi negara untuk menjadikannya sebuah landasan fundamental untuk
berkembang maju. Sedangkan asumsi hubungan yang terpisah antara keduanya
membuat keyakinan yang sangat mengental bahwa keduanya harus berpisah karena
politik itu licik dan tidak bisa disatukan dengan pendidikan yang mengajarkan
kebaikan pada siswa.
Di Indonesia sendiri,
belum berkembangnya hubungan antara keduanya bukan berarti karena bidang kajian
tidak bermanfaat, tetapi karena kurangnya penelitian dan publikasi baik di
karya ilmiah, jurnal atau yang lain. Dalam makalah ini akan dijelaskan secara
lebih lanjut hubungan politik dan
pendidikan .
Hubungan Politik dan Pendidikan
Sebelum membahas hubungan antara politik dan
pendidikan baik secara umum maupun perspektif Islam kiranya perlu dipahami apa
politik dan pendidikan itu sendiri. Politik adalah kenegaraan, ilmu ketatanegaraan, pemerintahan, siasat,
tipu muslihat, kelicikan, daya upaya, kebijakan, kegiatan dan interaksi manusia
yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat
untuk masyarakat umum.[1]
Politik berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dsb)
mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain.[2] Adapun Pendidikan merupakan usaha sadar manusia
untuk mempersiapkan manusia mempunyai kemampuan untuk berperan aktif dalam
membentuk masa depannya.[3]
Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan sering dijadikan media dan wadah
untuk menanamkan ideologi suatu negara atau penopang kerangka politik. Besarnya
peran lembaga pendidikan untuk menyampaikan misi politik suatu negara.[4]
Di negara barat hubungan antara politik dan pendidikan dimulai Plato untuk
membahas berbagai persoalan kenegaraan dan hubungan ideologi dan lembaga negara
dengan tujuan dan metode pendidikan.[5]
Ia menganggap sekolah sebagai salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan
lembaga politik. Setiap budaya mempertahankan kontrol atas pendidikan di tangan
kelompok elite yang mengusasi politik, ekonomi, agama dan pendidikan. Plato
mengibaratkan pendidikan dan politik seperti sebuah koin yang tak mungkin
dipisahkan dan selalu dinamis. Timbal baliknya terjadi melalui tiga aspek
yaitu:
1.
Pembentukan sikap kelompok (group attitudes)
2.
Masalah pengangguran (un-employment)
3.
Peranan politik kaum cendekia (the political role of the intelligentsia).[6]
Sedangkan
karakteristik kebijakan pendidikan pada masa penjajahan Belanda yaitu
kolonialistik, intelektualistik, heterogen, diskriminatif, dan self-serving (selalu diarahkan untuk
kepentingan penjajah). Dampaknya dalam kehidupan masyarakat waktu itu, yaitu:
1.
Timbul konflik keagamaan kelompok muslim
dengan non-muslim.
2.
Menciptakan divisi sosial dan kesenjangan
budaya antara kelompok minoritas angkatan muda Indonesia yang berasal dari
kelas menengah ke atas dan yang berasal dari keluarga biasa
3.
tercipta polarisasi sosial tanpa memedulikan
kemampuan kerja mereka
4.
Menghambat perkembangan kaum pribumi.[7]
Dalam hal ini, ada enam pembahasan penting
menurut Muhammad Sirozi tentang hubungan politik dan pendidikan:
1.
Pendidikan dan Sikap Kelompok
Hubungan kekuasaan antar kelompok masyarakat banyak
dipengaruhi oleh kesempatan belajar dan intensitas respons mereka terhadap
pendidikan barat. Kelompok yang tertekan karena menjadi korban imperalisme
budaya cenderung menginginkan sistem pendidikan terpisah untuk melindungi
identitas mereka (pendidikan pesantren).
Sementara yang lain menginginkan terjadi penyeragaman sistem pendidikan agar
dapat mengeliminasi bahaya laten perpecahan sosial sehingga munculah sekolah
Arab, Cina, Kristen, Islam, dll. Bertahannya sistem ini bergantung pada dua hal
yaitu memberi kesempatan yang sama pada semua kelompok masyarakat dan generasi
muda mengalami belajar bersama mencairkan perbedaan sosial mereka.[8]
2.
Pendidikan dan dunia kerja
Pendidikan dan dunia kerja memiliki hubungan yang sangat
kompleks. Masalah pengangguran menjadi ujian bagi pemerintah di negara
berkembang. Tuntutan itu untuk mengimbangi keberhasilan pendidikan dengan
ketersediaan lapangan kerja. Hanya
dengan sumber daya manusia yang terlatih dan kesempatan kerja yang memadai
pemerintah dan birokrasinya dapat memenuhi tuntutan masyarakat, dan manusia
yang terdidik itulah yang dapat diminta turut serta bertanggung jawab dalam
pembangunan bangsa.
Hubungan politik dan
pendidikan berakibat pada semua dataran filosofis dan kebijakan. Di Indonesia
sendiri filsafat pendidikan nasional adalah artikulasi pedagogis dari nilai
yang ada pada Pancasila dan UUD 1945.pada dataran kebijakan, sangat sulit
memisahkan antara kebijakan pendidikan yang dibuat pemerintah dengan persepsi
dan kepercayaan publik yang ada pada pemerintah tersebut.
Implementasi dari
kebijakan pendidikan berdampak pda kehidupan politik seperti akses, minat, dan
kepentingan pendidikan para stakeholder pendidikan (orang tua, peserta didik,
masyarakat). Pada sisi lain empat aspek kehidupan masyarakat yang dipengaruhi
oleh kebijakan pendidikan oleh pemerintah yaitu lapangan kerja, mobilitas
sosial, ide dan sikap.
Di negara berkembang
dinamika antara pendidikan dan politik cenderung lebih tinggi karena
perubahannya lebih nyata dalam proses menghantarkan negara jajahan menuju
gerbang kemerdekaan. Di Indonesia sendiri, penghancur sistem kolonial adalah
murid yang dididik di sekolah kolonial.
Besarnya peran sisem persekolahan dalam meruntuhkan
kolonialisme terlihat jelas. Kebijakan politik pemerintah kolonial, politik
etis mengakibatkan perluasan akses pendidikan bagi kaum pribumi. Pada sisi
lain, bekal pendidikan yang diperoleh telah memperluas wawasan sosial politik
dan memperkuat sentimen kebangsaan mereka. Hal itulah yang memacu kegiatan
politik dan menumbuhkan semangat perlawanan terhadap kolonial waktu itu.
Buktinya tokoh-tokoh pribumi yang dididik menjadi figur utama dalam gerakan
nasionalis yang menggugat kolonialisme.[9]
3.
Format Hubungan
Hubungan keduanya terwujud
kedalam bentuk yang berbeda sesuai dengan karakteristik sosial politik negara.
Negara berkembang yang masyarakatnya primitif menanamkan pada generasi muda
tentang kepercayaan, nilai-nilai, dan tradisi dan mempersiapkan untuk berperan
secara politis. Sedangkan yang masyarakatnya maju, masyarakatnya lebih
berorientasi pada teknologi dan mengadopsi nilai-nilai dari lembaga Barat, yang
dulunya berpola tradisional menjadi modern.
Negara maju menjadikan
pendidikan berada dalam arus utama kehidupan politik nasional dan menjadi isu
penting dalam wacana politik. Jika politik dipahami sebagai praktek kekuatan,
kekuasaan, dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan keputusan otoratif
tentang alokasi sumber daya dan nilai
sosial maka jelas bahwa pendidikan tidak lain adalah bisnis politik. Lembaga
pendidikan terlibat dalam praktek kekuatan, kekuasaan, dan otoritas. Dengan
kata lain, politik adalah bagian dari paket kehidupan lembaga pendidikan.
Penegasan ini
menyatakan bahwa pendidikan dan politk adalah hubungan erat dan mempengaruhi.
Aspek pendiidkan senantiasa mengandung unsur politik dan setiap aktivitas
politik ada kaitannya dengan aspek pendidikan.[10]
4.
Ide Non-Political
School
Walaupun hubungan
antara politik dan pendidikan begitu kuat dan nyata, tidak semua orang mengakui
dan mendukung realitas itu. Pihak yang tidak setuju mengingikan upaya perubahan
untuk mengikis elemen politik dalam pendidikan. mereka menginginkan agar
keduanya menjadi wilayah yang terpisah.
Pemisahan itu untuk
membebaskan lembaga pendidikan dari kepentingan politik penguasa. Persoalan ini
memuncak pada tahun 70-an di Amerika Serikat karena ada keinginan menciptakan
dinding pemisah anatar karakteristik sistem politik dengan kebijakan
pendidikan. Para ilmuwan kecewa karena praktek korupsi yang dilakukan partai
politik pada akhir abad ke-19 sehingga mereka mengabaikan aspek politik dari
pendidikan. Tetapi karena kajian persoalan ini sangat minim, penjelasan tentang dasar
pemisahan antara keduanya masih sulit ditemukan.
Hingga tahun 80-an,
banyak negara masih ada keyakinan bahwa politik dan pendidikan adalah kegiatan
yang terpisah. Keyakinan ini memberi keraguan pengertian politik pendidikan dan
tujuan, fokus, serta wilayah kajian politik pendidikan sebagai bidang kajian
akademik. Di Amerika sendiri, selama beberapa tahun sekolah publik ditempatkan
dalam sebuah ruang anti dan tanpa politik.
Pendukung non-political-school yaitu para
pelaksana dan praktisi pendidikan menciptakan seperangkat mitos yang
menggambarkan pendidikan sebagai suatu fungsi pemerintahan yang harus
dikeluarkan dari politik dan dijaga oleh pendidik sebagai cara yang dapat
mengamankan kepentingan publik. Sedangkan di Australia, munculnya sikap non-political-school karena 4 faktor yaitu:
a.
Keyakinan itu bagian dari hasil konflik tajam
antara gereja dan sekolah pada abad ke-19.
b.
Konfilk itu memunculkan pandangan yang meluas
bahwa politik tidak boleh mengganggu pendidikan, dan sistem sekolah pemerintah
dan penarikan bantuan dari sekolah gereja harus berjalan.
c.
Keyakinan bahwa pendidikan diluar politik
telah mengakar dikalangan pendidik profesional selama bertahun-tahun.
d.
Pandangan bahwa politik adalah sesuau yang
kotor dan tidak terhormat karena berkenaan dengan ide korupsi, penyalahgunaan
kekuasaan, dan kurang baiknya gambaran tentang partai politik.
Pandangan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang terpisah tidak mengandung kebenaran baik di negara maju dan berkembang karena keduanya merupakan aktivitas yang mendasar dalam semua masyarakat. Keduanya adalah sarat dengan proses pengalokasian dan pendistribusian nilai dalam masyarakat. Lembaga yang menyelenggarakan aktivitas keduanya akan saling memengaruhi karakter dan budaya yang dimiliki masyarakat.[11]
5.
Hambatan ke depan
Hubungan antara politik
dan pendidikan sekarang ini terlihat dalam kebijakan pendidikan yang telah
menjadi tema perdebatan dan kompetisi antar partai politik. Dalam kampanye,
pendidikan menjadi salah satu isi pokok dalam materi atau dalam rumusan visi
dan misi para kandidat. Para pendidik telah tampil sebagai kelompok militan
yang dengan gigihnya memperjuangkan hak mereka.
Selain pendidik,
administratur pendidikan dan masyarakat luas menyatakan bahwa tekanan dan
kekuatan politik sangat berpengaruh terhadap lembaga dan kebijakan pendidikan.
Pemahaman tentang persoalan pendidikan tidak hanya diperlukan dasar pengalaman
dan pengetahuan pendidikan, tetapi juga diperlukan pengetahuan tentang aspek
dan konteks politik dari persoalan kependidikan itu.[12]
6.
Perkembangan di Indonesia
Politik tidak
terpisahkan dari pendidikan, kecuali jika negeri ini ingin memiliki generasi
yang buta politik (tidak bisa megeluarkan negeri ini dari krisis). Politik
adalah cara mengelola lingkungan yang luas, bukan hanya perebutan kekuasaan.
Maka, tugas sekolah untuk membantu pelajar untuk dapat membedakan politik yang
baik dan tidak baik (sesuai dengan peraturan).
Para mahasiswa di
perguruan tinggi harus belajar tentang tanggung jawab sebagai warga negara (civic responsibility) dan tidak boleh
acuh tak acuh terhadap sesuatu yang berlangsung di luar lingkungan perguruan
tinggi. Itulah bukti ketidakterpisahan antara politik dan pendidikan. Politik
adalah realitas kehidupan dan menyikapi secara bijak. Pandangan sistem
pendidikan tentang politik sebagai sesuatu yang kotor membuat masyarakat tidak
mau menjadi politisi. Apabila hal ini terus terjadi, Indonesia akan dipimpin
oleh para pengamat politik. Dari pemikiran itu dapat ditarik pemahaman, bahwa:
a.
Kesadaran tentang hubungan erat antara
pendidikan dan politik,
b.
Pentingnya pendidikan dalam menentukan corak
dan arah politik.
c.
Kesadaran akan pentingnya pemahaman antara
keduanya.
d.
Perlunya pemahaman yang lebih luas tentang
politik.
e.
Pentingnya civic education (pendidikan kewargaan).
Pendidikan dan
politik perlu diintegrasikan untuk dapat melahirkan para pemimpin politik yang
berkualitas. Keduanya memberi indikasi yang cenderung ke arah positif walaupun
kajian politik pendidikan masih menjadi barang langka dan jarang terdengarnya
di pusat studi kependidikan di negeri ini. Tetapi sudah ada perguruan tinggi
yang sudah memasukkan politik pendidikan ke dalam kurikulum seperti di
perguruan tingggi UIN Sunan Kalijaga dan UIN Jakarta.
Diskusi tentang isu
fundamental tentang pendidikan sudah mengungkapkan aspek dan hambatan yang
bersifat politik dalam perkembangan sistem pendidikan di Indonesia seperti
kecilnya dana untuk pendidikan dan rendahnya mutu pendidikan disebabkan dari
rendahnya komitmen politik pemerintah. Banyak topik dan buku yang membahas
kajian dan aspek politik bermunculan. Hal itu membuktikan bahwa pemahaman
tentang hubungan keduanya sudah berkembang. Upaya strategis diharapkan agar
pemahaman itu terus berkembang. Kajian politik pendidikan diharapkan terus
diminati dan berkembang di pusat studi kependiidkan hingga wacana kependidikan
tidak hanya tertuju pada isu dan materi pembelajaran tetapi juga mengarah pada
konteks sosial politik dari isu-isu tersebut.
Memasuki abad ke-21,
Indonesia memberlakukan otonomi daerah dan lingkungan politik pendidikan yang
mengalami perubahan, yaittu terjadi perubahan peranan kebijakan pemerintah
pusat dan daerah, terfragmentasinya pendidikan baik politik maupun bentuk
program, dan muncul kembalinya kepentingan non kependidikan, terutama dunia
bisnis dalam wilayah pendidikan.[13]
Hubungan Politik dan Pendidikan dalam Islam
Di
dunia Islam, keterkaitan antara pendidikan dan politik terlihat jelas. Sejarah
peradaban Islam banyak ditandai oleh kesungguhan para ulama dan umara dalam
memperhatikan persoalan pendidikan dalam upaya memperkuat posisi politik
kelompok dan pengikutnya. Pendidikan pada masa Islam klasik bahwa dalam sejarah
perkembangan Islam, institusi politik ikut mewarnai corak pendidikan yang
dikembangkan. Keterlibatan para penguasa dalam kegiatan pendidikan pada waktu itu
tidak hanya sebatas dukungan moral kepada para peserta didik, melainkan juga
dalam bidang administrasi, keuangan, dan kurikulum. [14]
Dalam buku karya Hasan Ashari dinyatakan
bahwa ketika Nizham Al-Mulk menjadi seorang wazir pada dinasti Saljuq,
tindakannya dalam membangun madrasah tidak mungkin terpisah dari kerangka kerja politiknya.
Usaha membangun satu pemerintahan yang stabil, ia membutuhkan hubungan baik
dengan para ulama yang berarti hubungan baik dengan masyarakat secara
keseluruhan. Kebijakan Nizham ini juga bertujuan untuk menciptakan rasa
persatuan yang kokoh.[15]
Madrasah merupakan salah satu lembaga yang menjadi corong pesan-pesan politik,
seperti madrasah Nizhamiyah ini. Hal ini dapat dipahami, bahwa madrasah
Nizhamiyah merupakan usaha membangun politik yang stabil.
Perkembangan kegiatan
kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa. penguasa memerlukan
dukungan lembaga pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan
mereka, sebab tujuan pemerintahan Islam, adalah menegakkan kebenaran dan
keadilan dengan melaksanakan syariat ajaran Islam.[16]
Pendidikan Islam menghasilkan para pejuang
yang kuat dalam memperluas peta politik dan mencetak ulama yang membangun
masyarakat yang sadar hukum sehingga memperluas peta politik, menambah pemeluk islam,
dan terjadi perkembangan jumlah serta varietas lembaga pendidikan.[17]
Ada dua alasan para penguasa muslim sangat peduli dengan pendidikan yaitu
karena Islam adalah agama yang mencakup semua aspek kehidupan seorang muslim
dan karena motivasi politik.[18]
Dengan kekuasaan mereka menanamkan ideologi negara dengan tujuan lahirnya
kesamaan ide anatara penguasa dan masyarakat sehingga memudahkan pengaturan
masalah kenegaraan.[19]
Diantara bangsa yang
berkembang ada yang berhasil dengan baik tanpa memusatkan perencanaan
pendidikan secara ekstensif. Dan ada pula bangsa yang mempergunakan mekanisme
pemerintahan untuk menjalankan perencanaan pendidikan dengan memperlihatkan
kemajuan yang lamban.[20]
Para pemimpin besar
muslim di Indonesia mengatakan bahwa mereka adalah orang yang wajib melindungi
kepentingan pendidikan muslim, khususnya pendidikan agama wajib di sekolah.
Dalam bukunya Muhammad Sirozi, K.H. Hasan Basri dari MUI mengatakan bahwa
pendidikan adalah langkah awal dalam upaya membentuk generasi mendatang bangsa
ini. Jadi, para pemimpin Muslim tetap bertanggung jawab dengan generasi
mendatang.[21]
Simpulan
Hubungan antara
politik dan pendidikan tidak terpisah dan berkaitan, dan dalam kenyataan
membuktikan bahwa di semua masyarakat, keduanya berhubungan erat dan terkait.
Proses dan lembaga pendidikan memiliki banyak dimensi serta aspek politik untuk menjalankan fungsi yang memiliki
tanggung jawab penting dalam sistem politik dan terhadap perilaku politik
sesuai dengan karakteristik negara masing-masing. Dengan pendidikan, generasi
bangsa yang berkarakter akan menjadi pengelola negara yang tetap menjunjung
nilai kehidupan dan tidak membuat politik sebagai alat kekuasaan semata.
Di Indonesia sendiri
perlu ditingkatkannya kesadaran tentang hubungan erat antara pendidikan dan
politik, pentingnya pendidikan dalam menentukan corak dan arah politik, kesadaran
akan pentingnya pemahaman antara keduanya, perlunya pemahaman yang lebih luas
tentang politik dan pentingnya civic
education (pendidikan kewargaan). Pendidikan dan politik perlu
diintegrasikan untuk dapat melahirkan para pemimpin politik yang berkualitas.
Sebagai seorang mahasiswa yang sudah mengenyam pendidikan selama beberapa tahun
diharapkan untuk tidak acuh terhadap apa yang berkembang di luar perguruan tinggi
yaitu politik.
Dalam Islam juga menyatakan bahwa untuk memperkuat wilayah dan kemajuan negara, para penguasa juga mendirikan lembaga pendidikan dan menjalin komunikasi yang baik dengan para pendidik (ulama-ulama) sehingga pengaturan masalah kenegaraan akan lebih mudah, politik menjadi stabil dan persatuan menjadi kokoh. Perkembangan kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para penguasa memerlukan dukungan institusi-intitusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Asari, Hasan.
1994. Menyingkap Zaman Keemasan Islam. Bandung: Mizan.
Irianto, Agus.
2011. Pendidikan sebagai Investasi suatu
Bangsa. Jakarta: Kencana.
Kadir, Sardjan,
Umar Ma’shum. 1982. Pendidikan di Negara Berkembang. Surabaya: Usaha Nasional.
Kartoredjo.
2014. Kamus Baru Kontemporer.
Bandung: Rosdakarya.
Poerwadarminta.
2011. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Sirozi, Muhammad. 2005.
Politik Pendidikan: Dinamika hubungan
antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan.
Jakarta: PT. Grafindo Persada.
------------------------.
2004. Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: peran tokoh-tokoh Islam dalam
penyusunan UU No.2/ 1989. Jakarta: Inis.
[1] H.S, Kartoredjo, Kamus Baru Kontemporer, (Bandung:
Rosdakarya, 2014), hlm., 290.
[2] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka,
2011), hlm., 905
[3] Agus Irianto, Pendidikan sebagai Investasi Suatu Bangsa,
(Jakarta: Kencana,
2011), hlm., 3.
[4] M. Sirozi, Politik Pendidikan Politik Pendidikan:
Dinamika hubungan antara
Kepentingan
Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: PT
Raja
Grafindo Persada, 2005), hlm., 3.
[5] Ibid.,
M. Sirozi, Politik Pendidikan, hlm., 6-7.
[6] Ibid., M. Sirozi, Politik
Pendidikan, hlm., 7.
[7] Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia:
peran tokoh-tokoh Islam
dalam
penyusunan UU No.2/ 1989, (Jakarta: Inis, 2004), hlm.,17-29.
[8] Ibid., M.
Sirozi, Politik Pendidikan, hlm.,
9-10.
[9] Ibid., M. Sirozi, Politik
Pendidikan, hlm., 10-15.
[10] Ibid., M. Sirozi, Politik
Pendidikan, hlm., 15-20.
[11] Ibid., M. Sirozi, Politik
Pendidikan, hlm., 20-26.
[12] Ibid., M. Sirozi, Politik
Pendidikan, hlm., 26-28.
[13] Ibid., M. Sirozi, Politik
Pendidikan, hlm., 28-35.
[14] Ibid., M. Sirozi, Politik
Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm., 2.
[15] Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam,
(Bandung: Mizan, 1994), hlm., 53.
[16] Ibid., M. Sirozi, Politik
Pendidikan, hlm., 3.
[17] Ibid., M. Sirozi, Politik
Pendidikan, hlm., 5.
[18]
Ibid., M. Sirozi, Politik
Pendidikan, hlm., 5-6.
[19] Ibid., M. Sirozi, Politik
Pendidikan, hlm., 6.
[20] Drs. Sardjan Kadir, Drs
Umar Ma’sum, Pendidikan di Negera
Berkembang, (Surabaya:
Usaha Nasional, 1982), hal.243.
[21] Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: peran tokoh-tokoh Islam
dalam
penyusunan UU No.2/ 1989, (Jakarta: Inis, 2004) hlm. 199-200.