Fiqh Kontemporer (Lelang)
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Jual
beli dalam Al-Qur’an merupakan bagian dari ungkapan perdagangan atau dapat juga
disamakan dengan perdagangan. Pengungkapan perdagangan ini ditemui dalam tiga
bentuk, yaitu tijarah,bay’ dan Syiraa’. Kata التجارة adalah
mashdar dari kata kerja (تجريتجرتجراوتجارة) yang berarti (باعdan شراع) yaitu
menjual dan membeli.
Jual
beli secara etimologis berarti pertukaran mutlak. Kata al-bai’ (jual) dan
Asy-Syiraa’ (beli) penggunaannya disamakan antara keduanya, yang masing-masing
mempunyai pengertian lafadz yang sama dan pengertian berbeda. Dalam syariat
Islam, jual beli merupakan pertukaran semua harta (yang dimiliki dan dapat
dimanfaatkan) dengan harta lain berdasarkan keridhaan antara keduanya Atau dengan pengertian lain memindahkan hak milik dengan hak milik orang lain berdasarkan persetujuan
dan hitungan materi.
Syariah
Islam memberikan kebebasan, keleluasaan dan keluasan ruang gerak bagi kegiatan
usaha umat Islam. Tentu saja kegiatan usaha itu diniatkan dalam rangka mencari
karunia Allah berupa rezeki yang halal, melalui berbagai bentuk transaksi
saling menguntungkan yang berlaku di masyarakat tanpa melanggar ataupun
merampas hak-hak orang lain secara tidak sah.
Kajian
tentang Lelang merupakan bagian dari fiqih muamalah. Istilah lelang
sudah ada sejak jaman Rasulullah yang disebut dengan muzayadah (saling
menambahkan-lelang). Para ulama berbeda pendapat tentang hukum-nya, apakah
diperbolehkan melakukan jual-beli dengan cara lelang atau sebaliknya.
Oleh
karena itu sebelum memutuskan hukum syariah tentang lelang yang merupakan salah
satu bentuk muamalah, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai ihwalnya.
Lelang menurut pengertian transaksi muamalah kontemporer dikenal sebagai
bentuk penjualan barang di depan umum kepada penawar tertinggi. Lelang dapat
berupa penawaran barang tertentu kepada penawar yang pada mulanya membuka
lelang dengan harga rendah, kemudian semakin naik sampai akhirnya diberikan
kepada calon pembeli dengan harga tertinggi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian jual beli lelang (muzayadah) ?
2. Bagaimana hukum jual beli lelang (muzayadah) menurut
fiqih ?
3. Bagaimana pendapat ulama’ tentang jual
beli lelang?
C. Tujuan
Adapun
tujuan dari pembahasan ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian jual beli lelang.
2. Untuk mengetahui bagaimana hukum jual beli lelang
menurut fiqih.
3. Untuk mengetahui pendapat ulama’ tentang
jual beli lelang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Lelang (Muzayadah)
Lelang
Merupakan suatu bentuk penawaran barang kepada penawar yang pada awalnya
membuka lelang dengan harga rendah kemudian semakin naik sampai akhirnya
diberikan kepada calon pembeli dengan harga tertinggi sehinga pada akhirnya
penawar dengan harga yang paling tinggi mendapatkan barang yang
dilelangkan.
Lelang juga dapat berupa penawaran barang pada mulanya
membuka lelang dengan harga tinggi, kemudian semakin menurun sampai akhirnya
diberikan kepada calon pembeli dengan tawaran tertinggi yang disepakati penjual
melalui juru lelang (auctioneer) sebagai kuasa penjual untuk melakukan lelang, dan
biasanya ditandai dengan ketukan (disebut lelang turun). Lelang ini dipakai
pula dalam praktik penjualan saham di bursa efek di mana penjual dapat menawarkan
harga yang diinginkan, tetapi jika tidak ada pembeli, penjual dapat menurunkan
harganya sampai terjadi kesepakatan.
Dalam
perspektif syariah, transaksi yang melibatkan proses lelang ini disebut sebagai bay` muzayadah,
yang diartikan sebagai suatu metode penjualan barang dan/ atau jasa berdasarkan
harga penawaran tertinggi.
Pada Bay` muzayadah ini, penjual akan menawarkan barang dengan sejumlah pembeli yang akan
bersaing untuk menawarkan harga yang tertinggi. Proses ini berakhir dengan
dilakukannya penjualan oleh penjual kepada penawar yang tertinggi
denganterjadinya akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari penjual.
Jual-beli secara lelang tidak termasuk praktik riba meskipun ia
dinamakan bai’
muzayyadah dari kata ziyadah yang bermakna tambahan sebagaimana makna riba, namun
pengertian tambahan di sini berbeda. Dalammuzayyadah yang bertambah adalah penawaran harga lebih dalam akad
jual beli yang dilakukan oleh penjual atau bila lelang dilakukan oleh pembeli
maka yang bertambah adalah penurunan tawaran. Sedangkan dalam praktik riba
tambahan haram yang dimaksud adalah tambahan yang tidak diperjanjikan dimuka
dalam akad pinjam-meminjam uang atau barang ribawi lainnya.
Lebih
jelasnya, praktik penawaran sesuatu yang sudah ditawar orang lain dapat
diklasifikasi menjadi tiga kategori:
Pertama; Bila terdapat pernyataan eksplisit dari penjual
persetujuan harga dari salah satu penawar, maka tidak diperkenankan bagi orang
lain untuk menawarnya tanpa seizin penawar yang disetujui tawarannya.
Kedua; Bila
tidak ada indikasi persetujuan maupun penolakan tawaran dari penjual, maka
tidak ada larangan syariat bagi orang lain untuk menawarnya maupun menaikkan
tawaran pertama, sebagaimana analogi hadits Fathimah binti Qais ketika
melaporkan kepada Nabi bahwa Mu’awiyah dan Abu Jahm telah meminangnya, maka
karena tidak ada indikasi persetujuan darinya terhadap pinangan tersebut,
beliau menawarkan padanya untuk menikah dengan Usamah bin Zaid.
Ketiga; Bila ada indikasi persetujuan dari
penjual terhadap suatu penawaran meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit,
maka menurut Ibnu Qudamah tetap tidak diperkenankan untuk ditawar orang lain.
B. Hukum Lelang(muzayadah) menurut fiqih
Lelang
adalah salah satu jenis jual beli dimana penjual menawarkan barang di tengah
keramaian lalu para pembeli saling menawar dengan suatu harga. Namun akhirnya
penjual akan menentukan, yang berhak membeli adalah yang mengajukan harga
tertinggi. Lalu terjadi akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari penjual
Dalam
kitab-kitab fiqih atau hadits, jual beli lelang biasanya disebut dengan istilah
bai’ al-muzayadah (adanya penambahan). Hukum lelang Dalam syariat Islam masih
dalam tahap kontropersi yaitu ada diantaranya yang menyatakan boleh dan ada
juga yang Mengatakan makruh hukmnya.
C. Pendapat ulama’ tentang jual beli dengan sistem lelang
a. Pendapat Ulama Madzhab yang membolehkan Jual Beli Dengan
Sistem Lelang
Jual
beli model lelang (muzayyadah) dalam hukum Islam adalah boleh mubah. Di
dalam kitab Subulus salam disebutkan Ibnu Abdi Dar berkata, ”Sesungguhnya tidak
haram menjual barang kepada orang dengan adanya penambahan harga (lelang),
dengan kesepakatan di antara semua pihak.
Menurut
Ibnu Qudamah Ibnu Abdi Dar meriwayatkan adanya ijma’ kesepakatan
ulama tentang bolehnya jual-beli secara lelang bahkan telah menjadi kebiasaan
yang berlaku di pasar umat Islam pada masa lalu. Sebagaimana Umar bin Khathab
juga pernah melakukannya demikian pula karena umat membutuhkan praktik lelang
sebagai salah satu cara dalam jual beli.
Dalil bolehnya lelang adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan juga Imam Ahmad.
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُهُ فَقَالَ لَكَ فِي بَيْتِكَ شَيْءٌ
قَالَ بَلَى حِلْسٌ نَلْبَسُ بَعْضَهُ وَنَبْسُطُ بَعْضَهُ وَقَدَحٌ نَشْرَبُ
فِيهِ الْمَاءَ قَالَ ائْتِنِي بِهِمَا قَالَ فَأَتَاهُ بِهِمَا فَأَخَذَهُمَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ مَنْ يَشْتَرِي
هَذَيْنِ فَقَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمٍ قَالَ مَنْ يَزِيدُ عَلَى
دِرْهَمٍ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا قَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمَيْنِ
فَأَعْطَاهُمَا إِيَّاهُ وَأَخَذَ الدِّرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا الْأَنْصَارِيَّ
Dari Anas bin Malik ra bahwa ada seorang lelaki Anshar yang
datang menemui Nabi saw dan dia meminta sesuatu kepada Nabi saw. Nabi saw
bertanya kepadanya,”Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?” Lelaki itu
menjawab,”Ada. sepotong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas
duduk, serta cangkir untuk meminum air.” Nabi saw berkata,”Kalau begitu,
bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya. Nabi saw
bertanya, ”Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah seorang sahabat beliau
menjawab,”Saya mau membelinya dengan harga satu dirham.” Nabi saw bertanya
lagi,”Ada yang mau membelinya dengan harga lebih mahal?” Nabi saw menawarkannya
hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau berkata,”Aku
mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka Nabi saw memberikan dua barang
itu kepadanya dan beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya kepada
lelaki Anshar tersebut.
Untuk mencegah adanya penyimpangan syariah dan pelanggaran
hak, norma dan etika dalam praktik lelang maupun praktek jual beli yang lain,
syariat Islam memberikan panduan dan kriteria umum sebagai garis petunjuk diantaranya.
1. Transaksi dilakukan oleh pihak yang cakap hukum atas
dasar saling sukarela (’an
taradlin).
2. Objek lelang atau barang yang diperjual belikan harus
halal dan bermanfaat.
3. Kepemilikan penuh pada barang atau jasa yang dijual.
4. Kejelasan dan transparansi barang atau jasa yang dilelang
atau yang diperjual belikan tanpa adanya manipulasi seperti window dressing atau lainnya.
5. Kesanggupan penyerahan barang dari penjual kepada
Pembeli.
6. Kejelasan dan kepastian harga yang disepakati tanpa
berpotensi menimbulkan perselisihan.
7. Tidak menggunakan cara yang menjurus kepada kolusi dan
suap untuk menangkan lelang dan tawar-menawar harga.
b. Pendapat ulama madzhab
yang melarang jual beli dengan sistem lelang
Salah
satu ulama dari kalangan mahdab hanafi, sebenarnya ada sebagian kecil ulama
yang keberatan seperti An-Nakha’i, dan Al-Auza’i mengatakan bahwa hukum jual
beli secara lelang hukumnya makruh secara mutlak.
Sedangkan
Hasan Al Basri, Ibnu Sirin dan ulama yang lain berpendapat bahwa jual-beli
secara lelang hukumnya makruh terkecuali terhadap 2 masalah, yaitu masalah qhonimah (harta
rampasan perang) dan waris.Qhonimah bisa berupa barang selain uang, sehingga agar barang
tersebut berwujud uang agar bisa dibagi-bagi maka diperbolehkan untuk di
lelang. Sebagai contoh misalnya terdapat harta rampasan perang berupa senjata.
Maka agar senjata tersebut bisa dibagi-bagi maka diperbolehkan dijual dengan
cara lelang. Termasuk juga harta warisan. Umumnya harta warisan tidak selalu
berbentuk uang tunai (misal tanah, rumah, kendaraan dll), sehingga untuk
memudahkan pembagian warisan diperbolehkan untuk di lelang. Para ulama tersebut
mengkategorikan lelang hukumnya makruh karena terdapat hadist :
Pertama, hadist yang menyatakan bahwa Rasulullah melarang jual
beli secara lelang.
سمعت
رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع المزايدة
Artinya:“Aku
mendengar Rasulullah saw melarang jual beli lelang. (HR Al-Bazzar)”. Imam Ibnu Hajjar didalam kitabnya menyatakan bahwa
hadist tersebut dhoif maka hadist tersebut tidak bisa dijadikan landasan hukum.
Sehingga para ulama tersebut menyatakan hukum lelang adalah makruh dan tidak
sampai mengharamkannya.
KedSua, bahwa Rasulullah melarang seseorang membeli barang yang
sudah ditawar oleh saudaranya atau orang lain (sama halnya ketika Rasulullah
melarang mengkhitbah wanita yang sedang di khitbah oleh orang
lain/saudaranya).“Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW melarang seseorang di
antara kalian membeli sesuatu yang sedang dibeli oleh saudaranya hingga dia
meninggalkannya, kecuali rampasan perang dan waris.
Lelang juga tidak diperkenankan jika terdapat kecurangan atau
penipuan (Misalnya dalam proses lelang terdapat persekongkolan 2 sampai 3 orang
atau lebih yang bersepakat menawar sebuah barang).
Segala bentuk rekayasa curang untuk mengeruk keuntungan tidak
sah dalam praktik lelang maupun dikategorikan para ulama dalam praktik Najasy
(komplotan/trik kotor lelang) yang diharamkan Nabi saw. (HR. Bukhari dan
Muslim) atau juga dapat dimasukkan dalam kategori Risywah (sogok) bila penjual
atau pembeli menggunakan uang, fasilitas ataupun service untuk memenangkan
lelang yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria yang dikehendaki mitranya
bisnisnya.
Untuk itu, menurut jumhur ulama memakruhkan jual beli dengan
proses lelang, karena bisa mengandung unsur-unsur atau trik-trik penipuan dan
persekongkolan untuk memanipulasi barang dagangan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam
transaksi keuangan Islam, harga ditentukan atas dasar keinginan pembeli dan
penjual. Dalam banyak hal, barang akan terjual kepada pembeli yang menawar
dengan harga yang tertinggi. Dalam perspektif syariah, transaksi yang
melibatkan proses lelang ini disebut sebagai bay` muzayadah,
yang diartikan sebagai suatu metode penjualan barang dan/ atau jasa berdasarkan
harga penawaran tertinggi.
Lelang
ada dalam Islam dan hukumnya boleh (mubah).Dalil bolehnya lelang adalah
as-Sunnah. Imam Bukhari telah membuat bab dengan judul Bab Bai’ Al-Muzaayadah dan di dalamnya terdapat hadits Anas bin Malik RA yang
juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad (Musnad, III/100 & 114), Abu
Dawud, no. 1641; an-Nasa`i, VII/259, at-Tirmidzi, hadits
no. 1218.
DAFTAR
PUSTAKA
Suheri, Fikih Muamalah Islam, http://suherilbs.wordpress.com/fiqih/
(diakses pada tanggal 28 April)
Otomo, Setiawan Budi, Hukum lelang dan
Tender,http://ekisopini.blogspot.com/2009/08/hukum-lelang-dan-tender.html
(diakses pada tanggal 28 April)
Sarwat, Ahmad, Lelang dalam tinjauan Syariat,http://kajiankantor.com/blog/2010/04/20/lelang-dalam-tinjauan-syariat/
(diakses pada tanggal 28 April)
Hanniah, Rafiqatul, Lelang dalam pandangan Islam,http://rafiqatul-hanniah.blogspot.com/2012/03/lelang-dalam-pandangan-islam.html
(diakses pada tanggal 28 April)