Hakekat Bahasa Sebagai Dasar Filsafat Teori Bahasa

HAKEKAT BAHASA SEBAGAI DASAR FILSAFAT TEORI BAHASA

Perhatian filsafat terhadap bahasa yang merupakan paradigma teori-teori bahasa sebenarnya telah berlangsung lama bahkan sejak zaman Yunani. Sebagaimana diketahui Herakleitos telah mengembangkan pemikiran bahwa “kata” (logos) menurutnya bukan semata-mata gejala antropologis melainkan mengandung kebenaran kosmis yang universal. Demikian pula bilamana sebelum Herakleitos ‘kata’ seringkali dipandang sebagai memiliki makna magis, namun Herakleitos mengembangkannya sebagai fungsi semantic dan simbolis. Dalam pengertian inilah dalam zaman Yunani kuno filsafat bahasa telah mendapat perhatian para filsuf. Demikian juga filsuf besar dunia Plato telah mengembangkan pemikiran filsafat bahasa. Ia telah membahas tentang hakikat bahasa, di mana ia menyatakan bahwa bahasa adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan ‘onoma’ dan ‘rhemata’ yang merupakan cermin dari ide seseorang melalui arus ujaran. Demikian juga pada saat itu telah berkembang pemikiran spekulatif tentang hakikat bahasa sebagai ‘analogi’ dan ‘anomali’. Ungkapan-ungkapan metafisik juga telah dikembangkan oleh para filsuf sebagai upaya untuk menguak hakikat bahasa, antara lain Schleiermecher, Dilthey, Heidegger maupun Gadamer.

A.  Bahasa sebagai Sesuatu yang Alamiah

Manusia dalam hidupnya sebagai makhluk tidak dapat memenuhi hasratnya secara sendiri-sendiri oleh karena itu manusia harus senantiasa berkomunikasi dengan manusi lain. Dalam komunikasi manusia tidak akan terjadi dengan baik manakala manusia tidak menggunakan suatu media respresentative yaitu bahasa. Oleh karena itu nampaknya bahasa adalah merupakan sarana khas makhluk manusia.

Walaupun secara ontologis bahasa memiliki hubungan sebab akibat dengan manusia, namun ditinjau berdasarkan bagaimana bahasa itu berbunyi dan nampak, maka terdapat pemikiran filosofis bahwa bahasa adalah bersifat alamiah. Sesuatu yang terdapat dalam substansi bahasa itu sendiri pada hakikatnya adalah bersifat alamiah,[1]karena sistem bunyi yang terdapat didalamnya, hubungan antara sistem bunyi tersebut dengan realitas di lar bahasa itu sendiri merupakan sesuatu yang tidak direncanakan.

1.    Bahasa Bersifat Kausalitas

Secara ontologis bahasa memiliki hubungan sebab akibat dengan aktivitas manusia. Bahasa sebagai sarana komunikasi adalah merupakan suatu penuangan pikiran manusia  selain itu bahasa sebagai suatu manifestasi tingkah laku manusia. Hal itu meliputi dua macam dasar yaitu:

a.    Bahasa sebagai pemikiran atau ide

Bahasa dapat dianggap sebagai dari hasil proses pemikiran, secara kausalitas bahasa terwujud karena merupakan hasil pemikiran manusia. Oleh karena itu struktur bahasa juga ditentukan oleh struktur pemikiran manusia. Pemikiran adalah aksi (act) yang menyebabkan pikiran mendapatkan pengertian baru dengan perantara hal yang sudah diketahui. Berpikir yang pada hakikatnya bersifat membangun (konstruktif).[2] Sifat bahasa yang alamiah merupakan hasil pemikiran manusia ini dikembangkan oleh paham tradisionalisme.

Brunot seorang tokoh aliran tradisionalisme menyatakan bahwa terdapat hubungan antara bahasa dengan pemikiran manusia yang terbagi menjadi lima kategori pemikiran yaitu: wujud, fakta, lingkungan, perasaan-perasaan, dan hubungan.[3]

b.    Bahasa sebagai tingkah laku.

Pada sisi lain bahasa juga dianggap tersusun dari unit-unti tingkah laku. Fungsi bahasa itu bisa menjadi sangat banyak sesuai denagn banyaknya tindak dan prilaku serta keperluan manusia dalam kehidupan, karena bahasa digunakan manusia dalam segala tindak kehidupan, sedangkan prilaku dalam kehidupan itu sangat luas dan beragam.[4] Aliran ini banyak dikembangkan oleh pakar yang memiliki latar belakang ilmu sosiologi, antropologi bahkan kalangan linguis sendiri. Aliran teori bahasa tagmemik yang dipelopori oleh Kenneth L. Pike misalnya mengembangkan teorinya berdasarkan pada pemikiran bahwa bahasa adalah tidak dapat dipisahkan dengan tingkah laku manusia pada umumnya.Menurut Pike bahwa unit dasar bahasa adalah ‘tagmeme’ yang berasal dari bahasa Grik ‘tagma’ yang berarti arrangement (susunan).

2.    Bahasa Bersifat Bebas

Terdapat teori yang menyatakan bahwa bahasa pada hakikatnya adalah sebagai suatu substansi yang bebas. Bahasa adalah sebagai sesuatu substansi yang tidak tergantung pada sesuatu yang lain. Hal ini meliputi dua pengertian bahasa yaitu:

a.    Bahasa sebagai struktur

Pemikiran tentang hakikat bahasa yang hanya dipandang sebagai struktur, terutama struktur empiris adalah pandangan bahasa sebagaimana dikemukakan oleh kalangan penganut strukturalisme, yang dipelopori oleh Saussure bahwa bahasa merupakan suatu bangunan dari unit-unit yang lebih kecil dan sampai yang terkeci, kata, morfem, fonem.[5]

Pandanga dasar ini dikembangkan lebih lanjut oleh sejumlah aliran antara lain aliran Gloosematik. Teori Gloosematik menganggap bahasa sebagai suatu sistem hubungan internal. Aliran ini juga menggunakan metode logika formal yang bertujuan untuk menggambarkan struktur internal bahasa secara lengkap dengan sederhana mungkin. Aliran lain yang mengembangkan teori strukturalisme adalah Noam Chomsky dan Bloomfield. Bloomfield beranggapan bahwa bahasa sebagai suatu struktur empiris sampai tingkat yang terkecil bahasa yaitu fonem. Adapun Comsky menampilkan pemikiran yang lebih maju. Ia memulai dengan suatu anggapan bahwa struktur kebahasaan itu sudah sebagai suatu teori yang menurunkan semua kalimat-kalimat gramatikal. Teori ini berusaha untuk menjelaskan bagaimanakah unsur struktur yang jumlahnya terbatas yang terdapat dalam suatu bahasa tertentu dapat menghasilkan kalimat yang jumahnya tidak terbatas.

b.   Bahasa sebagai suatu sistem komunikasi.

Manusia dalam hidupnya senantiasa berkomunikasi dengan manusia lain dalam masyarakat untuk menyampaikan pesan, ungkapan perasaan, emosi dan lain sebagainya. Sarana yang vital dalam komunikasi adalah bahasa. Bahasa adalah sebagai alat komunikasi sosial. Bahasa pada dasarnya sudah menyatu dengan kehidupan manusia. Aktivitas manusia sebagai anggota masyarakat setempat. Gagasan, ide, pikiran, harapan, dan keinginan disampaikan lewat bahasa. Bahasa merupakan tanda yang jelas dari kepribadian manusia. Melalui bahasa yang digunakan manusia, maka dapat memahami karakter, keinginan, motif, latar belakang pendidikan, kehidupan sosial, pergaulan, dan adat istiadat manusia.

B.  Bahasa sebagai Aktivitas Manusia

Dalam kehidupan manusia bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan juga menyertai proses berfikir manusia dalam usaha memahami dunia luar. Informasi lewat bahasa, selain hanya menunjuk pada  struktur kebahasaan itu sendiri, juga mampu menunjuk pada sesuatu yang lain yaitu berkaitan dengan aktifitas mental. Hubungan antara bahasa dengan pikiran sehingga menghadirkan konsep mental yang akhirnya membentuk suatu pandangan hidup seseorang atau suatu masyarakat telah menjadi bahan kajian para filsuf bahkan sejak zaman aristoteles. Misalnya aristoteles telah mengemukakan bahwa kata-kata sebagai sarana ujaran pada hakikatnya dapat digunakan sebagai penanda sikap maupun suatu aktivitas kejiwaan.

Pemikiran ini memang berbeda dengan pemikiran-pemikiran terdahulu yang menekankan bahasa sebagai komunikasi, sebagai unsur-unsur pemikiran. Pemikiran yang menganggap bahwa bahasa sebagai suatu aktivitas, yaitu menyangkut fungsi bahasa digunakan manusia dalam hidupnya sebagai suatu aktivitas mental manusia yang meliputi aktivitas jiwa, dan aktivitas otak.[6]

Secara ontologi bahasa dianggap sebagi suatu aksi yaitu sebagai suatu dinamika gerak mental manusia. Pengembangan bidang ini dalam sudi bahasa disebut sebagai bidang psikomekanik. Prinsip teori ini ialah bahwa gerak mental yang ikut terjadi pada waktu bahasa diungkapkan tentu memerlukan waktu, walaupun sekecil mungkin. Pskikomekanik digunakan untuk mengkaji gerak-gerak mental tersebut dan untuk menyatakannya dengan mental, dalam rangka memperlihatkan proses mental yang terjadi dalam penggunaan bahasa.

C.  Bahasa Bersifat Dinamis

Terdapat aliran filsafat bahasa yang hanya mendasarkan pada pemikiran ontologis bahwa bahasa hanya merupakan suatu aksidensia  yaitu perubahan.

Menurut pandangan ini bahwa bahasa pada hakikatnya adalah suatu perubahan yang terus menerus, bukan sesuatu yang bersifat sudah jadi. Dalam pandangan ini, nampaknya selaras dengan pandangan filosofis pemikiran – pemikiran filsafat zaman Yunani kuno, yaitu Thales, Anaximandros, dan Aniximenes yang menyatakan segala sesuatu di alam semesta ini adalah senantiasa berubah.

Aliran dalam filsafat bahasa yang kemudian berkembang menjadi teori dan ilmu bahasa memandang bahasa sebagai suatu perubahan yang terus – menerus, misalnya pemikiran yang dikembangkan oleh Jaspersen, Meyer, Lubke, Sweet, Schuchardt, dan para tokoh linguistik lainnya. Perubahan itu dapat menyangkut aksidensia ruang maupun waktu, yang bisa terjadi pada individu dan masyarakat sebagai penutur bahasa.

Bahasa adalah merupakan salah satu unsur kebudayaan manusia. Oleh karena itu perkembangan bahasa senantiasa selaras dengan perkembangan kebudayaan manusia. Bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang saling berkesinambungan. Bahasa yang digunakan dalam kelompok masyarakat yang lainnya dalam suatu proses akulturasi kebudayaan

Pandangan tentang hakikat bahasa sebagai suatu perubahan yang berdasarkan ruang membawa perubahan juga pada berbagai macam teori bahasa. Banyak ahli bahasa menyelidiki perubahan bahasa menurut ruang yaitu wilayah di mana bahasa tersebut hidup dan berkembang, yang memiliki induk bahasa yang sama.[7]

Simpulan

1.      Manusia dalam hidupnya sebagai makhluk tidak dapat memenuhi hasratnya secara sendiri-sendiri oleh karena itu manusia harus senantiasa berkomunikasi dengan manusi lain. Dalam komunikasi manusia tidak akan terjadi dengan baik manakala manusia tidak menggunakan suatu media respresentative yaitu bahasa. Oleh karena itu nampaknya bahasa adalah merupakan sarana khas makhluk manusia. Walaupun secara ontologis bahasa memiliki hubungan sebab akibat dengan manusia, namun ditinjau berdasarkan bagaimana bahasa itu berbunyi dan nampak, maka terdapat pemikiran filosofis bahwa bahasa adalah bersifat alamiah. Sesuatu yang terdapat dalam substansi bahasa itu sendiri pada hakikatnya adalah bersifat alamiah, karena sistem bunyi yang terdapat didalamnya, hubungan antara sistem bunyi tersebut dengan realitas di lar bahasa itu sendiri merupakan sesuatu yang tidak direncanakan.

2.      Dalam kehidupan nusia bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan juga menyertai proses berfikir manusia dalam usaha memahami dunia luar. Informasi lewat bahasa, selain hanya menunjuk pada  struktur kebahasaan itu sendiri, juga mampu menunjuk pada sesuatu yang lain yaitu berkaitan dengan aktifitas mental. Hubungan antara bahasa dengan pikiran sehingga menghadirkan konsep mental yang akhirnya membentuk suatu pandangan hidup seseorang atau suatu masyarakat telah menjadi bahan kajian para filsuf bahkan sejak zaman aristoteles. Misalnya aristoteles telah mengemukakan bahwa kata-kata sebagai sarana ujaran pada hakikatnya dapat digunakan sebagai penanda sikap maupun suatu aktivitas kejiwaan.

3.      Terdapat aliran filsafat bahasa yang hanya mendasarkan pada pemikiran ontologis bahwa bahasa hanya merupakan suatu aksidensia  yaitu perubahan. Menurut pandangan ini bahwa bahasa pada hakikatnya adalah suatu perubahan yang terus menerus, bukan sesuatu yang bersifat sudah jadi. Dalam pandangan ini, nampaknya selaras dengan pandangan filosofis pemikiran – pemikiran filsafat zaman Yunani kuno, yaitu Thales, Anaximandros, dan Aniximenes yang menyatakan segala sesuatu di alam semesta ini adalah senantiasa berubah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Kaelan. 2013.  Pembahasan Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Paradigma.

W, Poespropoja. 2007. Logika Scientika Pengantar Dialektika dan Ilmu. Bandung: Pustaka Grafika.

Chaer, Abdul. 2009.  Psikolinguistik. Jakarta: Rineka cipta cetakan kedua.




[1] Prof. Dr. Kaelan, M.S. Pembahasan Filsafat Bahasa (Yogyakarta: Paradigma,2013). Hal.284.

[2] Poespropoja W. Logika Scientika Pengantar Dialektika dan Ilmu (Bandung: Pustaka Grafika,2007)

[3] Prof. Dr. Kaelan, M.S. Op.cit. Hal.285-286.

[4] Abdul Chaer, Psikolinguistik, (Jakarta: Rineka cipta cetakan kedua, 2009), Hal. 33.

[5] Prof. Dr. Kaelan, M.S. Op.Cit. Hal.287.

[6] Ibid. Hal. 290

[7] Ibid, hal.293

Related Posts