Makalah Kedudukan Harta Wakaf
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Menurut Abu
Hanifah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam
rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan, menurut mazhab Malaiki bahwa
wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun
wakaf tersebut mencegah wakif melalukan tindakan yang dapat melepaskan
kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiaban
menyedekahkan pemanfaatan serta tidak boleh menarik kembali wakafnaya. Mazhab
Syafi’I dan Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta
yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan.
Wakaf itu
dikenal sejak masa Rasulullah Saw karena wakaf disyaratkan setelah Nabi SAW
berhijrah ke Madinah, pada tahun kedua hijriyah.
Pemilik harta
benda mengandung prinsip atau konsepsi bahwa semua benda hakikatnya milik Allah
SWT. Kepemilikan dalam ajaran Islam disebut juga amanah (pekercayaan), yang
mengandung arti, bahwa harta yang dimiliki harus dipergunakan sesuai dengan
ketentuan yang diatur oleh Allah
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
kedudukan harta wakaf ?
2.
Bagaimana
tata cara perwakafan tanah milik ?
3.
Bagaimana
tata cara perwakafan selain tanah ?
4.
Bagaiman
perubahan dan pengalihan harta wakaf ?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui kedudukan harta wakaf
2.
Untuk
mengetahui tata cara perwakafan tanah milik
3.
Untuk
mengetahui tata cara perwakafan selain tanah
4.
Untuk
mengetahui perubahan dan pengalihan harta wakaf
BAB II
PEMBAHASAN
WAKAF DALAM
SISTEM PERUNDANGAN DI INDONESIA
A.
Kedudukan
harta wakaf
Dalam pandangan
al – Maududi (1985) sebagaimana yang dikutif oleh imam Suhadi, bahwa pemilikan
harta dalam islam itu harus disertai dengan tanggung jawab moral. Artinya,
segala sesuatu (harta benda) yang dimiliki oleh seseorang atau sebuah lembaga,
secara moral harus diyakini secara teologis bahwa ada sebagian dari harta
tersebut menjadi hak pagi pihak lain, yaitu untuk kesejahtraan sesame yang
secara ekonomi kurang atau tidak mampu, seperti fakir miskin, yatim piatu,
manula, anak – anak terlantar dan fasilitas sosial.
Azas keseimbangan
dalam kehidupan atau keselarasan dalam hidup merupakan azas hokum yang
universal. Azas tersebut diambil dari tujuan perwakafan. Yaitu untuk beribadah
atau pengabdian kepada Allah SWT sebagai wahana komunikasi dan keseimbangan
spirit antara manusia (makhluq) dengan Allah (khaliq). Titik keseimbangan
tersebut pada gilirannya akan menimbulkan keserasian dirinya dengan hati
nuraninya untuk mewujudkan ketentraman dan ketertiban dalam hidup. Azas
keseimbangan telah menjadi azas pembangunan, baik didunia maupun diakhirat,
yaitu antara spirit dan materi dan indifidu dengan masyarakat.
Pemilik harta
benda mengandung prinsip atau konsepsi bahwa semua benda hakikatnya milik Allah
SWT. Kepemilikan dalam ajaran Islam disebut juga amanah (pekercayaan), yang
mengandung arti, bahwa harta yang dimiliki harus dipergunakan sesuai dengan
ketentuan yang diatur oleh Allah. Konsepsi tersebut sesuai dengan firman Allah:
Yang artinya :
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada didalamnya (QS: al-Maidah: 120)
Sejalan dengan
konsep kepemilikan dalam Islam, maka harta yang telah diwakafkan memiliki
akibat hukum, yaitu ditarik dari lalu lintas peredaran hokum yang seterusnya
menjadi milik Alla, yang dikelola oleh perorangan dan atau lembaga Nazhir,
sedangkan manfaat bendanya digunakan untuk kepentingan umum.
Sebagai konsep
sosial yang memiliki dimensi ibadah, wakaf juga disebut amal shadaqah jariyah,
dimana pahala yang didapat oleh wakif (orang yang mewakafkan harta) akan selalu
mengalir selama harta itu masih ada dan bermanfaat. Untuk itu harta yang telah
diikrarkan untuk diwakafkan, maka sejak saat itu harta tersebut terlepas dari
kepemilikan wakif dan kemanfaatannya menjadi hak – hak penerima wakaf. Dengan
demikian, harta wakaf tersebut menjadi amanat allah kepada orngan atau badan
hokum (yang bersetatus sebagai Nazhir) untuk mengurus dan mengelolanya.
Apabila
seseorang mewakafkan sebidang tanah untuk pemeliharaan lembaga pendidikan atau
bali pengobatan yang dikelola oleh suatu yayasan, misalnya, maka sejak
diikrarkan sebagai harta wakaf, tanah tersebut terlepas dari hak milik siwakif,
pindah menjadi hak Allah dan merupakan amanat pada lembaga atau yayasan yang
menjadi tujuan wakaf. Sedangkan yayasan tersebut memiliki tanggung jawab penuh
untuk mengelola dan memberdayakannya secara maksimal demi kesejahtraan
masyarakat banyak.
B.
Tata
cara perwakafan tanah milik
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) telah
menggariskan adanya keharusan untuk melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh
wilayah Republik Indonesia (Pasal 19 ayat (1) UUPA No. 5 Tahun 1960). Sebagai
tindak lanjut dari hal tersebut pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
No. 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah yang memuat pengaturan secara
teknis penyelenggaraan pendaftaran tanah di negara Indonesia. Pada pasal 1
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 bahwa tanah yang akan
diwakafkan harus merupakan tanah hak milik dan harus bebas ikatan, jaminan,
sitaan dan juga bebas dari persengketaan. Hal ini juga dinyatakan dalam pasal 4
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1977. Sebagaimana telah dikemukakan, perbuatan
mewakafkan adalah suatu perbuatan yang suci, mulia dan terpuji sesuai dengan
ajaran agama Islam dan juga salah satu pengamalan dari Pancasila. Berhubungan
dengan itu, maka tanah yang hendak diwakafkan itu harus betul-betul merupakan
milik bersih dan tidak ada cacatnya dari sudut pemilikan. Selain dari pada itu
persyaratan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan dikemudian hari. Berdasarkan pandangan diatas, maka tanah yang
mengandung pembebanan seperti hipotik, credietverband, tanah dalam proses
perkara dan sengketa tidak dapat diwakafkan sebelum masalahnya diselesaikan
terlebih dahulu.
Untuk dapat mencapai hak milik suatu tanah terlebih
dahulu harus diadakan pendaftaran tanah. Hak milik atas tanah dalam pengertian
sekarang, sebagimana tercantum dalam pasal 20 ayat (1) UUPA No. 5 Tahun 1960
adalah: “Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengikat ketentuan dalam pasal 6.” Menurut
pasal 6 dari UUPA tersebut menyatakan semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial. Terkuat dan terpenuh disini tidak berarti bahwa hak milik merupakan hak
yang mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Ini dimaksudkan
untuk membedakan dengan hak-hak atas tanah lainnya yang dimiliki oleh individu.
Dengan kata lain, hak milik yang merupakan hak yang paling kuat dan paling
penuh diantara semua hak-hak atas tanah lainnya. Sehingga si pemilik mempunyai
hak untuk menuntut kembali di tangan siapapun benda itu berada. Seseorang yang
mempunyai hak milik dapat berbuat apa saja sekehendak hatinya atas miliknya
itu, asal saja tindakannya itu tidak bertentangan dengan undang-undang atau
melanggar hak atau kepentingan orang lain.
Yang dapat mempunyai hak milik, menurut pasal 21 UUPA yaitu:
a.
Warga Negara
Indonesia
b.
Badan-badan hukum
tertentu
c.
Badan-badan hukum
yang bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan sepanjang tanahnya
dipergunakan untuk itu.
Hak milik terhadap suatu tanah dapat terhapus apabila:
1.
Tanahnya kepada
Negara, karena:
a.
Pencabutan hak
b.
Penyerahan sukarela
oleh pemiliknya
c.
Diterlantarkan
d.
Berdasarkan ketentuan
pasal 21 ayat (3) dan pasal 26 ayat (2) UUPA.
2.
Tanahnya musnah
Setelah tanah yang hendak diwakafkan itu sudah didaftarkan dan sudah
memperoleh kekuatan hukum sebagai hak milik, barulah perwakafan dapat
dilaksanakan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 ini menegaskan bahwa
semua tanah yang diwakafkan harus didaftarkan kepada Sub. Direktorat Agraria
Kabupaten/ Kotamadya. Teknis pelaksanaan secara adminitratif diakui dengan
peraturan Menteri Dalam Negeri Agama No. 1 Tahun 1978 tertanggal 10 Januari
1978, mengatur secara menyeluruh teknis administatif dari pada pelaksanaan perbuatan
hukum wakaf, maka secara diam-diam memberikan penegasan tentang kompetensi
Departemen Agama sebagai pelaksanaan urusan wakaf.
Dengan PP No. 28 Tahun 1977, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun
1977 serta Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 lengkaplah sudah perbuatan
hukum wakaf tanah milik dapat dilaksanakan dengan baik. (Suhadi, 1981: 32)
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 dan peraturan pelaksanaannya telah
menentukan bagian prosedur tata cara perwakafan tanah milik harus dilakukan pertama,
maka pihak yang mewakafkan tanahnya diharuskan datang menghadap Pejabat Pembuat
Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya mengikrarkan
kehendaknya secara tegas, jelas, dan lugas kepada nadzir dihadapan PPAIW
tersebut. Isi dan bentuk dibuktikan dengan tertulis dan ini ditentukan oleh
Menteri Agama. Bentuk dan isi dari pada ikrar wakaf ini telah ditentukan di
dalam Peraturan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam tanggal 18 April
1978 dengan Nomor. Kep/D/75/78. Dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang
perwakafan tanah milik harus digunakan formulir-formulir sebagaimana telah
ditentukan dalam Peraturan Direktorat Jendral BIMAS tersebut. Formulir-formulir
tersebut ada dalam pasal 2, sebagai berikut:
a.
Ikrar Wakaf menurut bentuk
W.1
b.
Akta Ikrar Wakaf
menurut bentuk W.2
c.
Salinan Akta Ikrar
Wakaf menurut bentuk W.2a
d.
Surat Keterangan
Kepala Desa tentang Perwakafan Tanah Milik menurut bentuk W.K
e.
Surat Pendaftaran
Tanah Wakaf yang terjadi sebelum berlakunya PP Nomor 28 Tahun 1977 menurut
bentuk W.D
f.
Akta Pengganti Akta
Ikrar Wakaf menurut bentuk W.3
g.
Salinan Akta
Pengganti Akta Ikrar Wakaf menurut bentuk W.3a
h.
Daftar Akta Pengganti
Akta Ikrar Wakaf menurut bentuk W.4a
i.
Daftar Akta Ikrar
Wakaf menurut bentuk W.4
j.
Surat Pengesahan
Nadzir menurut bentuk W.5
k.
Buku catatan tentang
keadaan tanah wakaf menurut bentuk W.6
l.
Buku catatan tentang
pengelolaan dan hasil tanah wakaf menurut bentuk W.6a
m.
Buku catatan tentang
penggunaan hasil tanah wakaf menurut bentuk W.6b
n.
Permohonan
pendaftaran tanah wakaf menurut bentuk W.7
Pasal 9 dari PP No. 28 Tahun 1977 mengharuskan
adanya perwakafan secara tertulis tidak cukup hanya dengan ikrar lisan saja.
Tujuannya adalah untuk memperoleh bukti yang otentik yang dapat dipergunakan
untuk berbagai persoalan, seperti untuk bahan-bahan pendaftaran pada kantor
Sub. Direktorat Agraria Kabupaten/ Kotamadya dan bentuk keperluan penyelesaian
sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari tentang tahan yang diwakafkan.
Pelaksanaan ikrar demikian pula pembuatan akta ikrar
wakaf dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang saksi. Saksi ikrar wakaf harus telah dewasa dan sehat akalnya serta yang
oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum.
Dalam melaksanakan ikrar tersebut maka pihak yang
mewakafkan tanah diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada PPAIW tersebut
sebagimana yang tercantum dalam ayat (2):
1.
Sertifikat hak milik
atau benda bukti pemilikan tanah lainnya.
2.
Surat keterangan dari
Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan
kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sengketa.
3.
Surat keterangan
pendaftaran tanah.
4.
Izin dari Bupati/
Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub. Direktorat Agraria setempat.
Sesaat setelah pelaksanaan ikrar, PPAIW membuat Akta
Ikrar Wakaf dan salinannya. Akta Ikrar Wakaf dibuat rangkap 3 (tiga). Sedangkan
salinan Akta Ikrar Wakaf dibuat rangkap 4 (empat):
1.
Salinan lembar
pertama disampaikan kepada wakif.
2.
Salinan lembar
kedua disampaikan kepada nadzir.
3.
Salinan lembar ketiga
disampaikan kepada Kandepag.
4.
Salinan lembar
keempat dikirim kepada Kepala Desa/ Lurah.
Kemudian sebagaimana tercantum pada pasal 10 PP No.
28 Tahun 1977, setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan, maka PPAIW atas nama
nadzir yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Bupati/ Walikotamadya
Kepala Daerah melalui Kepala Sub. Direktorat Agraria setempat yang menerangkan
kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut dalam suatu sengketa dan
kemudian didaftarkan sebagai perwakafan tanah milik.
C.
Tata
cara perwakafan selain tanah
1.
Wakaf Untuk barang bergerak selain uang
PPAIW mendaftarkan AlW dari:
a.
benda bergerak selain uang yang terdaftar pada
instansi yang berwenang;
b.
benda bergerak selain uang yang tidak terdaftar
dari yang memiliki atau tidak memiliki tanda bukti pembelian atau bukti
pembayaran didaftar pada BWI, dan selama daerah tertentu belum dibentuk BWI,
maka pendaftaran tersebut dilakukan di Kantor Departemen Agraria setempat.
c.
Untuk benda bergerak yang sudah terdaftar,
Wakif menyerahkan tanda bukti kepemilikan benda bergerak kepada PPAIW dengan
disertai surat keterangan pendaftaran dari instansi yang berwenang yang tugas
pokoknya terkait dengan pendaftaran benda bergerak tersebut.
d.
Untuk benda bergerak yang tidak terdaftar,
Wakif menyerahkan tanda bukti pembelian atau tanda bukti pembayaran berupa
faktur, kwitansi atau bukti lainnya.
e.
Untuk benda bergerak yang tidak terdaftar dan
tidak memiliki tanda bukti pembelian atau tanda bukti pembayaran, Wakif membuat
surat pernyataan kepemilikan atas benda bergerak tersebut yang diketahui oleh 2
(dua) orang saksi dan dikuatkan oleh instansi pemerintah setempat.
2.
Wakaf Untuk Uang
a.
LKS-PWU atas nama Nazhir mendaftarkan wakaf
uang kepada Menteri paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya
Sertifikat Wakaf Uang.
b.
Pendaftaran wakaf uang dari LKS-PWU sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada BWI untuk diadministrasikan.
c.
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi
pendaftaran wakaf uang diatur dengan Peraturan Menteri.
D.
Perubahan
dan pengalihan harta wakaf
Dalam pandangan fiqih, para ulama berbeda pendapat. Sebagian
memperbolehkan dan sebagian yang lain melarang akan adanya perubahan dan
pengalihan harta wakaf. Sebagian ulama Syafi’iyyah (ulama bermazhab Syaf’i) dan
Malikiyah (ulama bermazhab maliki) berpendapat, bahwa benda wakaf yang sudah
tidak berfungsi, tetap tidak boleh dijual, ditukar, atau diganti, atau
dipindahkan. Karena dasar wakaf itu sendri bersifat abadi, shingga kondisi
apapun benda wakaf tersebut harus dibiarkan sedemikian rupa. Dasar yang
digunakan oleh mereka adalah hadis nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar,
dimana dikatakan bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan
dan tidak boleh diwariskan.
Namun dilain pihak, benda wakaf yang sudah atau kurang berfungsi lagi
dimana sudah tidak sesuai dengan peruntukan yang dimaksud si wakif, maka Imam
Ahmad Ibnu Hanbal, Abu Tasaur, dan Ibnu Taimiyah berpendapat tentang bolehnya
menjual, mengubah, mengganti atau memindahkan benda wakaf tersebut. Kebolehan
itu baik dengan alasan supaya benda wakaf itu bisa berfungsi atau mendatangkan
maslahat sesuai dengan tujuan wakaf, atau untuk mendapatkan maslahat yang lebih
besar bagi kepentingan unum, khususnya kaum muslimin.
Ibnu Taimiyah membolehkan untuk mengubah atau mengalihkan wakaf
dengan dua syarat :
1.
Penggantian
karena kebutuhan mendesak, seperti kuda yang diwakafkan untuk perang, bisa
dijual dan harganya dipergunakan untuk membeli apa – apa yang dapat
menggantikannya. Bila masjid rusak dan tidak mungkin digunakan atau diramaikan,
maka tanahnya dapat dijual dan harganya dapat dipergunakan untuk membeli apa –
apa yang dapat menggantikannya. Semua ini diperbolehkan, karena bila yang pokok
(asli) tidak mencapai maksud, maka digantikan dengan yang lainnya.
2.
Penggantian
karena kepentingan dan maslahat yang lebih kuat. Misalnya ada masjid yang sudah
tidak layak guna bagi kaum muslimin setempat, maka boleh dijual dan digunakan
untuk membangun masjid yang baru, sehingga kaum muslimin dapat menggunakan dan
memaksimalkannya dengan maksimal.
Ibnu Qudamah, salah seorang pengikut madzhab Hambali dalam kitabnya
Al-Mughni mengatakan, apabila harta wakaf mengalami kerusakan hingga tidak
dapat bermanfat sesuai dengan tujuannya, hendaknya dijual saja kemudian harta
penjualannya dibelikan brang lain yang akan mendatangkan kemanfaatan sesuai
dengan tujuan wakaf, dan barang yang dibeli itu berkedudukan sebagaimana harta
wakaf seperti semula.
Adapun yang diwakafkan untuk diproduksikan, apabila diganti dengan
yang lebih baik, seperti wakaf rumah, kedai, kebun atau kampong yang
produksinya kesil, maka ia diganti dengan apa yang lebih bermanfaat bagi wakaf
itu.
Dalam Undang – undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf juga mengatur
tentang perubahan dan pengalihan harta wakaf yang sudah dianggap tidak atau
kurang berfungsi sebagaimana maksud wakaf itu sendiri. Secara prinsip, harta
benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang :
Yang sudah
diwakafkan dilarang :
a.
Dijadikan
jaminan
b.
Disita
c.
Dihibahkan
d.
Dijual
e.
Diwariskan
f.
Ditukar,
atau
g.
Dialihkan
dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Namun,
ketentuan tersebut dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan
digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata tuang (RUTR)
berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan syari’ah. Pelaksanaan ketentuan sebagaiman dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri
atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.
Namun, harta
benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian tersebut
wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang –
kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.
Dengan demikian
perubahan atau pengalihan benda wakaf pada prinsipnya bisa dilakukan selama
memenuhi syarat – syarat tertentu dan dengan mengajukan alasan – alasan
sebagaimana yang telah ditentukan dengan Undang – undang yang berlaku. Ketatnya
prosedur perubahan dan atau pengalihan benda wakaf itu bertujuan untuk
meminimalisir penyimpangan peruntukan dan menjaga keutuhan harta wakaf agar
tidak menjadi tindakan – tindakan yang dapat merugikan eksistensi wakaf itu
sendiri. Sehingga wakaf tetap menjadi alternative untuk meningkatkan
kesejahtraan masyarakat banyak.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Apabila
seseorang mewakafkan sebidang tanah untuk pemeliharaan lembaga pendidikan atau
bali pengobatan yang dikelola oleh suatu yayasan, misalnya, maka sejak
diikrarkan sebagai harta wakaf, tanah tersebut terlepas dari hak milik siwakif,
pindah menjadi hak Allah dan merupakan amanat pada lembaga atau yayasan yang
menjadi tujuan wakaf. Sedangkan yayasan tersebut memiliki tanggung jawab penuh
untuk mengelola dan memberdayakannya secara maksimal demi kesejahtraan
masyarakat banyak.
Peraturan Pemerintah
No. 28 Tahun 1977 dan peraturan pelaksanaannya telah menentukan bagian prosedur
tata cara perwakafan tanah milik harus dilakukan pertama, maka pihak yang
mewakafkan tanahnya diharuskan datang menghadap Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf (PPAIW). Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya mengikrarkan kehendaknya
secara tegas, jelas, dan lugas kepada nadzir dihadapan PPAIW tersebut.
Dengan demikian
perubahan atau pengalihan benda wakaf pada prinsipnya bisa dilakukan selama
memenuhi syarat – syarat tertentu dan dengan mengajukan alasan – alasan
sebagaimana yang telah ditentukan dengan Undang – undang yang berlaku. Ketatnya
prosedur perubahan dan atau pengalihan benda wakaf itu bertujuan untuk
meminimalisir penyimpangan peruntukan dan menjaga keutuhan harta wakaf agar
tidak menjadi tindakan – tindakan yang dapat merugikan eksistensi wakaf itu
sendiri. Sehingga wakaf tetap menjadi alternative untuk meningkatkan
kesejahtraan masyarakat banyak.