Anotasi Murabahah, Ijarah dan Mudharabah



MURABAHAH
Anotasi Buku “Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan”, Pengarang: Ir. Adiwarman A. Karim, Penerbit: PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011.
Secara sederhana, murabahah berarti suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati.Misalnya, seseorang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan keuntungan tertentu.Berapa besar keuntungan tersebut dapat dinyatakan dalam nominal rupiah tertentu atau dalam bentuk persentase dari harga pembeliannya, misalnya 10% atau 20%.
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (marjin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts, karena dalam murabahah ditentukan berapa required rate of profit-nya (keuntungan yang ingin diperoleh).
Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan.Dalam murabahah berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah, dan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya (bank dapat meminta uang muka pembelian kepada nasabah).
Dalam kasus jual beli biasa, misalnya seseorang ingin membeli barang tertentu dengan spesifikasi tertentu, sedangkan barang tersebut belum ada pada saat pemesanan, maka si penjual akan mencari dan membeli barang yang sesuai dengan spesifikasinya, kemudian menjualnya kepada si pemesan.
Dalam murabahah melalui pesanan ini, si penjual boleh meminta pembayaran hamish ghadiyah, yakni uang tanda jadi ketika ijab-kabul. Hal ini sekadar untuk menunjukkan bukti keseriusan si pembeli. Bila kemudian si penjual telah membeli dan memasang berbagai perlengkapan di mobil pesanannya, sedangkan si pembeli membatalkannya,hamish ghadiya ini dapat digunakan untuk menutup kerugian si dealer mobil. Bila jumlah hamish ghadiyah-nya lebih kecil dibandingkan jumlah kerusakan yang harus ditanggung oleh si penjual, penjual dapat meminta kekurangannya. Sebaliknya, bila berlebih, si pembeli berhak atas kelebihan itu.
Anotasi Buku “Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek Hukumnya”, Pengarang: Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Penerbit: Prenadamedia Group, Jakarta, 2015.
Murabahah merupakan produk finansial yang berbasis bai ’ atau jual beli. Murabahah adalah produk pembiayaan yang paling banyak digunakan oleh perbankan syariah di dalam kegiatan usaha. Menurut pengetahuan Ashraf Usmani, pada dewasa ini murabahah menduduki porsi 66% dari semua transaksi investasi bank-bank syariah (Islamic bank’s) di dunia.
Maulana Taqi Usmani dalam tulisannya tentang murabahah mengemukakan bahwa, “Most of the Islamic banks and financial institutions are using Murabahah as an Islamic mode of financing, and most of their financing operation are based on Murabahah”
Murabahah merupakan produk pembiayaan perbankan syariah yang dilakukan dengan mengambil bentuk transaksi jual-beli (bai ’ atau sale). Namun murabahah bukan transaksi jual-beli biasa antara satu pembeli dan satu penjual saja sebagaimana yang kita kenal di dalam dunia bisnis perdagangan di luar perbankan syariah.
Pada perjanjian murabahah,bank membiayai pembelian barang atau aset yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli terlebih dahulu barang itu dari pemasok barang dan setelah kepemilikan barang itu secara yuridis berada di tangan bank, kemudian bank tersebut menjualnya kepada nasabah dengan menambahkan suatu mark-up/margin atau keuntungan di mana nasabah harus diberitahu oleh bank berapa harga beli bank dari pemasok dan menyepakati berapa besar mark-up/margin yang ditambahkan ke atas harga beli bank tersebut. Dengan kata lain, penjualan barang oleh bank kepada nasabah dilakukan atas dasar cost-plus profit.
Menurut Tarek al-Diwany, sebagaimana dikutip oleh Khir et al., murabahah adalah suatu bentuk jual-beli berdasarkan kepercayaan (trust-sale) karena pembeli harus percaya bahwa penjual akan mengungkapkan harga beli yang sebenarnya (true cost).

Anotasi Buku “Fikih Muamalah: Klasik dan Kontempoter (Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis, dan Sosial), Pengarang: Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, MPA, M.Si., Penerbit: GI Press, Jakarta, 2013.
Secara bahasa, murabahah berasal dari kata ribh yang bermakna tumbuh dan berkembang dalam perniagaan.
Murabahah menekankan adanya pembelian komoditas berdasarkan permintaan konsumen, dan proses penjualan kepada konsumen dengan harga jual yang merupakan akumulasi dari biaya beli dan tambahan profit yang diinginkan. Dengan demikian, bila terkait dengan pihak bank diwajibkan untuk menerangkan tentang harga beli dan tambahan keuntungan yang diinginkan kepada nasabah. Dalam konteks ini, bank tidak meminjamkan uang kepada nasabah untuk membeli komoditas tertentu, akan tetapi, pihak banklah yang berkewajiban untuk membelikan komoditas pesanan nasabah dari pihak ketiga, dan kemudian dijual kembali kepada nasabah dengan harga yang disepakati kedua pihak.
Di antara dalil yang memperbolehkan praktik akad jual beli murabahah adalah firman Allah S.W.T. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An-Nisa’ [4]: 29)
Berdasarkan ketentuan ini, jual beli murabahah mendapat pengakuan dan legalitas dari syariah, dan sah untuk dioperasionalkan dalam praktik pembiayaan bank syariah karena ia merupakan salah satu bentuk jual beli dan tidak mengandung unsur ribawi.
Dalam hadis disebutkan riwayat “Dari Abu Said al Khudri bahwa Rasulullah S.A.W. bersabda: sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka”. (HR. Al-Baihaqi dan Ibnu Majah).
Menurut Hanafiyah, rukun yang terdapat dalam jual beli hanya satu, yaitu Sighah (ijab dan qabul), artinya, sighah tidak akan ada jika tidak terdapat dua pihak yang bertransaksi, misalnya, penjual dan pembeli dalam melakukan akad (sighah) tentunya ada sesuatu yang harus ditransaksikan, yakni objek transaksi.
Anotasi Buku “Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah”, Penyusun: Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, M.A., Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Kata murabahah berasal dari kata rabaha, yarabihu, murabahatan, yang berarti untung atau menguntungkan, seperti ungkapan “tijaratun rabihah, wa baa’u asy-syai murabahatan” artinya perdagangan yang menguntungkan, dan menjual sesuatu barang yang memberi keuntungan.Kata murabahah juga berasal dari kata ribhun atau rubhun yang berarti tumbuh, berkembang, dan bertambah.
Sedangkan murabahah secara istilah yakni jual beli dengan harga pokok ditambah keuntungan yang diketahui atau penjual barang memberitahukan kepada pembeli harga barang dan keuntungan yang akan diambil dari barang tersebut. Menurut Dewan Syariah Nasional, murabahah yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
Adapun rukun murabahah yakni adanya penjual (al-bai’), pembeli (al-musytari’), barang yang dibeli (al-mabi’), harga (al-tsaman), dan shighat (ijab-qabul).
Dasar hukum murabahah yakni pada surah An-Nisa ayat 26 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”
Bagi jumhur ulama, murabahah adalah salah satu jenis jual beli yang dihalalkan oleh syara’ selama transaksi tersebut memenuhi ketentuan yakni Pertama: Penjual hendaknya menyatakan modal yang sebenarnya bagi barang yang hendak dijual, Kedua: Pembeli setuju dengan keuntungan yang ditetapkan oleh penjual sebagai imbalan dari harga perolehan, dan yang Ketiga: Barang yang dijual secara murabahah bukan barang ribawi.



Anotasi Sumber Lain “Akuntansi Murabahah”, Penulis: Ricky Erri Thoiffur, Penerbit: Blogspot.com, 2015
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli.
Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan.Pesanan: Penjual melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari pembeli. Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat. Jika aset murabahah yang dibeli penjual mengalami penurunan nilai sebelum diserahakan kepada pembeli, maka penurunan nilai tersebut menjadi tanggung jawab penjual dan akan mengurangi nilai akad. Tanpa Pesanan: Penjual melakukan pembelian walaupun tidak ada pemesanan dari pembeli.
Pembayaran Murabahah dapat dilakukan secara tunai atau tangguh.Tunai: Pembeli melakukan pembayaran secara tunai saat aset murabahah diserahkan. Tangguh: Pembayaran tidak dilakukan saat aset murabahah diserahkan, tetapi pembayaran dilakukan secara angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu, disini akan muncul piutang murabahah.
Adapun uang muka, penjual dapat meminta uang muka kepada pembeli sebagai komitmen pembelian aset murabahah sebelum akad disepakati. Uang muka akan menjadi bagian pelunasan piutang murabahah, jika akad disepakati.Tetapi jika akad batal, maka uang muka dikembalikan kepada pembeli setelah dikurangi kerugian riil yang ditanggung oleh penjual.
Denda dan potongan pelunasan piutang terjadi jika pembeli tidak dapat menyelesaikan piutang murabahah, maka penjual dapat mengenakan denda kecuali jika dapat dibuktikan pembeli tidak atau belum mampu melunasi disebabkan oleh force majeur.
 Penjual boleh memberikan potongan dari total piutang murabahah yang belum dilunasi jika pembeli, Pertama: Melakukan pembayaran cicilan tepat waktu, Kedua: Mengalami penuruanan kemampuan pembayaran, atau Ketiga: Meminta potongan dengan alasan yang dapat diterima penjual.
Anotasi Pribadi
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
Dalam praktiknya, bank membiayai pembelian barang yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli terlebih dahulu barang itu dari pemasok barang dan setelah kepemilikan barang itu berada di tangan bank, kemudian bank tersebut menjualnya kepada nasabah dengan menambahkan suatu margin(keuntungan) di mana nasabah harus diberitahu oleh bank berapa harga beli bank dari pemasok dan menyepakati berapa besar margin (keuntungan) yang ditambahkan ke atas harga beli bank tersebut.
Jual beli murabahah mendapat pengakuan dan legalitas dari syariah, dan sah untuk dioperasionalkan dalam praktik pembiayaan bank syariah karena hal tersebut merupakan salah satu bentuk jual beli dan tidak mengandung unsur ribawi.















IJARAH
Anotasi Buku “Bank Islam: Analisis Fiqih Keuangan”, Pengarang: Ir. Adiwarman A. Karim, Penerbit: PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011.
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat(hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila jual beli objeknya barang, pada ijarah objek transksinya adalah barang dan jasa.
Pada dasarnya, ijarah didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang/ jasa dengan membayar imbalan tertentu. Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
Dengan demikian, dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.











Anotasi Buku “Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek Hukumnya”, Pengarang: Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Penerbit: Prenadamedia Group, Jakarta, 2015.
Kata ijarah berasal dari kata al-‘Ajr yang berarti kompensasi (compensation), substitusi (substitute), pertimbangan (consideration), imbalan (return), atau counter value (al-‘Iwad). ljarah berarti lease contract dan juga berarti hire contract.
Dalam konteks perbankan syariah, ijarah adalah suatu lease contract di bawah mana suatu bank atau lembaga keuangan menyewakan peralatan (equipment), sebuah bangunan, barang-barang seperti mesin-mesin, pesawat terbang, dan lain-lain kepada salah satu nasabahnya berdasarkan pembebanan biaya sewa yang sudah ditentukan sebelumnya secara pasti (fixed charge)
Sementara itu, menurut al-Kasani sebagaimana dikutip oleh Ayub, dalam hukum Islam ijarah adalah “A contract of a known and proposed usufruct of specified assets for a specified time period against a specified and lawful return or consideration for the service or return for the benefit proposed to be taken, or for the effort or work proposed to be expended.”
Seperti halnya juga pada transaksi murabahah, dalam transaksi ijarah harus terdapat dua akad, yaitu akad bai ’ (jual-beli atau sale) antara bank dan pemasok (dimungkinkan bank diwakili oleh nasabah yang memerlukan jasa ijarah)








Anotasi Buku “Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah”, Pengarang: Dr. Mardani, Penerbit: Kencana Prenamedia Group, Jakarta, 2013.
Ijarah adalah perjanjian sewa-menyewa suatu barang dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa.Ijarah adalah transaksi sewa-menyewa atas suatu barang dan atau upah-mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. Menurut Dr. Muhammad Syafl’i Antonio, ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ijarah adalah sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran. Ijarah dapat juga diartikan dengan lease contract dan juga hire contract. Karena itu, ijarah dalam konteks perbankan syariah adalah suatu lease contract.Lease contract adalah suatu lembaga keuangan menyewakan peralatan (equipment), baik dalam bentuk sebuah bangunan maupun barang-barang, seperti mesin-mesin, pesawat terbang, dan lain-lain. Kepada salah satu nasabahnya berdasarkan pembebanan biaya yang sudah ditentukan secara pasti sebelumnya.
Dasar hukum ijarah adalah firman Allah S.W.T. QS.al-Baqarah/2: 233 sebagai berikut: “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut ....”
Ayat di atas menjadi dasar hukum adanya sistem sewa dalam Hukum Islam, seperti yang diungkapkan dalam ayat bahwa seseorang itu boleh menyewa orang lain untuk menyusui anaknya, tentu saja ayat ini akan berlaku umum terhadap segala bentuk sewa-menyewa.
Selain itu, Hadis Nabi Muhammad S.A.W. Riwayat Bukhari-Muslim sebagai berikut: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda: berbekamlah kamu, kemudian berikanlah oleh mu upahnya kepada tukang bekam itu”. Dalam Hadis lain disebutkan “Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)
Adapun rukun ijarah ialah Pertama: Pihak yang menyewa. Kedua: Pihak yang menyewakan. Ketiga: Benda yang diijarahkan. dan yang Keempat: Akad.
Anotasi Buku “Fikih Muamalah: Klasik dan Kontempoter (Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis, dan Sosial), Pengarang: Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, MPA, M.Si., Penerbit: Ghalia Indonesia, Bogor, 2011.
Sewa (ijarah) berasal dari kata al-ajru artinya ‘ganti, upah atau menjual manfaat’.Zuhaili mengatakan, transaksi sewa (ijarah) identik dengan jual beli, tetapi dalam sewa (ijarah) pemilikan dibatasi dengan waktu.Secara istilah syariah, menurut ulama flkih, antara lain disebutkan oleh Aljazairi, sewa (ijarah) dalam akad terhadap manfaat untuk masa tertentu dengan harga tertentu. Menurut Sabiq, sewa adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
Sewa (ijarah) dalam hukum Islam diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut, Allah S.W.T. berfirman  “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka umtuk menyempitkan (hati) mereka dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upanya dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. (QS. Ath-Thalaq [65]: 6)
Rasulullah saw. bersabda“Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Tiga orang dimana Aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat, orang yang memberi dengan-Ku kemudian mengkhianatiaya, orang yang menjual orang mereka kemudian memakan hasil penjualannya, dan orang yang menyewa pekerja kemudian pekerja bekerja baik untuknya namun ia tidak memberikan upahnya’”. (HR. Bukhari)
Sewa (ijarah) menjadi batal dengan kerusakan pada sesuatu yang disewakan, misalnya rumah yang disewakan roboh, atau kematian hewan yang disewakan, namun penyewa harus membayar uang sewa selama ini memanfaatkan sesuatu yang disewanya sebelum rusak
Barangsiapa menyewa sesuatu dan mendapatkannya cacat di dalamnya, ia berhak membatalkan sewa jika ia tidak mengetahui cacat itu sebelumnya dan tidak merelakannya.

Anotasi Buku “Fiqh Muamalah”, Pengarang: Prof. DR. Rachmat Syafe’i, M.A., Penerbit: CV Pustaka Setia, Bandung, 2006.
Menurut etimologi ijarah adalah menjual manfaat, ada yang menterjemahan ijarah sebagai jual beli jasa, yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menterjemahkan sewa menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang.
Jumhur ulama fiqh berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya.Oleh karena itu mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya, bukan bendanya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan firman Allah S.W.T. “Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah mereka upahnya” (QS. Thalaq: 6)
Adapun rukun ijarah yakni ‘Aqid, Shighat akad, Ujrah,dan Manfaat.Sedangkan syarat ijarah meliputi Syarat Al-Inqad (terjadinya akad), Syarat An-Nafadz (syarat pelaksanaan akad), Syarat Sah, dan Syarat Lazim.










Anotasi Pribadi
Ijarah merupakan suatu akad yang dimana pihak pertama selaku pemilik barang/jasa sedangkan pihak kedua selaku penyewa barang/jasa, yang dimana nantinya pihak kedua akan melakukan akad sewa terhadap barang/jasa yang dimiliki oleh pihak pertama disertai pembayaran upah atas barang/jasa yang akan disewa nantinya oleh pihak kedua.
Dasar hukum ijarah berdasarkan firman Allah S.W.T. dalam surah At-Thalaq Ayat 6 yang berbunyi “Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah mereka upahnya”.Berdasarkan ayat tersebut, jumhur ulama sepakat bahwa ijarah hukumnya boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan syariat islam.
Adapun rukun ijarah yakni Mu’jir dan Musta’jir, Shighat, Ujrah, Barang yang akan disewakan. Akad ijarah berakhir apabila terjadi cacat pada barang sewaan, rusaknya barang sewaan yang terjadi sebelum ada ditangan penyewa (sebelumnya kerusakan yang ada tidak diberitahukan oleh pihak pemilik).














MUDHARABAH
Anotasi Buku “Bank Islam: Analisis Fiqih Keuangan”, Pengarang:Ir.Adiwarman A. Karim, Penerbit: PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011.
Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oIeh umat Muslim sejak zaman nabi, bahkan telah dipraktikan oleh bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Ketika Nabi Muhammad S.A.W. berprofesi sebagai pedagang, ia melakukan akad mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian, di tinjau dari segi hukum Islam, maka praktik nudharabah ini dibolehkan, baik menurut Alquran, Sunnah, maupun Ijma’.
Dalam praktik mudharabah antara Khadijah dengan nabi, saat itu Khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual oleh Nabi Muhammad S.A.W. ke luar negeri.Dalam kasus ini, Khadijah berperan sebagai pemilik modal (shahib al maal) sedangkan Nabi Muhammad S.A.W. berperan sebagai pelaksana usaha.Nah, bentuk kontrak antara dua pihak di mana satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan empercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua, yakni si pelaksana usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan untung disebut akad mudharabah.Atau singkatnya, akad mudharabah adalah “Persetujuan kongsi antara harta dari salah satu pihak dengan kerja dari pihak lain”.
Pada prinsipnya bentuk mudharabah terbagi menjadi 2 jenis, pertama: Mudharabah Mutlaqah, dimana shahib al maal tidak menetapkan restriksi atau syarat-syarat tertentu kepada mudharib. Kemudian yang kedua: Mudharabah Muqayyadah, dimana shahib al maal boleh menetapkan batasan-batasan / syarat-syarat tertentu guna menyelamatkan modalnya dari resiko kerugian.





Anotasi Buku “Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek Hukumnya”, Pengarang: Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Penerbit: Prenadamedia Group, Jakarta, 2015.
Mudharabah adalah akad kerja sama dalam suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-maal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua ('amil, mudarib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Mudharabah juga disebut dengan istilah lain, yaitu qirad. Dalam hal yang demikian itu, investor atau pemilik modal disebut muqarid.Istilah mudharabah dipakai oleh mazhab Hanafi, Hanbali, dan Zaydi, sedangkan istilah qirad dipakai oleh mazhab Maliki dan Syafi’i.
Sejalan dengan keterangan di atas, menurut Ayub bahwa dari berbagai buku tentang fikih, istilah mudharabah digunakan saling menggantikan (interchangeably) dengan istilah qirad dan muqaradah.Istilah mudharabah berasal dari Irak sedangkan qirad dan muqaradah digunakan di Hijaz.Dalam perkembangannya, mazhab Maliki dan Syafi’i menggunakan qirad dan muqaradah, sedangkan mazhab Hanafi menggunakan istilah mudharabah.









Anotasi Buku “Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah”, Pengarang: Dr. Mardani, Penerbit: Kencana Prenamedia Group, Jakarta, 2013.
Secara etimologis mudharabah mempunyai arti berjalan di atas bumi yang biasa dinamakan berpergian, hal ini sesuai dengan firman Allah S.W.T. dalam QS.An-Nisaa’ 4: 101; “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qasahar shalat."
Secara terminologis mudharabah adalah kontrak (perjanjian) antara pemilik modal (rab al-maal) dan pengguna dana (mudharib) untuk digunakan untuk aktivitas yang produktif di mana keuntungan dibagi dua antara pemodal dan pengelola modal. Kerugian jika ada ditanggung oleh pemilik modal, jika kerugian itu terjadi dalam keadaan normal, pemodal (rab al-mal) tidak boleh intervensi kepada pengguna dana (mudharib) dalam menjalankan usahanya.
Dasar kebolehan praktik mudharabah adalah QS. Al Baqarah 2; 198: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu”. Adapun dalil hadist adalah bahwasanya Nabi Muhammad S.A.W. pernah melakukan akad mudharabah (bagi hasil) dengan harta Khadijah ke negeri Syam (waktu itu Khadijah belum menjadi istri Rasulullah S.A.W.). Dan Hadist “Dari Shuhaibah Rasulullah SAW bersabda: Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan kurma untuk keluarga, bukan untuk dijual.” (HR.Ibnu Majah)
Diriwayatkan dari Daruquthni Hakim Ibn Hizam apabila memberi modal kepada seseorang, dia mensyaratkan: harta jangan digunakan untuk membeli binatang, jangan kamu bawa ke laut, dan jangan di bawa menyeberang sungai, apabila kamu lakukan salah satu dari larangan-larangan itu, maka kamu harus bertanggung jawab terhadap hartaku.
Dalam muwatha’ Imam Malik, dari al-A’la Ibn Abdur Rahman Ibn Yakub dari kakeknya, bahwa ia pernah mengerjakan harta Ustman r.a. sedang keuntungannya dibagi dua.
Kebolehan mudharabah juga dapat di-qiyas-kan dengan kebolehan praktik musaqah (bagi hasil dalam bidang perkebunan).Selain itu.kebolehan praktik mudharabah merupakan ijma’ ulama.
Anotasi Buku “Fikih Muamalah: Klasik dan Kontemporer (Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis, dan Sosial), Pengarang: Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, MPA, M.Si., Penerbit: Ghalia Indonesia, Bogor, 2011.
Istilah mudharabah berasal dari kata dharb, artinya ‘memukul atau berjalan’. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang menggerakan kakinya dalam menjalankan usaha. Mudharabah merupakan bahasa Irak, sedangkan bahasa penduduk Hijaz manyebut dengan istilah qiradh.
Zuhaily mengemukakan, mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak: pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) yang menyediakan seluruh modal; dan pihak kedua sebagai pengelola usaha (mudharib). Keuntungan yang didapatkan dari akad mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak dan biasanya dalam bentuk presentase (nisbah).
Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian maka kerugian itu ditanggung oleh pemilik modal (shahibul maal) sepanjang kerugian itu bukan kelalaian mudharib.Sementara mudharib menanggung kerugian atas upaya jerih payah dan waktu yang telah dilakukan untuk menjalankan usaha.Namun, jika kerugian itu diakibatkan karena kelalaian mudharib, maka mudharib harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
Firman Allah S.W.T. dalam Al Quran “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah” QS. Muzammil: 73, 20
Jaminan dalam kontrak mudharabah merujuk kepada tanggung jawab mudharib untuk mengembalikan modal kepada pemilik dana dalam semua keadaan. Hal ini tidak dibolehkan karena adanya fakta bahwa pegangan mudharib akan dana itu sifatnya amanah, dan orang yang diamanahkan tidak berkewajiban menjamin dana itu kecuali melanggar batas atau menyalahi ketentuan. Jika pemilik modal (shahibul maal) mensyaratkan kepada mudharib untuk menjamin penggantian modal ketika terjadi kerugian, maka syarat itu merupakan syarat bathil dan akad tetap sah adanya, ini menurut pendapat Hanafiyah dan Hanabilah.Menurut.Syafiiyyah dan Malikiyah, akad mudharabah menjadi rusak (fasid), karena syarat tersebut bersifat kontradiktif dengan karakter dasar akad mudharabah.

Anotasi Buku “Fiqh Muamalah”, Pengarang: Prof. DR. Rachmat Syafe’i, M.A., Penerbit: CV Pustaka Setia, Bandung, 2006.
Mudharabah atau qiradh termasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian).Istilah mudharabah digunakan oleh orang irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya dengan istilah qiradh. Dengan demikian, mudharabah dan qiradh adalah dua istilah untuk maksud yang sama.
Munurut bahasa, qiradh diambil dari kata qardh yang berarti qath (potongan), sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada pengusaha agar mengusahakan harta tersebut, dan pengusaha akan memberikan potongan dari laba yang diperoleh. Bisa juga diambil dari kata muqaradhah yang berarti musawwah (kesamaan), sebab pemilik modal dan pengusaha memiliki hak yang sama terhadap laba.
Orang irak menyebutnya dengan istilah mudharabah sebab setiap yang melakukan akad memiliki bagian dari laba, atau pengusaha harus mengadakan perjalanan dalam mengusahakan harta modal tersebut.
Mengenai pengertian mudharabah secara istilah, diantara ulama fikih terjadi perbedaan pendapat, yakni “Pemilik harta (modal) menyerahkan modal kepada pengusaha untuk berdagang dengan tersebut, dan laba dibagi diantara keduanya berdasarkan persyaratan yang disepakati”
Apabila rugi, hal itu ditanggung oleh pemilik modal. Dengan kata lain, pekerja tidak bertanggung jawab atas kerugiannya. Begitu pula tidak boleh berupa hutang.Pemilik modal memiliki hak untuk mendapatkan laba sebab modal tersebut miliknya, sedangkan pekerja mendapatkan laba dari hasil pekerjaannya.
Ulama fikih sepakat bahwa mudharabah disyaratkan dalam Islam berdasarkan Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.Firman Allah S.W.T. “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan-Mu” (QS. Al Baqarah : 198)


Anotasi Pribadi
Mudharabah merupakan suatu akad yang dimana pihak pertama selaku pemilik modal dengan pihak kedua selaku pengelola modal yang bekerjasama untuk menghasilkan usaha yang nantinya laba yang diperoleh dibagi menurut ketentuan yang telah disepakati bersama antara pihak pertama dan pihak kedua
Dasar hukum mudharabah yakni pada surah Al Baqarah yang berbunyi “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan-Mu” dan pada surah Al Muzammil yang berbunyi “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah”.Para ulama madzab sepakat bahwa akad mudharabah sah dilakukan berdasarkan ketetapan yang ada sejak zaman Rasulullah S.A.W.
Adapun syarat sah mudharabah meliputi Syarat Aqidaini (Kedua pihak disyaratkan harus ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil), Syarat Modal (Berupa uang, nyata dan jelas, dan modal harus diberikan kepada pengusaha), Syarat Laba (Memiliki ukuran/ takaran, dan berupa bagian yang umum/masyhur dikalangan pengusaha).











Penutup
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
Dalam praktiknya, bank membiayai pembelian barang yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli terlebih dahulu barang itu dari pemasok barang dan setelah kepemilikan barang itu berada di tangan bank, kemudian bank tersebut menjualnya kepada nasabah dengan menambahkan suatu margin(keuntungan) di mana nasabah harus diberitahu oleh bank berapa harga beli bank dari pemasok dan menyepakati berapa besar margin (keuntungan) yang ditambahkan ke atas harga beli bank tersebut.
Ijarah merupakan suatu akad yang dimana pihak pertama selaku pemilik barang/jasa sedangkan pihak kedua selaku penyewa barang/jasa, yang dimana nantinya pihak kedua akan melakukan akad sewa terhadap barang/jasa yang dimiliki oleh pihak pertama disertai pembayaran upah atas barang/jasa yang akan disewa nantinya oleh pihak kedua
Mudharabah merupakan suatu akad yang dimana pihak pertama selaku pemilik modal dengan pihak kedua selaku pengelola modal yang bekerjasama untuk menghasilkan usaha yang nantinya laba yang diperoleh dibagi menurut ketentuan yang telah disepakati bersama antara pihak pertama dan pihak kedua


Related Posts

There is no other posts in this category.