Ta’widh dan Ta’zir
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam bertransaksi tentunya harus
sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditentukan oleh hukum islam maupun
syara’ agar terciptanya tujuan yang diinginkan dari kedua belah pihak. Dengan
adanya kerjasama antara manusia yang satu dnegan yang lainnya akan menimbulkan
adanya hak dan kewajiban. Dimana hak dan kewajiban tidka boleh diselewengkan
karena akan menimbulkan kerugian di satu pihak. Untuk itulah dalam islam tidak
dibenarkannya untuk mengingkari suatu perjanjian atau kontrak yang sudah
dibuat, karena akan mendapat pertanggung jawaban baik di dunia maupun diakhirat
kelak. Untuk itu diperlukannya pemahaman mengenai makna dari ganti rugi dalam
pandangan hukum islam maupun hukum perdata dan hukum lainnya.
Ganti kerugian adalah suatu kewajiban
yang dibebankan kepada orang yang telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan
kerugian pada orang lain karena kesalahannya tersebut. Pada masa ini telah
dikenal adanya “personal reparation”, yaitu semacam pembayaran ganti rugi yang
akan dilakukan oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau
keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan sebagai akibat tindak pidana
tersebut.
Pada masa belum adanya pemerintahan,
atau dalam masyarakat yang masih berbentuk suku-suku ini (tribal organization)
bentuk-bentuk hukuman seperti ganti rugi merupakan sesuatu yang biasa terjadi
sehari-hari. Pada masa ini terlihat, sanksi Ganti kerugian merupakan suatu
tanggung jawab pribadi pelaku tindak pidana kepada pribadi korban. Dewasa ini
sanksi ganti kerugian tidak hanya merupakan bagian dari hukum perdata, tetapi
juga telah masuk ke dalam hukum Pidana. Perkembangan ini terjadi karena semakin
meningkatnya perhatian masyarakat dunia terhadap korban tindak pidana.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian dan landasan hukum dari
ta’widh dan ta’zir?
2.
Apasaja konsep dan ketentuam ta’widh
dan ta’zir?
C.
TUJUAN
1.
Untuk mengetahui pengertian dan landasan hukum dari
ta’widh dan ta’zir
2.
Untuk mengetahui konsep dan ketentuan ta’widh dan ta’zir.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
TA’WIDH (GANTI RUGI)
1.
Pengertian
Ganti Rugi (Ta’widh)
Kata al-ta’widh berasal dari
kata ‘iwadha (عوض), yang berarti
ganti atau konpensasi. Sedangkan al ta’widh sendiri secara bahasa
berarti maengganti (rugi) atau membayar konpensasi. Adapun menurut istilah
adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan.
Adanya dhaman (tanggung jawab) untuk
menggantikan atas sesuatu yang merugikan dasarnya adalah kaidah hukum Islam,
“bahaya (beban berat) dihilangkan,” (adh-dhararu yuzal), artinya bahaya
(beban berat) termasuk di dalamnya kerugian harus dihilangkan dengan menutup
melalui pemberian ganti rugi. Kerugian disini adalah segala gangguan yang menimpa
seseorang, baik menyangkut dirinya maupun menyangkut harta kekayaannya, yang
terwujud dalam bentuk berkurangnya kuantitas, kualitas ataupun manfaatnya.
Dalam kaitan dengan akad, kerugian yang
terjadi lebih banyak menyangkut harta kekayaan yang memang menjadi objek dari
suatu akad atau manyangkut fisik seseorang. Sedangkan yang menyangkut moril
kemungkinan sedikit sekali, yaitu kemungkinan terjadinya kerugian moril.
Misalnya seorang dokter dengan membukakan rahasia pasiennya yang diminta untuk
disembunyikan sehingga menimbulkan rasa malu pada pasien tersebut.
Sedangkan Menurut pasal 1243 KUH Perdata, pengertian
ganti rugi adalah suatu
kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah bertindak melawan hukum dan
menimbulkan kerugian pada orang lain karena kesalahannya tersebut. Pada masa
ini telah dikenal adanya “personal reparation”, yaitu semacam pembayaran ganti
rugi yang akan dilakukan oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau
keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan sebagai akibat tindak pidana
tersebut.
2.
Dasar
Hukum Ta’widh
a.
Surah Al-Maidah Ayat 1
……بِالْعُقُودِ أَوْفُوا آمَنُوا الَّذِينَ يَا أَيُّهَا
Artinya “ hai orang-orang yang beriman, penuhilah
akad-akad itu………..”
b. Hadis Nabi riwayat ibnu majah dari
‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya :
لاضررولاضرار
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan
tidak boleh pula membahayakan orang lain.”
c. Kaidah Fikih :
“pada dasarnya, segala bentuk
muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan”.
“Bahaya (beban berat) harus
dihilangkan”
3.
KONSEP
GANTI RUGI MENURUT HUKUM PERDATA DAN HUKUM ISLAM.
A. Konsep Ganti Rugi Menurut Hukum Perdata
Menururut ketentuan pasal 1243
KUHPdt, ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perikatan,
barulah mulai diwajibkan apabilah debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau
dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
Yang dimaksud kerugian dalam pasal ini ialah
kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi (lalai memenuhi
perikatan). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitur terhitung sejak ia
dinyatakan lalai. Menurut M Yahya Harahap, kewajiban ganti-rugi tidak dengan
sendirinya timbul pada saat kelalaian. Ganti-rugi baru efektif menjadi
kemestian debitur, setelah debitur dinyatakan lalai dalam
bahasa belanda disebut dengan ”in gebrekke stelling” atau ”in
morastelling”. Ganti kerugian sebagaimana termasuk dalam pasal 1243 di
atas, terdiri dari tiga unsur yaitu:
1. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkosa cetak, biaya
materai, biaya iklan.
2. Kerugian
karena Kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur,
misalnya busuknya buah-buah karena kelambatan penyerahan, amburuknya rumah
karena kesalahan konstruksi sehingga merusakkan prabot rumah tangga.
3. Bunga
atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama piutang
terlambat diserahkan (dilunasi), keuntungan yang tidak diperoleh
karena kelambatan penyerahan bendanya.
Untuk menghindari tuntutan sewenang-wenang
pihak kreditur, undang-undang memberikan batasan-batasan ganti kerugian yang
harus oleh debitur sebagai akibat dari kelalaiannya (wanprestasi) yang
meliputi:
1. Kerugian
yang dapat diduga ketika membuat perikatan (pasal 1247 KUHP).
2. Kerugian
sebagai akibat langsung dari wanprestasi debitur, seperti yang ditentukan dalam
pasal 1248 KUHPdt. Untuk menentukan syarat ”akibat langsung” dipakai teori
adequate. Menurut teori ini, akibat langsung ialah akibat yang menurut
pengalaman manusia normal dapat diharapkan atau diduga akan terjadi. Dengan
timbulnya wanprestasi, debitur selaku manusia normal dapat menduga akan
merugikan kreditur.
3. Bunga
dalam hal terlambat membayar sejumlah hutang (pasal 1250 ayat 1 KUHP). Besarnya
bunga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Tetapi menurut
Yurisprudensi, pasal 1250 KUHPdt tidak dapat diberlakukan terhadap perikatan
yang timbul karena perbuatan melawan hukum.
B.
Konsep
Ganti Rugi Menurut Hukum Islam.
Ganti rugi perdata
dalam hukum islam lebih menitikberatkan tanggung jawab para pihak dalam
melaksanakan suatu akad perikatan. Apabila salah satu pihak tidak melaksankan
kewajibannya sebagaimana yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak, maka
tentu akan menimbulkan kerugian bagi pihak yang lain. Dalam hukum Islam
tanggung jawab melaksanakan akad disebut dengan dhaman al-’aqdi. Dhaman
al-’qdi adalah bagian dari tanggung jawab perdata. Jadi yang dimaksud
ganti rugi perdata dalam hukum islam adalah tanggung jawab perdata dalam
memberikan ganti rugi yang bersumber dari adanya ingkar akad.
Ganti rugi pidana
dalam hukum Islam adalah ganti rugi yang dibebankan kepada pihak debitur akibat
tidak melaksanakan perikatannya mungkin karena kesalahannya sendiri atau karena
ada sebab diluar kehendak debitur. Dalam hukum Islam ganti rugi pidana disebut
dengan dhaman al-’udwan, yaitu tanggung jawab perdata untuk
memberikan ganti rugi yang bersumber kepada perbuatan merugikan (al-fi’l
adh-dharr) orang lain, atau dalam istilah KUH Perdata disebut dengan
perbuatan melawan hukum.
Dalam Islam istilah tanggung
jawab yang terkait dengan konsep ganti-rugi dibedakan menjadi dua:
1.
Daman akad (daman al’akd), yaitu tanggung jawab perdata untuk
memberikan ganti rugi yang bersumber kepada ingkar akad.
2.
Daman
udwan (daman al’udwan), yaitu tanggung jawab perdata untuk
memberikan ganti rugi yang bersumber kepada perbuatan merugikan (al-fi’l
adh-dharr) atau dalam istilah hukum perdata indonesia disebut dengan
perbuatan melawan hukum.
4.
KETENTUAN-KETENTUAN DALAM GANTI RUGI
A.
Ketentuan Umum
a.
Ganti
rugi
(ta`widh)
hanya
boleh dikenakan atas
pihak
yang dengan sengaja atau
karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari
ketentuan
akad
dan
menimbulkan kerugian pada pihak lain
b.
Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana dimaksud dalam ayat
1 adalah
kerugian
riil
yang
dapat
diperhitungkan
dengan jelas.
c.
Kerugian
riil sebagaimana
dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yg dikeluarkan
dalam rangka
penagihan
hak yg seharusnya
dibayarkan.
d.
Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut
dan bukan kerugian
yang diperkirakan akan terjadi
(potential
loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity
loss atau al-furshah al-dha-i’ah).
e.
Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang
piutang (dain), seperti salam, istishna’
serta murabahah dan ijarah.
f.
Dalam akad Mudharabah
dan Musyarakah, ganti rugi hanya
boleh dikenakan oleh shahibul mal
atau salah
satu pihak dalam
musyarakah apabila bagian keuntungannya
sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.
B. Ketentuan Khusus
a.
Ganti
rugi yang diterima
dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya.
b.
Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
c.
Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
d.
Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.
5. SEBAB-SEBAB GANTI RUGI MENURUT
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
1. Menurut Hukum
Islam
Sebab-sebab ganti rugi dalam perspektif hukum Islam fiqh muamalat yang
berkaitan dengan hukum perikatan Islam. Ada beberapa faktor yang dapat
dijadikan sebagai sebab adanya ganti rugi. Menurut Syamsul Anwar, ada dua macam
sebab terjadinya ganti rugi (dhaman). Pertama, tidak
melaksanakannya akad, dan kedua, alfa dalam melaksanakan akad. Yakni apabila
akad yang sudah tercipta secara sah menurut ketentuan hukum itu tidak
dilaksanakan oleh debitur, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya
(ada kealpaan), maka terjadilah kesalahan di pihak debitur, baik kesalahan itu
karena kesengajaanya untuk tidak melaksanakan akad, atau kesalahan karena
kelalaiannya. Kesalahan dalam ilmu fiqh disebut dengan at-ta’addi, yakni
suatu sikap yang bertentangan dengan hak dan kewajiban dan tidak diizinkan oleh
syarak.
2. Menurut Hukum Perdata
Dalam pasal 1248 KUH Perdata menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan sebab-sebab
ganti rugi adalah ganti rugi yang merupakan akibat ’langsung’ dari wanprestasi.
Dengan kata lain harus ada hubungan sebab-akibat atau kausal-verband antara
kerugian yang diderita dengan perbuatan wanprestasi. Atau akibat langsung dari
perbuatan debitur yang ingkar melaksanakan suatu perjanjian menurut
selayaknya.
Menurut Yahya Harahap, untuk menentukan
sebab-sebab ganti rugi sangat sulit, undang-undang sendiri dalam perumusannya
sering memuat secara berbarengan beberapa akibat tentang ”satu feit” yang disebutkannya.
Kesulitan yang terjadi pada hubungan sebab-akibat antara kerugian dan
wanprestasi ditimbulkan oleh masalah lingkungan hukum. Menurutnya,
kadang-kadang satu peristiwa / satu feit, pada waktu yang bersamaan sekaligus
menyentuh dua lingkungan hukum, yaitu lingkungan hukum pidana dan hukum
perdata. Dengan demikian sebab-sebab ganti rugi dalam hukum perdata hanya
didasarkan pada wanprestasi semata.
B.
SANKSI NASABAH MAMPU YANG MENUNDA PEMBAYARAN.
1. Pengertian Ta’zir
Menurut
bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata “azzara” yang berarti menolak dan
mencegah, juga berarti mendidik, mengagungkan dan menghormati, membantunya,
menguatkan, dan menolong. Dari pengertian tersebut yang paling relevan adalah
pengertian pertama yaitu mencegah dan menolak, dan pengertian kedua yaitu
mendidik. Karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi lagi
perbuatannya. Ta’zir diartikan mendidik, karena ta’zir dimaksudkan untuk
mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian
meninggalkan dan menghentikannya. Pengertian ini sesuai dengan apa yang di
kemukakan oleh Abdul Qadir Audah dan Wa dan Wahbah Zuhaili.
Menurut
istilah, ta’zir didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai berikut :
والّتعزير تأ د ب على ذنوب لم تشرع فيها الحدود
“Ta’zir
adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa yang hukumannya
belum ditetapkan oleh syara’.
Dari
definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah
untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh
syara’. Dikalangan Fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan
oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk
hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana).
Ta’zir
sering juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas
perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat.
Hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim. Hukuman dalam
jarimah ta'zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan
batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa).
Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan
bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.
2.
Dasar Hukum Ta’zir
1.
Firman Allah QS. Al-Ma’idah ayat 1
يا أيها الذين أمنوا أوفوا بالعقود ……
Hai orang-orang yang beriman ! Penuhilah
akad-akad itu ………….
2.
Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin
Auf:
الصلح جائز بين المسلمين إلا صلحا حرم حلالا أو أحل حراما والمسلمون علىشروطهم إلا شرطاحرم حلالا أو أحل حراما
“Perdamaian dapat dilakukan di antara
kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”.
3.
Hadits
Nabi riwayat Jama’ah (Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasa’I, Abu Daud, Tirmidzi,
Malik, Darami dari Abu Hurairah, Ibnu Majah dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar) :
مطل الغني ظلم….. (رواه الجماعة)
Artinya “Menunda-nunda
(pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kedhaliman ………”.
4.
Hadits
Nabi saw riwayat Nasa’I, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahamad dari Syuraid bin
Suwaid :
لي الواجد يحل عرضه وعقوبته ( رواه النسائى و ابو داود وابن ماجه و أحمد)
Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu
menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya. (HR An
Nasa’i, Abu dawud, Ibnu Majah dan Ahmad).
3.
Ketentuan Umum Ta’dzir
a. Sanksi yang disebut dalam fatwa ini
adalah sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi
menunda-nunda pembayaran dengan disengaja.
b. Nasabah yang
tidak/belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan
sanksi.
c. Nasabah mampu yang menunda-nunda
pembayaran dan/tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya
boleh dikenakan sanksi.
d. Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir,
yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan
kewajibannya.
e. Sanksi dapat
berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan
dibuat saat akad ditandatangani
f. Dana yang berasal dari denda
dieruntukkan sebagai dana sosial.
4.
SANKSI KAITANNYA DENGAN HUTANG PIUTANG
sanksi adalah metode untuk mencapai tujuan
yaitu memberikan efek jera bagi si pelaku pelanggaran.
Adanya sanksi berfungsi mencegah manusia dari
tindakan kriminal dan sebagai penebus dosa seorang muslim
dari azab Allah di
hari kiamat. Yang
dimaksud tindakan kriminal
adalah suatu perbuatan yang tercela.
Oleh karena itu, suatu perbuatan
tidak
dapat dikatakan sebagai
tindak
kriminal
kecuali jika syara’ telah menentukannya dengan nash sebagai perbuatan
tercela, maka barulah dianggap sebagai tindakan
kriminal. Sebagaimana telah ditetapkan
dalam
nash Al-Qur’an tentang
sanksi dalam Islam yang berfungsi
sebagai pencegah yang berbunyi :
Artinya
: “Dan Kami
telah
tetapkan terhadap
mereka
di
dalamnya
(At Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas)
dengan
jiwa,
mata
dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun)
ada
qishasnya, Barang siapa
yang melepaskan (hak qishas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi)
penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim.”
(QS. Al-Maidah : 45)
Adapun
pengertian hutang piutang asecara bahasa
hutang piutang (al-qordh)
berarti al-qoth’ (terputus). Harta yang dihutangkan kepada pemilik lain dinamakan qordh karena ia terputus dari pemiliknya. Sedangkan
secara istilah menurut Ahli Fiqih: hutang-piutang adalah transaksi antara dua
pihak, yang satu menyerahkan uangnya kepada yang lain secara sukarela untuk dikembalikan lagi
kepadanya oleh pihak kedua dengan hal yang
serupa. Atau seseorang menyerahkan uang kepada pihak lain untuk dimanfaatkan dan kemudian orang ini mengembalikan penggantinya.
Dari
pengertian di atas dapat dipahami bahwa dalam hal hutang-piutang,
harus ada
satu pihak untuk
memberikan haknya
kepada orang lain,
dan adanya pihak tersebut
untuk
menerima haknya, untuk ditasyarufkan
yang
pengembaliannya ditanggungkan pada
waktu
yang akan datang.
Oleh karena
itu Islam dalam hutang piutang mewajibkan sikap adil dengan melunasi hutang jika sudah sanggup membayarnya, agar terlepas tanggung jawabnya. Jika seseorang
mampu membayar hutang tetapi ia tidak melakukannya maka ia bertindak zalim dan berhak menerima sanksi di dunia maupun di
akhirat. Demikian juga orang yang menunda membayar hutang ini ternyata orang yang sebenarnya mampu membayar hutang itu tepat pada waktunya, maka penundaan yang dilakukannya adalah satu kezaliman, yaitu kezaliman kepada orang yang memberi hutang kepadanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ganti kerugian dalam pandnagan hukum perdata adalah suatu kewajiban
yang dibebankan kepada orang yang telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan
kerugian pada orang lain karena kesalahannya tersebut. Sedangkan dalam hukum
islam ganti rugi adalah suatu kewajiban atau pertanggung jawaban (damman)
akibat tidak terpenuhinya akad-akad yang telah dibuat dalam suatu kerjasama.
Dalam hal ini obyek mengenai ganti rugi lebih dititikberatkan pada harta
kekayaan dan sangat jarnag yang bersifat ganti rugi berupa fisik.
Ta’zir merupakan suatu bentuk tindakan
untuk mencegah agar masyarakat tidak melakukan perbuatan jarimah. Dalam hal
ini, ta’zir sangat bermanfaat bagi masyarakat yang sering menunda nunda
pembayar padahal mereka mampu untuk membayarnya.
Dalam al-qur’an dijelaskan bahwa manusia dalam melakukan
kerjasama hendaklah jujur dan bertnaggung jawab. Orang yang sering menunda
pembayaran padah ia mampu membayarnya merupakan orang-ornag yang dzalim dan
menghalalkan harga dirinya dan diberi sanksi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata
Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, tahun 1993.
Daeng Naja, Contract Drafting, Bandung: Citra
Aditya Bakti, tahun 2005.
Hasbi As-Shiddiqie, Pengantar Fiqh
Mu’amalah, Jakarta: Bulan Bintang, tahun 1974.
Iyan Pramadya Puspa, Kamus hukum
edisi lengkap, Semarang: Aneka Ilmu, Tahun 2007.
J. Satrio, Hukum Perikatan
(Perikatan Pada Umumnya), Bandung: alumni, tahun 1999.
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum
Perjanjian, cet.II, Bandung: Penerbit Alumni, tahun 1986.
Martiman Prodjohamidjojo, Ganti
Rugi dan Rehabilitasi, cet.II, Jakarta: Ghalia Indonesia, tahun 1986.