Sejarah, Lembaga dan Legalisasi Wakaf di Indonesia
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Wakaf,
sebagaimana halnya zakat, adalah termasuk harta/aset umat muslim yang harus
dijaga dan dikembangkan demi kepentingan umat muslim itu sendiri. Dalam
perjalanannya, wakaf pada dunia Islam mengalami berbagai macam kondisi
pasang-surut terus mewarnai perkembangannya dan tampaknya hal seperti itu akan
terus terjadi sepanjang masa..
Wakaf
pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan
kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang
pasti. Namun setelah masyarakat Islam merasakan betapa manfaatnya lembaga
wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian
dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan
menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu
atau keluarga.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan wakaf ?
2. Bagaimanakah
sejarah wakaf sejak zaman Rasulullah hingga sekarang ?
3. Bagaimanakah
lembaga wakaf di Indonesia ?
4. Bagaimanakah
legalisasi wakaf di Indonesia ?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
apa yang dimaksud dengan wakaf.
2. Mengetahui
bagaimana sejarah wakaf sejak zaman Rasulullah hingga sekarang.
3. Mengetahui
bagaimana lembaga wakaf di Indonesia.
4. Mengetahui
bagaimana legalisasi wakaf di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Wakaf
Perkataan
waqf, yang menjadi wakaf dalam bahasa
Indonesia, berasal dari kata kerja bahasa Arab waqafa yang berarti menghentikan
, berdiam di tempat atau menahan sesuatu.
Pengertian
menahan (sesuatu) dihubungkan dengan harta kekayaan, itulah yang dimaksud
dengan wakaf dalam uraian ini. Wakaf adalah menahan sesuatu benda untuk diambil
manfaatnya sesuai dengan ajaran Islam[1].
1. Wakaf
Menurut Al-Qur’an
Kendatipun
tidak jelas dan tegas wakaf di sebutkan dalam al-Qur’an, namun beberapa ayat
yang memerintahkan manusia untuk berbuat baik untuk kebaikan masyarakat
dipandang oleh para ahli sebagai landasan perwakafan.
Di
dalam al-Qur’an surah al-Hajj ayat 77
“Tuhan memerintahkan agar manusia berbuat
kebaikan supaya hidup manusia itu bahagia”, di surah lain yakni al-Imran ayat 92 “Tuhan menyatakan bahwa manusia tidak akan memperoleh kebaikan, kecuali
jika ia menyedekahkan sebagian dari harta yang disenanginya (pada orang lain)”.
Ayat-ayat al-Qur’an tersebut menurut pendapat para ahli, dapat dipergunakan
sebagai dasar umum lembaga wakaf (A.A. Basyir, 1977:5)[2]
2. Wakaf
Menurut Al-Hadits
Selain
dari ayat-ayat yang mendorong manusia berbuat baik untuk kebaikan orang lain
dengan membelanjakan harta tersebut diatas, ada hadits yang dapat di jadikan
landasan perbuatan mewakafkan harta yang di punyai oleh seseorang, yakni hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang berasal dari Ibnu Umar.
Menurut
hadits ini, Umar bin Khattab, ayah Ibnu Umar, yang kemudian menjadi Khalifah II
mempunyai tanah di Khaibar, suatu daerah pertanian di Madinah. Tanah itu sangat
disukai oleh Umar. Pada suatu hari beliau bertanya kepada Rasulullah s.a.w.,
apakah ia sebaiknya melepaskan tanah yang disukainya itu sebagai sedekah dalam
rangka memenuhi seruan Tuhan dalam surah al-Hajj ayat 77 yang berbunyi, “Buatlah kebaikan supaya kamu bahagia”.
Nabi menjawab “Tahanlah pokoknya dan
sedekahkanlah hasilnya”. Anjuran Rasullullah di turuti oleh Umar.
Ditahannya tanah itu, dalam pengertian tidak dijual, tidak diwariskan dan tidak
pula dihibahkan kepada orang lain.
Ditetapkannya
pula bahwa hasil tanah itu diperuntukkannya bagi fakir-miskin,
keluarga-keluarga yang memerlukannya, orang-orang yang sedang berada dalam
perjalanan, para tamu, penuntut ilmu dan sebagainya. Ditentukannya pula bahwa
orang yang mengurus wakaf itudapat juga emakan hasil tanah wakaf yang dimaksud
sekedar untuk keperluan hidupnya sendiri beserta keluarganya dalam batas-batas yang
pantas. (A.A. Basyir, 1977:6)[3]
B.
Sejarah
Wakaf
1. Masa
Rasulullah
Dalam
sejarah Islam, wakaf dikenal sejak masa Rasulullah s.a.w. karena wakaf
disyariatkan setelah Rasul s.a.w. berhijrah ke Madinah, pada tahun ke-2
Hijriyah.
Ada
2 pendapat yang berkembang dikalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali
melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa
yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah s.a.w. ialah wakaf tanah
milik Rasulullah s.a.w. untuk di bangun Masjid[4].
Kemudian
pendapat lainnya menyatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf
adalah Umar bin Khattab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu
Umar r.a. ia berkata:
Dari Ibnu Umar r.a. berkata : “Bahwa sahabat Umar r.a. memperoleh sebidang
tanah di Khaibar, kemudian Umar r.a. menghadap Rasulullah s.a.w. untuk meminta
petunjuk. Umar berkata: “Hai Rasulullah s.a.w., saya mendapat sebidang tanah di
Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau
perintahkan kepadaku ?” Rasulullah s.a.w. bersabda : “Bila engkau suka, kau
tahan pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya”. “Kemudian umar mensedekahkan
tanahnya untuk dikelola, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan.
Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada
orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu.
Dan tidak dilarang bagi yang mengelola wakaf makan dari hasilnya dengan cara
yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud
menumpuk harta” (HR. Muslim).
2. Masa
Dinasti-dinasti Islam
A. Pada
masa dinasti Umayyah
Praktek
wakaf menjadi luaspada masa dinasti Umaiyah dan dinasti Abbasiyah. Pada masa
dinasti Umaiyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar al-Hadhramiy
pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik
dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri
sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim.
Lembaga
wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir,
bahkan di seluruh Negara Islam[5]
B. Pada
masa dinasti Abbasiyah
Pada
masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “Shadr al-Wukuuf” yang mengurus
administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf[6].
C. Pada
masa dinasti Ayyubiyah
Pada
masa dinasti Ayyubiyah di Masir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana
hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semuanya dikelola
oleh Negara dan menjadi milik Negara (baitul
mal).
D. Pada
masa dinasti Mamluk
Perkembangan
wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun
yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang
diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung
perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf
hamba sahaya yang di wakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal
ini dilakukan pertama kali oleh pengusa dinasti Ustmani ketika menaklukan
Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat masjid[7].
E. Pada
orde al-Dzahir Bibers
Pada
orde al-Dzahir Bibers perwakafan dapat dibagi menjadi tiga katagori: Pendapat
negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yang
dianggap berjasa, wakaf untuk membantu haramain
(fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum. Sejak abad lima
belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga
Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik
yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk menerapkan syari’at
Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwakafan.
Di
antara undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan
tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil
Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan
wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf
dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-undangan.
Pada
tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang
kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang
berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab
masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang.
Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai
sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim,
termasuk di Indonesia.
Hal
ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam
ini telah diterima (diresepsi)
menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu kenyataan pula
bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau
benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf
mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu
memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.
Dalam
perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan
dengan laju perubahan jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan,
seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), dan lain-lain[8].
3. Di
Indonesia
Perkembangan
wakaf di Indonesia dapat dibagi dalam 3 kurun waktu, yaitu :
A. Sebelum
kemerdekaan Indonesia.
Wakaf
merupakan suatu lembaga ekonomi Islam yang eksistensinya sudah ada semenjak
awal kedatangan Islam. Wakaf adalah lembaga Islam kedua tertua di Indonesia
setelah (atau bersamaan dengan) perkawinan. Sejak zaman awal telah dikenal
wakaf masjid, wakaf langgar/surau dan wakaf tanah pemakaman di berbagai wilayah
Indonesia. Selanjutnya muncul wakaf tanah untuk pesantren dan madrasah atau
wakaf tanah pertanian untuk membiayai pendidikan Islam dan wakaf-wakaf lainnya.
Pada
mulanya lembaga wakaf di Indonesia sering dilakukan oleh umat Islam, sebagai
konsekuensi logis banyaknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Sekalipun
lembaga wakaf merupakan salah satu pranata Islam, tetapi seolah-olah sudah
merupakan kesepakatan diantara para ahli hukum bahwa pewakafan merupakan
masalah dalam Hukum Adat Indonesia, sebab diterimanya lembaga berasal dari
suatu kebiasaan dalam pergaulannya. Sejak itu persoalan wakaf telah diatur
dalam Hukum Adat yang sifatnya tidak tertulis dengan mengambil sumber dari
Hukum Islam.
Sewaktu
Belanda mulai menjajah Indonesia lebih kurang tiga abad yang lalu, maka wakaf
sebagai lembaga keuangan Islam telah tersebar di berbagai persada nusantara
Indonesia. Dengan berdirinya Priesterrad
(Rad Agama / Peradilan Agama) berdasarkan Staatsblad
Nomor 152 pada tahun 1882, maka dalam praktek yang berlaku, masalah wakaf
menjadi salah satu wewenangnya, di samping masalah perkawinan, waris, hibah,
shadaqah dan hal-hal lain yang dipandang berhubungan erat dengan agama Islam.
Pengakuan
Belanda ini berdasarkan kenyataan bahwa penyelesaian sengketa mengenai masalah
wakaf dan lain-lain yang berhubungan dengan hukum Islam diajukan oleh
masyarakat ke Mahkamah Syar’iyyah atau Peradilan Agama lokal dengan berbagai
nama di berbagai daerah di Indonesia.
Pada
masa ini, telah dikeluarkan berbagai peraturan yang mengatur tentang wakaf,
antara lain[9]
:
a. SE
Sekretaris Govememen pertama tanggal 31 Januari 1905 Nomor 435 sebagaimana
termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezicht op den bouw van Mohammaedaansche bedehuizen.
b. SE
Sekretaris Govememen tanggal 4 Juni 1931 Nomor 1361 yang termuat dalam Bijblad
1931 Nomor 125/3 tentang Toezicht van de
Regeering op Mohammaedaansche, Vridagdiensten en wakaf.
c. SE
Sekretaris Govememen pertama tanggal 24 Desember 1934 Nomor 3088/A sebagaimana
termuat dalam Bijblad tahun 1934 Nomor 13390 tentang Toezicht van de Regeering op mohammaedaansehe bedehuize, Vrijdag
diensten en wakafs.
B. Pasca
kemerdekaan Indonesia.
Peraturan-peraturan
tentang perwakafan yang dikeluarkan pada masa penjajah Belanda, sejak
Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agusus 1945 masih tetap berlaku
berdasarkan bunyi pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Maka untuk menyesuaikan dengan Negara
Republik Indonesia dikeluarkan petunjuk Menteri Agama RI tanggal 22 Desember
1953 tentang Petunjuk-petunjuk mengenai wakaf, menjadi wewenang Bagian D
(Ibadah Sosial), Urusan Agama, dan pada tanggal 8 Oktober 1956 telah
dikeluarkan SE Nomor 5/D/1959 tentang Prosedur Perwakafan Tanah.
Dalam
rangka penertiban dan pembaharuan sistem Hukum Agraria, masalah wakaf mendapat
perhatian yang lebih dari pemerintah nasional, antara lain melalui Departemen
Agama RI. Selama lebih tiga puluh tahun sejak tahun 1960, telah dikeluarkan berbagai
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Insturksi Mentri/Gubernur
dan lain-lain yang berhubungan karena satu dan lain hal dengan masalah wakaf.
Dalam
pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, yang pada intinya menyatakan benda
wakaf adalah hukum agama yang diakui oleh hukum adat di Indonesia, di samping
kenyataan bahwa hukum adat (al-‘uruf) adalah salah satu sumber komplementer
hukum Islam. Sehingga dalam pasal 29 ayat (1) UU yang sama dinyatakan secara
jelas tentang hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial. Wakaf adalah salah
satu lembaga keagamaan dan sosial yang diakui dan dilindungi oleh UU ini.
C. Era
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.
Sebagaimana
yang diketahui peraturan tentang perwakafan tanah di Indonesia masih belum
memenuhi kebutuhan maupun dapat memberikan kepastian hukum, dari sebab itulah
seuai dengan ketentuan pasal 49 ayat (3) UUPA, pemerintah pada tanggal 17 Mei
1977 menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik. Dengan berlakunya peraturan ini maka semua peraturan perundang tentang
perwakafan sebelumnya yang bertentangan dengan PP Nomor 28 Tahun 1977 ini
dinyatakan tidak berlaku.
Dalam
rangka mengamankan, mengatur dan mengelola tanah wakaf secara lebih baik maka
pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor
1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang di dalamnya juga mengatur
masalah wakaf, sehingga setelah munculnya Inpres ini, kondisi wakaf lebih
terjaga dan terawat, walaupun belum dikelola dan dikembangkan secara optimal.
Pada
tanggal 11 Mei 2002 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang membolehkan
wakaf uang (cash wakaf/waqf al nuqud)
dengan syarat nilai pokok wakaf harus dijamin kelestariannya. Dan atas dukungan
political will Pemerintah secara
penuh, salah satunya adalah lahirnya
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya[10].
Dari
pasal undang-undang ini telah mewacana yang mengemuka tentang wakaf tunai dan
realitas respon dari berbagai kalangan menjadi dasar pemikiran pentingnya
penyusunan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang di dalamnya
memuat aturan tentang wakaf tunai. Karena Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977, sebagai satu-satunya peraturan perundang-undangan tentang wakaf sama
sekali tidak mengcover masalah
tersebut, Undang-undang ini diharapkan dapat memberikan optimisme dan
keteraturan dalam pengelolaan wakaf secara umum dan wakaf tunai secara khusus
di Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan.
.
C.
Lembaga
Wakaf
1. BWI
( Badan Wakaf Indonesia )
Kelahiran
Badan Wakaf Indonesia (BWI) merupakan perwujudan amanat yang digariskan dalam
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Kehadiran BWI, sebagaimana
dijelaskan dalam pasal 47, adalah untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan
di Indonesia. Untuk kali pertama, Keanggotaan BWI diangkat oleh Presiden
Republik Indonesia[11].
Jadi, BWI adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia
yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun, serta bertanggung jawab kepada masyarakat.
BWI
berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk
perwakilan di Provinsi/Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan. Dalam
kepengurusan, BWI terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan,
masing-masing dipimpin oleh oleh satu orang Ketua dan dua orang Wakil Ketua
yang dipilih dari dan oleh para anggota. Badan pelaksana merupakan unsur
pelaksana tugas, sedangkan Dewan Pertimbangan adalah unsur pengawas pelaksanaan
tugas BWI. Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari paling sedikit 20
orang dan paling banyak 30 orang yang berasal dari unsur masyarakat[12].
Keanggotaan
Badan Wakaf Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Keanggotaan
Perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah diangkat dan diberhentikan oleh
Badan Wakaf Indonesia. Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat untuk masa
jabatan selama 3 tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan.
Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan
kepada Presiden oleh Menteri. Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf
Indonesia kepada Presiden untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf
Indonesia[13].
Sementara
itu, BWI mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut[14]:
1. Melakukan
pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.
2. Melakukan
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan
internasional.
3. Memberikan
persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf.
4. Memberhentikan
dan mengganti nazhir.
5. Memberikan
persetujuan atas penukaran harta benda wakaf.
6. Memberikan
saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang
perwakafan.
. Pada ayat 2 dalam pasal yang sama
dijelaskan bahwa dalam melaksanakan tugasnya BWI dapat bekerjasama dengan
instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli,
badan internasional, dan pihak lain yang dianggap perlu. Dalam melaksanakan
tugas-tugas itu BWI memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan Majelis
Ulama Indonesia, seperti tercermin dalam pasal 50.
Terkait
dengan tugas dalam membina nazhir, BWI melakukan beberapa langkah strategis,
sebagaimana disebutkan dalam PP No.4/2006 pasal 53, meliputi:
1. Penyiapan
sarana dan prasarana penunjang operasional Nazhir wakaf baik perseorangan,
organisasi dan badan hukum.
2. Penyusunan
regulasi, pemberian motivasi, pemberian fasilitas, pengkoordinasian,
pemberdayaan dan pengembangan terhadap harta benda wakaf.
3. Penyediaan
fasilitas proses sertifikasi wakaf.
4. Penyiapan
dan pengadaan blanko-blanko AIW, baik wakaf benda tidak bergerak atau benda
bergerak.
5. Penyiapan
penyuluh penerangan di daerah untuk melakukan pembinaan dan pengembangan wakaf
kepada nazhir sesuai dengan lingkupnya.
6. Pemberian
fasilitas masuknya dana-dana wakaf dari dalam dan luar negeri dalam
pengembangan dan pemberdayaan wakaf.
Tugas-tugas
itu, tentu tak mudah diwujudkan. Jadi, dibutuhkan profesionalisme, perencanaan
yang matang, keseriusan, kerjasama, dan tentu saja amanah dalam mengemban
tanggung jawab. Untuk itu, BWI merancang visi dan misi, serta strategi
implementasi. Visi BWI adalah “Terwujudnya
lembaga independen yang dipercaya masyarakat, mempunyai kemampuan dan integritas
untuk mengembangkan perwakafan nasional dan internasional”. Sedangkan
misinya yaitu “Menjadikan Badan Wakaf
Indonesia sebagai leambaga profesional yang mampu mewujudkan potensi dan
manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan pemberdayaan
masyarakat”
Adapun
strategi untuk merealisasikan Visi dan Misi Badan Wakaf Indonesia adalah
sebagai berikut:
1. Meningkatkan
kompetensi dan jaringan Badan wakaf Indonesia, baik nasional maupun
internasional.
2. Membuat
peraturan dan kebijakan di bidang perwakafan.
3. Meningkatkan
kesadaran dan kemauan masyarakat untuk berwakaf.
4. Meningkatkan
profesionalitas dan keamanahan nazhir dalam pengelolaan dan pengembangan harta
wakaf.
5. Mengkoordinasi
dan membina seluruh nazhir wakaf.
6. Menertibkan
pengadministrasian harta benda wakaf.
7. Mengawasi
dan melindungi harta benda wakaf.
8. Menghimpun,
mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf yang berskala nasional dan
internasional.
Untuk
merealisasikan visi, misi dan strategi tersebut, BWI mempunyai 5 divisi, yakni
Divisi Pembinaan Nazhir, Divisi Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf, Divisi
Kelembagaan, Divisi Hubungan Masyarakat, dan Divisi Peneltian dan Pengembangan
Wakaf[15].
2. PPAIW
( Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf )
Dalam
undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf
bab 3 pada bagian ketiga pasal 37 :
A. PPAIW
harta benda wakaf tidak bergerak berupa tanah adalah Kepala KUA dan/atau
pejabat yang menyelenggarakan urusan wakaf.
B. PPAIW
harta benda wakaf bergerak selain uang adalah Kepala KUA dan/atau pejabat lain
yang ditunjuk oleh Menteri.
C. PPAIW
harta benda wakaf bergerak berupa uang adalah Pejabat Lembaga Keuangan Syariah
paling rendah setingkat Kepala Seksi LKS yang ditunjuk oleh Menteri.
D. Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 tidak menutup kesempatan
bagi wakif untuk membuat AIW di hadapan Notaris.
E. Persyaratan
Notaris sebagai PPAIW ditetapkan oleh Menteri.
Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf atau disingkat dengan PPAIW adalah pejabat berwenang
yang ditetapkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia untuk membuat Akta Ikrar
Wakaf (AIW)[16].
Yang dimaksud dengan pejabat disini adalah orang yang diberikan tugas dan
kewenangan yang sah menurut hukum untuk membuat AIW. Sedangkan AIW adalah bukti
pernyataan kehendak Wakif untuk mewakafkan harta benda miliknya guna dikelola
Nadzir (pengelola wakaf) sesuai dengan peruntukan harta benda wakaf yang
dituangkan dalam bentuk “akta”. Sedangkan yang dimaksud “akta” sendiri adalah
surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu
hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.
Akta merupakan salah satu alat bukti tertulis (surat)[17].
Keharusan
ditandatanganinya suatu akta didasarkan pada ketentuan pasal 1869 BW, dengan
tujuan untu mengindividualisir suatu akta sehingga dapat membedakan dari satu
akta dengan yang lainnya. Kemuadian yang dimaksud dengan penandatanganan dalam
akta adalah membubuhkan nama dari si penanda tangan, sehingga membubuhkan paraf
(singkatan tanda tangan) dianggap belum cukup. Dipersamakan dengan tanda tangan
pada suatu akta di bawah tangan adalah sidik jari (cap jari atau cap jempol)
yang dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris
atau pejabat lain yang ditujuk oleh undang-undang yang menyatakan bahwa ia
mengenal orang yang membubuhkan sidik jari atau orang itu diperkenalkan
kepadanya, dan bahwa isi akta itu telah dibacakan dan dijelaskan kepadanya,
kemudian sidik jari itu dibubuhkan pada akta dihadapan pejabat tersebut[18].
Pengesahan sidik jari ini lebih dikenal dengan waarmerking.
D.
Legalisasi
Wakaf
UU
No.41 Tahun 2004 Bab I Pasal 1 Ayat 1 menyebutkan bahwa “Wakaf adalah perbuatan
hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya
untuk di manfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah.
UU
No.41 Tahun 2004 Bab I Pasal 2 menyebutkan bahwa “Wakaf sah apabila
dilaksanakan menurut syariah.
UU
No.41 Tahun 2004 Bab I Pasal 3 menyatakan bahwa “Wakaf yang telah di ikrarkan
tidak dapat di batalkan.
UU
No.41 Tahun 2004 Bab I Pasal 4 menyebutkan bahwa “Wakaf bertujuan memanfaatkan
harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya.
UU
No.41 Tahun 2004 Bab I Pasal 5 menyebutkan bahwa “Wakaf berfungsi mewujudkan
potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk keentingan ibadah dan
untuk memajukan kesejahteraan umum
UU
No.41 Tahun 2004 Bab I Pasal 6 menyebutkan bahwa “Wakaf dilaksanakan dengan
memenuhi unsur wakaf sebagai berikut:
1. Wakif.
2. Nazhir.
3. Harta
benda wakaf.
4. Ikrar
Wakaf.
5. Peruntukan
harta benda wakaf.
6. Jangka
waktu wakaf.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah
SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW Madinah, pada tahun kedua
Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam
(fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf.
Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan
wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun
masjid.
Seiring dengan perkembangan zaman kini wakafpun
mengalami beberapa kemajuan baik dari cara pengelolaan dan juga penyaluranya
melalui lembaga-lemabaga pengelola wakaf.
B.
Saran
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita
(Bandung: Alumni, 1979)
Abdorraoef, al-Qur’an dan Ilmu Hukum (Jakarta: Bulan Bintang, 1970)
Daud Ali Muhammad, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf,
Universitas Indonesia Press Jakarta, 2012.
Fiqih
Wakaf, Direktorat Pemberdayaan Wakaf,
Departemen Agama RI, 2007
[1] Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, BAB
III hal. 80
[2] Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, BAB
III hal. 80-81
[3] Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, BAB
III hal. 83
[4] Fiqh Wakaf, Bab I hal. 4
[5] Fiqh Wakaf, BAB I hal. 6
[6] Fiqh Wakaf, BAB I hal. 7
[7] Fiqh Wakaf, BAB I hal. 8
[8] Fiqh Wakaf, BAB I hal. 10
[9] Staatsblad
Nomor 152 pada tahun 1882
[10] UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
[11] Keputusan Presiden (Kepres) No. 75/M tahun
2007, ditetapkan di Jakarta, 13 Juli 2007
[13] UU No.41/2004 Pasal 55, 56, 57
[14] UU No. 41/2004 Pasal 49 ayat 1
[15] bwi.org.id/*Agus
[16] Ketentuan Umum UU Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf.
[17] Pasal 138, 165, 167; 164, 285-305 dan Pasal
1867-1894.
[18] Pasal 1874 BW, Staatsblad Nomor 29, Pasal 1, 286 Rbg.